5 research outputs found

    Uji Diagnostik Parameter Tromboelastografi (Teg) Pada Pasien Sepsis Dengan Overt Dic (Disseminated Intravascular Coagulation) Di Ruang Icu Rsud Dr. Saiful Anwar Malang

    No full text
    Pendahuluan : Pasien sepsis dengan DIC memiliki mortalitas yang lebih tinggi, yakni 43% dibandingkan pasien sepsis tanpa DIC yaitu sebesar 27%. Diagnosis dini penting untuk mendukung keberhasilan terapi DIC. Tes koagulasi konvensional memiliki banyak keterbatasan. TEG dapat memberikan informasi yang tepat untuk mendeteksi gangguan hemostasis dan mampu mengatasi beberapa keterbatasan pada tes koagulasi konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan parameter TEG (waktu r, waktu k, sudut α, MA dan CI) dapat digunakan untuk diagnosis overt DIC pada pasien sepsis. Metode : Penelitian cross sectional dilakukan di ICU RSSA pada periode Maret - September 2019. Pasien dengan diagnosis sepsis diperiksa sampel darahnya untuk jumlah platelet, PT, aPTT, Fibrinogen, D-dimer dan parameter TEG. Penegakkan diagnosis DIC berdasarkan kriteria ISTH sebagai baku emas. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS versi 26.0. Hasil : Dari Uji Mann Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna (p < 0,05) pada kelima parameter TEG. Nilai cut-off dan Area Under Curve (AUC) waktu r ≥ 6,9 menit dan 79,1%, waktu k ≥ 5 menit dan 80,8%, sudut ⍺ ≤ 38,25 deg dan 81,3%, MA ≤ 49,85 mm dan 81,9%, dan CI ≤ -4,9 dan 83,9%. Kelima parameter TEG memiliki sensitivitas yang sama yaitu 71,4% dan Spesifisitas waktu r 71,8%, waktu k 97,4%, sudut ⍺ 97,4%, MA 94,9% dan CI 83,9%. Kesimpulan : Waktu r memiliki nilai diagnostik sedang, sedangkan waktu k, sudut ⍺, MA dan CI memiliki nilai diagnostik yang baik. Sehingga parameter TEG dapat digunakan untuk menentukan diagnosis overt DI

    Interferon-Gamma dan Prokalsitonin Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis

    No full text
    Latar Belakang. Sepsis merupakan suatu keadaan terjadinya disfungsi organ dan mengancam jiwa yang diakibatkan oleh disregulasi respon imun host terhadap infeksi dan masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia, sebanyak 20% kematian di dunia diakibatkan karena sepsis. Dari tingginya tingkat kematian karena sepsis, penentuan prognosis pada penderita sepsis penting dilakukan untuk menentukan pengelolaan pasien selanjutnya. Oleh karena itu dikembangkan biomarker yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis. Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-1) adalah sitokin proinflamasi yang sering ditemui pada fase awal terjadinya infeksi dan merupakan salah satu sitokin yang penting dalam respons pertahanan terhadap infeksi, sehingga dapat diandalkan dalam memperkirakan prognosis pada pasien sepsis. Pada kondisi sepsis juga sering terjadi koagulopati karena disfungsi mikrovaskular berakibat aktivasi endotel dapat diinduksi secara lokal. Berbagai macam senyawa fibrin dapat dideteksi dalam plasma dari pasien dengan aktivasi koagulasi intravaskular. Salah satu cara untuk mengetahui disfungsi mikrovaskular yaitu menggunakan Uji D-dimer. D-dimer dapat digunakan sebagai penanda kegagalan mikrosirkulasi. Hampir semua pasien yang dirawat dengan sepsis mengalami peningkatan kadar D-dimer yang sangat erat kaitannya dengan disfungsi organ. Baik MCP-1 maupun D-dimer merupakan parameter yang secara independen dapat memprediksi mortalitas pada pasien sepsis. Kombinasi keduanya diharapkan dapat meningkatkan nilai prediktor mortalitas pada penderita sepsis. Tujuan. Menentukan perbedaan kadar MCP-1 dan D-dimer pada penderita sepsis survivor dan non survivor. Mengetahui performa kombinasi MCP-1 dan D-dimer sebagai prediktor mortalitas pada penderita sepsis. Metode. Penelitian kohort prospektif ini melibatkan 83 penderita sepsis yang ditegakkan dengan kriteria SEPSIS-3 yang di rawat di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang sejak Oktober 2019 sampai Nopember 2020. Sisa serum pasien suspek sepsis dikumpulkan. Kemudian, dilakukan pemilahan serum pasien berdasarkan rekam medis pasien apakah pasien memenuhi kriteria inklusi dan tidak tereksklusi. Lama rawat dan luaran pasien dicatat. Lalu, dilakukan pemeriksaan serologis MCP-1 menggunakan ELISA kit (LEGENDMAX) dan D-dimer menggunakan metode imunoturbodimetri (Sysmex). Data yang terkumpul dianalisis dengan uji normalitas distribusi, uji beda, analisis kurva ROC, analisis kesintasan menggunakan Kurva Kaplan Meier, Hazard Ratio menggunakan Cox regression. Hasil. Kadar MCP-1 dan D-dimer pada penderita sepsis non survivor lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kadar MCP-1 dan D-dimer penderita sepsis survivor (p 123,03 pg/mL adalah 81% dan 80% dengan AUC 89,2% (95% CI 81,1%-97,3%) p=0,000, ix sedangkan sensitivitas dan spesifisitas D-dimer pada cut-off > 43,5 mg/L FEU sebesar 67,2% dan 60% dengan AUC 67,4% (95% CI 55-8%-79,1%) p=0,012. Kesimpulan. Kombinasi MCP-1 dan D-dimer dapat dipertimbangkan sebagai biomarker prediktor mortalitas pada pasien sepsis

    D-Dimer Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien COVID-19 di RSSA Malang

    No full text
    D-dimer adalah fragmen protein yang terbentuk dari degradasi fibrin yang diukur melalui darah atau plasma. Peningkatan kadar D-dimer diduga memiliki keterkaitan dengan keadaan hiperkoagulasi akibat respon inflamasi yang berlebihan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui performa D-dimer sebagai prediktor mortalitas pada pasien COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional dengan subjek sebanyak 86 rekam medis pasien COVID-19 di Rumah Sakit Saiful Anwar Kota Malang diambil menggunakan teknik consecutive sampling yang diambil dari bulan November 2020 hingga April 2021. Sebanyak 30 subjek (34.8%) mengalami kematian dari total 86 subjek peenlitian. Menggunakan kurva Reciever Operating Characteristic (ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) sebesar 0.815 dengan cut-off D-dimer untuk memprediksi kematian adalah 2.09 μg/mL dengan sensitivitas 70% dan spesifisitas 80%. Peningkatan kadar D-dimer diatas cut-off ini dapat meningkatkan risiko kematian sembilan kali lebih besar. [OR 9.54 (IK 95%, 3.435 – 26.523, p=0.000)]. Dapat disimpulkan bahwa D-dimer dapat menjadi predikto mortalitas

    Pengaruh Jumlah Trombosit dan Thrombopoietin dengan Keparahan Sirosis Hepatis Menggunakan Skor Model for End-Stage Liver Disease.

    No full text
    Sirosis hati merupakan suatu kondisi patologis stadium akhir dari proses fibrosis hati difus. Di Indonesia, Prevalensi sirosis hepatis yaitu dengan rata-rata 3,5%. Skor MELD adalah sistem skoring yang telah dikembangkan untuk menilai atau memprediksi outcome serta kelangsungan hidup pada pasien sirosis. Pada penderita sirosis hati, sel yang rusak diganti dengan sel muda jaringan ikat sehingga fungsi hati akan mengganggu produksi thrombopoietin dan mengakibatkan jumlah trombosit menurun. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional pada pasien Sirosis Hepatis yang bertujuan untuk membuktikan pengaruh jumlah trombosit dan thrombopoietin dengan keparahan sirosis hepatis menggunakan MELD. Hasil penelitian menunjukkan jumlah trombosit dan thrombopoietin tidak adanya pengaruh terhadap skor MELD dan tidak terdapat perbedaan pada kelompok pasien sirosis hati yang memiliki skor MELD <12 dan skor MELD ≥12. Hal ini menandakan bahwa keparahan sirosis hepatis tidak selalu diindikasikan adanya penurunan jumlah trombosit dan kadar thrombopoietin

    Biomarker MCP-1 dan D-Dimer Sebagai Prediktor Mortalitas Pasien COVID-19.

    No full text
    COVID-19 adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus SARS-CoV�2 dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien COVID-19 berisiko mengalami disfungsi koagulasi yang merupakan salah satu penyebab utama kematian. Ekspresi berlebihan dari kemokin yang terutama diproduksi oleh monosit dan makrofag, seperti Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-1), berhubungan langsung dengan tingkat keparahan COVID-19 dan merupakan kunci infiltrasi sel imun ke dalam paru-paru pasien COVID-19. MCP-1 sebagai marker trombosis mungkin berkorelasi dengan D-dimer sebagai parameter koagulopati. MCP-1 dan D-dimer dapat dikaitkan dengan risiko kematian pada pasien COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah MCP-1 dan D-dimer dapat menjadi prediktor mortalitas pada pasien COVID-19. Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain kohort. Kadar MCP-1 dan D-dimer dievaluasi pada hari pertama rawat inap. Subjek penelitian diikuti luaran mortalitas pada hari ke-28. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji normalitas distribusi, uji beda, analisis kurva ROC, analisis survival menggunakan Kurva Kaplan Meier, dan Hazard Ratio (HR). Didapatkan subjek sebanyak 70 pasien COVID-19 dengan 36 (51,4%) pasien COVID-19 yang hidup dan 34 (48,6%) pasien COVID-19 yang meninggal. Subjek penelitian ini didominasi oleh perempuan sebanyak 43 subjek (61,4%) dengan usia rata rata keseluruhan subjek adalah 57,3 tahun. Kadar MCP-1 lebih tinggi pada pasien COVID-19 non survivor dengan median 65,07 ng/L (16,38 – 163,31) dibandingkan survivor dengan median 39,32 ng/L (11,79 – 64,33) secara signifikan (p=0,046). Kadar D-dimer lebih tinggi pada pasien COVID-19 non survivor dengan median 2,26 mg/L FEU (1,02 – 26,25) dibandingkan survivor dengan median 1,36 mg/L FEU (0,81 – 2,96) secara signifikan (p=0,037). Dari hasil analisis ROC, didapatkan cut-off MCP-1 sebesar 48,59 ng/L dan D-dimer sebesar 1,465 mg/L FEU. Kadar MCP-1 ≥48,59 ng/L memiliki median survival 17 hari serta HR 1,309. Kadar D-dimer ≥1,465 mg/L FEU memiliki median survival 15 hari serta HR 2,548. Kombinasi tingginya kadar MCP-1 dan D-dimer memiliki median survival 9 hari serta HR 2,139. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya potensi MCP-1 dan D-dimer dalam memprediksi mortalitas meskipun MCP-1 mempunyai performa yang lebih rendah dibandingkan D-dimer. Keduanya dapat dipakai sebagai biomarker stratifikasi pasien COVID-19 di rumah saki
    corecore