Articulation of Regional Community Interest Through DPD RI

This paper examined the articulation of the interests of regional community through the authority of members of the Regional Representative Council (DPD) to see the extent of the functions and authorities of people representative officials in realizing the public interest of the regional people. This paper utilized conceptual approach and statutory approach to the law because of its normative type in nature. Therefore, the required data were in form of articles of the law regulating the authority of members of the Regional Representatives Council (DPD) as well as the interests of the society in the region. In addition, data from bibliography were also collected, such as results of scientific studies relevant to the object of study in the present study to compare theories leading to meet conclusions to be drawn. The results show that the articulation of the interests of regional community within the scope of the authority of the DPD is still very limited because it is at the theoretical level, instead of practical. The DPD should have taken strategic steps in helping to succeed the interests of the regional community of developemnts

HEALTH INSURANCE AND CITIZEN RIGHTS: Reviewing the State Role in Fulfilling the Right of Access to Health

Indonesia is one country that gained world recognition as a country that respects the Human Rights (HAM), Indonesia is also a party to ratify the two international covenants (International Covenant on Civil and Political Rights [ICCPR] and International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights [ICESCR]) which is derived from the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) as the main instrument of human rights. In the national context, the right to obtain access to health is one of the rights possessed by citizens, and the state is obliged to fulfill these rights. UDHR, ICESCR, the Constitution of the Republic of Indonesia, the Human Rights Act, a number of national rules in the field of health, and the social security system through the National Health Insurance program (JKN) into the basic responsibility of the state to fulfill the right to access to healthcare for its citizens. But in fact, based on the news, there are many events and cases related to the problem of poor service at both the Hospital and the Regional Center becomes a problem for the fulfillment of human rights by state. Issues to be discussed in this paper is the factor that causes difficulty in obtaining access to health in Indonesia? and How the state’s role in tackling problems of access to health in Indonesia?. This paper is a conceptual article and in the discussion using the theory of human rights. Economic and geographical problems are two factors causing the population is difficult to get access to healthcare, issues health costs such as certain drugs that are not covered by JKN and other costs (transport, meals, etc.) for the poor is an economic factor that must be addressed by state, whereas unequal distribution of health facilities in a given area makes 188 it difficult for people to access it, but because of the distance traveled very far even have to cross the island into a separate problem for poor people who are sick, it is a geographical factor that should be handled by state. The state’s role in tackling the problems of access to health is the increase allocation of health aid to the poor, coordination of central and local governments to equitable development of health facilities in every region of Indonesia, so that every community can easily access and enjoy the health facilities provided by the state

Death Penalty in Constitutional Dimensions and Human Rights in Indonesia

The implementation of death penalty in Indonesia is still a topic of debate among legal thinkers. For those who contend with death penalty, it is contrary to the constitution and human rights. As for the death penalty, it is argued that it is a proper form of punishment for the perpetrators of serious crimes such as drug trafficking, premeditated murder, gross violations of human rights, and various crimes that have a wide negative impact on society. The existence of death penalty has also received legal recognition through the decision of the Constitutional Court which considers that death penalty is not contradictory to the constitution and human rights values

KEWENANGAN PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945

Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga tinggi negara yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Utusan Daerah dan Utusan Golongan.277 Sebelum perubahan UUD NRI 1945, problem lembaga negara terbatas pada kedudukan dan hubungan kekuasaan yang normanya secara tegas diatur dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978, yang membagi kedudukan lembaga negara atas dua kategori yaitu lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. 278 Pasca dilakukannya amademen terhadap UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan lembaga tertinggi negara berubah menjadi lembaga tinggi negara

Konsepsi Hukum Indonesia yang bersifat Prismatik

Konsepsi prismatik menurut Fred W. Riggs (1964), sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahfud, dan Prof Arief , bahwa Pancasila mengandung unsur-unsur yang baik dan cocok dengan nilai khas budaya Indonesia yang meliputi : (1) Pancasila memuat unsur yang baik dari pandangan individualisme dan kolektivisme, dimana di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan sebagai makhluk sosial; (2) Pancasila mengintegrasikan konsep negara hukum “rechtsstaat” yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum “the rule of law” yang menekankan pada common law dan rasa keadilan; (3) Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law); serta (4) Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan oleh satu agama tertentu (negara agama) tetapi juga tidak hampa agama (negara sekuler) karena negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi karena kuantitas pemeluknya

REKONSTRUKSI PENGATURAN FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA

Pada tahun 1998 gerakan politik sekaligus hukum yang menuntut reformasi dalam wujud amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), penegakan hukum, hak asasi manusia, pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, otonomi daerah, kebebasan pers serta mewujudkan kehidupan demokrasi. Dengan latar belakang terjadinya reformasi itu, Indonesia mengalami perubahan yang fundamental bagi sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan melalui perubahan UUD NRI 1945. Salah satu perubahan yang terjadi pada Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 Tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disingkat ST MPR) adalah dengan bertambahnya lembaga negara baru, yakni lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disingkat DPD)

KEDAULATAN RAKYAT DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Kedaulatan dalam bahasa latinnya disebut supremus, dalam bahasa Inggrisnya disebut sovereignty yang berarti tertinggi. Kedaulatan dalam bahasa Arab daulah, daulat yang artinya kekuasaan. Kedaulatan dari berbagai bahasa itu dapat diartikan sebagai wewenang satu kesatuan politik. Jadi, kedaulatan adalah sebagai kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara atau kesatuan yang tidak terletak di bawah kekuasaan lain. Dengan demikian, pengertian kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara

FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM

Landasan konstitusional sebagai dasar terbentuknya DPD ditemukan pengaturannya dalam Pasal 22 C dan Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945). Kewenangan DPD sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945 adalah sebagai berikut: 1. DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2. DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. 3. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. 4. Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang