25 research outputs found
WAYANG KULIT BALI BERTAHAN DALAM TRADISI, BERGERAK MENGHADAPI GLOBALISASI
The bigger interest to create new idea in puppet performance, so more bigger also the puppet artist to take offence at many kind of aspect to considerred the beauty and logic. The idea which direct to all kind of beauty aspect, mean while has been restructure in the performance, while from the logic aspect willpersonalize through the preferenceinclude every social aspect to perform on the screen. The Founding puppet tale with the proletariatness themes give a big challenges to open actual fact which is happening right now and will happens in the socienty as the globalitation consequences. The power on the puppet art, has given historical value and as the source in art creation to increase as culture wealh to manners the society life. The development of the puppet’s art wishes to give direction because it has orientation direction because it has orientation in culture which is alive and could be a new souce in art work enrichment
TRADISI DAN INOVASI WAYANG UKUR KARYA SUKASMAN: SEBUAH KAJIAN DARI ASPEK BENTUK DAN PENYAJIANNYA
This paper tries to give a brief account on Sukasman’s new-created Wayang Ukur. Sukasman modifies Javanese Wayang Kulit Figures by changing the measurement of their original height and length of their shoulders, so that they look more realistic. These new created wayang figures with their characteristic ornaments and then combined with their characteristic presentation make sukasman get both positive and negative comments from wayang lovers; some support his experiment creativity, while others refuse it as it is considered to destroy the already well-estabilished form.
Wayang Ukur as a product of art creativity has two basic entity; its unqueness an its characteristics. The uniqueness of this creativity due to its creativity form that tends to produce the state of renaissance, originality and creativity. Its characteristic reflects the choreographer’s ambition to get something new by combining various aspects of ar
LAKON BIMA SWARGA: SEBUAH KAJIAN TEKS DAN KONTEKS
Abstract: This research analyses the manuscript of Bima Swarga and its context based on two versions : a published transcription of lontar (palm-leaf) Bima Swarga number 318,posses by Department of Literature, Udayana University, and transcription of lontar (palm -leaf) Bima Swarga number III/b.375/17, Gedong Kirtya’s Collection, published by the office of Bali Cultural Council.There are similarities and differences between the two manuscripts. Seen from poetic perspective, both manuscripts bserve pupuh poetry, describing story of Bima goes to hell to rescue the souls of his father, Pandu , and his step mother , Madri , being tortured by the god of hell. Finally, both of these Pandawa’s parent achieve ultimate freedom, heaven. The difference between those two manuscripts is that the manuscripts number 318 use two poetries: Puh Adri and Puh Pucung. It consists of 328 cantos, while the manuscripts number III/b.375/17 only employees one poetry, pupuh Adri, consisting of 157 cantos. From the literary perspective, text of Bima Swarga constitutes poetic work that illustrates or imitates the situation (mimetik). Its describes people behavior that believes in morality as a cogent guidance ( panca srada) . The heave and hell reflex the idea of goodness and badness as a super objective in socio- cultural context(pragmatik). The text of Bima Swarga fearture Bima as the leading character (sentral pigur) because his role is very important in the entire story. Bima represents an honest character, stait forward, plain,un- fastidious, resilience, tireless, spontaneous, and never avoid challenges so that he deserves many title of highest appreciations as a perfect hero
PAKELIRAN LAYAR LEBAR KREATIVITAS WAYANG BERBASIS LOKAL BERWAWASAN GLOBAL*
Pakeliran layar lebar sebagai karya inofatif adalah sebuah proses kreatif, karenanya seniman (
dalang ) terdorong untuk menangkap respons – respons kreatif melalui pengalaman – pengalaman
yang dapat memperkuat kreativitas antara lain, pengalaman eksploratif, improfisasif, serta forming/
pembentuk atau komposisi. Layar lebar membuktikan sinerginya budaya local/tradisi dan modern,
walaupun keduanya masih saling tumpang tindih oleh karena masih berupa proses adaftif. Tidak saja
dalam hal fisikal, juga wacana – wacana sebagai aspek isi yang bermuatan lokal (satyam,
siwam,sundaram) ditransformasikan kedalam menjadi nilai estetika, etika, dan logika dengan
mencermati fonema – fonema kekinian. Bila dicermati secara mendalam tentang aspek – aspek yang
dimiliki oleh wayang sebagai sebuah wujud seni tradisi, ia mempunyai kekuatan spiritual (mental)
maupun material (fisikal) yang merupakan kaidah – kaidah universal yang berlaku disemua bentuk
ekspresi seni pertunjukan
MENGUAK NILAI-NILAI ESTETIS TARI BARIS
The movement of Baris dance is structurally neat and complex. From its well organized appearance that consists of strong and vigorous movements, quick tempo, firm and heroic atmosphere, and glittering costumes suggest a certain quality, content, and purpose. The performance emotionally creates a tense atmosphere with an impressive and gorgeous action and pride with its heroic central theme. As an art from, the Baris dance is featured through a careful organization of various elements. Those featured components stimulate and direct audience’s attention toward achievement of a more powerful spirit, which decides the intensity of the performance. Balance has an essential role in the implementation of the movements. With an unsymmetrical balance of the body movement and a heroic facial expression, Baris dance may suggest a dynamic balance.
The philosophical aspect and aesthetic values of Baris dance are recognize through its function as a ritual dance, due to its devotional aspect to God, which calms and solaces the surrounding community. From the concept of trimandala (three realm), where the dance is typically performed, Baris dance may belong to wali ritual of the inner temple courtyard. When it functions as bebali ceremonial dance, the dance would accompany a ceremony, which takes place in the second courtyard of a temple. When it functions as balih-balihan secular dance, the dance is performed in the outer courtyard of a temple as an entertainment
“DHARMANING KSATRIA” KARYA PAKELIRAN INOVATIF JURUSAN PEDALANGAN PADA FKI IV 2005, DI BANDUNG
Perkembangan pertunjukan wayang pada hakekatnya meliputi tiga komponen yaitu, konsep estetis, teknik kesenian, dan kelompok sosial yang merupakan wadah dimana seni pertunjukan wayang berada ( Soetarno, 1992:2). Konsep estetis adalah nilai-nilai keindahan yang menjadi dasar dari suatu ekspresi pertunjukan wayang, serta yang dianut oleh bersama oleh para dalang maupun anggota masyarakat pendukung pewayangan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa nilai-nilai estetis dalam pakeliran sangat terpelihara dan dihormati serta diterima oleh para dalang dan para pengamat atau pendukung pakeliran wayang. Kedua, bahwa perkembangan dunia pewayangan dlam kondisi masyrakat yang bersifat kota yamg akan menuju ke masyarakat industri diperlukan teknik berkesenian yang tinggi, atau yang rumit/canggih (sophisticated), artinya teknik kesenian yang tidak membodohkan masyarakat bangsa. Misalnya mulai dari pemilihan tema lakon, penggarapan detail jalaannya cerita, garapan isi, iringan pakeliran, tetikesan/sabet dan sebagainya. Teknik yang maju tentu akan memerlukan pemikiran yang matang, fantasi yang hidup, perasaan yang kaya dan intuisi yang tajam. Ketiga, adalah golongan sosial yang menjadi pendukung kehidupan pewayangan. Suatu kesenian sebagai pranata sosial tidak hidup di awang-awang tetapi ada golongan yang menjadi pendukung, pembina, dan penggerak sekaligus sebagai konsumen (ibid,4-9)
ASTADASAPARWA DAN KAKAWIN BHARATAYUDDHA : SEBAGAI SUMBER LAKON WAYANG KULIT PURWA DI BALI
Astadasaparwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos Mahabharata dalam bahasa Sanskerta, kemudian dibahasa-jawakan dalam bentuk puisi (kakawin) menjadi Bharatayuddha oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, dua orang pujangga yang hidup pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh pada abad ke-10. Kalau diamati, hasil karya sastra Jawa Kuna baik yang berbentuk parwa maupun yang berbentuk kakawin jelaslah merupakan hasil karya sastra yang diilhami oleh ajaran agama Hindu.
Tak bisa dipungkiri lagi bahwa kesenian wayang, khususnya wayang kulit parwa yang paling mutlak menjadikan teks Astadasaparwa dan Kakawin Bharatayuddha sebagai sumber lakon atau lampahannya, makanya dalam tradisi pewayangan teks ini sering disebut sebagai lakon/lampahan pakem (baku/pokok). Bahkan ada sebuah tradisi bagus dalam proses pembelajaran atau mulai menekuni pakeliran pada salah satu desa di Sukawati, Gianyar, yakni setiap dalam pemula diharuskan menguasai wayang kulit parwa dengan ceritera-ceritera sumber (lakon baku) seperti yang ada pada teks Astadasaparwa dan kakawin Bharatayuddha
EKSISTENSI DALANG WANITA DI BALI: KENDALA DAN PROSPEKNYA
Eksistensi dalang wanita di bali terbilang langka,karena sampai saat ini dalang wanita bisa dihitung dengan jari.seorng wanita menjadi dalang akan dihadapkan oleh beberapa hambatan seperti:fisik/biologis,teknis,etika,keluarga/lingkungan,kesucian wayang.
Semakin besar peran dan keterlibatanya di dalam tradisi berkesenian,baik dalam seni sakral maupun seni hiburan,wanita bali akan terus berusaha untuk bisa dapat disebut sebagai”luh luwih”(wanita yang utama)dan bagi mereka ada semacam fobia kalau wanita tidak memeiliki skill(ketrampilan) akan di cap sebagai “luh luhu”(wanita sampah).
Wanita memiliki kedudukan yang cukup sentral dalam masyarakat dan kebudayaan bali.kebudayaan bali adalah kebudayaan yang di pengaruhi serta dijiwai oleh agama hindu.sistem nilai agama hindu memang menempatkan wanita sebagai makhluk yang terhormat.wanita di anggap memiliki kekuatan yang sangat besar yang dapat menciftakan kehindahan.
Menyoroti tentang citra wanita bali atas keterlibatan dan peranya dalam tradisi berkesenian,terutama kancah seni pertunjukan khususnya seni perdalanagan.
Maria Ulfah Subadio dan T.Ihromi mengatakan bahwa,fakta-fakta yang terlihat di seluruh dunia memang menunjukkan adanaya perbedaan besar diantara wanita dan pria.para penganut paham lingkungan berpendapat bahwa perbedaan yang disebabkan oleh factor fisik atau biologis tidaklah berpengaruh besar untuk membedakan pria dan wanita.secara fisik wanita terlalu lemah melakukan aktivitas ngwayang yang banyak menguras tenaga dan pikiran.secara teknis wanita juga lemah memainkan boneka-boneka wayang di antara kedua tanganya sekaligus memukul cepala dengan jari kaki yang terjepit ke kropak/kotak wayang.
Aktivitas kaum hawa dalam berkesenian di bali cukup tinggi dan mempunyai prospek yang cukup baik.terlebih wanita menjadi dalang,tentu merupakan langkah maju dalam mengagkat harkat dan martabat sebagai”wanita yang wanita”.di bidang ekonomi hamper sebagian besar wanita bali adalah waniat pekerja di berbagai bidang kehidupan
SIMBOLISME KEKAYONA WAYANG KULIT BALI
A. Pendahuluan
Bentuk bangun wayang kulit yang kita warisi sampai sekarang ini adalah buatan atau ciptaan para leluhur kita yang mengandung cerminan falsafah hidup dan kehidupan. Ciri-ciri khas yang terkandung di dalamnya, selaras dengan hukum kodrat alam yang berlangsung dalam segala waktu, ruang dan peristiwa, karenanya wayang selalu mengikat bathin manusia (Sugriwa, 1963:12). Nenek moyang bangsa indonesia, bebrapa ratus tahun sebelum masehi telah mengenal wayang,yaitu suatu bentuk pentas sebagai sarana keagamaan yang bersifat ritual dengan menggunakan bayangan-beyangan (wayang) dalm membawakan acaranya. Sedangkan bangsa hindu menemukan wayang sebagai suatu wadah untuk membawakan cerita Mahabrata dan Ramayana dalam menyebarkan agamanya. Kemudian terjadilah suatu perpaduan yang amat serasi antara kedua kebudayaan yang berasal dari hindu dan yang asli dari indonesia, sehingga sampai dewasa ini wayang cerita dari Hindu (Mahabrata dan Ramayana) sanggup menyesuaikan diri dengan perkembangan sejarah bangsa indonesia.
Wayang sangat kuat pribadinya, sehingga tidak sedikit yang memberikan inspirasi atau penghayatan lain bagi para penggemarnya. Bagi mereka yang ingin mengenalnya dan sempat mengikuti lakon-lakon yang di pergelarkan oleh ki dalang, akan terpesona oleh bentuk-bentuk serta macam ragam dan gaya di mana wayang tersebut muncul dan tumbuh kemudian berkembang, antara lain: Wayang kulit gaya surakarta,gaya Yogyakarta ,gaya Jawa Timuran, gaya Banyumasan,gaya Cirebon,gaya sunda dan kemudian wayang kulit gaya lombok dan bali. Yang terakhir ini kalau di lihat dari segi bentuknya (prototipe) lebih tua usianya dari pada wayang kulit purwa jawa (Mangkunagoro VII, 1957:7; Claire Holt: 1967:135;Haryanto,1988:1). Salah satu figur wayang yang sangat penting dan menonjol dalam pertunjukan wayng kulit adalah sebuah wayang yang menyerupai gambar pohon yang di namakan kekayonan. Figur kekayonan hampir terdapat pada semua jenis wayang kulit dengan berbagai bentuk dan motif lukisan/tatahannya
PERKEMBANGAN DAN MASA DEPAN SENI PEDALANGAN/PEWAYANGAN BALI
Perpektif sejarah kebudayaan bali adalah kebudayaan integratif. Sejak abad I Masehi, pola komunitas telah berlangsung di awali dengan masuknya agama hindu, kemudian agama Budha pada abad VI. Komunikasi dengan dua agama besar ini sebagian ada yang di bawa langsung oleh para penyebar agama dari negeri asalnya seperti India dan China, tetapi banyak juga yang di bawa oleh para penyebar dari pulau jawa khususnya jawa timur. Komunitas tersebut kini telah mewujudkan satu integrasi yang tak terpisahkan dan yang menonjol antara lain agama, seni budaya, dan solidaritas (rasa kebersamaan, kooperatif) (Mantra 1989: 3-4)
Keberadaan seni budaya,khususnya seni pewayangan yang berkembang di bali masih merupakan persoalan sampai saat ini. Sulit di tentukan dengan pasti kapan adanya wayang di bali,termasuk juga bagai mana bentuk pertunjukannya yang mula-mula, kemudian bagaimana proses perkembangan yang di alaminya sehingga terujut seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini. Hipotesis yang mengatakan bahwa fungsi wayang yang mula-mula adalah sebagai pemujaan roh suci leluhur (Brandon, 1967:42-43,soedar, 1978:80;muliono, 1978; 42-43), ini dapat di terima.hal terseut bukan hanya berlaku untuk di jwa saja, melainkan untuk juga daerah-daerah lainnya di nusantara ini yang mengenal wayang penggunaan seorang medium(syaman)seperti balian ,sadag ,pemangku ,(mangku) dalang, pedanda dan lain-lainnya, dalam usaha masyarakat bali mengadakan kontak atau dialog dengan kekuatan supernatural, masih dapat kita buktikan sampai sekarang