8 research outputs found

    Lipid Production From Microalgae as a Promising Candidate for Biodiesel Production

    Full text link
    Recently, several strains of microalgae have been studied as they contain high lipid content capable to be converted tobiodiesel. Fresh water microalgae Chlorella vulgaris studied in this research was one of the proof as it contained hightriacyl glyceride which made it a potential candidate for biodiesel production. Factors responsible for good growing ofmicroalgae such as CO2 and nitrogen concentration were investigated. It was found that total lipid content wasincreased after exposing to media with not enough nitrogen concentration. However, under this nitrogen depletionmedia, the growth rate was very slow leading to lower lipid productivity. The productivity could be increased byincreasing CO2 concentration. The lipid content was found to be affected by drying temperature during lipid extractionof algal biomass. Drying at very low temperature under vacuum gave the best result but drying at 60oC slightlydecreased the total lipid content

    Surfaktan Sodium Ligno Sulfonat (SLS) dari Debu Sabut Kelapa

    Full text link
    Indonesia merupakan negara agraris yang menghasilkan beragam hasil pertanian yang melimpah. Salah satu hasil pertanian yang menonjol di Indonesia adalah kelapa. Produksi buah kelapa di Indonesia rata-rata sebanyak 15,5 miliar butir/tahun atau setara dengan 3,02 juta ton kopra, 3,75 juta ton air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut (coir fiber) dan 3,3 juta ton debu sabut (coir dust/ cocopeat. Komposisi sabut kelapa terdiri dari 25% gabus dan 75% serat . Tetapi, debu sabut kelapa masih dikembangkan sebatas sebagai media tanam. sisanya akan menjadi limbah dengan kontribusi sangat besar dari pengisi pada volume total sampah domestiK. Banyaknya komoditas kelapa dan potensi limbah sabut yang dihasilkan, membuat pemanfaatan Debu Sabut menjadi bahan yang bernilai ekonomis patut untuk dilakukan. Salah satunya adalah sebagai bahan pembuatan Surfakatan Sodium Ligno Sulfonat (SLS) yang selama ini komoditasnya diperoleh seluruhnya dari impor. Adapun tahapan proses pembuatan SLS dari Debu Sabut kelapa adalah mempersiapan Bahan Baku berupa Debu Sabut Kelapa. Dilanjutkan dengan pemasakan/pulping menggunakan metode organosolv dengan alat pemasak digester (R-120). Dari lindi hitam yang dihasilkan, akan diproses dengan Isolasi Lignin dengan metode presipitasi asam. Lindi hitam yang telah didapat diendapkan dengan menambahkan secara perlahan H2SO4dengan konsentrasi 20% sampai pH 2 pada tangki isolasi pertama (M-211).Proses isolasi dengan metode pengasaman banyak digunakan untuk mendapatkan lignin dengan kemurnian tinggi. Untuk Menghasilkan SLS, Lignin Isolat perlu direaksikan dengan bahan penyulfonasi natrium bisulfit (NaHSO3), sehingga menghasilkan natrium lignosulfonat (SLS) pada reaktor sulfonasi (R-310). Berlokasi di Provinsi Riau, Pabrik ini akan dibangun dengan kapasistas 20.150 ton/tahun. Dari analisa ekonomi, diperlukan Modal tetap (FCI) sebesar Rp 316.323.349.677; Modal kerja (WCI) sebesar Rp 74.429.023.453; Investasi total (TCI) sebesar Rp 390,752,373,130 ; Biaya Produksi pertahun (TPC) sebesar Rp 1.772.425.308.777. Nilai Internal Rate of Return sebesar 53%, dimana Pay out Time akan dibayarkan selama 5 tahun. Hasil Break Event Point diperoleh 55 %

    Comparative Study of the Preparation of Reducing Sugars Hydrolyzed From High-Lignin Lignocellulose Pretreated with Ionic Liquid, Alkaline Solution and Their Combination

    Full text link
    The ionicliquid [MMIM][DMP] was synthesized from the reactants methyl imidazole [MIM] and trimethylphosphate [TMP] and verified using 1HNMR and FTIR. Coconut coir dust was pretreated with a 1% alkaline solution.Its crystalline structure increased significantly due to the dissolution of lignin and hemicelluloses under alkaline conditions, exposing the cellulose. After NaOH and IL were employed, the XRD showed that peak (002) decreased significantly and peak (101) almost vanished. This significant decrease in crystallinity was related to the alteration of the substrate from the cellulose I structure to the cellulose II structure. The pretreated substrates were hydrolyzed to convert them to reducing sugars by pure cellulase and xylanase,and the reaction was conducted at 60°C, pH 3, for 12 or 48 hours. The yields of sugar hydrolyzed from untreated and NaOH-pretreated substrates were 0.07 and 0.12 g sugar/g lignocellulose, respectively. Pretreatment with IL or the combination of NaOH+IL resulted in yields of reducing sugars of 0.11 and 0.13 g/g, respectively. These findings showed that IL pretreatment of the high-lignin lignocellulose is a new prospect for the economical manufacture of reducing sugars and bioethanol in the coming years

    PRA Desain Pabrik Sorbitol Dari Tepung Tapioka Dengan Hidrogenasi Katalitik

    Full text link
    Sorbitol yang dikenal juga sebagai glusitol, adalah suatu gula alkohol yang dimetabolisme lambat di dalam tubuh. Sorbitol banyak digunakan sebagai bahan baku untuk industri barang konsumsi dan makanan seperti pasta gigi, permen, kosmetika, farmasi, vitamin C, termasuk industri tekstil dan kulit. Pembuatan sorbitol dari bahan baku tepung tapioka. Pabrik sorbitol ini direncanakan akan didirikan di Propinsi Jawa Tengah tepatnya di Kabupaten Batang dengan kapasitas produksi 30.000 ton/tahun. Proses produksi Sorbitol menggunakan proses hidrogenasi katalitik. Pembuatan sorbitol dari bahan baku pati melalui dua tahap proses utama yaitu proses Perubahan starch menjadi glukosa melalui hidrolisa double enzym. Enzim yang digunakan yaitu α-amylase dan glukoamylase. Proses hidrogenasi katalitik dilakukan dengan mereaksikan larutan dekstrose dan gas hidrogen bertekanan tinggi dengan menambahkan katalis nikel dalam reaktor (Reaktor Hidrogenasi). Gas hidrogen masuk dari bawah reaktor secara bubbling dan larutan dekstrose diumpankan dari atas reaktor sehingga kontak yang terjadi semakin baik. Sorbitol yang di hasilkan dalam pradesain pabrik sorbitol ini dengan konsentrasi 58,2%. Pendirian pabrik sorbitol memerlukan biaya investasi modal tetap (fixed capital) sebesar Rp 168.801.192.952, modal kerja (working capital) Rp 29.788.445.815, investasi total Rp 198.589.638.767, Biaya produksi per tahun Rp 368.832.813.809 dan hasil penjualan per tahun Rp 540.000.078.750. Dari analisa ekonomi didapatkan BEP sebesar 26,32%. ROI sesudah pajak 48,5 %, POT sesudah pajak 2,14 tahun. Dari segi teknis dan ekonomis, pabrik ini layak untuk didirikan

    PRA Desain Pabrik Hexamethylene Tetramine dari Formaldehid dan Ammonia Menggunakan Proses Meissner dengan Kapasitas Produksi 7000 Ton

    Full text link
    Hexamethylene Tetramine (HMTA) atau yang lebih dikenal dengan hexamine memiliki penggunaan yang luas di bidang industri kimia yaitu sebagai akselerator pada industri karet, campuran TNT pada industri bahan peledak, shrink-proofing agent untuk memperindah warna pada industri tekstil, bahan pelapis butiran pupuk urea, inhibitor korosi, curing agent pada industri resin, bahan baku antiseptik, serta industri serat selulosa. Selain itu, dalam jumlah rendah, hexamine juga digunakan pada sintesis glycine maupun sebagai stabilizer pada polyvinyl acetate dan pelarut pada ekstraksi fenol. Indonesia sendiri hanya memiliki dua industri untuk memproduksi hexamine dan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehingga Indonesia masih harus impor. Padahal kebutuhan hexamine terus meningkat dari tahun ketahun. Menurut BPS (2004 - 2011), impor hexamine Indonesia pada tahun 2011 mencapai 13.227.201 kg. Melihat banyaknya kegunaan hexamine dalam berbagai bidang dan perkembangan industri di Indonesia yang memanfaatkan produk ini sebagai bahan baku, maka pendirian pabrik ini sangat dibutuhkan. Pabrik Hexamethylene Tetramine direncanakan berdiri pada tahun 2019 yang berlokasi di Palembang, Sumatera Selatan dengan kapasitas produksi sebesar 7000 ton/tahun. Proses yang digunakan pada perencanaan Pabrik Hexamethylene Tetramine ini adalah menggunakan proses Meissner. Proses pembuatan hexamine dengan proses ini dapat dibagi dalam beberapa tahap, antara lain tahap persiapan bahan baku yakni ammonia dan formaldehid, tahap pembentukan hexamine di dalam reaktor yang selanjutnya diproses lebih lanjut untuk memisahkan kristal hexamine yang telah terbentuk, dan tahap pemurnian dan penyimpanan produk. Pabrik Hexamethylene Tetramine ini direncanakan beroperasi secara kontinyu selama 24 jam dengan waktu produksi 330 hari/tahun. Berdasarkan analisa ekonomi yang telah dilakukan diperoleh internal rate of return sebesar 19,05 % dengan pay out time selama 4,9 tahun dan break even point sebesar 40%. Ditinjau dari uraian di atas, maka secara teknis dan ekonomis, pabrik Hexamethylene Tetramine dari ammonia dan formaldehid layak untuk didirikan. Kata Kunci—Hexamethylene Tetramine, ammonia, formaldehid, Meissne

    Optimization of Sugarcane Bagasse Ash Utilization for Concrete Bricks Production Using Plackett-Burman and Central Composite Design

    Get PDF
    PT. Industri Gula Glenmore (PT. IGG) setiap tahunnya memproduksi 14.300 ton abu ampas tebu (AAT) sebagai hasil samping pembakaran boiler yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Menariknya, AAT memiliki kandungan silika tinggi yaitu 68,5% yang dapat ditingkatkan nilainya sebagai substitusi parsial semen dalam pembuatan bata beton. Oleh karena itu, pada penelitian ini komposisi dan ukuran partikel AAT dioptimalkan dalam pembuatan bata beton. Optimasi dilakukan dengan menggunakan Response Surface Methodology (RSM) untuk memahami perilaku faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi kuat tekan bata beton. RSM ditentukan dengan menggunakan software Design-Expert V11. Bata beton dibuat dengan perbandingan semen dan pasir menggunakan perbandingan 1:6 dengan variasi AAT 5% sampai 25% dari berat normal semen. Hasil pengujian di Workshop menunjukkan bahwa penggunaan Fly Ash dan kapur sebagai bahan pengikat untuk menggantikan sebagian semen dengan variasi 23, 26, 28, 30, dan 33% menghasilkan kuat tekan berturut-turut sebesar 56, 52, 49, 40, dan 34 kg/cm2. Dengan demikian, bata beton pada penelitian ini termasuk dalam mutu tingkat 3 berdasarkan SNI 03-0349-1989. Inovasi ini merupakan solusi untuk meningkatkan nilai tambah AAT dan menjadi peluang bisnis baru bagi PT. IGG di masa depan.PT. The Glenmore Sugar Industry (PT. IGG) annually produces 14,300 tons of Sugarcane Bagasse Ash (SCBA) as a by-product of boiler combustion that has not been fully utilized. Interestingly, SCBA has a high silica content of 68.5% which can be valorized as a partial substitution of cement in the manufacture of concrete bricks. Therefore, in this study, the composition and particle size of SCBA were optimized in the manufacture of concrete bricks. Optimation was carried out by using Response Surface Methodology (RSM) to understand the behavior of significant factors affecting the compressive strength of concrete bricks. RSM was determined using the Design-Expert V11 software. Concrete bricks were made with a ratio of cement and sand using a ratio of 1:6 with a variation of bagasse ash 5% to 25% of the normal weight of the cement. The test results showed that the use of fly ash and lime as a binder to replace some cement with variations of 23%, 26%, 28%, 30%, and 33% resulted in a compressive strength of 56 kg/cm2, 52 kg/cm2, 49 kg/cm2, 40 kg/cm2, and 34 kg/cm2. Thus the concrete brick in this study was included in the quality level 3 based on SNI 03-0349-1989. This innovation is a solution to increase SCBA's added value and a new business opportunity for PT. IGG in the future

    The Host-Microbiome Response to Hyperbaric Oxygen Therapy in Ulcerative Colitis Patients.

    No full text
    Background & aimsHyperbaric oxygen therapy (HBOT) is a promising treatment for moderate-to-severe ulcerative colitis. However, our current understanding of the host and microbial response to HBOT remains unclear. This study examined the molecular mechanisms underpinning HBOT using a multi-omic strategy.MethodsPre- and post-intervention mucosal biopsies, tissue, and fecal samples were collected from HBOT phase 2 clinical trials. Biopsies and fecal samples were subjected to shotgun metaproteomics, metabolomics, 16s rRNA sequencing, and metagenomics. Tissue was subjected to bulk RNA sequencing and digital spatial profiling (DSP) for single-cell RNA and protein analysis, and immunohistochemistry was performed. Fecal samples were also used for colonization experiments in IL10-/- germ-free UC mouse models.ResultsProteomics identified negative associations between HBOT response and neutrophil azurophilic granule abundance. DSP identified an HBOT-specific reduction of neutrophil STAT3, which was confirmed by immunohistochemistry. HBOT decreased microbial diversity with a proportional increase in Firmicutes and a secondary bile acid lithocholic acid. A major source of the reduction in diversity was the loss of mucus-adherent taxa, resulting in increased MUC2 levels post-HBOT. Targeted database searching revealed strain-level associations between Akkermansia muciniphila and HBOT response status. Colonization of IL10-/- with stool obtained from HBOT responders resulted in lower colitis activity compared with non-responders, with no differences in STAT3 expression, suggesting complementary but independent host and microbial responses.ConclusionsHBOT reduces host neutrophil STAT3 and azurophilic granule activity in UC patients and changes in microbial composition and metabolism in ways that improve colitis activity. Intestinal microbiota, especially strain level variations in A muciniphila, may contribute to HBOT non-response
    corecore