4 research outputs found
LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT WORKSHOP PEMBUATAN TAPESTRI DI YAYASAN BUNGA BALI, DENPASAR, BALI
Implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi yang wajib dilakukan oleh setiap
dosen perguruan tinggi sebagai tenaga pendidik, salah satunya adalah
kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM). Hal ini sesuai dengan
peraturan pemerintah no 37 tahun 2009 tentang beban kerja dosen, maka
pengabdian kepada masyarakat wajib dilakukan. Kegiatan pengabdian dapat
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan atau melalui
lembaga lain. Berkaitan dengan kewajiban tersebut, maka seluruh dosen
Program Studi Kriya dan Program Studi Desain Produk FSRD ISI Denpasar
melaksanakn kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan di
Yayasan Bunga Bali – Denpasar, sesuai dengan Surat Tugas yang diberikan
oleh Dekan FSRD ISI Denpasar dengan isian bahwa kegiatan pengabdian
kepada masyarakat ini diberikan izin dan siap disambut dengan baik dari
pihak Fakultas dan Yayasan. Pada pelaksanaannya dikemas dalam bentuk
workshop merajut benang menjadi bentuk-bentuk Tapestri. Pengabdian ini
merupakan salah satu bentuk partisipasi dalam mengembangkan bakat dan
keterampilan para penyandang disabilitas di Yayasan Bunga Bali Denpasar di
bidang tekstil (menganyam), dengan harapan keahlian yang diajarkan dapat
dimanfaatkan oleh mereka sebagai bekal dalam mengarungi gelombang
kehidupan. Selain itu dengan penguasaan keterampilan yang telah dipelajari,
akan bisa memberikan harapan kepada mereka untuk dapat hidup secara
mandir
Visualisasi Rwa Bhineda Dalam Karya Fotografi Ekspresi
Berawal dari rasa penasaran yang hadir ketika teman dari agama lain menanyakan maksud dan tujuan pemasangan kain hitam putih (poleng) pada pohon, pencipta kemudian tertarik untuk menelusuri lebih dalam akan makna yang terkandung dalam kain poleng yang menyimbolkan Rwa Bhineda. Rwa Bhineda terdiri dari dua kata yaitu Rwa dan Bhineda. Rwa berarti dua sedangkan Bhineda berarti berbeda. Rwa Bhineda adalah sebuah konsep perbedaan yang diciptakan Hyang Widi Wasa untuk menciptakan keharmonisan dan keseimbangan alam semesta. Hal inilah yang memunculkan ide untuk menciptakan karya fotografi ekspresi. Proses penulisan skrip diawali dengan observasi, wawancara, pengumpulan data, dan studi pustaka. Dilanjutkan pembuatan karya fotografi melalui tahap intuisi, membuat sketsa kasar diatas kertas sesuai dengan tema dan konsep, serta menentukan simbol dan ikon yang tepat. Kemudian tahapan pemotretan elemen foto yang diperlukan dengan kamera Canon EOS 600D dan tahap editing dengan teknik penggabungan gambar (Montage) menggunakan software Adobe Photoshop CS6 hingga didapatkan karya surealis. Dalam setiap proses berkarya, pencipta menerapkan aspek visual meliputi garis, bidang, tekstur, cahaya, kontras dan pusat perhatian. Kemudian perorganisasian unsur-unsur fotografi diantaranya komposisi, keseimbangan, dan warna disusun sedemikian rupa untuk mewujudkan kesungguhan, kerumitan, dan kesatuan dalam mewujudkan karya “Visualisasi Rwa Bhineda” kedalam fotografi ekspresi dengan aliran surealis yang merupakan bagian dari kampanye tentang pentingnya sebuah perbedaan.
Kata-kata Kunci : Visualisasi, Rwa Bhineda, Ekspresi
LOKALITAS DALAM SENI GLOBAL TAHUN 2013
Globalisasi yang sedang diwacanakan ternyata melampaui batas-batas kata world. Globalisasi mengisyaratkan mengenai poin-poin lokal seni budaya yang tersebar di manapun dapat disebut aktivitas global. Jim Supangkat memberikan pandangannya mengenai global art bahwa upaya mengidentifikasi global contemporary art yang justru mempertanyakan tanda-tanda keseragaman. Sejarawan terkemuka Hans Belting memulainya dengan melihat global contemporary art sebagai “global art” yang harus dibedakan dari world art. Bagi Hans Belting, pengertian world art mencerminkan pemahaman modernisme yang hegemonik(1). Jadi secara struktur world art masih sebatas klaim bahwa pandangan dunia Barat merupakan pandangan yang mampu diaplikasikan ditiap pelosok kebudayaan dunia, padahal jika dibaca secara teliti hal ini sebatas hegemoni dari moderisme dengan jargon world art.
Global art menurut Hans Belting sama sekali bukan tanda-tanda munculnya kenyataan yang diprediksi universalisme. Global Art muncul karena sebab sebab ekonomi. Perkembangannya di art market tidak peduli pada keseragaman pada universalisme. Bisnis membuat global contemporary art memedulikan kekuatan lokal demi kepentingan bisnis(2). Global art mampu merangkul tiap-tiap aspek lokal yang walaupun ada sebuah kepentingan namun keberpihakannya mengankat nilai- nilai lokal didalam percaturan medan sosial seni sudah selayaknya diapresiasi. Tidak ada batas antara Timur dan Barat, semua kebudayaan itu bersifat global.
perlu juga diuraian mengenai batas-batas istilah “lokal” serta “global art” dalam kesempatan ini karena sering terjadi pemaknaan yang bias. Istilah “lokal” didalam seminar yang bertajuk “Lokalitas dalam Global Art” berada pada wilayah artefak-artefak kebudayaan lokal yang terdapat di Bali khususnya, ikon-ikon lokal yang mencirikan lokal jeniusnya. Sedangkan Global art berkutat kepada wacana seni yang diangkat dengan kekuatan lokal serta mampu diwacanakan diseluruh penjuru atau pelosok dunia.
Note:
(1) Lihat “Contemporaneity”: Biennale Indonesia Awards
2010. Pewacanaan Contemporaneity oleh Jim
Supangkat. (
2) Ibid
LOKALITAS DALAM SENI GLOBAL
Globalisasi yang sedang diwacanakan ternyata melampaui batas-batas kata world. Globalisasi mengisyaratkan mengenai poin-poin lokal seni budaya yang tersebar dimanapun dapat disebut aktivitas global. Jim Supangkat memberikan pandangannya mengenai global art bahwa upaya mengidentifikasi global cobtemporary art yang justru mempertanyakan tanda-tanda keseragaman. Sejarawan terkemuka Hans Belting memulainya dengan melihat global contemporary art sebagai "global art" yang harus dibedakan dari word art.
Di Dalam ranah seni pertunjukan, Etnomusikologi itu sebuah eklitisme, tidak sekedar ilmu mencari musik disana sini, menyelidiki, mengkaji, bermain musik, namun Etnomusikologi itu lahir dari perlawanan para lokalitas pencinta musik - musik tradisional terhadap superior komunitas musik barat yang selalu menganggap diri paling hebat dan paling bermutu. Di sini para Etnomusikologi berjuang mengangkat citra lokal. Dari ranah visual art atau seni rupa dan desain dewasa ini terhembus wacana seni rupa mengenai Global Art yang kembali melirik dan menghadirkan ikon atau unsur lokal kemudian divisualkan secara kreatif dengan ide-ide "gila", sehingga disetiap karya-karya akan hadir atmosfer lokal bernuansa baru yang mampu eksis di dalam ranah medan sosial seni rupa dunia