512 research outputs found

    Strategi Meningkatkan Semangat Kerja Melaui Perbaikan Motivasi dan Penempatan Pegawai

    Get PDF
    Functional groups in general position has the ability, skills, professionalism and dedication of the nature of high despite salary / wages and incomes do not differ from the structural position. Besides functional groups in general office located in remote places in the district / district / village in Lampung province with minimum facilities. Based on observations, obtained information that describes the motivation of employees is not in line with expectations due to staffing not liking. On the other hand felt the symptoms of declining employee morale within the office of the Directorate General of Taxes Bengkulu and Lampung. Two main factors are tested as factors that affect employee morale and motivation of staff placement. Motivational factors of work and staffing partially and simultaneously provide a significant impact on morale. The two independent variables are simultaneously able to explain 58.8% variation of the accuracy of employee morale factor. Likewise partially, both motivational factors and work placement employees have a strong relationship and significant employee morale.Kelompok jabatan fungsional secara umum memiliki kemampuan, keterampilan sifat profesionalisme dan dedikasi yang tinggi walaupun gaji/upah dan penghasilan tidak berbeda dari kelompok jabatan struktural. Disamping itu kelompok jabatan fungsional pada umumnya berkedudukan di tempat terpencil di Kabupaten/Kecamatan/Desa di Propinsi Lampung dengan fasilitas yang minim. Berdasarkan pengamatan, diperoleh keterangan yang menggambarkan motivasi pegawai masih belum sesuai dengan harapan yang disebabkan penempatan pegawai belum sesuai dengan keinginan. Di lain pihak dirasakan adanya gejala menurunnya semangat kerja pegawai di lingkungan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Bengkulu dan Lampung. Dua faktor utama diuji sebagai faktor yang mempengaruhi semangat kerja pegawai yaitu motivasi kerja dan penempatan pegawai. Faktor motivasi kerja dan penempatan pegawai secara parsial dan simultan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap semangat kerja. Kedua variabel bebas tersebut secara simultan mampu menjelaskan 58,8% variasi ketepatan faktor semangat kerja pegawai. Begitupun secara parsial, baik faktor motivasi kerja maupun penempatan pegawai memiliki hubungan yang kuat dan signifikan terhadap semangat kerja pegawai.

    Peningkatan Produktivitas Pegawai Melaui Peningkatan Motivasi dan Kepuasan Kerja

    Get PDF
    The working motivation of official at Fishery and Ocean Office in East Lampung District is not optimum. It is indicated by low of responsibility to complete their duty.  The official of Fishery and Ocean Office in East Lampung District can not optimally use their capability and potential to do their job. The collaboration amang officials is not solid and can not give satisfaction optimally. The result of this research shows that the working motivation at Fishery and Ocean Office in East Lampung District is good. It is showed by frequency spread which the number of respondent that agree is 73.07 percent.  The working satisfaction at Fishery and Ocean Office in East Lampung District is generally good.Motivasi kerja pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur­ belum maksimal yang ditandai dengan masih kurangnya rasa tanggung jawab pegawai terhadap tugas. Pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur belum dapat secara maksimal mengaktualisasikan kemampuan dan potensi dirinya dalam pelaksanaan pekerjaan. Kerja sama antar pegawai dalam melaksanakan tugas masih kurang solid serta hasil kerja pegawai belum memberikan kepuasan secara maksimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kerja pegawai pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur saat ini secara umum sudah baik, hal ini juga ditunjukkan oleh sebaran frekuensi tertinggi yaitu yang menjawab setuju sebanyak 73,07 persen. Pada variabel kepuasan kerja, secara umum kepuasan kerja pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur saat ini sudah baik.

    RANCANG BANGUN INVENTORY RAW MATERIAL PADA PT.INDONESIA SYNTHETIC TEXTILE MILLS TANGERANG

    Get PDF
    Sistem persediaan bahan baku  yang tepat  dan sesuai merupakan hal yang penting bagi PT. Indonesia Synthetic Textile Mills dalam hal bidang persediaan dan penggunaan bahan baku untuk proses produksi. Sebagai salah satu perusahaan textile ternama di luar negeri, PT. Indonesia Synthetic Textile Mills siap untuk lebih memperkuat promosi dan ekspansi dimasa mendatang sepenuhnya menggunakan fasilitas produksi yang  terintegrasi,  yaitu dari spinning, weaving, hingga dyeing menyatu dengan teknologi canggih pada bagian produksi yang didapat dari Toray. Namun, terdapat masalah yakni sistem persediaan bahan baku pada PT. Indonesia Synthetic Textile Mills  memiliki  beberapa kendala dalam  menggunakan sistem  yang  sudah ada  yaitu informasi tidak update dan keterlambatan laporan. Untuk itu pada bagian gudang diperlukan sistem  persediaan  bahan  baku  sehingga  proses  perencanaan  produksi  dapat  lebih  akurat, pencarian data akan lebih mudah dan keamanan data pun akan lebih terjamin dalam proses pengambilan keputusan oleh manajemen dalam menunjang kelancaran proses produksi. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Analisis tersebut dilakukan dengan cara berbagai data yang berhasil dikumpulkan periset dilapangan dimana data yang dikumpulkan, disusun dan diinterpresentasikan, serta dianalisa, sehingga memberikan keterangan yang  lengkap bagi pemecahan masalah. Prosedur sistem yang berjalan menggunakan UML (Unified Modeling Language) dan metode perancangan menggunakan Notepad++, XAMPP, PHP, MySql. Dari penelitian ini akan diketahui bagaimana metode yang cocok  agar  sistem persediaan  bahan  baku  yang  sekarang  sedang  berjalan  di PT.  Indonesia Synthetic Textile Mills dapat dikembangkan lagi untuk mempermudah laporan persediaan bahan baku. Selain itu dihasilkan pula perancangan sistem persediaan bahan baku yang diharapkan dapat menampilkan laporan yang aktual dan mudah dipahami

    Rancang Bangun Inventory Raw Material Pada Pt.Indonesia Synthetic Textile Mills Tangerang

    Full text link
    Sistem persediaan bahan baku  yang tepat  dan sesuai merupakan hal yang penting bagi PT. Indonesia Synthetic Textile Mills dalam hal bidang persediaan dan penggunaan bahan baku untuk proses produksi. Sebagai salah satu Perusahaan textile ternama di luar negeri, PT. Indonesia Synthetic Textile Mills siap untuk lebih memperkuat promosi dan ekspansi dimasa mendatang sepenuhnya menggunakan Fasilitas produksi yang  terintegrasi,  yaitu dari spinning, weaving, hingga dyeing menyatu dengan teknologi canggih pada bagian produksi yang didapat dari Toray. Namun, terdapat masalah yakni sistem persediaan bahan baku pada PT. Indonesia Synthetic Textile Mills  memiliki  beberapa kendala dalam  menggunakan sistem  yang  sudah ada  yaitu informasi tidak update dan keterlambatan laporan. Untuk itu pada bagian gudang diperlukan sistem  persediaan  bahan  baku  sehingga  proses  perencanaan  produksi  dapat  lebih  akurat, pencarian data akan lebih mudah dan keamanan data pun akan lebih terjamin dalam proses pengambilan keputusan oleh manajemen dalam menunjang kelancaran proses produksi. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Analisis tersebut dilakukan dengan cara berbagai data yang berhasil dikumpulkan periset dilapangan dimana data yang dikumpulkan, disusun dan diinterpresentasikan, serta dianalisa, sehingga memberikan keterangan yang  lengkap bagi pemecahan masalah. Prosedur sistem yang berjalan menggunakan UML (Unified Modeling Language) dan metode perancangan menggunakan Notepad++, XAMPP, PHP, MySql. Dari penelitian ini akan diketahui bagaimana metode yang cocok  agar  sistem persediaan  bahan  baku  yang  sekarang  sedang  berjalan  di PT.  Indonesia Synthetic Textile Mills dapat dikembangkan lagi untuk mempermudah laporan persediaan bahan baku. Selain itu dihasilkan pula perancangan sistem persediaan bahan baku yang diharapkan dapat menampilkan laporan yang aktual dan mudah dipahami

    Ordenación de comunidades de fitoplancton en el lago de Chapala, Jalisco-Michoacán, México

    Get PDF
    Dalam perkembangan teknologi informasi khususnya pada manajemen modern saat ini semakin banyak organisasi-organisasi yang mengalihkan perhatiannya kepada pengguna dan kemudian mengorientasikan kinerjanya pada mutu pelayanan, hal ini dikarenakan sistem pelayanan merupakan hal yang paling penting serta dapat menjadi tolak ukur dan menilai sejauh mana kualitas dari sistem yang telah diterapkan. Seiring dengan berjalannya sistem, keoptimalan dari sistem yang diinginkan terkadang sulit dicapai. Bahkan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencapai keoptimalan sistem tersebut sulit dijalankan dan ditindaklanjuti, hal ini dikarenakan kurangnya informasi mengenai kekurangan-kekurangan dari sistem yang sedang dijalankan. Untuk itu berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukannya analisa sejauh mana keoptimalan sebuah sistem pelayanan yang telah diterapkan, karena dengan adanya analisa lebih lanjut maka kekurangan dari sistem yang sedang berjalan dapat diketahui sehingga dapat dilakukan tindak lajut terhadap kekurangan sistem tersebut supaya sistem yang dihasilkan menjadi lebih optimal dan dapat meningkatkan kepuasan user. Terdapat beberapa teori yang digunakan dalam melakukan kajian terhadap adopsi teknologi informasi oleh pengguna akhir (end user) diantaranya adalah Theory of Reason Action, Theory of Planned Behaviour, Task-Technology Fit Theory, dan Technology Acceptance Model (TAM). Namun dalam hal ini Technology Acceptance Model lebih banyak digunakan. Metode ini membuat model tentang bagaimana pengguna mau menerima dan menggunakan teknologi. Penerapan model TAM kedalam analisa Student Information Services ditujukan untuk mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan serta keoptimalan dari Student Information Services tersebut. Dengan melakukan analisa lebih lanjut maka kekurangan dari sistem tersebut dapat diketahui dan dilakukan penyempurnaan terhadap sistem

    Measurement of the double-differential inclusive jet cross section in proton-proton collisions at s\sqrt{s} = 5.02 TeV

    No full text
    International audienceThe inclusive jet cross section is measured as a function of jet transverse momentum pTp_\mathrm{T} and rapidity yy. The measurement is performed using proton-proton collision data at s\sqrt{s} = 5.02 TeV, recorded by the CMS experiment at the LHC, corresponding to an integrated luminosity of 27.4 pb1^{-1}. The jets are reconstructed with the anti-kTk_\mathrm{T} algorithm using a distance parameter of RR = 0.4, within the rapidity interval y\lvert y\rvert<\lt 2, and across the kinematic range 0.06 <\ltpTp_\mathrm{T}<\lt 1 TeV. The jet cross section is unfolded from detector to particle level using the determined jet response and resolution. The results are compared to predictions of perturbative quantum chromodynamics, calculated at both next-to-leading order and next-to-next-to-leading order. The predictions are corrected for nonperturbative effects, and presented for a variety of parton distribution functions and choices of the renormalization/factorization scales and the strong coupling αS\alpha_\mathrm{S}

    Measurement of the double-differential inclusive jet cross section in proton-proton collisions at s\sqrt{s} = 5.02 TeV

    No full text
    International audienceThe inclusive jet cross section is measured as a function of jet transverse momentum pTp_\mathrm{T} and rapidity yy. The measurement is performed using proton-proton collision data at s\sqrt{s} = 5.02 TeV, recorded by the CMS experiment at the LHC, corresponding to an integrated luminosity of 27.4 pb1^{-1}. The jets are reconstructed with the anti-kTk_\mathrm{T} algorithm using a distance parameter of RR = 0.4, within the rapidity interval y\lvert y\rvert<\lt 2, and across the kinematic range 0.06 <\ltpTp_\mathrm{T}<\lt 1 TeV. The jet cross section is unfolded from detector to particle level using the determined jet response and resolution. The results are compared to predictions of perturbative quantum chromodynamics, calculated at both next-to-leading order and next-to-next-to-leading order. The predictions are corrected for nonperturbative effects, and presented for a variety of parton distribution functions and choices of the renormalization/factorization scales and the strong coupling αS\alpha_\mathrm{S}

    Measurement of the double-differential inclusive jet cross section in proton-proton collisions at s= \sqrt{s} = 5.02 TeV

    No full text
    The inclusive jet cross section is measured as a function of jet transverse momentum pT p_{\mathrm{T}} and rapidity y y . The measurement is performed using proton-proton collision data at s= \sqrt{s} = 5.02 TeV, recorded by the CMS experiment at the LHC, corresponding to an integrated luminosity of 27.4pb1\,\text{pb}^{-1}. The jets are reconstructed with the anti-kT k_{\mathrm{T}} algorithm using a distance parameter of R= R= 0.4, within the rapidity interval y< |y| < 2, and across the kinematic range 0.06 <pT< < p_{\mathrm{T}} < 1 TeV. The jet cross section is unfolded from detector to particle level using the determined jet response and resolution. The results are compared to predictions of perturbative quantum chromodynamics, calculated at both next-to-leading order and next-to-next-to-leading order. The predictions are corrected for nonperturbative effects, and presented for a variety of parton distribution functions and choices of the renormalization/factorization scales and the strong coupling αS \alpha_\mathrm{S} .The inclusive jet cross section is measured as a function of jet transverse momentum pTp_\mathrm{T} and rapidity yy. The measurement is performed using proton-proton collision data at s\sqrt{s} = 5.02 TeV, recorded by the CMS experiment at the LHC, corresponding to an integrated luminosity of 27.4 pb1^{-1}. The jets are reconstructed with the anti-kTk_\mathrm{T} algorithm using a distance parameter of RR = 0.4, within the rapidity interval y\lvert y\rvert<\lt 2, and across the kinematic range 0.06 <\ltpTp_\mathrm{T}<\lt 1 TeV. The jet cross section is unfolded from detector to particle level using the determined jet response and resolution. The results are compared to predictions of perturbative quantum chromodynamics, calculated at both next-to-leading order and next-to-next-to-leading order. The predictions are corrected for nonperturbative effects, and presented for a variety of parton distribution functions and choices of the renormalization/factorization scales and the strong coupling αS\alpha_\mathrm{S}

    Measurement of the double-differential inclusive jet cross section in proton-proton collisions at s\sqrt{s} = 5.02 TeV

    No full text
    International audienceThe inclusive jet cross section is measured as a function of jet transverse momentum pTp_\mathrm{T} and rapidity yy. The measurement is performed using proton-proton collision data at s\sqrt{s} = 5.02 TeV, recorded by the CMS experiment at the LHC, corresponding to an integrated luminosity of 27.4 pb1^{-1}. The jets are reconstructed with the anti-kTk_\mathrm{T} algorithm using a distance parameter of RR = 0.4, within the rapidity interval y\lvert y\rvert<\lt 2, and across the kinematic range 0.06 <\ltpTp_\mathrm{T}<\lt 1 TeV. The jet cross section is unfolded from detector to particle level using the determined jet response and resolution. The results are compared to predictions of perturbative quantum chromodynamics, calculated at both next-to-leading order and next-to-next-to-leading order. The predictions are corrected for nonperturbative effects, and presented for a variety of parton distribution functions and choices of the renormalization/factorization scales and the strong coupling αS\alpha_\mathrm{S}
    corecore