3 research outputs found

    Fistula Arteriovenosa untuk Hemodialisis pada Penderita Gagal Ginjal Kronik

    Get PDF
    Jumlah penderita penyakit gagal ginjal kronik (PGK) di Indonesia tampak semakin meningkat. Angka pertumbuhannya diperkirakan sekitar 20% setiap tahunnya. Kondisi  ini menjadi masalah  karena biaya pengobatannya besar sekali. Penyakit gagal ginjal kronik adalah  kerusakan  atau  gangguan  fungsi  dan struktur  ginjal  selama  tiga  bulan  atau  lebih  dengan  atau  tanpa penurunan  laju  filtrasi  glomerulus (LFG) disertai  manifestasi  kelainan patologi  ginjal  atau  kerusakan  ginjal  meliputi  komposisi  darah  atau urin  dan  kelainan  pada  uji pencitraan ginjal. Penyakit gagal ginjal kronik  terjadi  bila ginjal mengalami penurunan fungsi LFG di bawah 60 ml/menit/1.73m² dengan  atau  tanpa  kerusakan  ginjal. Intervensi berupa terapi pengganti ginjal dilakukan pada saat keadaan LFG mencapai <15 ml/menit/1.73 m2. Beberapa faktor risiko yang menjadi penyebab PGK telah diketahui seperti usia, gagal jantung, sirosis hepatis, glomerulonefritis kronik, diabetes mellitus (DM), sistemik lupus erimatosus (SLE), polikistik, pielonefritis, nefrolitiasis, nefrosklerosis, dan obstruksi traktus urinarius. Terbatasnya jumlah donor ginjal untuk transplantasi dan tingginya komplikasi yang mungkin terjadi akibat peritoneal dialisis membuat hemodialisis (HD) cenderung menjadi pilihan yang utama apabila fungsi ginjal penderita sudah sangat menurun. Prinsip dasar HD adalah mengalirkan darah dari tubuh ke ginjal buatan untuk dilakukan penyaringan darah melalui suatu membran semi-permiabel agar terjadi proses difusi dan ultrafiltrasi darah di dalamnya. Darah yang sudah disaring kemudian dikembalikan ke dalam tubuh. Hemodialisis rutin dalam jangka panjang memerlukan pemasangan akses vaskular permanen. Fistula arteriovenosa (FAV) masih dianggap sebagai akses vaskular terbaik untuk HD, terutama karena angka patensinya yang tinggi, lebih rendah insidensi infeksi dan komplikasinya dibandingkan dengan kateter vena sentral atau graft arteriovenosa. Kelebihan dan kekurangan FAV telah dibahas dalam berbagai penelitian. Angka patensinya tampak sangat bervariasi antar peneliti.Kata kunci: gagal ginjal kronik, hemodialisis, fistula arteriovenosa, patens

    A Prognostic Model for the Thirty-day Mortality Risk after Adult Heart Transplantation

    Get PDF
    Objective: To develop a prognostic model for the thirty-day mortality risk after adult heart transplantation. Methods: In this report we developed a prediction model for the 30-day mortality risk after adult heart transplantation. Logistic regression analysis was used to develop the model in 1,262 adult patients undergoing primary heart transplantation. We evaluated the accuracy of the prediction model; the agreement between the predicted probability and the observed mortality (calibration); and the ability of the model to correctly discriminate between the discordant survival pairs (discrimination). The internal validity of the prediction model was evaluated using the bootstrapping procedures. Results: Recipients age and sex, pre-transplant diagnosis, transplant status, waiting time, cardiopulmonary bypass time, donors age and sex, donor-recipient mismatch for BMI and blood type were independent predictors for 30-day mortality risk after adult heart transplantation. The model showed a good calibration and reasonable discrimination (the corrected area under the receiver operating characteristic curve was 0.71). The internal validity of the prediction model was acceptable. For practical use, we converted the prediction model to score chart. Conclusion: The accuracy and the validity of the prediction model were acceptable. This easy-to-use instrument for predicting the 30-day mortality risk after adult heart transplantation would benefit decision-making by classifying recipients according to their mortality risk and allowing optimal allocation of a donor to a recipient for heart transplantation

    Epidemic Burden of Cardiovascular Disease in Indonesia

    Full text link
    Transformasi luar biasa di bidang ekonomi dan urbanisasi telah mengubah struktur de­mografi sosial di Indonesia sehingga menyebabkan pergeseran besar dalam pola makan dan penyebab kematian. Sebagai penyebab kematian utama, epidemik penyakit kardiovaskuler telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Masalah menjadi lebih sulit dengan adanya beban ganda penyakit yakni penyakit-penyakit tidak menular menjadi lebih menonjol sementara penyakit-penyakit menular masih belum teratasi karena sanitasi lingkungan yang buruk akibat tidak baiknya sistem pelayanan kesehatan. Penyakit kardiovaskuler sangat berhubungan dengan beberapa faktor risiko yang dapat diubah, seperti kebiasaan merokok tembakau, Perubahan gaya hidup (makanan yang tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik), dan kelebihan berat badan/kegemukan. Strategi dengan target individu-individu berisiko tinggi dan upaya pencegahan berlandaskan populasi jelas sangat dibutuhkan untuk menghadapi beban epidemik penyakit kardiovaskuler, disamping menyediakan pelayanan kesehatan baku bagi penduduk Indonesia. Semua strategi ini harus disertai adanya keinginan politik untuk mendukung Perubahan kebijakan kesehatan yang diperlukan. Tulisan ini memberikan gambaran singkat tentang beban epidemik penyakit kardiovaskuler di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dengan penekanan pada faktor-faktor risiko penting maupun strategi pencegahan dan pengendaliannya. Kata kunci: Penyakit kardiovaskuler, faktor risiko, pencegaha
    corecore