42 research outputs found
A Tannaka Theorem for Proper Lie Groupoids
By replacing the category of smooth vector bundles over a manifold with the
category of what we call smooth Euclidean fields, which is a proper enlargement
of the former, and by considering smooth actions of Lie groupoids on smooth
Euclidean fields, we are able to prove a Tannaka duality theorem for proper Lie
groupoids. The notion of smooth Euclidean field we introduce here is the
smooth, finite dimensional analogue of the usual notion of continuous Hilbert
field.Comment: 47 page
Penerapan Fraud Audit untuk Meningkatkan Efektifitas Pengendalian Internal pada Siklus Penjualan dan Penagihan Piutang pada PT. X di Sidoarjo
Tuntutan yang tinggi kepada manajemen untuk menunjukan tingkat kinerja yang baik, serta didorong dengan adanya maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi mengakibatkan timbulnya keinginan untuk melakukan tindakan kecurangan atau fraud. Lemahnya pengendalian internal yang ada juga akan semakin membuka peluang untuk melakukan tindakan fraud bagi para pelakunya. Salah satu siklus dalam badan usaha
yang sangat rawan terhadap tindakan fraud adalah siklus penjualan dan penagihan piutang, hal ini dikarenakan siklus tersebut merupakan sumber arus kas masuk bagi suatu badan usaha. Karena merupakan area yang “basah” maka siklus tersebut merupakan area yang rawan akan tindakan kecurangan (fraud). Untuk mengatasi masalah fraud tersebut, diperlukan suatu jenis audit khusus yang disebut dengan fraud audit. Fraud audit ini dimaksudkan untuk mencari kelemahan yang ada dalam pengendalian internal suatu badan usaha dan mencari fraud yang timbul akibat adanya kelemahan tersebut.
Dari hasil evaluasi awal terhadap badan usaha, diketahui bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam siklus penjualan dan penagihan piutang badan usaha, yang memungkinkan terjadinya fraud dalam siklus tersebut. Kelemahan yang terjadi pada badan usaha adalah: bukti pemesan barang
melalui telepon yang tidak ditandatangani oleh customer, terjadinya perangkapan fungsi operasional dan fungsi pengawasan oleh bagian administrasi penjualan, serta pengawasan yang lemah terhadap penyetoran hasil tagihan yang dilakukan oleh bagian administrasi penjualan. Fraud yang diidentifikasi telah terjadi pada PT “X” adalah bagian
administrasi penjualan memberikan piutang kepada customer tertentu yang masih memiliki utang kepada badan usaha, berdasarkan hasil pengujian substantif terdapat tiga customer yang memiliki umur piutang diatas 60 hari yang masih diperbolehkan untuk memesan barang. Hal ini akan
menimbulkan risiko piutang tak tertagih yang akan akan dialami oleh badan usaha. Selain itu, kurangnya pengawasan terhadap bagian administrasi penjualan dalam menyetorkan hasil tagihan dapat membuat bagian tersebut melakukan lapping. Hal ini telah dibuktikan dari hasil pemeriksaan, bagian administrasi penjualan melakukan penundaan penyetoran hasil tagihan. Akibat lebih lanjut dari adanya fraud diatas dalam jangka panjang akan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup badan usaha. Untuk itu beberapa rekomendasi diberikan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan
yang ada pada siklus penjualan dan penagihan piutang badan usaha sehingga fraud yang terjadi akibat kelemahan tersebut dapat diminimalkan dan aset badan usaha dapat diamankan
War memories and Japan's 'normalization' as an international actor : a critical analysis
Published online before print June 16, 2010. The paradigmatic case in which an almost permanent impasse exists in coming to terms with a difficult war past and ‘normalizing’ its international relations is that of Japan. Although successive Japanese governments have apologized over the last few decades, these have been countered by periodic episodes within Japan revolving largely around history textbooks, the remembrance of war dead and the quest by nationalists to restore national pride in the past. Regional relations were especially strained during the premiership of Koizumi Juni’chirô and his immediate successor, Abe Shinzô. They improved under Fukuda Yasuo, a moderate on war memory issues, and remained steady under Asô Tarô. Japan’s latest prime minister, Hatoyama Yukio, appears determined to address Japan’s war past more openly and critically than previous LDP figures, no doubt with an eye to improving Japan’s relations with its Asian neighbours. But whatever line he pursues, contestation over war memories will remain an issue. They are driven by deep divisions within Japan at the same time that political leaders seek a more prominent identity for Japan as a ‘normal’ actor in international affairs. This article analyses key aspects of the politics of Japan’s war memories, using insights from collective memory studies and constructivist IR theory. We suggest that the quest for ‘normality’ has generated a set of tensions and contradictions over the issue of war memories, both domestically and internationally, for which there is no resolution in sight.24 page(s
Confronting the past, normalizing the present : the problem of Japan's war memories
Confronting an ugly past is often regarded as essential not only to achieving some justice for the victims but also for allowing those held historically responsible to move on. This is sometimes a prerequisite for the ‘normalization’ of relations between states whose shared histories may contain events in which one party believes they have been grievously wronged by the other. The paradigm case in which an almost permanent impasse exists in coming to terms with a difficult war past is Japan vis-à-vis its immediate neighbours in East Asia. The cycle of apologetics and denials will almost certainly continue as deep contestations over war memories continue within Japan while at the same time political leaders seek a more prominent role for their country as a ‘normal’ actor in international affairs. This paper assesses the problem of Japan’s ‘normalization’ efforts with particular reference to issues of nationalism, state identity and normative theory.23 page(s