523 research outputs found

    PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KETAHANAN KELUARGA PADA MASA PANDEMI COVID-19

    Get PDF
    Abstrak: Individu dan keluarga yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang ketahanan keluarga yang baik, akan mampu bertahan dengan perubahan struktur, fungsi dan peranan keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis proses implementasi ketahanan keluarga dilihat dari kepesertaan masyarakat dalam program bina keluarga. Penelitian berdasarkan data sekunder dari hasil laporan pengendalian program BKKBN DI Yogyakarta. Metode analisis yang digunakan yaitu deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat sudah baik, hal itu terlihat dari tingkat partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk ikut kegiatan bina keluarga sudah cukup tinggi dan diharapkan capaiannya dapat membantu meningkatkan ketahanan keluarga meskipun terdapat beberapa kendala seperti adanya pandemi Covid-19, sehingga partisipasinya menurun. Penurunan partisipasi masyarakat  pada bulan April 2020 dalam Bina Keluarga Balita, Bina Keluarga Remaja, dan Bina Keluarga Lansia tinggal sekitar 40-50 persen, yang sebelumnya mencapai 70-80 persen. Berkenaan dengan itu, dalam usaha mewujudkan ketahanan keluarga penting dikembangkan kebijakan dalam rangka peningkatan ketahanan keluarga secara sosial dan mental spiritual. Kebijakan diarahkan pada pengembangan jejaring di kelompok-kelompok masyarakat yang diinisiasi pemerintah maupun kelambagaan sosial yang tumbuh secara alamiah untuk mendapatkan ketahanan keluarga seperti yang diinginkan. Abstract:  Individuals and families who have knowledge and understanding of good family resilience will be able to survive with changes in the structure, function and role of the family. This study aims to describe and analyze the process of implementing family resilience in terms of community participation in the family development program. The study is based on secondary data from the results of the BKKBN DI Yogyakarta control report. The analytical method used is quantitative descriptive. The results showed that the implementation of the community empowerment program was good, it was seen from the level of community participation and awareness to participate in family building activities which were quite high and it was hoped that their achievements could help improve family resilience despite several obstacles such as the Covid-19 pandemic, so participation declined . Decreased community participation in April 2020 in the Development of Toddler Families, Adolescent Families, and Elderly Family Development live around 40-50 percent, which previously reached 70-80 percent. In this regard, in an effort to realize family resilience it is important to develop policies in order to increase family resilience socially and mentally and spiritually. The policy is directed at the development of networks in community groups initiated by the government and social institutions that grow naturally to obtain family resilience as desired

    Perbandingan Model Saxena Easo dan Model Chen Hsu pada Fuzzy Time Series untuk Prediksi Harga Emas

    Get PDF
    Emas menjadi salah satu produk investasi karena harganya yang dapat mengalami kenaikan maupun penurunan harga. Kenaikan maupun penurunan harga emas menjadi indikator yang dapat digunakan dalam memprediksi harga emas untuk kedepannya. Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu metode fuzzy time series, fuzzy time series adalah suatu metode yang digunakan untuk memprediksi data kedepannya dengan menggunakan data historis berdasarkan perhitungan matematik. Dalam fuzzy time series terdapat banyak pengembangan model, diantaranya adalah model Saxena Easo, dan model Chen Hsu. Penelitian ini membandingkan  kedua model tersebut untuk mengetahui hasil keakuratan yang lebih baik dengan pembanding model menggunakan metode AFER, MAD, dan MSE. Pada panjang interval model Chen Hsu menggunakan average-based fuzzy time series sedangkan pada model Saxena Easo panjang interval menggunakan selisih data terbesar dan terkecil dibagi dengan banyaknya kelas. Data yang digunakan dalam penelitian yaitu data tahun 2017 – 2019, terdapat 3 kali percobaan dengan jumlah data yang berbeda yaitu data 2019, data 2018 - 2019, dan data 2017 - 2019. Dari hasil percobaan, model Saxena Easo mempunyai hasil prediksi yang lebih baik dengan nilai AFER dan MSE yang lebih kecil yaitu AFER 0.00430%, MAD 28.66, dan MSE 48907 sedangkan model Chen Hsu mempunyai nilai AFER, MAD, dan MSE yang lebih besar yaitu AFER 0.0472%, MAD 315.33 dan MSE 153908

    ANALISIS KEMATIAN BAYI DI TIGA PROVINSI DENGAN PERSENTASE TERTINGGI DI INDONESIA

    Get PDF
    Abstrak: Kematian bayi di Indonesia secara umum masih relatif tinggi. Provinsi yang mempunyai persentase kasus kematian bayi tiga terbesar perlu mendapatkan perhatian faktor apa yang kemungkinan mempengaruhi terhadap kejadian tersebut. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena kasus ini akan berpengaruh terhadap kualitas hidup, kondisi kesehatan dan praktek penggunaan kontrasepsi. Tujuan penelitian ini untuk melihat kaitan umur, jarak kelahiran, jumlah anak masih hidup, dan pendidikan ibu terhadap kematian bayi di Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo.  Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017. Umur memiliki hubungan signifikan dengan kejadian kematian bayi. Yang perlu diwaspadai bila umur ibu hamil kurang dari 20 tahun. Usia ini rentan   karena   masih   pada   tahap   masa reproduksi   awal   dan   organ   reproduksi belum tumbuh secara sempurna sehingga dapat berisiko terjadi gangguan pertumbuhan janin saat di kandungan. Demikian pula pada usia lebih dari 30  tahun seorang ibu sudah mulai muncul berbagai macam penyakit yang menurunkan kemampuan  ibu  untuk  melakukan  proses persalinan normal karena usia  maupun penyakit kronik yang dialaminya. Kematian bayi juga kemungkinan terjadi 1,695 kali lebih tinggi pada ibu yang memiliki 3 anak atau lebih dibandingkan pada ibu yang baru memiliki 1-2 anak yang masih hidup. Abstract:  Infant mortality in Indonesia in general is still relatively high. Provinces that have the third largest percentage of infant mortality cases need to get attention to what factors are likely to influence the incidence. This needs attention because this case will affect the quality of life, health conditions and the practice of contraceptive use. The purpose of this study was to look at the relationship of age, birth spacing, number of children still alive, and mother's education towards infant mortality in West Nusa Tenggara, South Kalimantan and Gorontalo. This study uses secondary data from the 2017 Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS). Age has a significant relationship with infant mortality. That need to be aware of if the age of pregnant women is less than 20 years. This age is vulnerable because it is still in the early reproductive stages and the reproductive organs have not fully grown so that there can be a risk of fetal growth disturbance when in the womb. Similarly, at the age of more than 30 years a mother has begun to emerge various kinds of diseases that reduce the ability of mothers to carry out normal childbirth due to age and chronic disease they experience. Infant mortality is also likely to occur 1,695 times higher in mothers who have 3 or more children compared to mothers who have only 1-2 children who are still alive

    Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah Studi Kasus di Lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah

    Full text link
    Penelitian ini menggali pelaksanaan otonomi daerah di tingkat bawah dan mengungkap perannya dalam pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan melalui kasus penambangan pasir di kawasan Gunung Merapi. Dengan pendekatan induktif, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (i) mengkaji dokumen terkait; (ii) mewawancarai berbagai pihak; dan (iii) mengobservasi kegiatan penambangan, kehidupan para penambang, dan kondisi lingkungan. Hasil kajian eksploratori ini menunjukkan pelaksanaan otonomi daerah tingkat desa sangat bergantung pada pemerintah kabupaten. Dominasi tingkat atas danketergantungan desa masih sangat kentara. Di samping itu, otonomi daerah tidak banyak menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dapat berperan mengentaskan kemiskinan dan menjaga kelestarian lingkungan bagi aktivitas penambangan pasir Merapi. Kebijakan yang ada cenderung berorientasi pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Kebijakan tersebut lebih memihak pada kaum pemodal (para pengusaha) dan memarginalkan penambang manual. Sistem penambangan rakyat lebih tepat untuk mengentaskan kemiskinan dan dengan pengawasan ketat demi menghindari kerusakan lingkungan

    Phenetic Study on Clustered Pinanga of Java and Bali

    Get PDF
    The objective of the study was to know relationships of clustered Pinanga of Java and Bali based on morphological characters. Observation was done to 115 clustered Pinanga specimens (P. coronata), 18 of which were assigned as Operational Taxonomic Units (OTUs). The morphological characters noted, analyzed using versions of the numerical taxonomy system / NTSYS version 1.80, 1993. The phenogram presents that clustered Pinanga of Java and Bali divided into two groups (clusters): specimens from lowland forest (0-750 m asl) and specimens from montane forest (750 m asl or more). The cluster division is not dependent on the geographical distribution of the OTUs, but rather altitudes

    Biodegradasi Limbah Oli Bekas Oleh Lycinibacillus Sphaericus Tcp C 2.1

    Full text link
    Mikroorganism has capability to degrade used engine oil was isolated from soil sample contaminated with used engine oil. One of the selected strain TCP C 2.1 was identified by 16s rDNA as Lycinibacillus sphaericus. The microorganism can use hydrocarbon in used engine oil as the sole carbon source and energy, also it significantly degraded almost all hydrocarbon compounds in used engine oil. With its ability the microorganism has potency to be used as a single microbe for bioremediation of soil polluted by engine oil

    Segmentasi Konsumen Kentang, Bawang Merah, Dan Cabai Merah Berdasarkan Peubah Sosio-Demografis Dan Kepentingan Kriteria Produk

    Get PDF
    Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi segmen-segmen konsumen kentang, bawang merah, dan cabai merah berdasarkan peubah sosio-demografis dan persepsi tentang kepentingan kriteria produk. Penelitian survai dilaksanakan di tiga kota besar konsumen utama sayuran, yaitu Jakarta (DKI Jaya), Bandung (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat) pada bulan Juni sampai dengan September 2006. Responden terdiri dari 335 konsumen kentang, bawang merah, dan cabai merah yang dipilih secara acak. Alat analisis yang digunakan ialah statistik deskriptif, tabulasi silang, dan analisis klaster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kentang, dua peubah sosio-demografis (pendidikan dan pengeluaran) dan 11 peubah kriteria produk (kesegaran, rasa, kebersihan, nilai gizi, tidak mengandung residu pestisida, penampakan luar, tidak ada tanda busuk, harga, kemasan, label produk, dan Kenyamanan tempat pembelian) berpengaruh nyata terhadap perbedaan karakteristik segmen konsumen kentang. Jumlah segmen konsumen kentang yang dianggap paling sensible (pantas/masuk akal) ialah tiga segmen (segmen 1=120 orang, segmen 2=12 orang, dan segmen 3=203 orang). Berdasarkan komposisi tersebut, pemasar/petani kentang disarankan agar lebih mengarahkan strategi pemasarannya ke segmen 3. Untuk bawang merah, tiga peubah sosio-demografis (pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran) dan 13 peubah kriteria produk (kesegaran, kebersihan, nilai gizi, tidak mengandung residu pestisida, penampakan luar, tidak ada tanda busuk, harga, warna, aroma, label produk, produk lokal, produk impor, dan Kenyamanan tempat pembelian) berpengaruh nyata terhadap perbedaan karakteristik segmen konsumen bawang merah. Jumlah segmen konsumen bawang merah yang dianggap paling sensible ialah dua segmen (segmen 1=113 orang dan segmen 2=222 orang). Komposisi anggota klaster tersebut menyarankan kepada pemasar/petani bawang merah agar lebih mengarahkan strategi pemasarannya ke segmen 2. Untuk cabai merah, empat peubah sosio-demografis (pendidikan, pekerjaan, pengeluaran, dan frekuensi memasak sendiri) dan 11 peubah kriteria produk (kesegaran, rasa, kebersihan, nilai gizi, tidak mengandung residu pestisida, penampakan luar, tidak ada tanda busuk, harga, warna, label produk, dan Kenyamanan tempat pembelian) berpengaruh nyata terhadap perbedaan karakteristik segmen konsumen cabai merah. Jumlah segmen konsumen cabai merah yang dianggap paling sensible ialah tiga segmen (segmen 1=152 orang, segmen 2=2 orang, dan segmen 3=181 orang). Komposisi anggota klaster tersebut menyarankan kepada pemasar/petani cabai merah agar lebih mengarahkan strategi pemasarannya ke segmen 3 dan 1. Penelitian lebih lanjut perlu mempertimbangkan pencantuman peubah kriteria produk secara lebih terinci dan spesifik.The objective of this study was to identify market or consumer segments of potato, shallots, and hot peppers based on socio-demographic variables and the importance of product criteria. Consumer surveys were carried out in three big cities of vegetable main consumer in Indonesia i.e. Jakarta (DKI Jaya), Bandung (West Java), and Padang (West Sumatera) from June to September 2006. Respondents of these surveys were 335 potato, shallots, and hot peppers consumers who were randomly selected. Descriptive statistics, cross tabulations, and cluster analysis were used for data elaboration. Results show that for potato, two socio-demographic variables (education and expenditures) and 11 product criteria variables (freshness, taste, cleanliness, nutrient value, no pesticide-residue, appearance, no blemishes, price, packing, product label, and convenient purchasing place) were significantly contributing to the separation of the potato clusters. Three clusters are identified as the most sensible subgroup for potato consumer segments i.e. segment 1=120 cases, segment 2=12 cases, and segment 3=203 cases. Based on this composition, potato marketers/farmers were suggested to focus on segment 3 for implementing their marketing mix strategy. For shallots, three socio-demographic variables (education, employment, and expenditures) and 13 product criteria variables (freshness, cleanliness, nutrient value, no pesticide-residue, appearance, no blemishes, price, color, aroma, product label, local product, imported product, and convenient purchasing place) were significantly contributing to the separation of the shallots clusters. Two clusters were identified as the most sensible subgroup for shallots consumer segments i.e. segment 1=113 cases and segment 2=222 cases. Based on this composition, shallots marketers/farmers are suggested to focus on segment 2 for implementing their marketing mix strategy. For hot peppers, four socio-demographic variables (education, employment, expenditures, and self-cooking frequency), and 11 product criteria variables (freshness, taste, cleanliness, nutrient value, no pesticide-residue, appearance, no blemishes, price, color, product label, and convenient purchasing place) were significantly contributing to the separation of the hot peppers clusters. Three clusters were identified as the most sensible subgroup for hot peppers consumer segments i.e. segment 1=152 cases, segment 2=2 cases, and segment 3=181 cases. Based on this composition, hot peppers marketers/farmers were suggested to focus on segment 3 and 1 for implementing their marketing mix strategy. Further study needs to consider involving more detailed and more specific product criteria variables
    corecore