9 research outputs found
Role of Carboxy Terminal Propeptide of Type I and Type III Procollagen (PICP and PIIICP) Toward the Severity Degree of Mitral Valve Regurgitation in Children’s Rheumatic Heart Disease
BACKGROUND: Rheumatic heart disease (RHD) is recognized as a heart disease that occurs as a result of sequelae in acute rheumatic fever (ARF), characterized by the occurrence of defects in the heart valves. The most common manifestation of childhood RHD is mitral regurgitation (MR). The role of inflammation and oxidative stress in RHD also involves several components consisting of carboxy-terminal pro-peptide of Type I procollagen (PICP) and carboxy-terminal pro-peptide of Type III procollagen (PIIICP).
AIM: The aim of this study was to know whether PICP and PIIICP can be used to measure the severity level of mitral valve regurgitation.
METHODS: This research is considered as descriptive-analytic research, and using cross-sectional analysis. Forty RHD patients underwent echocardiographic examinations to measure Wilkin and effective regurgitant orifice area scores. Patients were classified into ARF without valve abnormalities, mild, moderate, and severe MR. PICP and PIIICP were with ARF through venous blood and ELISA was examined. Data were analyzed by employing SPSS 22 with p = 0.05). Wilkins scores and PICP levels have a regression coefficient of 0.296 with a p-value of 0.032.
RESULTS: There was a significant difference in PICP level among the studied sample groups with a p = 0.012, (p < 0.05), with insignificant difference in PIIICP level among sample groups with a p = 0.083, greater than α = 0.05 (p > 0.05). Wilkins scores and PICP level have a regression coefficient of 0.296 with a p = 0.032 (p < 0.05), while PIIICP level has a regression coefficient of 0.093 with a p = 0.568 (p > 0.05).
CONCLUSION: There is no significant increase indicated on PIIICP level, but PICP level indicates a significant increase in RHD group with severe mitral valve abnormalities. PICP can be used to measure the severity level of mitral valve regurgitation.
 
Peran Kadar Transforming Growth Factor Beta-1 (Tgf-Î’1) Terhadap Derajat Kerusakan Katup Mitral Pada Anak Dengan Penyakit Jantung Reumatik
Terdapat kadar TGF-β1 yang lebih tinggi secara signifikan pada anak dengan
PJR (dengan kerusakan katup) dibandingkan dengan DRA (tanpa kerusakan
katup),erdapat pola peningkatan kadar TGF-β1 seiring derajat kerusakan katup mitral
pada anak dengan PJR. Didapatkan kadar TGF-β1 yang lebih tinggi pada anak
dengan regurgitasi katup mitral berat dibandingkan regurgitasi katup mitral
sedang dan kadar TGF-β1 yang lebih tinggi pada anak dengan regurgitasi katup
mitral sedang dibandingkan dengan regurgitasi katup mitral ringan, erdapat korelasi kuat positif antara kadar TGF-β1 dengan derajat kerusakan
katup mitral pada anak dengan PJR. Semakin tinggi derajat kerusakan katup,
makin tinggi kadar TGF-β1
Hubungan Antara Kadar Interleukin-4 ( Il-4 ) Dengan Derajat Keparahan Regurgitasi Katup Mitral Pada Anak Dengan Penyakit Jantung Reumatik
Demam reumatik akut (DRA) merupakan respon autoimun lambat yang
dipicu oleh Streptokokus grup A (SGA) pada individu yang rentan dan tidak
diobati dengan baik. Manifestasi klinis utama DRA adalah poliartritis migran,
karditis, khorea sydenham, eritema marginatum dan nodul subkutan. Secara
epidemiologi 30-50% dari semua kasus menyebabkan kerusakan progresif atau
permanen pada katup jantung, yang dikenal sebagai penyakit jantung reumatik
(PJR).
Katup mitral adalah bagian yang paling sering terkena (± 65-70%) diikuti
katup aorta (± 25%), sedangkan katup trikuspid dan pulmonal jarang terkena.
PJR pada katup mitral bermanifestasi paling umum sebagai mitral regurgitasi
(MR) diikuti oleh mitral stenosis (MS) atau kombinasi keduanya, sedangkan pada
anak, lesi katup yang paling sering terjadi adalah MR.
Interleukin 4 merupakan sitokin anti inflamasi yang berperan pada
regulasi sistem imun, menghambat produksi sitokin proinflamasi oleh sel Th1.
Interleukin-4 mencegah aktivasi makrofag yang diinduksi oleh IFN-γ, TNF-α, oleh
karena itu IL-4 mempunyai efek yang berlawanan dengan IFN-γ danTNF-α.
Interleukin-4 berperan penting menghambat proses inflamasi sehingga dapat
menghambat proses valvulitis pada DRA dan PJR.
Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah terdapat hubungan antara
penurunan kadar IL-4 terhadap keparahan regurgitasi katup jantung pada PJR
anak. Hipotesis penelitian ini adalah apakah kadar IL-4 pada anak dengan PJR
lebih rendah dibandingkan dengan kontrol anak sehat dan apakah terdapat
hubungan antara kadar IL-4 dengan kelompok regurgitasi katup mitral ringan,
sedang dan berat pada anak dengan PJR.
Penelitian ini menggunakan rancangan observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling
didapatkan 40 penderita yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Karakteristik
subyek penelitian didapatkan lebih banyak pasien yang berjenis kelamin
perempuan (21/40) dengan rerata usia 11,7 tahun dengan kategori usia 11-15
tahun adalah jumlah yang terbanyak (19/40).
Rerata kadar IL-4 pada masing-masing kelompok dengan demam
reumatik akut, regurgitasi katup mitral ringan, regurgitasi katup mitral sedang dan
regurgitasi katup mitral berat berturut-turut sebesar 4,2840 pg/mL; 3,6628 pg/mL;
3,2784 pg/mL; 3,0200 pg/mL. Secara statistik kadar IL-4 kelompok DRA
dibandingkan regurgitasi katup mitral ringan dan sedang, kemudian antara
kelompok regurgitasi katup ringan,sedang,berat tidak ditemukan adanya
perbedaan yang signifikan. Kelompok DRA dibandingkan pada kelompok
Regurgitasi katup mitral berat terdapat perbedaan kadar IL-4 yang signifikan
dengan nilai p=0,003. Berdasarkan uji korelasi terdapat hubungan antara kadar
IL-4 dengan derajat keparahan regurgitasi katup mitral pada anak dengan PJR
dengan nilai p=0,001 dengan tingkat keeratan moderat (r = -0,486).
vii
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat kadar IL-4 pada
anak dengan PJR lebih rendah dibandingkan dengan DRA. Anak PJR dengan
regurgitasi katup mitral berat kadar IL-4 lebih rendah secara signifikan
dibandingkan dengan DRA. Terdapat korelasi antara kadar IL-4 dengan derajat
keparahan regurgitasi katup mitral pada anak dengan PJ
Prominently Increased of Mannose Binding Lectin (MBL) and Myeloperoxidase (MPO) Levels in Severe Valve Regurgitation and Heart Failure of Rheumatic Heart Disease
Rheumatic heart disease (RHD) is mediated by an abnormal immunological response following a Streptococcus pyogenes infection that induces a disturbance of oxidants and antioxidants balances. Mannose-binding lectin (MBL) binds to N-acetylglucosamine, a molecule present on the Streptococcus cell wall and human heart valves. There is a disturbance of oxidant and antioxidant balance in rheumatic disease. Myeloperoxidase (MPO) is a marker of oxidative stress and inflammation. This study was aimed to determine the correlation of MBL and MPO levels and severity of valvular regurgitation and heart failure (HF) in RHD patients. A case-control study was conduct using human peripheral blood samples from 32 children aged 6 to 14 years old. The subjects were divided into two groups: 16 RHD patients included in the case group and 16 healthy children as a control group. The level of MBL and MPO was investigated using ELISA method. There were significant differences on MBL and MPO level between patient and control group. The level of MBL and MPO were significantly increased in RHD group, especially on severe valvular regurgitation. There was a strong correlation between MBL and MPO levels and the severity of valvular regurgitation (r = 0.94 and r = 0.88). The least significant diff-erence (LSD) analysis showed that significant difference occurs in the severe heart failure group. Our research revealed that the MBL and MPO levels in pediatric RHD patients were significantly higher than in healthy children. The MBL and MPO levels were significantly correlated with the severity of valvular regurgitation and heart failure
Poor Adherence to Secondary Prophylaxis is Associated with More Severe Rheumatic Valve in Pediatric Patients: A Cross-Sectional Study
Background : Rheumatic heart disease (RHD) contributed to a large number of proportion amoung cardiovascular problems in developing county, especially Indonesia. Secondary prophylaxis method using intramuscular injection of Benzathin Penicillin-G (BPG) has been known as the most effective strategy in the prevention of RHD. However, whether this prevention method also resulting in prevention of disease severity in Indonesian patients remained to be examined.Objectives : This study aimed to assess the difference of rheumatic valve severity in Indonesian pediatric patients between adequate and poor adherence to secondary prophylaxis by using intramuscular BPG injection.Methods : This cross-sectional study was conducted at Pediatric Cardiology Department of Saiful Anwar General Hospital from November 2018 to June 2019. Patients with documented history of RHD were included. Frequency of intramuscular BPG injection during the last one year was recorded. Adherence was measured using the proportion of days covered (PDC) and adequate adherence was defined as PDC ≥0.90. The severity of RHD was assessed based on the severity of the mitral and / or aortic valve using echocardiography. Bivariate analysis and multivariate logistic regression analysis was used to identify characteristics associated with rheumatic valve severity.Results : A significant difference of rheumatic mitral and/or aortic valve severity was observed between adequate adherence compared to poor adherence group (p = 0.016). Rheumatic mitral and/or aortic valve were found to be more severe in patients who has one or more episode of ARF recurrence (p = 0.003). Multivariate logistic regression analysis demonstrated that adherence to secondary prophylaxis within the last 1 year has the strongest influence on the severity of rheumatic mitral and/or aortic valve (p = 0.049; OR 7.20).Conclusion : The adherence to secondary prophylaxis has the strongest related the rheumatic valve severity compared to other factors
Perbedaan Keparahan Kelainan Katup Mitral Dan / Atau Katup Aorta Antara Pasien Penyakit Jantung Reumatik Anak Yang Patuh Dan Tidak Patuh Terhadap Pengobatan Profilaksis Sekunder Menggunakan Benzathin Penisilin-G
Latar Belakang :
Penyakit jantung reumatik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada anak-anak di seluruh dunia. Demam reumatik akut umumnya diikuti dengan tingginya kekambuhan DRA dan berkembang menjadi PJR. Profilaksis sekunder merupakan cara yang efektif untuk mencegah kekambuhan DRA dan mencegah berkembangnya PJR. Namun masih terdapat keterbatasan referensi dan penelitian mengenai pemeriksaan ekokardiografi pada pasien PJR anak yang mendapatkan terapi profilaksis sekunder, dan data mengenai DRA dan PJR di Indonesia belum tersedia secara lengkap dan akurat.
Metode :
Studi cross sectional ini merekrut 69 pasien yang didiagnosis PJR yang berobat jalan di Poli Kardiologi Anak Rumah Sakit Umum Saiful Anwar sejak November 2018 hingga Juni 2019. Sebanyak 22 pasien dilakukan eksklusi karena data pengobatan yang tidak lengkap, profilaksis sekunder menggunakan profilaksis oral, atau tidak didapatkan kelainan katup mitral dan/atau aorta saat ekokardiografi. Kami meneliti hubungan antara kepatuhan pengobatan profilaksis sekunder dalam 1 tahun, kekambuhan DRA dalam 1 tahun, kekambuhan DRA sejak awal pengobatan dan skor Wilkins terhadap derajat keparahan PJR.
Hasil :
Terdapat perbedaan derajat keparahan PJR yang signifikan (p = 0,016) antara pasien dengan kepatuhan pengobatan profilaksis sekunder minimal 90% dalam satu tahun terakhir dengan kepatuhan <90%. Terdapat perbedaan derajat keparahan PJR yang signifikan (p = 0,000) dengan bertambahnya skor Wilkins pada pasien PJR anak. Terdapat perbedaan derajat keparahan PJR yang signifikan (p = 0,003) antara pasien yang pernah mengalami kekambuhan demam reumatik akut sejak awal terapi dan pasien yang tidak pernah kambuh. Terdapat perbedaan signifikan skor Wilkins pada pasien PJR anak yang memiliki kepatuhan pengobatan profilaksis sekunder minimal 90% dalam satu tahun terakhir dengan kepatuhan <90% (p = 0,042). Tidak terdapat perbedaan signifikan kekambuhan DRA sejak awal terapi pada pasien PJR anak yang memiliki kepatuhan profilaksis sekunder minimal 90% dalam satu tahun terakhir dengan kepatuhan <90% (p = 0,142). Pada uji multivariat menggunakan regresi logistik didapatkan bahwa hanya variabel kepatuhan profilaksis sekunder minimal 90% dalam satu tahun terakhir memiliki pengaruh paling kuat terhadap derajat keparahan PJR (p = 0,049; OR 7,20).
Kesimpulan :
Perbedaan keparahan kelainan katup mitral dan / atau katup aorta pada pasien PJR didapatkan berhubungan dengan kepatuhan profilaksis sekunder minimal 90% dalam satu tahun terakhir, skor Wilkins, dan kekambuhan DRA sejak awal terapi. Didapatkan perbedaan skor Wilkins antara pasien yang kepatuhannya minimal 90% dalam satu tahun terakhir dan yang kepatuhannya <90%
The Corellation Between Serum Ferritin and Cardiac Troponin I in Major Beta Thalassemia Children
Major beta thalassemia (MBT) is a hereditary disease which synthesies defects in beta chains of haemoglobin, it is causes red blood cell destruction and the symptoms of anemia. Red blood cell destruction, frequent blood transfusion and low adherence to routine use of iron chelator lead to iron accumulation in the heart, liver and endocrine organs. Accumulation of iron in the myocard can lead acute myocardial infarction. One of cardiac markers that had been used for the diagnosis of myocardial infarction was cardiac troponin I (cTnI). The aim of this research is find the correlation between serum ferritin levels and cTnI in MBT children. A descriptive analytic research was conducted using a cross sectional design. The subjects were divided into 2 groups, the MBT group and the control group. In both groups, the serum ferritin and cTnI levels ere evaluated. Data were analyzed using t-test and Pearson correlation test. Eleven children in the MBT group and 11 children in the control group were involved in this study. In the MBT group, the mean of serum ferritin and cTnI levels were 4292.5 µg/L and 0.20 ng/mL respectively. The mean of serum ferritin levels in the MBT group were higher than in the control and statistically significant (p= 0.0004). The mean of serum ferritin levels in the MBT group were higher than in the control and statistically significant (p= 0.0004). The mean of serum cTnI in the MBT group were higher than in the control, but statistically not significant (p= 0.82). In the MBT group, there was a weak corellation between serum ferritin and cTnI levels (r= 0.34)
Pengaruh Kadar Feritin Serum terhadap Fungsi Ventrikel Kiri pada Thalassemia Mayor yang Mendapat Transfusi Multipel
Latar belakang. Thalassemia adalah penyakit darah yang bersifat diturunkan, transfusi darah secara teratur
merupakan satu-satunya cara untuk memperpanjang hidup.
Tujuan. Untuk mengetahui pengaruh kadar feritin serum terhadap fungsi ventrikel kiri pada pasien
thalassemia mayor yang mendapatkan transfusi multipel.
Metode. Penelitian dengan rancang bangun cross sectional. Dilakukan di Divisi Hematologi - Onkologi
RS Dr Sutomo Surabaya dari bulan Agustus-November 2006. Pengambilan sampel secara konsekutif,
dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan jumlah transfusi darah yang telah diterima.
Hasil. Subjek penelitian 61 anak rerata kadar serum feritin pada kelompok 1: 768,7, kelompok 2: 2338,8,
kelompok 3: 5207,3. Hasil ekokardiografi EF < 64% kelompok 1: 3 dari 18 anak (16,7%), kelompok 2: 2
dari 15 anak (13,3%), kelompok 3: 8 dari 28 anak (28,6%). Rasio E/A < 1,5 kelompok 1: 6 dari 18 anak
(33,3%), kelompok 2: 3 dari 15 anak (20,0%), kelompok 3: 12 dari 28 anak (42,9%). Rasio E/A > 2,5
kelompok 1: 1 dari 18 anak (5,6%), kelompok 2: 1 dari 15 anak (6,7%), kelompok 3: 4 dari 28 anak
(9,8%). Dengan analisis regresi logistik, ternyata tidak ada hubungan bermakna antara kadar feritin serum
dengan gangguan fungsi ventrikel kiri pada subyek penelitian. (p > 0,05)
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara lama transfusi dengan rasio E/A yang > 2,5, namun tidak
didapatkan hubungan antara kadar serum feritin dengan gangguan fungsi ventrikel kiri pada pasien
tallasemia mayor yang mendapatkan transfusi secara multipel