13 research outputs found
Hubungan Kadar 25-Hidroksi-Vitamin D terhadap Carotid Intima-Media Thickness (CIMT) dan Flow-Mediated Dilation (FMD) sebagai Parameter Aterosklerosis Subklinis pada Anak Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 (DMT1) merupakan penyakit kronis yang ditandai
oleh defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas
yang dimediasi oleh sel T. Banyak kemajuan terapi DMT1 yang telah dicapai
tetapi angka komplikasi penyakit ini baik mikrovaskular maupun makrovaskular
masih tinggi. Komplikasi makrovaskular berhubungan dengan penyakit
kardiovaskular dengan angka kejadian sebesar 69% pada pasien DMT1,
walaupun keadaan ini juga dipengaruhi oleh faktor hiperglikemia, hipertensi, low
density lipoprotein (LDL) dan triglyceride (TG) yang tinggi, peningkatan body
mass index (BMI) dan status proinflamasi. Vitamin D merupakan merupakan
salah satu faktor penting dalam proses inflamasi kronis yang mempengaruhi
destruksi sel beta pankreas pada DMT1. Selain itu defisiensi vitamin D juga
memicu terbentuk radikal bebas dalam bentuk reactive oxygen species (ROS).
Destruksi sel beta pankreas akan menyebabkan insufisiensi insulin sehingga
terjadi lipolisis dan sekresi lipoprotein aterogenik selain juga dipicu oleh ROS.
Inflamasi kronis karena defisiensi vitamin D juga merangsang peningkatan sitokin
inflamasi proaterogenik dan memicu terjadinya disfungsi endotel dan
peningkatan nitric oxide (NO). Proses inilah yang memicu agregasi dan adhesi
trombosit, proliferasi otot polos dan peningkatan matriks ekstraseluler sehingga
terjadi aterosklerosis. Aterosklerosis subklinis dimulai sejak masa anak-anak
ditandai dengan penebalan intima media pembuluh darah yang dapat dideteksi
secara dini dengan pemeriksaan carotid intima media thickness (CIMT) dan
disfungsi endotel pembuluh darah yang dapat dideteksi dengan flow mediated
dilation (FMD).
Penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain cross sectional
dan melibatkan 40 subjek DMT1 dan 40 kontrol sehat. Kriteria inklusi untuk
subjek DMT1 meliputi: didiagnosis DMT1, usia antara 10-18 tahun, orang tua
pasien mengijinkan anaknya (informed consent). Kriteria eksklusi kelompok
DMT1 yaitu infeksi lokal atau sistemik, gangguan hati dan ginjal, konsumsi
vitamin D minimal selama 3 minggu. Sedangkan kriteria inklusi kelompok kontrol
adalah tidak menderita diabetes, usia 10-18 tahun, diijinkan oleh orang tua
(informed consent). Kriteria eksklusi kelompok kontrol yaitu infeksi lokal atau
sistemik, gangguan hati dan ginjal, konsumsi vitamin D minimal selama 3 minggu
dan adanya sindrom metabolik. Kadar vitamin D diukur dengan metode ELISA
(ng/ml), CIMT diukur dengan duplex ultrasonography (DUS) pada arteri karotis di
bagian arteri karotis komunis, arteri bulbus karotis dan arteri karotis interna (mm)
sedangkan FMD juga diukur dengan duplex ultrasonography (DUS) pada arteri
brakialis (%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin D (25(OH)D) pada
kelompok DMT1 lebih tinggi tidak bermakna dibandingkan dengan kelompok
kontrol (Mann Whitney test, p > 0.05). Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa
hasil CIMT pada kelompok DMT1 secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol (Mann Whitney test, p < 0.05) walaupun hasil FMD
pada kelompok DMT1 lebih rendah tetapi tidak bermakna dibandingkan dengan
kelompok kontrol (Mann Whitney test, p > 0.05). Uji korelasi pada kelompok
DMT1 menunjukkan bahwa penurunan kadar 25(OH)D tidak berhubungan
bermakna dengan peningkatan hasil CIMT (p > 0.05) sedangkan penurunan
kadar 25(OH)D juga tidak berhubungan secara bermakna dengan penurunan
persentase FMD.
Kami menyimpulkan bahwa hasil CIMT pada DMT1 secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol tetapi tidak berhubungan
bermakna dengan rendahnya kadar vitamin D sedangkan hasil FMD pada DMT1
lebih rendah dibanding dengan kelompok kontrol tetapi secara statiskik tidak
bermakna dan tidak berhubungan dengan rendahnya kadar vitamin D
Peran Interferon Gamma Induced Protein-10 (IP-10) Dalam Diagnosis Tuberkulosis Aktif Pada Anak,
Latar Belakang dan Tujuan: Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan yang penting di dunia. Salah satu permasalahan TB anak di
Indonesia adalah penegakan diagnosis. Saat ini sebagian besar diagnosis
tuberkulosis anak berdasarkan sistem skoring. Setelah itu dilengkapi dengan
pemeriksaan penunjang lainnya, seperti sputum (Bakteri Tahan Asam (BTA).
Dalam patogenesis TB aktif banyak senyawa kimia dan molekul biologis yang
berperan dalam inflamasi sebagai respon terhadap M. tuberculosis yang
bereplikasi, salah satunya adalah Interferon Gamma Induced Protein-10 (IP-10).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa IP-10 memiliki potensi sebagai penanda
biologis infeksi tuberculosis pada dewasa. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis kemampuan IP-10 sebagai penanda biologis untuk diagnosis TB
pada anak. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan rancangan studi diagnostik.
Subjek penelitian adalah pasien anak usia ≤ 18 tahun dengan dugaan TB dan
belum pernah menjalani pengobatan TB yang diperiksa di RSUD Saiful Anwar
Malang serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel yang dihitung
berdasarkan simple random sampling adalah 30 subjek dan diambil darahnya
untuk diperiksa kadar IP-10 menggunakan metode ELISA. Penelitian telah
disetujui oleh komite etik rumah sakit. Data dikelompokkan menjadi 3 variabel yaitu
status TB, lokasi TB, dan gen ekspert yang masing-masing mempunyai sub-grup
(TB dan non-TB; TB paru dan Tb ekstra paru; gen ekspert positif dan negative).
Masing-masing kelompok dilakukan uji statistik yaitu uji normalitas, uji perbedaan
kadar IP-10, uji homogenitas, dan uji korelasi setelah itu dilakukan uji diagnostik.
Uji statistic dianggap bermakna jika p value < 0,05. Uji diagnostik menggunakan
dua metode yaitu metode tabel 2x2 dan ROC. Semua analisis data dilakukan
menggunakan software SPSS versi 22.
Hasil Penelitian: dari 30 subjek penelitian didapatkan 21 subjek didiagnosis TB
dan 9 subjek non-TB; 16 subjek TB paru aktif dan 5 TB ekstra paru; 1 gen ekspert
positif dan 29 gen ekspert negative. Rata-rata kadar IP-10 pada studi ini adalah
193,6 pg/ml. Uji T independent variabel status TB didapatkan perbedaan kadar IP-
10 signifikan antar sub-grup (TB vs non-TB). Uji beda pada variabel lokasi TB dan
gen ekspert tidak signifikan. Uji korelasi spearman variabel status TB menunjukkan
adanya korelasi positif IP-10 dengan TB dengan koefisien korelasi (R) 0,63 dan P
value 0,00. Uji diagnostic dengan metode tabel 2x2 menghasilkan sensitifitas dan
spesifisitas 86% dan 77% dengan cut-off 237 pg/ml. uji diagnostic dengan metode
ROC menghasilkan AUC sebesar 89,9% dengan sensitivitas dan spesifisitas 95%
dan 73% dengan cut-off 59,34 pg/ml.
Kesimpulan: Ada perbedaan kadar IP-10 yang signifikan antara kelompok TB dan
non-TB. Ada korelasi positif kuat antara IP-10 dan TB. Cut-off 59,34 pg/ml pada
studi ini menghasilkan sensistifitas dan spesifisitas 95% dan 73% dengan AUC
89,9% yang cukup baik untuk sebuah alat diagnostik
Pengaruh Pemberian Terapi Steroid Terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Nefritis Lupus Anak
Nefritis lupus merupakan manifestasi dari penyakit autoimun lupus
eritematosus sistemik tersering yang terjadi pada organ ginjal. Nefritis lupus dapat
terjadi akibat inflamasi dan deposit kompleks imun pada ginjal. Tatalaksana yang
diperlukan pada nefritis lupus befungsi sebagai anti inflamasi. Pilihan anti inflamasi
yang digunakan pada pasien nefritis lupus adalah penggunaan terapi steroid.
Namun pada penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa penggunaan terapi
steroid dengan durasi lama dan dosis yang tinggi dapat menyebabkan penurunan
nilai densitas massa tulang sehingga berakibat osteoporosis. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian terapi steroid terhadap
kejadian osteoporosis pada pasien nefritis lupus anak. Penelitian ini merupakan
penelitian observasional dengan pendekatan metode cross-sectional terhadap 19
pasien nefritis lupus anak yang dirawat di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang yang
telah didapat melalui purposive sampling. Data sampel dianalisis menggunakan
dua metode yakni Fisher’s exact test untuk pengaruh durasi terhadap osteoporosis
dan uji Spearman untuk pengaruh dosis kumulatif terhadap osteoporosis. Hasil
analisis data pada penelitian ini didapatkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang
signifikan antara durasi terapi steroid terhadap osteoporosis pada nefritis lupus
anak (p = 0,677) dan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara dosis
kumulatif terhadap osteoporosis pada nefritis lupus (p= 0,797). Dari hasil analisis
penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang
signifikan antara pemberian terapi steroid dengan terjadinya osteoporosis pada
nefritis lupus anak baik ditinjau dari durasi dan dosis kumulatif terapi steroid
Hubungan Pemakaian Steroid dengan Status Pubertas pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) Anak.
Lupus eritematosus sistemik (LES) dapat bermanifestasi dalam berbagai sistem organ dan dapat juga terjadi pada anak-anak. Pengobatan untuk LES dilakukan salah satunya dengan pemberian steroid dalam bentuk glukokortikoid yang memiliki berbagai efek samping yang dalam penggunaan jangka panjang salah satunya adalah penekanan rilis pituitari yang berefek pada penekanan hormon-hormon penting yang berperan pada perkembangan anak terutama status pubertas. Tujuan dilakukannya studi ini untuk mengetahui hubungan antara penggunaan steroid dengan status pubertas pada pasien LES anak. Model penelitian ini adalah model cross-sectional dengan 28 subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi. Variabel terikat yang dianalisis adalah status pubertas dan variabel bebas adalah durasi dalam bulan dan dosis steroid (mg/KgBB). Uji statistik dilakukan dengan uji komparasi (uji Mann Whitney dan uji Chi square), uji korelasi (uji Spearman Rank), serta uji regresi logistik biner. Hasil analisis didapatkan tidak terdapat nilai yang signifikan pada seluruh uji (p value > 0,05). Kesimpulan yang dicapai dalam studi ini adalah tidak ada perbedaan, hubungan, maupun pengaruh yang signifikan antara penggunaan steroid terhadap status pubertas pada pasien LES ana
Hubungan Penggunaan Steroid Inhalasi dengan Tinggi Badan pada Pasien Anak Asma Kronis
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernafasan dengan gejala sesak nafas, mengi, dan batuk. Tujuan tatalaksana asma untuk mengontrol frekuensi eksaserbasi asma agar tumbuh kembang anak sesuai dengan potensinya. Steroid inhalasi merupakan obat anti-inflamasi dengan mekanisme hambatan sintesis sitokin pro-inflamasi seperti IL-4, IL-9, IL-13, dan IL-17 yang berperan dalam patogenesis asma. Efek samping steroid inhalasi terhadap tinggi badan anak dapat timbul pada pemberian dosis tinggi dan dalam durasi yang lama. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan pemberian steroid inhalasi dengan pertumbuhan tinggi badan anak dengan asma. Penelitian bersifat observasional analitik menggunakan metode cross sectional. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan antara dosis harian dengan pertambahan tinggi badan anak kelompok usia 5-10 tahun (p = 0.005 0.05). Hasil analisis terhadap total durasi menunjukkan terdapat hubungan dengan pertambahan tinggi badan pada kedua kelompok usia (5-10 tahun, p = 0.035 < 0.05 ; 10-18 tahun, p = 0.001 < 0.05). Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan total durasi simultan total dosis dengan pertambahan tinggi badan pada kedua kelompok usia (5-10 tahun, p = 0.005 < 0.05 ; 10-18 tahun, p = 0.008 < 0.05). Kesimpulan penelitian adalah terdapat hubungan antara dosis harian dengan tinggi badan anak pada kedua kelompok usia, terdapat hubungan antara total durasi dengan tinggi badan anak pada kelompok usia 5-10 tahun, dan terdapat hubungan total durasi simultan total dosis dengan tinggi badan pada kedua kelompok usia. Penelitian ini sudah disetujui oleh komite etik Rumah Sakit Saiful Anwar Malang
Hubungan Antara Kadar HbA1c dan Status Antropometri pada Anak dengan Diabetes Melitus Tipe 1 di RSUD Saiful Anwar Malang
Diabetes mellitus (DM) tipe 1 adalah penyakit autoimun yang menyebabkan penghancuran sel beta pankreas penghasil insulin. Sekitar 65.000 anak di dunia didiagnosis DM tipe 1 setiap tahun dan insidennya terus meningkat sekitar 3% per tahun. Parameter HbA1c digambarkan sebagai nilai glukosa darah selama kurun waktu 1-3 bulan sehingga HbA1c dijadikan parameter untuk mengontrol penyakit DM. Anak dengan diabetes memiliki risiko gangguan pertumbuhan akibat dari proses penyakit atau komplikasinya. Pemantauan pertumbuhan perlu dilakukan pada anak dengan DM tipe 1 agar dapat dilakukan tatalaksana adekuat sehingga dapat mencapai berat dan tinggi badan akhir optimal. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu kadar HbA1c dengan variabel terikat yaitu status antropometri berupa berat badan, tinggi badan, dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Penelitian ini menggunakan data rekam medis yang diambil dari pasien anak (<18 tahun) penderita DM tipe 1 di RSUD Saiful Anwar Malang pada bulan Januari 2023 dan diambil data sebesar 21 sampel. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang tidak signifikan antara kadar HbA1c dengan berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, dan status gizi
Hubungan antara Penggunaan Kortikosteroid dan Status Antropometri pada Anak Leukemia Limfoblastik Akut yang Mendapatkan Kemoterapi Fase Induksi
Kortikosteroid merupakan komponen utama terapi pada pasien leukemia limfoblastik akut (LLA) anak fase induksi. Efek samping yang sering ditimbulkan dari penggunaan jangka panjangnya berupa kenaikan berat badan dan penurunan laju pertumbuhan. Berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) adalah parameter pengukuran status antropometri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan kortikosteroid dan status antropometri pada anak LLA yang mendapatkan kemoterapi fase induksi. Studi observasional dilakukan dengan pendekatan cross-sectional. Sampel dipilih dengan metode consecutive sampling dari populasi semua pasien LLA anak yang ada di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2018-2021. Variabel yang diukur adalah status antropometri menurut BB/umur (U), TB/U, BB/TB, dan indeks massa tubuh (IMT)/U, dengan instrumen berupa rekam medis. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan kortikosteroid terhadap peningkatan Z-score BB/U, BB/TB, dan IMT/U (Uji T berpasangan, p<0,001), serta terhadap penurunan Z-score TB/U (Uji T berpasangan, p<0,001). Total dosis kortikosteroid memiliki hubungan signifikan dengan peningkatan delta Z-score BB/U, BB/TB, dan IMT/U (Uji korelasi Spearman, p<0,001), serta dengan penurunan delta Z-score TB/U (Uji korelasi Spearman, p=0,014). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan signifikan antara penggunaan kortikosteroid dan status antropometri pada anak LLA yang mendapatkan kemoterapi fase induksi
Hubungan Vitamin D dengan Osteoporosis pada Pasien Hiperplasia Adrenal Kongenital Anak.
Hiperplasia Adrenal Kongenital (HAK) merupakan kelainan autosomal resesif yang mengakibatkan defisiensi enzim untuk biosintesis kortisol di adrenal. Akibatnya, produksi kortisol oleh kelenjar adrenal menurun dan dapat disertai peningkatan hormon androgen. Untuk mengatasi hal tersebut, pasien HAK perlu mendapat terapi penggantian kortisol dengan steroid seumur hidup. Namun, penggunaan steroid jangka panjang dikhawatirkan memiliki efek samping, salah satunya osteoporosis. Selain itu, berdasarkan data epidemiologi vitamin D, anak di Indonesia memiliki kerentanan defisiensi vitamin D yang dapat memperparah risiko terjadinya osteoporosis. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara vitamin D dengan osteoporosis yang dilihat dari nilai z-score Bone Minerdal Densitometry (BMD), agar dapat menjadi pertimbangan terapi dan pencegahan osteoporosis pada pasien HAK anak. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif observasional analitik dengan metode pengambilan data cross sectional dari rekam medis 12 pasien HAK anak di RSUD dr. Saiful Anwar Malang dengan retang usia 6-12 tahun. Variabel yang diteliti mengukur kadar 25(OH) serum dan z-score BMD pada pasien HAK Anak. Analisis menggunakan uji korelasi spearman. Penelitian sudah lulus uji kelayakan etik yang dikeluarkan oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Hasil yang didapatkan adalah adanya korelasi yang signifikan antara vitamin D dengan osteoporosis yang dilihat dari nilai BMD pada pasien HAK anak dengan koefisien korelasi P-value <0,05 dan koefisien korelasi 0,991. Kesimpulan dari penelitian ini adalah vitamin D berkorelasi positif signifikan dengan osteoporosis dilihat dari nilai BMD pasien HAK anak
Hubungan Pemakaian Steroid terhadap Status Pubertas pada Pasien Anak dengan Hiperplasia Adrenal Kongenital.
Hiperplasia adrenal kongenital (HAK) pada anak dapat menimbulkan defisiensi kortisol dan aldosteron sehingga terjadi peningkatan produksi androgen yang berlebih. Anak dengan HAK membutuhkan substitusi kortisol berupa hidrokortison dan/atau substitusi aldosteron berupa fludrokortison selama seumur hidup. Maka dari itu, pemberian terapi steroid yang adekuat diperlukan agar dapat mengoptimalkan perkembangan pubertas pada anak dengan HAK. Hasil luaran dari terapi steroid pada anak dengan HAK yang mengalami undertreatment dapat memicu terjadinya pubertas prekoks. Fokus utama dalam penelitian ini adalah menginvestigasi hubungan pemakaian steroid terhadap status pubertas pada anak dengan HAK. Desain studi cross sectional digunakan pada penelitian ini. Sebanyak 17 anak dengan HAK dipilih sebagai subjek penelitian karena memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Variabel dependen yang diteliti yaitu status pubertas, sedangkan yang termasuk dalam variabel independen adalah jenis, dosis, dan durasi terapi steroid. Status pubertas dinilai dengan menggunakan skala Tanner yang kemudian dikategorikan menjadi pubertas normal dan prekoks, dosis steroid dihitung dalam satuan mg/m2, dan durasi terapi steroid dinyatakan dalam kelompok tahun (0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis, dosis, dan terapi steroid terhadap status pubertas pada anak dengan HAK
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak dengan Lupus Eritematosus Sistemik
Penyakit kronis, seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan faktor risiko dari terjadinya kegagalan pertumbuhan yang dapat mempengaruhi masa depan anak. Kegagalan pertumbuhan itu sendiri dapat dipicu dari berbagai hal, seperti keparahan penyakit, terapi jangka panjang, maupun dari durasi penyakit itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi status gizi anak dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Subjek penelitian adalah 21 anak dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yang didiagnosis berdasarkan kriteria ACR tahun 1997 dari rumah sakit Saiful Anwar. Perhitungan status gizi menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang telah dikonversi menjadi z-score menurut WHO, derajat keparahan menggunakan skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI), dan mengetahui dosis steroid serta durasi penyakit melalui kuesioner maupun wawancara. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian berupa cross-sectional design. Hasil uji korelasi spearman memberikan hasil p > 0.05 , r = -0. 063 ; p > 0.05 , r = 0.089 ; p > 0.05 , r = 0.023. Berdasarkan sampel, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara derajat keparahan penyakit dengan status gizi, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara dosis kumulatif steroid dengan status gizi, dan tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara durasi penyakit dengan status gizi