38 research outputs found

    Kajian Distribusi Biaya dan Manfaat Hutan Lindung sebagai Pengatur Tata Air

    Full text link
    Hutan Lindung yang berfungsi sebagai pengatur tata air perlu dijaga agar kualitas, ketersediaan air serta kelestariannya. Permasalahan yang dihadapi adalah adanya beberapa pihak yang terlibat dalam pengelolaannya baik sebagai pengatur tata air maupun sebagai pengguna jasa air yang belum mempunyai standar harga. Penelitian bertujuan mengetahui nilai kompensasi yang selayaknya diterima oleh para pengelola kawasan hutan lindung dan bagaimana mekanisme serta distribusi biaya atas manfaat jasa lingkungan. Lokasi penelitian dilakukan di kawasan DAS Brantas sekitar kawasan lindung Perum Perhutani, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Taman Hutan Raya Suryo di Propinsi Jawa Timur. Penelitian dilakukan dengan metode diskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi produksi air yang dapat dihasilkan disekitar kawasan lindung masing-masing 73,37 juta m3 untuk Perum Perhutani, 41,48 juta m3 TNBTS dan 83,88 juta m3 untuk Tahura Suryo per tahun. Besarnya kompensasi biaya yang selayaknya diterima sebagai biaya pemeliharaan dan konservasi masing-masing pengelola adalah Rp 8 691 085/ha untuk Tahura Suryo, TNBTS Rp 2 052 450/ha dan Perum Perhutani Rp 978 349/ha. Kompensasi yang diterima dari pengguna jasa air atas manfaat jasa lingkungan merupakan sumber dana yang dapat digunakan untuk biaya pemeliharaan di kawasan lindung sebagai daerah tangkapan air. Agar mekanisme penyaluran nilai jasa lingkungan dapat diterapkan dan berjalan dengan baik perlu dirumuskan dalam suatu kebijakan dan aturan tentang pemanfaatan sumberdaya alam

    Kajian Dampak Perubahan Fungsi Kawasan Hutan terhadap Masyarakat Sekitar

    Full text link
    Perubahan fungsi kawasan hutan merupakan kegiatan merubah fungsi suatu kawasan hutan menjadi fungsi lainnya. Realisasi Perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi atau hutan lindung dilakukan untuk menghentikan kegiatan eksploitasi pemanfaatan hasil hutan kayu dalam upaya menjaga kelestarian keaneka ragaman hayati, perlindungan plasma nutfah dan mempertahankan aset lainnya yang ada di kawasan hutan produksi. Landasan yuridis dalam pelaksanaan kegiatan Perubahan fungsi kawasan hutan mengacu pada pasal 19 ayat (1) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yaitu” Perubahan Peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Mekanisme yang mengatur Perubahan fungsi kawasan hutan didasarkan atas Keputusan Menteri Kehutanan No 70/KPTS-II/2000. Pelaksanaan Perubahan fungsi kawasan hutan ditujukan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan fungsi hutan secara lestari dan berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian orientasi Perubahan fungsi kawasan hutan lebih pada aspek pemanfaatan hutan. Berdasarkan data Badan Planologi Departemen Kehutanan perkembangan Perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan lainnya secara keseluruhan sampai dengan Januari 2007 seluas 884.860,36 hektar yang tersebar di seluruh Indonesia. Kegiatan ini mengkaji dampak Perubahan fungsi kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL) menjadi kawasan hutan dengan fungsi konservasi yaitu sebagai Taman Nasional (TN). Penelitian dilakukan pada 3 propinsi untuk Sumatera Utara dengan lokasi di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), untuk Jambi di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dan untuk Kalimantan Tengah di Taman Nasional Sebangau (TNS). Metode penelitian dilakukan secara diskriptif kualitatif ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan hukum. Hasil kajian menunjukkan bahwa kawasan hutan produksi yang mengalami Perubahan merupakan kawasan HPH yang sudah tidak aktif atau ijinnya sudah dicabut. Sehingga dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat sekitar hutan produksi tidak berpengaruh secara langsung karena sebagian masyarakat sekitar kawasan yang bekerja pada Perusahaan kayu bukan merupakan sumber mata pencaharian tetap. Berbeda dengan masyarakat yang bermukim sekitar kawasan hutan lindung dampak secara hukumnya terlihat setelah dilakukan tata batas, karena sebagian besar petani mempunyai lahan garapan di sekitar dan di dalam kawasan hutan lindung baik sebagai pemilik lahan maupun sebagai penggarap dengan rata-rata luas garapan 0,25 ha. Pada masing-masing lokasi dampak sosial ekonomi masyarakat berbeda-beda seperti di TNBG hanya ± 10 % dari 20 responden masyarakat yang merasakan dampak dari Perubahan fungsi kawasan yaitu masyarakat tidak bisa berburu terutama di kawasan lindung, di TNBD masyarakat tidak bisa membalok dan di TNS masyarakat tidak bisa berkebun. Sedangkan dampak terhadap lingkungan adanya penebangan liar, perambahan hutan dan penambangan liar

    Kajian Potensi, Tata Niaga dan Kelayakan USAha Budi Daya Tumbuhan Litsea

    Full text link
    Lemo (Litsea cubeba Persoon L.) termasuk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang sudah semakin langka. Sebagian besar komponen pohon lemo (bunga, buah, daun, dan kulit kayu) dapat dimanfaatkan sebagai minyak atsiri. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah belum tersedianya informasi potensi dan sebaran tegakan alam lemo, tata niaga lemo dan belum ada masyarakat yang membudidayakannya . Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji sebaran dan potensi pohon lemo, pemanfaatan kulit batang lemo, tata niaga serta kelayakan USAha budidaya pohon lemo. Penelitian sebaran dilakukan di sekitar kawasan hutan lindung Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan kawasan hutan konservasi di Jawa Tengah. Penelitian pemanfaatan dilakukan dengan mencari data dan informasi pada beberapa industri jamu di Jawa Tengah dan para pedagang pengumpul kulit lemo. Metode penelitian yang digunakan adalah analisa margin pemasaran dan analisa kelayakan budidaya lemo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran lemo bersifat sporadis dan masih terbatas di hutan alam. Di Jawa Barat, pengembangbiakan lemo di alam dibantu oleh angin dan hewan yang memakan bijinya. Pemanfaatan lemo banyak digunakan oleh industri jamu (hilir) sebagai bahan pengharum jamu yaitu kulit batang lemo yang diperoleh dari masyarakat (hulu) melalui pedagang pengumpul. Ada 3 tipe saluran tataniaga kulit lemo dengan pelaku tataniaga, antara lain masyarakat pemungut kulit lemo; pedagang pengumpul; industri rumah tangga (jamu godokan), dan industri jamu. Berdasarkan analisis margin pemasaran, diketahui bahwa pelaku tataniaga yang memperoleh bagian terbesar adalah pedagang pengumpul 1 (pertama) yaitu sebesar Rp 6.000,-/kg. Hasil analisis kelayakan USAha budidaya menunjukkan bahwa perkiraan pendapatan dari setiap ha tumbuhan lemo pada panen tahun ke 8 adalah sebesar Rp 41.402.500,- terdiri dari nilai kulit batang Rp 14.577.500,-, nilai kayu bakar Rp 20.825.000,- dan nilai daun Rp 6.000.000,-. Pada suku bunga 10 % dan 12 % nilai NPV positif, BCR lebih besar dari 1(satu) dan IRR lebih dari tingkat suku bunga. Sehingga USAha budidaya lemo layak untuk dilakukan. Lemo yang sudah langka diharapkan didorong budidaya dan pengembangan pemanfaatannya baik kulit batang, daun, buah dan akarnya

    Analisis Kebijakan Penyediaan Lahan Hutan Tanaman Industri (Policy Analysis On Providing Land For Industrial Forest Plantation)

    Full text link
    Analisis kebijakan penyediaan lahan HTI adalah suatu kajian terhadap aturan main dalam penyediaan lahan untuk pembangunan hutan tanaman, dasar hukum, serta upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan aspek legalitas lahan kepada pemegang ijin IUPHHK-HT untuk mengelola suatu kawasan hutan produksi. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman dan secara khusus mengkaji: 1) kebijakan alokasi dan distribusi lahan hutan tanaman; 2) tatacara dan persyaratan perijinan penyediaan lahan hutan tanaman dan 3) gap implementasi peraturan penyediaan lahan hutan tanaman. Hutan tanaman yang dikaji adalah: hutan tanaman industri (HTI). Hasil kajian menunjukan bahwa tidak ada gap kebijakan dalam penyediaan lahan hutan tanaman. Pemerintah daerah mengikuti mekanisme yang sudah ditentukan oleh Kementerian Kehutanan yang tertera dalam P.19/2007 Jo P.11/2008 (untuk HTI). Proses perijinan IUPHHK melalui mekanisme permohonan kepada Menteri Kehutanan belum efektif dan efisien disebabkan oleh: 1) belum adanya ketentuan yang baku mengenai besarnya biaya dalam proses permohonan ijin dan 2) adanya ketidak singkronan bunyi pasal dalam P.63/2008 dengan bunyi pasal 5 (huruf f dan g) dalam P.11/2008 mengenai permohonan rekomendasi Gubernur

    Kerentanan dan Upaya Adaptasi Masyarakat Pesisir terhadap Perubahan Iklim

    Full text link
    Perubahan iklim dipahami masyarakat sebagai Perubahan musim dan telah banyak memberikan dampak negatif pada kehidupan. Tulisan ini membahas kerentanan masyarakat pesisir akibat Perubahan iklim. Penelitian dilakukan di tiga desa yaitu kawasan hutan lindung di Kabupaten Subang, kawasan hutan konservasi di Kabupaten Jembrana, dan hutan hak di Kabupaten Pemalang. Data dikumpulkan dari 30 responden pada masing-masing desa, dan dianalisa dengan Multivariate Analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perubahan iklim menurunkan penghasilan mayoritas masyarakat di tiga desa penelitian. Jumlah masyarakat desa sekitar hutan mangrove yang merupakan hutan hak mempunyai kerentanan paling rendah (37%), kerentanan tertinggi di masyarakat desa sekitar hutan lindung (82%) dan kerentanan sedang di masyarakat desa sekitar hutan konservasi (55%). Kerentanan masyarakat banyak dipengaruhi oleh: 1) keterbukaan yaitu kondisi iklim; 2) sensitivitas, meliputi ketergantungan masyarakat terhadap jenis penghasilan yang sensitif iklim, lokasi sumber penghasilan yang dekat dengan sumber bencana dan rusaknya lingkungan biofisik; 3) kapasitas adaptasi, meliputi perbaikan lingkungan biofisik, variasi sumber penghasilan, ekstensifikasi lahan USAha, penerapan teknologi pertanian dan perikanan, penyesuaian jadwal kegiatan USAha dengan prakiraan musim, alih profesi, tetap pada kegiatan lama dan berharap pada keuntungan, kuatnya kelembagaan masyarakat, bantuan atau program pembangunan desa dan pendampingan yang intensif

    Kajian Implementasi Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria dalam Pengorganisasian Kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan

    Full text link
    Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan kawasan hutan di tingkat tapak yang dikelola untuk memenuhi pengelolaan hutan lestari dalam rencana jangka panjang. Satu atau lebih fungsi hutan (konservasi, lindung dan produksi) dapat dimasukkan dalam suatu KPH, tetapi KPH diklasifisikan berdasarkan fungsi hutan yang dominan. KPH telah ditetapkan di beberapa provinsi, tetapi ada yang belum operasional. Aspek kelembagaan seperti kebijakan dan organisasi merupakan kendala dalam pelaksanaan KPH. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengkaji implementasi Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) pengelolaan KPH dan (2) mengkaji kebijakan organisasi dalam pengelolaan KPH. Kegiatan ini dilaksanakan di KPH Dampelas Tinombo di Sulawesi Tengah serta KPH Way Terusan dan KPH Batu Tegi di Provinsi Lampung. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis retrospektif, sedangkan untuk mengkaji struktur organisasi menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan NSPK pengelolaan KPH telah diimplementasikan oleh masing-masing KPH. Hal ini dapat dilihat dari adanya master plan mengenai ”perencanaan pengelolaan hutan dan tata hutan”. Terdapat kesamaan dalam struktur organisasi KPH yang ditunjukkan melalui pembagian kerja, wewenang, rentang kendali dan departemenisasi. Namun, terdapat perbedaan yaitu pengelompokkan jenis departemenisasi. Perbedaan ini disebabkan oleh : perbedaan kondisi daerah, potensi kawasan serta kebijakan setiap daerah. Bentuk organisasi KPH pada lokasi penelitian memiliki karakteristik “struktur organisasi fungsional.” Organisasi tipe ini akan senantiasa beradaptasi dengan lingkungannya agar tetap berkembang menuju visi dan misi yang telah dibuat. Apabila terdapat Perubahan kebijakan, organisasi perlu mengubah internal organisasi, misalnya dengan menyesuaikan struktur organisasinya. Dengan bentuk struktur organisasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), KPH dapat mengakomodasi kepentingan pusat melalui departementalisasi dengan pendekatan kriteria dalam NSPK. Koordinasi dalam hal pendanaan telah mulai dilakukan, baik dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Saran studi ini meliputi : (1) Perlunya kebijakan turunan, mengenai tugas dan peran KPH secara rinci untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan (2) Perlu penyiapan kondisi pemungkin dalam organisasi apabila terdapat Perubahan kebijakan terkait organisasi KPH. Pemerintah pusat mengalokasikan dana melalui UPT terkait sampai KPH mandiri dan perlu aturan tentang kapabilitas dan mobilisasi SDM

    Peran Para Pihak dalam Penanganan Konflik di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Delta Mahakam, Kalimantan Timur

    Full text link
    Kawasan Delta Mahakam mempunyai nilai ekonomi dan konservasi yang cukup tinggi menjadikan pengelolaan Delta Mahakam mengalami tantangan cukup besar. Campur tangan pemerintah diperlukan agar tercipta pengelolaan yang memerhatikan keterkaitan ekologis antara daratan dan laut. Penelitian dilakukan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Delta Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran para pihak, penjelasan kepentingan, potensi dan pengaruh dalam penanganan konflik kawasan hutan di KPHP Delta Mahakam. Teknik Analisis yang digunakan adalah (PIL), untuk mengevalausi peran masing-masing dalam penyelesaian Power, Interest, Legitimacy stakeholders konflik . Hasil penelitian menunjukkan potensi konflik yang terjadi di KPHP Delta Mahakam dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok, yaitu: pertama, pemerintah pusat; kedua, pemerintah daerah; ketiga, lembaga swadaya masyarakat (LSM ) dan akademisi; keempat, Perusahaan minyak dan gas; kelima, nelayan; keenam, Perusahaan perkebunan dan pertambangan; dan ketujuh, masyarakat sekitar hutan. Potensi konflik dapat terjadi secara bilateral dan atau aliansi antara pemilik positive interest (pemerintah pusat, pemerintah daerah, dengan masyarakat) dengan pemilik negative interest (Perusahaan minyak dan gas, dengan nelayan). Pemahaman para pihak tentang perannya masing-masing adalah sangat penting untuk pengelolaan berkelanjutan KPHP Delta Mahakam

    Analisis Tenurial dalam Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Studi Kasus KPH Gedong Wani, Provinsi Lampung

    Full text link
    Pengelolaan kawasan hutan tidak terlepas dari persoalan atau konflik lahan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ekonomi, sosial, ekologi dan kebutuhan lahan pertanian. Konflik lahan dapat terjadi antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Tujuan kajian ini adalah: 1) menguraikan sejarah kawasan KPH; 2) mengkaji perkembangan penggunaan dan pemanfaatan kawasan dan 3) menganalisis dampak penggunaan dan pemanfaatan kawasan. Metode penelitian menggunakan Analisis Historis atau Analisis Runtut Kejadian melalui beberapa tahapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kawasan yang telah ditunjuk sebagai KPH sudah diokupasi oleh masyarakat, baik sebagai lahan garapan, pemukiman, bangunan kantor desa, maupun menjadi pusat perbelanjaan berupa toko serba ada dan pasar tradisional. Di KPH tersebut terdapat lahan garapan yang sudah bersertifikat dan ada desa definitif yang dikukuhkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Konflik dalam kawasan hutan terjadi karena rendahnya intensitas pengelolaan, pengamanan dan perlindungan. Penelitian ini juga menghasilkan suatu model pemanfaatan lahan (land use) dalam satu unit manajemen KPH. Analisis tenurial ini diharapkan dapat dijadikan alternatif resolusi konflik lahan di sektor kehutanan. Salah satu alternatif solusi yang disarankan adalah menerapkan Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Desa dari Kementerian Kehutanan atau mengembangkan konsep Desa Hutan yang mampu menampung aspirasi dan dinamika masyarakat tanpa mengubah status kawasan hutannya

    Potensi Pengembangan Industri Pelet Kayu sebagai Bahan Bakar Terbarukan Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo

    Full text link
    Industri pelet kayu di Kabupaten Wonosobo adalah Industri Penanaman Modal Asing dari Korea untuk tujuan ekspor. Bahan baku dari kayu pelet seperti serbuk gergaji memiliki potensi suplai di Kabupaten Wonosobo. Di sisi lain, serbuk gergaji adalah bahan bakar utama untuk industri makanan dan minuman seperti tahu dan tempe. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pengembangan industri pelet kayu dengan bahan baku limbah kayu. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Metode deskriptif kualitatif dilakukan untuk mengetahui fenomena industri kayu menggunakan kerangka pendekatan yang komprehensif dengan menganalisis setiap sub sistem industri kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan industri pelet kayu memiliki peluang potensi yang tinggi. Potensi limbah kayu gergajian sebagai bahan bakar biomassa terbarukan yang cukup untuk memasok bahan baku pelet kayu. Permintaan pelet kayu industri tahu dan tempe dalam satu tahun sebesar 40. 422 ton. Limbah serbuk gergajian yang dapat dihasilkan oleh industri pengolahan kayu yang ada saat ini sebesar 151.524 m dapat menghasilkan pelet kayu sebesar 7.576 ton/tahun. Kekurangan bahan baku serbuk gergaji dapat ditutupi melalui investasi penanaman terutama jenis albasia, oleh karena itu terdapat peluang untuk pengembangan industri pelet kayu. Disamping itu perluasan penanaman pohon pada hutan rakyat merupakan potensi untuk penyediaan bahan baku pelet. Luas kawasan hutan yang dibutuhkan untuk penanaman pohon adalah 1.247,3 ha. Studi menunjukkan bahwa pelet kayu perlu disosialisasikan sebagai bahan bakar biomass terbarukan. Dalam hal ini, para pemangku kepentingan terkait diharapkan menyebarluaskan promosi produk biomasaa terbarukan

    Kajian Implementasi Kebijakan Organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Daerah (Studi Kasus KPH Banjar, Kalimantan Selatan dan KPH Lalan Mangsang Mendis, Sumatera Selatan)

    Full text link
    Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) telah ditetapkan sebagai tujuan strategis untuk mengelola hutan yang lebih baik. Walaupun demikian masih banyak kendala dijumpai dalam pembangunan KPH, diantaranya masalah kelembagaan dalam pendanaan dan pengembangan sumberdaya manusia (SDM). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengkaji implementasi kebijakan terkait organisasi KPH dan (2) Mengkaji ketersediaan SDM pendukung dalam pembangunan KPH. Penelitian dilakukan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lalan Mangsang Mendis, Provinsi Sumatera Selatan dan KPHP Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan purposive sampling. Data dianalisis dengan analisis perencanaan SDMdan analisis kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk organisasi KPH saat ini adalah UPTD dari Satuan Lembaga Lain” Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kehutanan. Penelitian menunjukkan adanya ketidaksesuaian organisasi UPTD dengan peraturan yang ada. Bentuk organisasi tersebut mempunyai keterbatasan dalam anggaran dan kewenangan pelaksanaan kegiatan, Sumberdaya Manusia (SDM) baik kuantitas dan kualitas. Bentuk SKPD dapat berupa sekretariat, Dinas, Lembaga Teknis Daerah (LTD), atau lembaga lain sebagai bagian dari perangkat daerah. Bentuk KPHyang tepat adalah LTD atau lembaga lain. Sesuai pasal 45 pada PP41/2007 maka organisasi KPH tidak bisa berbentuk “Lembaga Teknis Daerah”, tapi dalam bentuk “ karena skor organisasi di kabupaten sudah menunjukkan nilai yang maksimal. Kebutuhan saat ini adalah bagaimana memperkuat kelembagaan KPH sebagai SKPD dengan perencanaan yang baik. Langkah-langkah penting masih diperlukan sebelum KPHoperasional adalah penentuan peran dan fungsi KPH secara jelas dan tata hubungan kerja dengan stakeholder terkait termasuk pemegang ijin yang dapat dituangkan melalui peraturan. Lebih lanjut, komitmen daerah diperlukan untuk mendukung pembentukan KPHmenjadi SKPD
    corecore