32 research outputs found

    Kelembagaan Pengurusan Kehutanan pada Era Desentralisasi (Study Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan)

    Full text link
    Pelaksanaan desentralisasi urusan kehutanan menemui beberapa masalah, antara lain: rancunya aturan Perundang-undangan, ketidakjelasan wewenang, kurang harmonisnya tata hubungan kerja pusat dan daerah dan ketidaksiapan daerah. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis aspek kelembagaan kepengurusan hutan pada era desentralisasi dan menjelaskan mengapa berbagai masalah tersebut muncul. Sasaran yang ingin dicapai adalah memberikan rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan desentralisasi kehutanan ke depan. Kajian dilakukan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, karena kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki luas hutan 45% terhadap total luas kabupaten. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa beberapa Perda di Kabupaten OKI masih mengacu pada aturan lama dari Departemen Kehutanan yang sudah dicabut. Peraturan Perundangan dalam pengurusan hutan di Pemerintah Pusat berubah lebih cepat, daripada sosialisasi ke Pemerintah Daerah. Dalam pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah harus ada keseimbangan hak dan tanggungjawab agar pelimpahan kewenangan yang diberikan tidak dianggap sebagai beban. Tata hubungan kerja antara UPT Pusat yang ada di daerah, Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten perlu diperbaiki agar kinerja pengurusan hutan di daerah lebih optimal. Pelaksanaan desentralisasi urusan kehutanan menghadapi masalah pendanaan dan SDM, oleh karena itu diperlukan pembinaan dan mekanisme pelimpahan wewenang secara bertahap, sampai daerah betul-betul mampu menjalankan kewenangan yang dilimpahkan secara mandiri

    Evaluasi Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Hutan Produksi

    Full text link
    Pengelolaan hutan produksi didesentralisasi oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Kabupaten berdasarkan PP No. 38/2007. Setelah hampir dua belas tahun kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan produksi dijalankan, deforestasi di hutan produksi menunjukkan laju tertinggi dibanding kawasan hutan yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut belum efektif. Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan produksi. Kajian dilakukan di Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Pelalawan (Provinsi Riau), Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai Barat (Provinsi Kalimantan Timur). Data yang terkumpul dianalisis dengan content analysis terhadap produk Perundangan yang ada dan deskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa : porsi kewenangan pengelolaan hutan produksi oleh Pemerintah Kabupaten yang direpresentasikan dari luasan hutan produksi yang ada cukup besar (47,16%), tetapi berdasarkan Perundangan yang ada, kewenangan pengelolaan hutan produksi oleh pemerintah kabupaten hanya kewenangan yang kurang berarti. Pengelolaan hutan produksi belum sepenuhnya didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kabupaten, beberapa kewenangan yang bernilai ekonomis masih dipegang oleh Pemerintah Pusat. Kegiatan ijin pemanfaatan kawasan melalui HKm, HTR dan Hutan Desa serta pembentukan KPH merupakan bentuk nyata desentralisasi pengelolaan hutan yang masih perlu disempurnakan dan didorong pelaksanaannya

    Kearifan Lokal Petani dalam Merehabilitasi Lahan Kritis (Studi Kasus di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri)

    Full text link
    Kebijakan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah pada masa lalu lebih menekankan aspek teknis dan mengabaikan aspek sosial, termasuk diantaranya nilai budaya lokal masyarakat setempat, akibatnya kegiatan tersebut kurang berhasil. Tulisan ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui kearifan lokal masyarakat dalam merehabilitasi lahan sebagai pembelajaran sosial bagi semua stakeholders. Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus tunggal. Data dikumpulkan pada tahun 2005 dengan melalukan indepth interview, focus group discussion, content analysis dan observation. Proses analisis data secara interaktif. Hasil kajian menunjukkan bahwa: masyarakat dengan kearifannya sanggup merehabilitasi lahan kritis yang ada di sekitarnya dengan memilih jenis tanaman yang sesuai. Tanaman jati (Tectona grandis) dianggap sebagai “sejatine kayu” (sesungguhnya kayu), karena mempunyai keunggulan dalam hal: kemampuan beradaptasi di lahan kritis, keawetan kayu, kualitas kayu, kemampuan memunculkan sumber mata air dan nilai jual yang tinggi. Teknik pengelolaan tanaman yang diterapkan sangat sederhana, dengan ciri : bibit lokal, jarak tanam rapat, pemeliharaan tidak intensif dan sistem tebang butuh. Pengelolaan tanaman tersebut menjadikaan hutan rakyat yang ada dikelola secara lestari. Saran kajian ini adalah kebijakan pembangunan ke depan, termasuk diantaranya dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, harus memperhatikan bukan hanya aspek teknis, tetapi juga aspek ekonomis, sosial dan budaya masyarakat setempat

    Kinerja Pemerintah Kabupaten dalam Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung: Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari

    Full text link
    Evaluasi dari Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Kabupaten merupakan bagian penting dalam desentralisasi. Salah satu instrument dalam evaluasi tersebut adalah mengukur kinerja. Tulisan ini bertujuan untuk mengukur kinerja Pemerintah Kabupaten dalam mengelola hutan lindung di wilayahnya serta merumuskan saran untuk perbaikan pengelolaan hutan lindung ke depan. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten dalam DAS Batanghari. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur persepsi responden dengan skala likert dan pengukuran status program (Parker, 1996). Hasil penelitian menunjukkan kinerja pengelolaan hutan lindung menurut persepsi responden sebelum dan sesudah desentralisasi mempunyai kategori yang sama yaitu pada tingkat sedang. Adanya desentralisasi tidak mengubah kinerja pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah kabupaten. Kinerja Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Solok Selatan berdasarkan status program mempunyai beberapa program pengelolaan hutan lindung, tetapi baru dalam tahap sangat awal ( )), sedangkan Kabupaten Sarolangun mempunyai hanya satu program pengelolaan hutan lindung. Kinerja desentralisasi pengelolaan hutan lindung perlu ditingkatkan dengan program-program pengelolaan hutan yang lebih komprehensif mulai dari perencanaan sampai dengan pemanfaatan. Pemerintah Pusat perlu menyusun mekanisme dan instrument untuk mengukur apakah Pemerintah Kabupaten sudah menjalankan kewenangan yang diserahkan kepadanya dengan baik dan mendukung kapabilitas Pemerintah Kabupaten agar dapat menjalankan beberapa program yang belum dijalankan. pilot stag

    Tata Hubungan Kerja Antar Institusi Kehutanan dalam Pengelolaan Hutan Lindung di Era Otonomi Daerah

    Full text link
    Tata hubungan kerja antar institusi kehutanan dalam pengelolaan hutan lindung di era otonomi banyak menemui masalah. Ada duplikasi dan ketidakjelasan peran antar institusi. Kajian bertujuan untuk menganalisis implementasi dan tata hubungan kerja antar institusi kehutanan dalam pengelolaan hutan lindung. Kajian ini dilakukan di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Solok Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil kajian menunjukan bahwa : pengelolaan hutan lindung di ketiga kabupaten dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Pengelolaan hutan lindung berada dibawah tanggung-jawab sebuah Bidang di bawah Dinas. Belum semua kewenangan pengelolaan hutan lindung yang didesentralisasikan sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten. Ada beberapa kewenangan sub bidang yang sama persis antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Koordinasi antar institusi Pusat dan Daerah belum berjalan baik. Ada empat institusi yang mempunyai fungsi koordinasi dalam pengelolaan hutan lindung yaitu : Dinas Kehutanan Provinsi, BKSDA, BPDAS dan PUSDAL. Institusi tersebut belum optimal menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan mediasi antara UPT Pusat di Daerah dengan dan Dinas-Dinas Teknis Kehutanan di kabupaten maupun fasilitasi beberapa kabupaten dalam satu wilayah provinsi. Tata hubungan kerja pengelolaan hutan lindung perlu ditingkatkan

    Benarkah Desentralisasi Meningkatkan Pelayanan Publik? (Study Persepsi Perusahaan Kehutanan terhadap Pelayanan Pemerintah Sebelum dan Setelah Desentralisasi)

    Full text link
    Desentralisasi merupakan elemen penting dalam meningkatkan kemampuan negara untuk memberikan pelayanan yang lebih efektif dan responsif. Sebagian besar hutan produksi pengelolaanya diserahkan kepada swasta melalui mekanisme pemberian izin konsesi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis persepsi Perusahaan pemegang izin pengelolaan hutan terhadap pelayanan pemerintah. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pelalawan (Provinsi Riau) dan Kabupaten Kutai Timur (Provinsi Kalimantan Timur) dengan melakukan wawancara dengan tokoh kunci, kemudian hasilnya diverifikasi dengan melakukan diskusi kelompok dengan stakeholder terkait. Hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan pelayanan dalam pengesahan perizinan Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT), pelayanan pengawasan tenaga teknis (Wasganis) dan surat bebas tunggakan Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR) setelah desentralisasi. Sedangkan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RKT dan izin koridor, umumnya lebih baik pada masa sentralisasi. Peningkatan pelayanan publik tidak diikuti dengan perbaikan lingkungan kerja dan iklim investasi bagi pemegang izin

    Dinamika Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan: sebuah Analisa Isi Perubahan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan

    Full text link
    Penetapan kawasan hutan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan dilakukan melalui mekanisme tukar menukar dan pinjam pakai kawasan hutan. Kedua kebijakan ini senantiasa mengalami Perubahan. Penelitian ini mengkaji Perubahan isi dari kedua kebijakan tersebut, faktor apa yang mendorongnya serta bagaimana implementasinya. Pendekatan penelitian ini adalah analisis dokumen peraturan terkait penggunaan kawasan hutan dilengkapi dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perubahan isi kebijakan penggunaan kawasan hutan meliputi kepentingan yang diakomodasi meluas pada kepentingan komersil, kriteria kawasan hutan yang ditukar, masa berlaku ijin pinjam pakai, kriteria lahan pengganti/lahan kompensasi, rasio lahan pengganti dan kegiatan pemantauan dan evaluasi. Beberapa faktor pendorong terjadinya Perubahan meliputi fakor ekonomi, politik dan sosial. Pelaksanaan kegiatan pemantauan dan evaluasi yang optimal menjadi salah satu kunci untuk mengatasi masalah implementasi kebijakan tukar menukar kawasan huhtan maupun pinjam pakai kawasan hutan

    Institutional analysis of forest governance after the implementation of Law Number 23/2014 in North Sumatra Province, Indonesia

    Get PDF
    After the implementation of Law Number 23/2014 on Regional Government in Indonesia, the authority for forest management rests with the central and provincial governments. This study aims to (1) assess forest governance performance after the implementation of this law, (2) analyse the institutional aspects of forest governance after the implementation of this law and (3) formulate strategies to strengthen forest governance institutions. This study finds that although Law Number 23/2014 has been implemented in North Sumatra Province, the forestry sector remains centralistic; the characteristics of forest resources have not changed (these continue to be common pool resources) and the behaviour of the actors lacks synergy. In this scenario, the performance of forest governance has not improved significantly, as indicated by the incomplete designation of forest areas; the number of Kesatuan Pengelolaan Hutan that have not implemented the Badan Layanan Umum Daerah scheme; the low rights of access and low forest utilisation by the community; and the slow service process for permits; however, the costs for obtaining permits are according to regulations. This is in line with the results of this study’s institutional analysis, which show that (1) the provincial jurisdiction boundaries have narrowed, given that only the central government has authority over the forestry planning sub-function and forestry supervision; (2) many central government regulations continue to be used in forest management, characterising the low aspect of provincial regional representation rules; and (3) despite clear forest ownership rights, there are claims from other stakeholders, which indicates the low legitimacy of the parties. This study suggests that forest governance performance can be improved by expanding the jurisdiction boundaries through the assistance task mechanism to the provincial government; ensuring provincial government participation in formulating forest policies; and increasing the status of forest permit holders and managers from claimants to proprietors

    Tata Hubungan Kerja Antar Institusi dalam Pengurusan Hutan di Daerah

    Full text link
    Sejak desentralisasi diterapkan, terjadi Perubahan jenis dan kewenangan institusi. Salah satu konsekuensi dari hal tersebut adalah Perubahan tata hubungan kerja antara institusi pusat, institusi di tingkat provinsi dan institusi di tingkat kabupaten. Dalam tulisan ini disajikan hasil analisis tata hubungan kerja institusi yang menangani pengurusan hutan pada masa desentralisasi. Kajian dilaksanakan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Hasil kajian menunjukan bahwa banyaknya UPT yang ada di daerah menimbulkan dualisme pemerintahan di daerah dan mempengaruhi kemandirian otonomi. Tata hubungan kerja antara Dinas Kehutanan Provinsi dan UPT dirasakan masih kurang. Masingmasing pihak kurang bekerjasama tapi \u27sama-sama bekerja\u27. Hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten belum menyentuh hubungan teknis, tetapi masih terbatas dalam hal penganggaran dan penempatan pejabat di kabupaten. Beberapa hal yang dapat disarankan dari kajian ini adalah pemerintah pusat diharapkan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah melalui mekanisme pembinaan. Perlu ada koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah provinsi dan UPT Departemen Kehutanan di daerah untuk meningkatkan kinerja keduanya
    corecore