40 research outputs found

    HUBUNGAN KONSUMSI SUSU DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI

    Get PDF
    Latar Belakang: Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler, seperti penyakit jantung, penyakit arteri perifer, dan stroke. Hipertensi menempati urutan pertama prevalensi berbagai penyakit degeneratif di Indonesia. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menangani penyakit hipertensi, salah satunya melalui diet. Susu mengandung kalsium dan peptida yang berperan dalam penurunan tekanan darah. Di lain pihak, susu juga mengandung natrium, lemak jenuh dan kolesterol yang dapat meningkatkan tekanan darah. Akibatnya, timbul kontroversi bagaimana peranan susu terhadap kejadian hipertensi Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsumsi susu dengan kejadian hipertensi. Metode: Rancangan penelitian ini adalah cross-sectional dengan jumlah sampel 70 orang diambil dengan metode consecutive sampling. Konsumsi susu dinyatakan sebagai variabel paparan dan kejadian hipertensi dinyatakan sebagai variabel efek. Asupan protein, lemak, natrium, kalium, kalsium, indeks massa tubuh, dan usia diperhitungkan sebagai variabel perancu. Analisis bivariat menggunakan uji chi-square atau fisher exact dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil: Prevalensi hipertensi 22,9 %. Ada hubungan konsumsi susu dengan kejadian hipertensi. Pada analisis bivariat diperoleh nilai Rasio Prevalensi (RP) konsumsi susu terhadap kejadian hipertensi sebesar 0,41 (95% CI: 0,18 ; 0,94). Analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian hipertensi adalah konsumsi susu, asupan kalium, dan usia. RP konsumsi susu terhadap kejadian hipertensi sebesar 0,18 (95% CI: 0,04 ; 0,82)

    Dietary Acid Load, Keseimbangan Asam Basa Tubuh dan Resistensi Insulin Pada Remaja Obesitas

    Get PDF
    Latar Belakang: Obesitas pada kelompok usia remaja telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Obesitas telah lama diketahui mempunyai hubungan patofisiologis dengan kondisi resistensi insulin. Diet dengan beban asam (Dietary Acid Load) tinggi, dapat menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa tubuh, yang berpotensi menimbulkan resistensi insulin. Metode: Rancangan penelitian ini adalah Cross-Sectional dengan jumlah subjek sebanyak 38 remaja di lingkungan SMA Semarang. Skor PRAL dihitung sebagai indikator Dietary Acid Load, pH urin sebagai indikator keseimbangan asam basa, dan HOMA-IR sebagai indikator resistensi insulin. Dietary acid load dan pH urin ditetapkan sebagai variabel bebas dan resistensi insulin sebagai variabel terikat, sedangkan aktivitas fisik dan faktor asupan (energi, protein, lemak, karbohidrat) sebagai variabel perancu. Analisis bivariat menggunakan uji Rank Spearman. Analisis multivariat menggunakan analisis Multivariate Linear Backward Regression. Hasil: Ada hubungan antara skor PRAL dengan nilai HOMA-IR(r=0,886; p=0,000). Tidak ada hubungan antara pH urin dengan HOMA-IR. Uji multivariat menunjukkan dietary acid load (β=0,851; p=0,000; Adjusted R Square=82,5%) dan asupan lemak (β = 0,164; p = 0.029; Adjusted R Square = 82.5%) adalah variabel yang paling berhubungan secara signifikan terhadap nilai HOMA-IR Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara dietary acid load dengan resistensi insulin pada remaja obesitas

    PERBEDAAN ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, ASAM FOLAT, VITAMIN B12 DAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU NIFAS YANG MELAKUKAN MUTIH DAN TIDAK MELAKUKAN MUTIH DI KECAMATAN GEBOG, KABUPATEN KUDUS

    Get PDF
    Latar Belakang: Mutih merupakan budaya pantang makan yang dilakukan ibu nifas dengan hanya mengkonsumsi nasi, tempe, tahu, beberapa jenis sayur dan buah. Rendahnya jumlah asupan dan variasi makanan menyebabkan ibu nifas berisiko mengalami defisiensi protein, zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Hal tersebut dapat menjadi faktor risiko terjadinya anemia gizi pada ibu nifas. Tujuan: Menganalisis perbedaan asupan protein, zat besi, asam folat, vitamin B12, dan kejadian anemia pada ibu nifas mutih dan tidak mutih. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Jumlah sampel terdiri dari 16 ibu nifas mutih dan 16 ibu nifas tidak mutih. Pemilihan subjek penelitian dengan purposive sampling. Asupan zat gizi diperoleh dari Semiquantitative Food Frequency Questionaire dan kadar hemoglobin diukur menggunakan metode cyanmethemoglobin. Perbedaan kadar hemoglobin diuji menggunakan uji independent t-test, dan asupan zat gizi, meliputi protein, zat besi, asam folat, dan vitamin B12 menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil: . Kejadian anemia pada ibu nifas mutih sebesar 93,7%, sedangkan pada ibu nifas tidak mutih hanya sebesar 25%. Terdapat perbedaan bermakna asupan protein (p<0.01), vitamin B12 ( p<0.01), dan kejadian anemia (p<0.01) antara ibu nifas mutih dan tidak mutih. Tidak terdapat perbedaan bermakna asupan zat besi dan asam folat antara ibu nifas mutih dan tidak mutih (p= 0.07 dan p=0.19). Asupan protein, zat besi, asam folat, dan vitamin B12 kedua kelompok tidak mencukupi kebutuhan seharusnya. Simpulan: Terdapat perbadaan kadar hemoglobin, asupan protein, dan vitamin B12 antara ibu nifas mutih dan tidak mutih

    Konsumsi Susu Formula Sebagai Faktor Risiko Kegemukan pada Balita di Kota Semarang

    Get PDF
    Latar belakang: Saat ini kegemukan telah banyak ditemukan pada umur dini, yakni mulai dari umur 0-5 tahun. Pemberian susu formula dengan kandungan energi dan protein yang tinggi pada awal pertumbuhan dapat meningkatkan risiko terjadinya kegemukan pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsumsi susu formula dengan kegemukan pada balita di Kota Semarang. Metode: Desain penelitian ini adalah kasus-kontrol. Subjek penelitian terdiri dari 27 subjek pada kelompok kasus dan 27 subjek pada kelompok kontrol dengan umur 2-5 tahun. Kriteria kegemukan menggunakan indikator z-score BB/TB. Waktu pertama pemberian susu formula dan berat rata-rata konsumsi susu formula diperoleh melalui kuisioner. Asupan energi, karbohidrat, protein dan lemak dihitung dengan formulir semi quantitative-food frequency questionaire (SQ-FFQ). Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square. Analisis Multivariat menggunakan Regresi Logistik Ganda. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 85.2% subjek pada kelompok kasus pertama kali mengonsumsi susu formula sebelum umur 6 bulan, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 48.1%. Pada kelompok kasus, 77.8% subjek mengonsumsi susu formula >100 g/hari dibandingkan dengan kelompok kontrol hanya 33.3% dari subjek. Terdapat perbedaan pada waktu pertama pemberian susu formula (p= 0.004) dan konsumsi susu formula >100 g/hari (p= 0.001) antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Konsumsi susu formula >100 g/hari berhubungan secara signifikan dengan kegemukan pada balita setelah dikontrol dengan asupan energi, protein, karbohidrat dan lemak (p = 0.009). Balita yang mengonsumsi susu formula >100 g/hari berisiko 7 kali lipat mengalami kegemukan dibandingkan dengan balita yang mengonsumsi < 100 g/hari. Simpulan: Balita yang mengonsumsi berat rata-rata susu formula >100 g/hari berisiko 7.0 kali mengalami kegemukan

    PERBEDAAN KUALITAS TIDUR SETELAH MENGONSUMSI BERBAGAI JENIS MINUMAN KOPI PADA USIA DEWASA

    Get PDF
    Latar Belakang: Kopi termasuk dalam golongan minuman psikostimulan. Kandungan kafein pada kopi mempengaruhi peningkatan kadar dopamin pada otak sehingga salah satu fungsi dari kafein adalah stimulan untuk sistem syaraf pusat. Konsumsi kafein dapat pula meningkatkan adrenalin dan tekanan darah. Hal ini dapat menimbulkan efek negatif apabila dikonsumsi secara berlebih, diantaranya adalah timbulnya anxiety atau rasa cemas, rasa lelah saat terbangun dari tidur di pagi hari. gangguan tidur serta rendahnya kualitas tidur. Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar kafein dari berbagai jenis minuman kopi dan mengetahui perbedaan kualitas tidur setelah mengonsumsi berbagai jenis minuman kopi. Metode: Rancangan penelitian adalah Cross-Sectional dengan jumlah subjek sebanyak 54 dewasa usia 18-25 tahun. Subjek dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang mengonsumsi jenis minuman kopi espresso, cappuccino, dan café latte. Kualitas tidur subjek diukur menggunakan Pittsburg Sleep Quality Index. Kandungan kafein dari jenis minuman kopi espresso, cappucino, dan café latte diuji menggunakan Spektrofotometri UV-Vis. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov (n>50). Analisis bivariat menggunakan uji Wilcoxon dan Kruskal-Wallis. Hasil: Terdapat perbedaan pada ketiga jenis minuman kopi. Jenis minuman kopi espresso memiliki kadar kafein sebesar 182,4 mg/cangkir, Jenis minuman kopi cappucino memiliki kadar kafein sebesar 54 mg/cangkir, dan Jenis minuman kopi café latte memiliki kadar kafein sebesar 41,25 mg/cangkir. Hasil uji bivariat menunjukkan terdapat perbedaan kualitas tidur yang signifikan pada kualitas tidur setelah mengkonsumsi kopi pada ketiga kelompok subjek. Subjek yang mengonsumsi jenis minuman kopi espresso memiliki kualitas tidur yang cenderung lebih buruk dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi jenis minuman kopi cappucino dan café latte. Kesimpulan: Penelitian ini menemukan adanya perbedaan kadar kafein pada jenis minuman kopi espresso, cappuccino, dan café latte dan adanya perbedaan yang signifikan pada kualitas tidur setelah mengonsumsi berbagai jenis minuman kopi. Subjek pada kelompok jenis minuman kopi espresso memiliki kualitas tidur paling buruk

    Reaksi Inflamasi Berdasarkan Perbedaan Tinggi Badan pada Anak Usia 9-12 Tahun di Kota Semarang

    Get PDF
    Latar belakang: Anak yang stunting akan berisiko menjadi overweight atau obesitas di kemudian hari. Obesitas berhubungan dengan inflamasi sistemik kronis yang menyebabkan terjadinya aktivasi sistem imun di jaringan adiposa dan memicu peningkatan produksi serta pelepasan sitokin pro-inflamasi seperti CRP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar C-Reactive Protein (CRP) pada anak usia 9-12 tahun berdasarkan perbedaan tinggi badan (TB) di Kota Semarang. Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional pada 2 kelompok: Anak Tinggi Badan bawah median-lingkar pinggang tinggi (TBBM-LPT) dan tinggi badan atas median-lingkar pinggang tinggi (TBAM-LPT). Skrining dilakukan pada 602 anak usia 9-12 tahun di wilayah urban dan suburban di Kota Semarang. Penentuan status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur dan lingkar pinggang. Pengukuran Kadar c-reactive protein(CRP) melalui pengambilan serum darah yang kemudian dianalisis dengan metode ELISA(Enzymelinked Immunosorbent Assay). Analisis data menggunakan uji t independen, mann-whitney dan korelasi pearson-spearman Hasil: Angka kejadian obesitas sebesar 24.9%, dan stunted obesity 0.2%. Rerata kadar C-Reactive Protein (CRP) pada anak TBAM-LPT (3.83±2.85) lebih tinggi dari kelompok TBBM-LPT (2.18±2.31) dengan nilai p=0.005. Total subjek yang mengalami inflamasi tinggi (CRP>3mg/L) sebesar 47.5% dan ditemukan lebih tinggi pada laki-laki. Lingkar pinggang memiliki korelasi terhadap kenaikan CRP (r=0.36 p=0.02) daripada Z-score TB/U (r=0.22 p=0.15). Simpulan: Subjek yang mengalami inflamasi tinggi sebesar 47.5%. Ada perbedaan bermakna kadar CRP pada kedua kelompok, dimana kelompok TBAM-LPT memiliki rerata kadar CRP lebih tinggi. Tinggi badan tidak berkorelasi terhadap kenaikan kadar CRP. Lingkar pinggang memiliki korelasi terhadap kenaikan kadar CRP

    KEJADIAN SINDROM METABOLIK PADA REMAJA STUNTED OBESITY USIA 12-17 TAHUN DI KOTA SEMARANG

    Get PDF
    Latar Belakang : Stunted dan obesitas merupakan masalah gizi utama di Indonesia. Individu stunted meningkatkan risiko terjadinya obesitas. Obesitas abdominal dapat menyebabkan perubahan metabolik melalui mekanisme resistensi insulin dan stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian sindrom metabolik pada remaja stunted obesity dibandingkan dengan nonstunted obesity. Metode : Desain penelitian adalah cross sectional dengan total skrining 2.144 remaja di SMP/MTs. Subjek merupakan remaja usia 12-17 tahun yang dibagi menjadi 2 kelompok : stunted obesity dan nonstunted obesity. Setiap kelompok berjumlah 20 remaja diambil menggunakan cluster random sampling berdasarkan area urban dan suburban. Status gizi ditentukan melalui pengukuran tinggi badan dan lingkar pinggang. Penetapan sindrom metabolik menggunakan 3 dari 4 faktor risiko, yaitu obesitas adominal, hipertensi, hipertrigliseridemia dan kadar kolesterol HDL rendah. Analisis data menggunakan uji deskriptif dan uji chi-square. Hasil : Prevalensi obesitas abdominal pada remaja mencapai 30% dan 1.45% diantaranya stunted obesity. Pada kelompok stunted obesity terdapat 14 remaja (70%) mengalami sindrom metabolik, sedangkan nonstunted obesity sebanyak 7 remaja (35%). Tidak terdapat perbedaan secara signifikan kejadian sindrom metabolik antara stunted obesity dan nonstunted obesity. Simpulan : Kejadian sindrom metabolik pada stunted obesity lebih besar daripada nonstunted obesity

    Hubungan Frekuensi Konsumsi Gluten dan Kasein dengan Status Gizi Anak Autisme

    Get PDF
    Latar belakang: Terapi diet pada anak autisme yang paling banyak diterapkan adalah diet bebas gluten dan/atau kasein karena mampu memperbaiki gejala hiperaktif atau gangguan autisme lainnya. Hal ini juga dapat berdampak pada tingkat kecukupan asupan zat gizi anak autisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan frekuensi konsumsi gluten dan kasein dengan status gizi pada anak autisme. Metode: Penelitian observasional desain cross sectional dengan jumlah responden 34 anak autisme yang diambil melalui metode consecutive sampling. Pengambilan data primer meliputi data asupan makanan dengan menggunakan metode food recall 3x24 jam dan Food Frequency Questionaire (FFQ), data aktivitas fisik dengan mengunakan kuisoner Physical Activity Questionaire for Children (PAQ-C), serta data antropometri melalui timbangan digital ketelitian 0,1 kg dan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Analisis data dengan uji deskriptif dan uji korelasi. Hasil: Masalah gizi yang banyak ditemukan pada responden adalah gizi lebih sebesar 44,1%. Rerata frekuensi konsumsi gluten 9±8,8 kali/minggu dan konsumsi kasein 7±1,5 kali/minggu. Rata-rata aktivitas responden termasuk dalam kategori rendah. Hasil analisis uji Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara frekuensi konsumsi gluten dan kasein dengan status gizi (p=0,32 r=-0,17). Namun, memiliki hubungan bermakna antara frekuensi konsumsi gluten dan/atau kasein dengan tingkat kecukupan energi (p=0,049 r=0,34) dan lemak (p=0,037 r=0,36) melalui uji korelasi pearson. Simpulan: Frekuensi konsumsi gluten dan kasein tidak memiliki hubungan bermakna terhadap status gizi pada anak autisme

    Asupan Vitamin D dan Paparan Sinar Matahari pada Orang yang Bekerja di Dalam Ruangan dan di Luar Ruangan

    Get PDF
    Latar Belakang: Tingginya defisiensi vitamin D disebabkan rendahnya asupan vitamin D dimana jumlah bahan makanan sumber vitamin D terbatas dan rendahnya paparan sinar matahari. Pekerja indoor cenderung lebih sedikit terpapar sinar matahari, sedangkan pekerja outdoor lebih banyak terpapar sinar matahari, namun jika seseorang sering menggunakan pakaian tertutup dan pelindung tubuh maka paparannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin D. Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan asupan vitamin D dan paparan sinar matahari antara orang yang bekerja di dalam ruangan dan di luar ruangan. Metode: Penelitian deskriptif analitik dilakukan di Kecamatan Sayung dengan 60 sampel usia 19-64 tahun yang diambil secara consecutive sampling. Asupan vitamin D diukur dengan SQ-FFQ, dianalisis menggunakan nutrisurvey. Paparan sinar matahari diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dan recall paparan sinar matahari 3x24 jam. Data dianalisis menggunakan uji deskriptif dan uji bivariat. Hasil: Frekuensi paparan sinar matahari lebih tinggi pada orang yang bekerja di dalam ruangan (p=0.001), bagian tubuh lebih tertutup pada pekerja di dalam ruangan (p=0.02), kebiasaan penggunaan pelindung tubuh lebih sering pada pekerja di dalam ruangan (p=0.001), total durasi terpapar sinar matahari lebih tinggi pada orang yang bekerja di luar ruangan (p=0.001), bahan pakaian polyester lebih sering dipakai orang yang bekerja di luar ruangan (p = 0.07), dan asupan vitamin D orang yang bekerja di luar ruangan lebih tinggi dibanding orang yang bekerja di dalam ruangan (p=0.79). Simpulan: Orang yang bekerja di dalam ruangan lebih berisiko defisiensi vitamin D dikarenakan rendahnya asupan vitamin D dan paparan sinar matahari akibat sering menggunakan pakaian tertutup dan pelindung tubuh

    Hubungan Asupan Sugar-Sweetened Beverage dan Massa Lemak Tubuh dengan Kejadian Menarche Dini

    Get PDF
    Latar Belakang : Angka kejadian menarche dini makin meningkat beberapa tahun terakhir. Menarche yang terlalu dini meningkatkan risiko penyakit degeneratif. Asupan sugar-sweetened beverage berlebih menyebabkan tingginya kadar hormon seks dan IGF-1 di sirkulasi dan mempercepat menarche. Massa lemak tubuh yang besar berhubungan dengan kadar leptin yang tinggi serta kejadian menarche yang lebih awal. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan asupan sugar-sweetened beverage dan massa lemak tubuh dengan kejadian menarche dini. Metode : Desain penelitian case control dengan jumlah sampel 20 anak perempuan pada setiap kelompok yang berusia 10,1-11,9 tahun dipilih secara consecutive sampling. Data asupan sugar-sweetened beverage dan asupan zat gizi diperoleh menggunakan Semi Quantitative Food Frequency Questionaire (SQFFQ), massa lemak tubuh dengan persamaan regresi berdasarkan indeks massa tubuh, usia, dan jenis kelamin, dan aktivitas fisik dengan Physical Activity Questionnaire for Children (PAQ-C). Data dianalisis dengan uji Chi-Square dan uji regresi logistik ganda. Hasil : Terdapat hubungan asupan sugar-sweetened beverage (p <0,001), massa lemak tubuh (p 0,003), asupan kalsium (p 0,020), dan aktivitas fisik (p 0,016) dengan kejadian menarche dini. Uji multivariat menunjukkan bahwa hanya asupan sugar-sweetened beverage yang berpengaruh terhadap kejadian menarche dini (p 0,007). Simpulan : Asupan sugar-sweetened beverage dan massa lemak tubuh berhubungan dengan kejadian menarche dini. Asupan sugar-sweetened beverage merupakan faktor risiko kejadian menarche dini
    corecore