173 research outputs found

    Lukisan I Dewa Putu Mokoh Yang Humorik

    Get PDF
    This writting focused on humoric themes this paintings made by Dewa Putu Mokoh born in 1956 from Pengosekan, Mas, Ubud, Gianyar village. His artwork attrack the art lovers attentions because of his "New greathe" expressed with the development in techical way and approachment into new themes which more modernize and the unique of his paintings given more humoric sense. It could be says that humoric thing is inspired I Dewa Putu Mokoh as the inspiration source or back point view to create a paintings. He is conseiouslly on unconsciouslly get and interpreted the traditional in heritance and then improves the visual and themes through modification process and deformation. These humor sense could give identity, support and the soulness in his artwork.The bad things which is contradictif into beautiful things but it doesn't means the emptyness or the less of the charac-teristic of a thing is called beautiful because it could raise a humoric emotions. The consideration to stand on traditional art paintings is by doing inovation into an open world for the further. Key words: Lukisan Dewa Putu Mokoh, tema, tradisi and humor

    Problem Ars Simia Naturae

    Get PDF
    Ciri khas seni menurut Plato maupun Aristoteles ialah mengupas alam dari hakekat yang sebenarnya, ia merupakan imitasi yang membawa pada kebaikan dari kenyataanya sehingga menjadi keindahan yang luar biasa. Keduanya menginginkan tauladan seni didalam keindahan universal, pasti, mutlak dan ideal

    OTAK KANAN DAN KECERDASAN INTUISI (RESENSI BUKU)

    Get PDF
    Judul Tulisan : Misteri Otak Kanan Manusia Penulis : Daniel H. Pink. Alih Bahasa : Rusli Penerbit : Think Yogyakarta Cetakan : Maret 2008 Tebal : 336 halamn Kelengkapan : Catatan-catatan, Ucapan Terima Kasih, Tentang Penuli

    KARYA SENI MONUMENTAL: “Perkawinan”

    Get PDF
    Berangkat dari pengamatan terhadap lingga-yoni dan setelah mendalaminya maka muncul gagasan tentang ”Manunggaling Kala Desa, Melintas Fenomena Ruang dan Waktu dalam Penciptaan Seni Lukis” sebagai tema. Yang ingin saya cermati di sini ialah sudut-sudut psiko-antropologisnya pada lingga-yoni. Telaahnya hendaknya dipandang sebagai upaya pembacaan kembali/reinterpretasi atas simbol lingga-yoni untuk ditawarkan pada seni lukis. Persepsi saya terhadap lingga-yoni terkaitkan dengan manunggaling kala desa tidak semata-mata diartikan sebagai kualitas pengindraan, tetapi mengandaikan proyeksi diri atas nilai-nilai dengan melibatkan interpretasi. Persepsi saya dapat menghayati lingga-yoni menjadi bermakna, sehingga dapat menyadari hubungannya dengan ruang (desa) dan waktu (kala). Persepsi tidak semata- mata ditujukan kepada pencapaian pengetahuan kognitif semata, tetapi membawa muatan pada feeling yang berkaitan dengan nilai-nilai, seperti nilai estetik, nilai moral, dan nilai religius. Pada konteks itulah, saya menempatkan eksplorasi kreatif penciptaan karya seni lukis sebagai upaya refleksi kritis melintas fenomena ruang dan waktu dengan tajuk ”manunggaling kala desa”. Di dalam ketegangan kreatif serupa itu saya ingin mengkritisi kondisi Bali yang telah menjadi ajang “pertempuran” berbagai ideologi akibat globalisasi. Manunggal secara teknis melukis juga berarti menggabungkan unsur-unsur/elemen-elemen seni rupa, media berbeda serta beragam teknik menjadi satu kesatuan yang harmoni. Semakin jelaslah, bahwa azas fragmentaris merupakan fondasi dari entitas yang diwujudkan. Di samping itu diperlukan kemampuan menata segenap unsur rupa tidak saja di dalam kepentingan hukum komposisi, melainkan pula pada kepentingan makna dan ekspresi. Dalam pembentukan menggali dan aspek memanfaatkan nilai-nilai probabilitas dari berbagai aspek dan yang terkait dengan aspek visual maupun teknik artistik lainnya serta representasi konsep estetikanya. Dengan menggali dan membuka berbagai kemungkinan mampu memunculkan gagasan, imajinasi dan berbagai pencitraan yang bersifat simbolik dan metaforik dalam kerangka untuk melahirkan jati diri/keunikan. Proses penciptaan karya seni lukis ini difokuskan pada pendekatan hermeneutik yaitu dengan melakukan pengamatan, pencermatan terhadap tanda-tanda, dan menafsirkannya atau menginterpretasi dengan pemaknaan terhadap subyect matter dengan jukstaposisi dan sintesis. Dalam perwujudannya ke dalam karya seni lukis, kajian estetik sebagai suatu pendekatan yang utama berkaitan dengan tujuan penciptaan. Kata-kata kunci: lingga-yoni, manunggal, kala desa, ruang, dan waktu

    Interkultural Seni Lukis Wayang Kamasan

    Get PDF
    Abstrak Modus regresentasi seni lukis wayang Kamasan berubah sejajar dengan transformasi mendalam dari pengetahuan teknis ataupun tearitis, dan sejajar pula dengan perubahan tata nilai masyarakat Desa Kamasan akibat evolusi fisik serta evolusi sistim tata nilai. Nyatanya dalam waktu genap satu abad seni lukis wayang Kamasan yang tadinya etnik, klasik, tradisional, baku, homogen, lokal dan kolektif berubah menjadi seni lukis yang variatif, heterogen, individu, dan internasional dengan sentuhan modern. Disinilah terjadi idiosing cracy (keanehan-keanahan / kebimbangan estetika). Gelombang-gelombang perubahan terjadi dalam rentang waktu lama melalui beberapa tahap, dan paling mencolok terjadi akibat bergulirnya ekonomi serta budaya kapitalistis khususnya pariwisata. Pada waktu prakolonial lukisan merupakan narasi ditaktis berfungsi agama hingga pada waktu modernis nafas komersialisme menjamahnya untuk selalu melakukan inovasi/perubahan. Dari ruang sakral Pura dan Puri bergerak ke benda sovenir, interior hotel, busana bahkan interior dan eksterior mobil. Pengembangan seni lukis Kamasan melalui inovasi tidak diartikan sebagai keterputusan (repture) atau diskontinuitas dari konteks lokal, akan tetapi sebaliknya, menghargai kembali nilai-nilai klasik (pastiche), tidak dengan jalan mengkonservasi¬nya secara kaku, tetapi melakukan proses reinterpretasi (reinterpretation) daa re¬kontekstualisasi (recontextualisation). Pengembangan seni lukis Kamasan untuk menghasillcan keunggulan lokal, telah berjalan dengan berbagai strategi: 1) reinter¬pretasi (reinterpretation) dalam konteks masa kini, 2) pelintasan esterik (tran¬sestheics), 3) dialogisme budaya (cultural dialogism), 4) keterbukaan-kritis (critical openness), 5) diferensiasi pengetahuan lokal (knowledge differentiation), 6) gaya hidup (life style), dan 7) semantika produk (product semantics). Dipihak lain, bila seni lukis Kamasan sebagai budaya lokal tidak melakukan pengembangan diri, maka peluang penciptaan keunggulan lokal itu justru “diambil¬alih” oleh pihak-pihak luar yang berkepentingan, berupa `pencurian' dan `pen¬caplokan' budaya, untuk `dirubah' sesuai dengan ekonomi-kapitalistik global. Seni Lukis wayang kamasan bisa jadi dijadikan sebagai komoditi, yang dikemas dengaa kemasan komoditi tertentu, untuk kemudian dipasarkan di dalam pasar kapitalisme global; Dalam situasi dilematis tersebut, upaya-upaya menciptakan `keunggulan lokal' (local genius) dapat dilihat sebagai sebuah strategi agar tetap survival dengan menciptakan ruang bagi pengembangan `kreativitas lokal' atau `inovasi kultural' dengan sumber-sumber kultural lainnya, di dalam sebuah ajang dialogisme kultural, untuk menghasilkan bentuk atau formasi-formasi yang kaya, berbeda dan beragam. Di dalam jalinan pertukaran tersebut terbentuk sebuah proses timbal balik saling memberi, saling mempengaruhi, sating memperkaya atau saling mendorong ke arah berbagai kemungkinan bentuk, ekspresi atau formasi yang baru tanpa harus mengorbankan nilai niai dasarnya. Kata-kata kunci: Kamasan, recontextualisation dan cultural dialogism

    Jejak Seksualitas dalam Lukisan Dewa Putu Mokoh dan Murniasih

    Get PDF
    Seks sering dianggap sesuatu tabu (pantang) untuk dibicarakan apalagi dikemukakan dalam bentuk karya seni yang dapat dilihat oleh masyarakat luas, lebih-lebih menyoal kelamin oleh sementara kalangan dipandang sebagai prahara melawan moralitas. Banyak kasus karya seni yang mencitrakan seks menuai protes, menyeruak tanpa dasar nalar dan logika apalagi mau mengerti tentang estetika. Dalam konteks konsepsi, wacana-wacana yang menyasar tematika seks khususnya di Bali, berbagai varian ekspresi seksualitas lahir kedalam berbagai seni. Citra seks secara historis sesungguhnya telah berlangsung puluhan tahun dari jaman Megalitikum hingga Quantum. Bukti dari fakta tersebut bisa dipetakan dan dirunut yang jejaknya terlacak dalam berbagai peninggalan arkeologi

    SURAT PENCATATAN CIPTAAN Seni Lukis: "LESTARI BUMIKU"

    Get PDF

    SANUR BASIS PASAR DAN KREATIVITAS SENI LUKIS DI BALI

    Get PDF
    Sejarah perkembangan seni lukis Bali terakhir lebih dikenal terutama lewat perubahan menyolok dari segi ekspresi religius sebelum tahun 1900an ke pengaruh kelompok “Pita Maha” tahun 1930-an sampai 1950-an kemudian muncul beragam gaya ungkap lewat kelompok SDI (Sanggar Dewata Indonesia) tahun 1970-an sampai penampilan mutahir para pelukis muda yang masih duduk di perguruan tinggi yang bersifat fluralitas. Potongan waktu menarik terjadi ketika tahun 1930-an yaitu hadirnya pengaruh dua seniman Eropa yakni Walter Spies dan Rodolf Bonnet beserta Tjokorda Gede Agung Soekawati yang membongkar konsep karya dan fungsi karya religius dan menempatkan karya ke ruang profan dengan bermuara pada perluasan tema pada objek sehari-hari, menyurutkan semangat kolektif menjadi individual serta mengenalkan nilai komersial. Dinamika kebudayaan ini melahirkan lukisan-lukisan gendre yang menunjuk ekstensi seni lukis baru seperti gaya Ubud, Batuan, Young Artist, Keliki, dan yang lainnya. Perkembangna tersebut diikuti dengan lahirnya sejumlah seniman-seniman yang kemudian dikenal sebagai pelukis-pelukis Bali dengan semangat dan pandangan baru seperti: Dewa Putu Bedil, A.A Gede Sobrat, I Gusti Ketut Kobot, Ida Bagus Made Poleng, serta sederetan nama lainya yang berasal dari daerah Ubud. Begitu populernya daerah Ubud, Batuan, dan Kamasan sebagai kantong seni lukis di Bali sehingga daerah Sanur yang memiliki sejarah pasar cukup panjang dengan melahirkan gaya mengagumkan luput akan publikasi. Perhatian tentang seni lukis di Sanur terlalu kurang dan hampir tidak ada analisa tentang infrastruktur dan suprastruktur, demokrasi ideologi dan psikologi. Hal itu tercermin dari tulisan Rodolf Bonnet pada tahun 1936 tentang kesenian visual dari Kabupaten Gianyar ditegaskan bahwa hanya di daerah ini dihasilkan senian berharga. Meski Rodolf Bonnet tidak mengatakan sesuatupun tentang partisipasinya sendiri. Ia menggambarkan peranan organisasi-organisasi kolonial terutama Museum Bali sebagai sesuatu yang sangat penting baik dalam pemasaran maupun pengawasan kualitas. Uraian-uraian yang mendokumentasikan perubahan media baru untuk seni lukis juga hanya menyoroti daerah Ubud. Semua itu disebabkan peran Tjokorda Agung Soekowati sebagai publik relation karena posisinya sebagai penyokong berbagai kalangan intelektual Eropa, para seniman, dan antropologi. Dia melakukan segala yang dapat dilakukannya untuk menarik minat jangka panjang kalangan terpelajar kepada kultur dan kesenian Bali. Citra tentang Bali era tahun 1930-an memang sangat banyak terbentuk berdasarkan kultur wilayah Gianyar dengan bantuan Walter Spies dan kemudian Rudolf Bonnet di mana Ubud digambarkan sebagai pusat kesenian Bali yang baru saja ditransformasikan. Sesuai dengan judul pokok pembahasan yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah “Sanur Sebagai Pusat Pasar Seni Lukis dan Proses Kreativitas di Bali”. Sebagai pasar, jelas tidak terpisahkan dari keberadaan Pelabuhan Sanur yang sengaja dirancang untuk tempat pariwisata oleh imperium Belanda tahun 1920-an, kemudian tumbuh galeri-galeri seni lukis yang diawali oleh dibukanya Toko Neuhaus bersaudara sebagai institusi institusi dengan ruang gerak pada aktivitas jual-beli serta menjadi motivator lahirnya Sanur School of Art. Toko Neuhaus dan galeri-galeri sudah menjalin komunikasi dan persahabatan yang intim dengan para pelukis yang memberikan kontribusi pada perkembangan seni lukis sehingga tumbuh seniman-seniman dengan kebesaran karyanya yang memiliki kekhasan seni lukis gaya Sanur

    Dialog Ruang Merah

    Get PDF

    Intercultural Balinese Painting from the Classic to the Modern

    Get PDF
    This article examines the representation mode painting like a change parallel to the profound transformation of the technical or theoretical knowledge, and also parallel to changes in the Balinese society values due to the physical evolution and the evolution of the system of values. In fact, within one century of painting it has been like moving from the classical, traditional, standard, homogeneous, local, and collectively turned into a painting that has been varied, heterogeneous, individual, and internationally with a modern twist. These waves of change occurred in the span of time through several stages, and most striking result from cash capitalistic economy and culture, especially tourism. In pre-colonial time the painting is a narrative religious functions until the time of breath commercialism modernist touches to always make innovations or changes. From the sacred space of temples and palaces to moving objects souvenirs, hotel interiors, fashion and even interior and exterior car. Developments of painting through innovation should not be interpreted as a discontinuity (rapture) or discontinuity of the local context, but on the contrary, to appreciate again the classical values (pastiche), not by road of preserving it rigidly, but the process of reinterpretation and re-contextualization. Keywords: Intercultural, reinterpretation and recontextualisatio
    • …
    corecore