13 research outputs found
Mortalitas dan Penampilan Anak Babi Prasapih yang Diinjeksi dengan Tysinol pada Umur yang Berbeda
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui umur yang paling baik dilakukan injeksi Tysinol pada anak babi prasapih sehingga diperoleh penampilan yang terbaik dan tingkat mortalitas terendah. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), dengan 3 perlakuan yaitu tidak diinjeksi dengan Tysinol (I0), injeksi dengan Tysinol pada umur 1 hari (I1), dan injeksi dengan Tysinol pada umur 3 hari (I3). Anak babi prasapih berasal dari 4 induk (blok) dengan 3 kali ulangan, sehingga dipergunakan anak babi prasapih sebanyak 36 ekor. Hasil penelitian menunjukkan dengan injeksi Tysinol pada anak babi prasapih umur 1 hari (I1) diperoleh berat badan sapih (39%), tambahan berat badan harian (38%), lingkar dada (5,9%), dan panjang badan (6%) yang nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa injeksi Tysinol (Io) (P<0,05). Pada variabel yang sama diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata antara Io dan I3 (P>0,05). Untuk variabel tinggi badan dan mortalitas diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan yang diberikan (P>0,05). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa anak babi yang baru lahir harus diberikan Tysinol, dan sebaiknya diinjeksi pada umur 1 (satu) hari setelah kelahiran
PREMIX SUPPLEMENTATION IN FEED ON THE REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF LANDRACE CROSSINGS WITH DUROC
This research aims to determine the increase in reproductive performance of Landrace and Duroc cross sows given additional premix feed. This research was carried out in Br. Belong, Taro Kaja Village, Tegalalang District, Gianyar Regency, Bali Province. The crossbreed pigs used are Landrace and Duroc, 2-3 years old, or sows who have given birth 2-3 times. The experimental design used in this research was a completely Randomized Design (CRD) which consisted of 3 treatments, namely T0 feed without premix, T1 feed with premix and given to sows starting at 2 month of gestation, and T2 feed with premix and given to sows starting at 3 months of gestation. The average gestation period for the sow is 114 days and the premix dose is 1 kg/ 200 kg of feed. The results showed that the lit- ter size, birth weight, weaning weight, number of piglets weaned, and age at weaning showed significantly different results (P0.05). The sow’s ability to maintain the litter size until weaning is very dependent on the quality of the feed given to the gestation of sow, especially feed that supports the sow’s milk production. From the results of this research, it can be concluded that giving premix to sows at 2-3 months of gestation (T2 and T3) can improve the reproduction performance of sows
Effect of Carcass Aging Towards Pork Organoleptic Quality of Bali Pig
The research aims were to observe the effect of carcass aging on a different time to pork organoleptic quality of Bali pig. It used Completely Randomized Design with 4 treatments i.e. P0 = hot carcass without aging, P1 = carcass aging for 1 day, P2 = hot carcass aging for 2 days, P3 = carcass aging for 3 days. Pork samples for the organoleptic quality test were taken from part of longgsimus dorsi (LD). Data obtained were analyzed with none parametric test of Hedonic (Kruskal & Wallis, 1952). Variables observed were colour, aromatic, texture, taste, tenderness and overall acceptance. The research results showed that the best panel preference level to the pork colour was on the pork aging for 1 day (P1), then its decreased on day 2 and 3. Preference level of the panel to aromatic, taste, and tenderness of the pork aging for 1 to 3 days were increased significantly. The panel preference level to the pork texture aging for 1 to 3 days was not significant. Overall, the acceptance level of the pork aging for 1 day have the highest score. From data mentioned above could be concluded that the best organoleptic quality was the pork aging for 1 day
Studi Khasiat Ekstrak Daun Bawang Putih (Allium Sativum) dan Daun Katuk (Sauropus Androgynus) terhadap Penurunan Kadar Kolesterol dan Lemak Abdomen Itik
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh pemberian ekstrak daun bawang putih (Allium sativum) dan katuk (Sauropus androgynus) terhadap penurunan kadar kolesterol dan lemak abdomen itik Bali jantan umur 2-8 minggu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan enam kali ulangan. Ketiga perlakuan tersebut adalah itik yang diberi air minum biasa sebagai kontrol (A), itik yang diberi air minum dengan 10% ekstrak daun bawang putih (B), dan 10% daun Katuk. Pemberian ransum dan air minum secara secara ad libitum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ransum dan air minum tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05) diantara perlakuan. Berat badan akhir dan pertambahan berat badan itik meningkat nyata (P<0,05) dengan pemberian ekstrak daun bawang putih dan daun katuk melalui air minum. Sebaliknya, kadar kolesterol dalam serum darah dan jumlah lemak abdomen itik menurun secara nyata (P<0,05). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian 10% ekstrak daun bawang putih (Allium sativum) dan katuk (Sauropus androgynus) dapat meningkatkan penampilan dan menurunkan kandungan serum kolesterol darah dan jumlah lemak abdomen itik Bali umur 2-8 minggu
POPULASI DAN PERFORMA REPRODUKSI BABI BALI BETINA DI KABUPATEN KARANGASEM SEBAGAI PLASMA NUTFAH ASLI BALI
Babi bali merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untukdikembangkan karena memiliki sifat-sifat dan kemampuan yang menguntungkan, namun keberadaannya di PulauBali sangat sedikit dan hanya terdapat pada derah-daerah tertentu, seperti daerah Karangasem, Nusa Penida danBuleleng. Pemeliharaan babi bali tidak bisa terlepas dari adat sosial budaya yang ada di Pulau Bali. Dalam usahapengembangan dan peningkatan produktivitas babi bali, performa reproduksi (lama bunting, service periodedan calving interval) memegang peranan penting, dan juga produktivitas seekor induk babi ditentukan oleh littersize dan farrowing rate dalam setahunnya. Pada penelitian ini pengambilan sampel secara purposive randomsampling dan pendekatan eksploratif serta pemilihan lokasi penelitian berdasarkan waktu dan biaya penelitian.Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi babi bali di Kabupaten Karangasem yang terdiri dari 8 kecamatan,setiap tahunnya mengalami penurunan rata-rata 0,063%. Lama bunting babi bali betina rata-rata 110±2.59 haridan calving intervalnya 151.06±6,30 hari. Litter size babi bali 6.98±2.37 ekor. Kesimpulan dari penelitian iniadalah performa reproduksi babi bali di Kabupaten Karangasem adalah baik, dan diperlukan usaha-usaha untukmeningkatkan populasi babi bali karena sebagai plasma nutfah babi lokal Indonesia, babi bali perlu dilestarikan,disamping upaya peningkatan manajemen pemeliharaan dan mutu genetiknya
MORTALITAS DAN PENAMPILAN ANAK BABI PRASAPIH YANG DIINJEKSI DENGAN TYSINOL PADA UMUR YANG BERBEDA
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui umur yang paling baik dilakukan injeksi Tysinol pada anak babi prasapih sehingga diperoleh penampilan yang terbaik dan tingkat mortalitas terendah. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), dengan 3 perlakuan yaitu tidak diinjeksi dengan Tysinol (I0), injeksi dengan Tysinol pada umur 1 hari (I1), dan injeksi dengan Tysinol pada umur 3 hari (I3). Anak babi prasapih berasal dari 4 induk (blok) dengan 3 kali ulangan, sehingga dipergunakan anak babi prasapih sebanyak 36 ekor. Hasil penelitian menunjukkan dengan injeksi Tysinol pada anak babi prasapih umur 1 hari (I1) diperoleh berat badan sapih (39%), tambahan berat badan harian (38%), lingkar dada (5,9%), dan panjang badan (6%) yang nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa injeksi Tysinol (Io) (P0,05). Untuk variabel tinggi badan dan mortalitas diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan yang diberikan (P>0,05). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa anak babi yang baru lahir harus diberikan Tysinol, dan sebaiknya diinjeksi pada umur 1 (satu) hari setelah kelahiran
KOMBINASI METODE STEAMING-UP DAN FLUSHING DALAM MENINGKATKAN LITTER SIZE BABI LANDRACE
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah anak babi Landrace dengan menggunakan metode steaming-up (injeksi ovalumon) dan flushing (penambahan glukosa dalam ransum) pada 12 ekor babi induk. Penelitianini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola percobaan faktorial 2×2. Faktor pertama (H)adalah steaming-up dengan injeksi ovalumon, dibagi menjadi dua yakni tanpa injeksi (H0) dan dengan injeksi(H1). Faktor kedua (F) adalah flushing dengan penambahan glukosa, dibagi menjadi dua yakni tanpa glukosa (F0)dan dengan glukosa (F1). Injeksi 3 ml ovalumon (2.000 i.u Estrogen) pada tiap ekor induk diberikan melalui suntikandibawah kulit belakang telinga hari ke-10 setelah penyapihan. Pemberian pakan tambahan berupa 100grglukosa dalam ransum dilakukan mulai penyapihan sampai saat induk dikawinkan. Hasil penelitian menunjukkanbahwa rataan jumlah anak babi per kelahiran (litter size) pada H0F0 (kontrol); H0F1; H1F0 dan H1F1 masingmasingadalah 4,33±0,58; 7,67±0,58; 7,00±0,99 dan 9,33±0,58 ekor. Bobot lahir anak per induk masing-masingadalah 4,10±0,38; 6,12±0,05; 5,86±0,50 dan 7,14±0,25 kg; dan bobot lahir anak per ekor masing-masing adalah0,95±0,03; 0,80±0,06; 0,84±0,07 dan 0,77±0,03 kg, serta munculnya berahi setelah penyapihan masing-masingadalah 14,67±0,58; 13,00±0,58; 12,67±0,58 dan 11,33±0,58. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwametode steaming-up dan flushing pada babi landrace dapat mempercepat munculnya berahi setelah penyapihananak, meningkatkan litter size, berpengaruh terhadap bobot lahir per induk dan bobot lahir per ekor
Nutritional content and microbial contamination of fresh cold and frozen Bali beef in Mambal RPH production in Badung Regency, Bali Province
This study aims to determine the nutrition and microbial contamination of fresh, chilled, and frozen Bali beef. This study used a completely randomized design (CRD) direct pattern a 3x7, with 3 treatments and 7 repetitions of Bali beef. The treatments were: (P1) meat stored at room temperature (27°C-35°C) for less than 1 day (fresh meat), (P2) meat stored at 0°C-4°C for 1 day -2 days (cold meat), (P3) meat stored at a minimum temperature of -18°C with a storage time of 1-7 days (frozen meat). The variables observed in this study were the nutritional content of meat, namely water content, protein, fat, ash and carbohydrates as well as pathogenic bacterial contamination, namely Total Plate Count (TPC), Colliform and E-Colli. The results of this study showed that the nutritional content of water content and ash content in fresh, chilled and frozen meat had no significant effect. However, the protein content decreased significantly when the meat was frozen. The fat and carbohydrate content had the opposite result, namely, there was a significant increase when the meat was frozen. In terms of meat microbiological contamination on TPC, Coliform and E-colli variables, showed that frozen meat had the highest microbial population followed by fresh meat and cold meat had the lowest total pathogenic microbes
Quality of Bali beef cut on different management of slaughterhouses (RPH) in Bali province
The purpose of this study was to determine the physical, chemical and microbiological quality of Balinese beef from Slaughterhouses (RPH) with different management in Denpasar City and Badung Regency as abattoirs that supply most of Bali beef on the island of Bali. The material used was male Bali beef in the Longisimus Dorsi (LD) muscle which was cut at three different abattoirs. The RPH are UPT RPH Mambal, UPT RPH Pesanggaran and RPH belonging to the community of RPH Darmasaba in Banjar Bersih Darmasaba Village. This study used a completely randomized design (CRD) with 3 treatments where three abattoirs were treated and each treatment consisted of 10 repetitions of Bali beef cuts. The variables sought in this study were physical quality variables, namely pH, color, water holding capacity, and meat cooking loss. Chemical quality variables are meat moisture content, protein content, fat content and ash content. Meat microbiological variables were TPC, colliform, e-coli and salmonella. The results showed that the physical quality of Bali beef slaughtered at the Darmasaba RPH had the lowest physical quality compared to the Mambal and Pesanggaran abattoirs, especially on the pH and meat color variables. The chemical quality of Bali beef slaughtered at the three abattoirs had no significant difference in water content, protein content, and ash content. The total plate count, coliform was below the SNI threshold while e-coli was not identified and salmonella was negative