14 research outputs found
Sensor Coordination for Behavior of Search Robot Using Simultaneous Localization and Mapping (SLAM)
We developed a robot for searching victims for survivors of natural disasters. Almost all robots need to navigate a state in the environment to help people around them, therefore the robot should have performance a mapping system. Thus improve the performance of robots in knowing the obstacles, the position and the direction toward the robot with the task of each sensor is to detect obstacles or objects that exist in the use of ultrasonic sensors to avoid bumping into obstacles, to detect the position and determine the distance of the robot using a rotary sensor encoder and to determine the direction toward, direction and elevation angle of the robot using IMU sensor. Whole of the sensor is set by the microcontroller STM32F407VGT6 that sent data from each sensor to a PC using XBee Pro. Therefore, robot create a mapping with OpenGL on the PC. Mapping system plays an important role for fast and accurate to the destination. We conclude, in the robot SLAM method depends on the precision of the data in the sensor US2 (Right), US4 (Left) and the rotary encoder. The test results of the output data at the right ultrasonic sensor produces error US2 16.9%, 14.6% US4 left ultrasonic and rotary encoder sensor error to 19.45%
Faktor Risiko Terjadinya Late Onset Sepsis karena Bakteri Penghasil Extended Spectrum Î’- Lactamase (ESBL) pada Bayi Prematur
Latar Belakang dan Tujuan: Sepsis merupakan penyumbang morbiditas pada
neonatus dengan insiden Late Onset Sepsis (LOS) jauh lebih tinggi pada bayi
prematur. Angka keberhasilan terapi sepsis semakin menurun terutama di negara
berkembang sebagai dampak dari meningkatnya masalah resistensi antibiotik
terutama dari bakteri penghasil Extended Spectrum β-Lactamase (ESBL).
Pengendalian fakor risiko dapat menjadi tindakan penting sebagai usaha menekan
angka morbiditas dan mortalitas, serta dapat memberikan pedoman dalam
pemilihan antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko
terjadinya Late Onset Sepsis karena bakteri penghasil ESBL (LOS-ESBL) pada
bayi prematur.
Desain, Sampel, dan Statistik: Penelitian ini adalah penelitian observasional
analitik dengan pendekatan retrospektif yang dilakukan di Unit Neonatologi dan
Bagian Rekam Medis RS Saiful Anwar Malang menggunakan data primer berupa
hasil kultur darah neonatus serta data sekunder dari Rekam Medis periode Januari
2019 hingga Maret 2021. Penelitian telah disetujui oleh Komite Etik Rumah sakit.
Dilakukan uji korelasi Chi-square dan penghitungan Odds Ratio untuk menilai
probabilitas setiap faktor risiko. Analisis multivariat dilakukan dengan Regression
Test untuk mengetahui variabel mana yang paling berpengaruh sebagai prediktor.
Uji statistik dianggap bermakna jika p≤0,05. Analsis dilakukan dengan software
SPSS statistic 26 for Windows.
Hasil Penelitian: Terdapat 248 kultur darah positif dengan 193 (77,8%) adalah
kultur darah bayi prematur dan LOS ditemukan pada 142 bayi (73,5%). Data yang
dapat dijadikan sampel penelitian pada kelompok kasus dan kelompok kontrol
yaitu masing-masing 62 sampel. Bakteri gram negatif adalah patogen terbanyak
(68%), didominasi Klebsiella pneumoniae dengan strain penghasil ESBL sebesar
96%. Faktor yang berhubungan secara signifikan dengan terjadinya LOS-ESBL
adalah prosedur invasif (p=0,00), pemakaian akses sentral (p=0,00), dan
pemberian nutrisi parenteral (p=0,00). Hasil penghitungan OR pada faktor tersebut
masing-masing sebesar 3,13 (1,45-6,73) pada prosedur invasif, OR 9,54 (CI 3,7-
24) pada pemakaian akses sentral, dan OR 6,7 (CI 3-14) pada pemberian nutrisi
parenteral. Pemakaian akses sentral terbukti sebagai faktor yang memiliki
pengaruh terbesar terhadap terjadinya LOS akibat infeksi bakteri penghasil ESBL
dengan Exp(B) = 6,98 (CI 3,12-15,59) dan p=0,000.
Kesimpulan:
Prosedur invasif, pemakaian akses sentral, dan pemberian nutrisi parenteral
terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya LOS-ESBL dengan
peningkatan risiko masing-masing sebesar OR=3,13 untuk posedur invasif,
OR=9,54 untuk akses sentral, dan OR= 6,03 untuk nutrisi parenteral. Pemakaian
akses sentral terbukti sebagai prediktor utama terjadinya LOS-ESBL pada bayi
prematur
Multicentre survey of retinopathy of prematurity in Indonesia
Background: The incidence of retinopathy of prematurity (ROP) is higher in Indonesia than in high-income countries. In order to reduce the incidence of the disease, a protocol on preventing, screening and treating ROP was published in Indonesia in 2010. To assist the practical implementation of the protocol, meetings were held in all Indonesia regions, calling attention to the high incidence of ROP and the methods to reduce it. In addition, national health insurance was introduced in 2014, making ROP screening and treatment accessible to more infants. Objective: To evaluate whether the introduction of both the guideline drawing attention to the high incidence of ROP and national health insurance may have influenced the incidence of the disease in Indonesia. Setting: Data were collected from 34 hospitals with different levels of care: national referral centres, university-based hospitals, and public and private hospitals. Methods: A survey was administered with questions on admission numbers, mortality rates, ROP incidence, and its stages for 2016-2017 in relation to gestational age and birth weight. Results: We identified 12 115 eligible infants with a gestational age of less than 34 weeks. Mortality was 24% and any stage ROP 6.7%. The mortality in infants aged less than 28 weeks was 67%, the incidence of all-stage ROP 18% and severe ROP 4%. In the group aged 28-32 weeks, the mortality was 24%, all-stage ROP 7% and severe ROP 4%-5%. Both mortality and the incidence of ROP were highest in university-based hospitals. Conclusions: In the 2016-2017 period, the infant mortality rate before 32 weeks of age was higher in Indonesia than in high-income countries, but the incidence of ROP was comparable. This incidence is likely an underestimation due to the high mortality rate. The ROP incidence in 2016-2017 is lower than in surveys conducted before 2015. This decline is likely due to a higher practitioner awareness about ROP and national health insurance implementation in Indonesia
Corrigendum to "The knowledge of Indonesian pediatric residents on hyperbilirubinemia management" [Heliyon 7 (4) (2021) e06661]
[This corrects the article DOI: 10.1016/j.heliyon.2021.e06661.]
The knowledge of Indonesian pediatric residents on hyperbilirubinemia management
Hyperbilirubinemia in the newborn occurs more frequently in Indonesia. Therefore, it is important that pediatric residents in Indonesia acquire adequate knowledge of hyperbilirubinemia management. This study aims to determine the pediatric residents' knowledge on hyperbilirubinemia management, whether they follow recommended guidelines, and whether differences exist between five large Indonesian teaching hospitals. We handed out a 25-question questionnaire on hyperbilirubinemia management to pediatric residents at five teaching hospitals. A total of 250 questionnaires were filled in completely, ranging from 14 to 113 respondents per hospital. Approximately 76% of the respondents used the Kramer score to recognize neonatal jaundice. Twenty-four percent correctly plotted the total serum bilirubin levels (TSB) on the phototherapy (PT) nomograms provided by the American Academy of Pediatrics (AAP) and the National Institute for Health and Care Excellence (NICE) for full-term and nearly full-term infants. Regarding preterm infants <35 weeks' gestational age, 66% of the respondents plotted TSB levels on the AAP nomogram, although this nomogram doesn't apply to this category of infants. Seventy percent of residents knew when to perform an exchange transfusion whereas 27% used a fixed bilirubin cut-off value of 20 mg/dL. Besides PT, 25% reported using additional pharmaceutical treatments, included albumin, phenobarbitone, ursodeoxycholic acid and immunoglobulins, while 47% of the respondents used sunlight therapy, as alternative treatment. The limited knowledge of the pediatric residents could be one factor for the higher incidence of severe hyperbilirubinemia and its sequelae. The limited knowledge of the residents raises doubts about the knowledge of the supervisors and the training of the residents since pediatric residents receive training from their supervisors
Peran Interferon Gamma Induced Protein-10 (IP-10) Dalam Diagnosis Tuberkulosis Aktif Pada Anak,
Latar Belakang dan Tujuan: Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan yang penting di dunia. Salah satu permasalahan TB anak di
Indonesia adalah penegakan diagnosis. Saat ini sebagian besar diagnosis
tuberkulosis anak berdasarkan sistem skoring. Setelah itu dilengkapi dengan
pemeriksaan penunjang lainnya, seperti sputum (Bakteri Tahan Asam (BTA).
Dalam patogenesis TB aktif banyak senyawa kimia dan molekul biologis yang
berperan dalam inflamasi sebagai respon terhadap M. tuberculosis yang
bereplikasi, salah satunya adalah Interferon Gamma Induced Protein-10 (IP-10).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa IP-10 memiliki potensi sebagai penanda
biologis infeksi tuberculosis pada dewasa. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis kemampuan IP-10 sebagai penanda biologis untuk diagnosis TB
pada anak. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan rancangan studi diagnostik.
Subjek penelitian adalah pasien anak usia ≤ 18 tahun dengan dugaan TB dan
belum pernah menjalani pengobatan TB yang diperiksa di RSUD Saiful Anwar
Malang serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel yang dihitung
berdasarkan simple random sampling adalah 30 subjek dan diambil darahnya
untuk diperiksa kadar IP-10 menggunakan metode ELISA. Penelitian telah
disetujui oleh komite etik rumah sakit. Data dikelompokkan menjadi 3 variabel yaitu
status TB, lokasi TB, dan gen ekspert yang masing-masing mempunyai sub-grup
(TB dan non-TB; TB paru dan Tb ekstra paru; gen ekspert positif dan negative).
Masing-masing kelompok dilakukan uji statistik yaitu uji normalitas, uji perbedaan
kadar IP-10, uji homogenitas, dan uji korelasi setelah itu dilakukan uji diagnostik.
Uji statistic dianggap bermakna jika p value < 0,05. Uji diagnostik menggunakan
dua metode yaitu metode tabel 2x2 dan ROC. Semua analisis data dilakukan
menggunakan software SPSS versi 22.
Hasil Penelitian: dari 30 subjek penelitian didapatkan 21 subjek didiagnosis TB
dan 9 subjek non-TB; 16 subjek TB paru aktif dan 5 TB ekstra paru; 1 gen ekspert
positif dan 29 gen ekspert negative. Rata-rata kadar IP-10 pada studi ini adalah
193,6 pg/ml. Uji T independent variabel status TB didapatkan perbedaan kadar IP-
10 signifikan antar sub-grup (TB vs non-TB). Uji beda pada variabel lokasi TB dan
gen ekspert tidak signifikan. Uji korelasi spearman variabel status TB menunjukkan
adanya korelasi positif IP-10 dengan TB dengan koefisien korelasi (R) 0,63 dan P
value 0,00. Uji diagnostic dengan metode tabel 2x2 menghasilkan sensitifitas dan
spesifisitas 86% dan 77% dengan cut-off 237 pg/ml. uji diagnostic dengan metode
ROC menghasilkan AUC sebesar 89,9% dengan sensitivitas dan spesifisitas 95%
dan 73% dengan cut-off 59,34 pg/ml.
Kesimpulan: Ada perbedaan kadar IP-10 yang signifikan antara kelompok TB dan
non-TB. Ada korelasi positif kuat antara IP-10 dan TB. Cut-off 59,34 pg/ml pada
studi ini menghasilkan sensistifitas dan spesifisitas 95% dan 73% dengan AUC
89,9% yang cukup baik untuk sebuah alat diagnostik
Hubungan Antara Kadar Vitamin D (25(OH)D) Dengan Terjadinya Necrotizing Enterocolitis (NEC) Pada Bayi Kurang Bulan
Necrotizing enterocolitis ( NEC ) merupakan sindrom multifaktorial
nekrosis iskemik intestinal akut dan menjadi salah satu penyebab kegawatan
gastrointestinal pada neonatus. Insiden NEC adalah 1 per 1000 kelahiran hidup
(5%-10%), dan lebih dari 90% terjadi pada pada bayi kurang bulan. NEC terjadi
karena invasi bakteri, aktivasi kekebalan, tidak terkontrolnya peradangan dengan
produksi oksigen reaktif (ROS) dan nitrogen, vasokonstriksi diikuti oleh iskemia
pada perfusi, kegagalan barrier usus dan nekrosis usus.
Janin tidak memiliki produksi endogen 25 (OH) D dan sepenuhnya
tergantung pada transfer dari ibu. Sementara 25 (OH) D melewati plasenta,
kadar 1,25 (OH)2D terbatas pada sirkulasi ibu dan diyakini diproduksi secara de
novo di plasenta dan pada janin itu sendiri. Calcitriol atau 1,25(OH)2D, metabolit
aktif vitamin D, berinteraksi dengan reseptor spesifik yang disebut reseptor
vitamin D (VDR). Reseptor VDR diekpresikan pada sel enterosit, dimana
pengaktifannya menginduksi proliferasi, differensiasi dan induksi apoptosis.
Konsentrasi metabolit utama vitamin D pada tali pusat secara konsisten lebih
rendah daripada konsentrasinya dalam serum ibu. Konsentrasi 25-
hydroxyvitamin D dan 24,25-dihidroksivitamin D pada vena tali pusat berkorelasi
secara signifikan dengan konsentrasinya yang ditemukan pada sirkulasi
maternal, yang menunjukkan bahwa 2 metabolit tersebut berdifusi dengan
mudah melintasi sawar plasenta dan konsentrasi vitamin D janin sepenuhnya
bergantung pada ibu. Transmisi vitamin D transplasental terutama terjadi pada
trimester ketiga kehamilan sehingga bayi prematur beresiko tinggi mengalami
defisiensi vitamin D. Defisiensi vitamin D didiagnosis ketika 25 (OH) D <20 ng /
mL. Insufisiensi vitamin D didefinisikan sebagai 25 (OH) D 20-30 ng / mL, dan
25(OH)D > 30 ng / mL dianggap normal. Defisiensi vitamin D pada saluran
gastrointestinal menyebabkan bacterial clearance kolon menurun, berkurangnya
ekspresi tight junctions (TJs) di epitel usus dan peningkatan peradangan yang
dimediasi Th1 pada usus.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional dengan studi
kohort. Alokasi subjek penelitian ke dalam kelompok penelitian dilakukan secara
consequtive sampling pada subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi
hingga memenuhi syarat besar sampel pada masing-masing kelompok pada
bulan Maret – Mei 2020 di ruang rawat inap neonatologi RSUD Saiful Anwar
Malang. Adapun kriteria inklusi penelitian ini yaitu : (a) semua bayi kurang bulan
yang lahir dan dirawat di bangsal rawat inap RSUD dr. Saiful Anwar Malang (b)
bayi kurang bulan dengan usia kehamilan 28-37 minggu (c) bayi dengan
pemberian nutrisi ASI eksklusif atau predominan ASI (d) orang tua atau
penanggung jawab bersedia mengikutkan anaknya dalam penelitian. Dengan
kriteria eksklusi sebagai berikut: (a) pasien menderita kelainan kongenital
(congenital anomalies of kidney and urinary tract, penyakit jantung bawaan) (b)
orang tua/wali menyatakan tidak bersedia mengikuti penelitian. Kriteria drop out :
(a) pasien meninggal saat 24 jam pertama pengamatan (b) orang tua/wali
menyatakan tidak bersedia mengikuti penelitian. Prosedur penegakan diagnosis
viii
Necrotizing enterocolitis (NEC) berdasarkan pada Bell’s modification criteria dan
dikonfirmasi oleh ahli neonatologi. Alat untuk mengukur kadar vitamin D serum
dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan sampel
darah dari vena tali pusat diambil dari semua subjek neonatus dalam 24 jam
pertama kehidupan. Uji normalitas data dilakukan dengan Uji Kolmogorov-
Smirnov karena data terdistribusi normal dan dilakukan uji homogenitas dengan
Uji Levene karena data terdistribusi homogen. Kemudian dilakukan Analisis uji
regresi logistic univariat dan multivariat. Selanjutnya dilakukan uji Spearman
karena data tidak terdistribusi normal.
Sampel pada penelitian ini lebih banyak bayi kurang bulan dengan NEC
dibangdingkan dengan bayi kurang bulan tanpa NEC. Dengan rata-rata usia
kehamilan 33,61 ± 2,08 minggu dengan rerata berat badan lahir 1953,90 ± 409
gram. Pada hasil penelitian ini didapatkan lebih banyak bayi kurang bulan
dengan necrotizing enterocolitis (NEC) (27/51) dibandingkan dengan bayi kurang
bulan tanpa necrotizing enterocolitis (NEC) (24/51). Rata-rata kadar vitamin D
(25(OH)D) secara keseluruhan adalah 13,38 5,44 ng/mL dimana proporsi bayi
dengan status defisiensi paling dominan 84,3% (43/51), insufisiensi 15,7% (8/51),
dan tidak ada bayi kurang bulan dengan kadar vitamin D yang normal.
Didapatkan kadar vitamin D pada bayi kurang bulan dengan NEC lebih rendah
(10,18 ± 4,07 ng/mL) daripada bayi kurang bulan tanpa NEC (16,95 ± 4,45
ng/mL). Dimana pada kelompok bayi kurang bulan dengan NEC sebanyak 26
pasien dengan status defisiensi dan 1 pasien dengan status insufisiensi. Pada
kelompok tanpa NEC didapatkan dengan 17 pasien dengan status defisiensi dan
7 pasien dengan status insufisiensi. Dari hasil analisis univariat didapatkan
bahwa defisiensi vitamin D meningkatkan risiko terjadinya NEC sebesar 10,7 kali.
Selain itu demam intrapartum dapat meningkatkan terjadinya NEC sebesar 3,5x
dengan nilai p=0,09 (95%CI 0,8-14,9). Tidak diberikan IMP merupakan faktor
yang meningkatkan terjadinya NEC sebesar 4x dengan nilai p=0,039 (95%CI 1-
14,9). Perokok pasif dapat meningkatkan kejadian NEC sebesar 2,8x dengan
nilai p=0,049 (95%CI 0,9-8,9).Kelahiran very preterm (usia kehamilan <32
minggu) telah meningkatkan terjadinya NEC sebesar 6,2 kali dengan nilai
p=0,006 (95%CI 1,7-23,2) dan respiratory distress dapat meningkatkan
terjadinya NEC sebesar 20 kali dengan nilai p=0,000 (95%CI 4,5-88,2).
Selanjutnya dilakukan uji analisis multivariate, didapatkan defisian vitamin D
meningkatkan terjadinya NEC sebesar 19,4 kali dengan nilai p=0,043 (95%CI
0,7-21,7) dan respiratory distress dapat meningkatkan kejadian NEC sebesar 9,4
kali dengan nilai p=0,02 (95%CI 1,2-70). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar
vitamin D dengan onset terjadinya NEC (p=0.029). Kadar vitamin D berkorelasi
positif dengan onset hari timbulnya NEC, dimana semakin tinggi kadar vitamin D
maka timbulnya onset NEC semakin lama dan sebaliknya. Dari hasil uji korelasi
juga diperoleh kekuatan korelasi sebesar r=0,487 yang artinya kekuatan korelasi
cukup.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa didapatkan Kadar
vitamin D (25(OH)D) lebih rendah pada bayi kurang bulan dengan necrotizing
enterocolitis dibandingkan dengan bayi kurang bulan tanpa necrotizing
enterocolitis. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara kadar vitamin
D(25(OH)D) dengan terjadinya necrotizing enterocolitis pada bayi kurang bulan
secara signifika
Analisis Pengaruh Kejadian Bblr, Status Imunisasi Dasar, Dan Pola Asuh Terhadap Kejadian Stunting Dan Gangguan Perkembangan Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Putat Jaya Dan Puskesmas Kenjeran Surabaya
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun)
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Berdasarkan pada indeks antropometri panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi
badan dibanding umur (TB/U) dengan batas(z-score) di bawah standar deviasi (<-2 SD).
Stunting pada masa anak-anak berhubungan dengan keterlambatan perkembangan
motorik dan tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Perkembangan motorik merupakan
aspek perkembangan yang penting karena berkaitan dengan aspek perkembangan yang
lain, terutama perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif inilah yang secara tidak
langsung akan mempengaruhi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perkembangan
pada balita disebut golden periods karena pada masa ini perkembangan kognitif, motorik,
bahasa, emosional, dan sosial berlangsung sangat cepat. Secara tidak langsung
penyebab stunting pada balita dikarenakan oleh riwayat BBLR. Anak di bawah usia 2 tahun
dengan riwayat BBLR berisiko mengalami retardasi pertumbuhan yang jika tidak
disesuaikan dengan stimulasi dan didukung oleh status kekebalan yang rendah,dan pola
asuh yang tidak memadai akan berlanjut selama 5 tahun pertama kehidupan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh kejadian BBLR, status imunisasi dasar, dan pola
asuh terhadap kejadian stunting dan gangguan perkembangan balita di Puskesmas
Putat Jaya dan Puskesmas KenjeranSurabaya
Penelitian ini adalah penelitian retrospective dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2021. Subyek penelitian sebanyak 209 yang
terbagi di Puskesmas Putat Jaya dan Puskesmas Kenjeran Surabaya. Sebelumnya
responden akan menandatangani surat persetujuan setelah diberikan informasi tentang
penelitian ini. Data dikumpulkan melalui data primer melalui pendekatan wawancara
dengan melakukan pengisian kuesioner dan formulir KPSP serta data sekunder
menggunakan buku KMS balita. Analisa data menggunakan uji Korelasi Pearson dan
dilanjutkan uji Path Analysis dengan menggunakan software SPSS versi 25.0 dengan p
value < 0,05.
Hasil penelitian didapatkan kejadian BBLR dapat meningkatkan gangguan
perkembangan pada balita melalui kejadian stunting di Puskesmas Putat Jaya Surabaya,
hal ini dibuktikan dengan hasil uji multivariat bahwa pengaruh tidak langsung (-0,063) lebih
besar dari pengaruh langsung (-0,115) dan kejadian BBLR tidak meningkatkan gangguan
perkembangan pada balita melalui kejadian stunting di Puskesmas Kenjeran Surabaya,
hal ini dibuktikan dengan hasil uji multivariat bahwa pengaruh tidak langsung (0,018) lebih
kecil dari pengaruh langsung (0,030). Status imunisasi dasar dapat meningkatkan
gangguan perkembangan pada balita melalui kejadian stunting di Puskesmas Putat Jaya
Surabaya, hal ini dibuktikan dengan hasil uji multivariat bahwa pengaruh tidak langsung (-
0,022) lebih besar dari pengaruh langsung (-0,117) dan status imunisasi dasar tidak
meningkatkan gangguan perkembangan pada balita melalui kejadian stunting di
Puskesmas Kenjeran Surabaya, hal ini dibuktikan dengan hasil uji multivariat bahwa
pengaruh tidak langsung (-0,022) lebih kecil dari pengaruh langsung (0,117). Pola asuh
dapat meningkatkan gangguan perkembangan pada balita melalui kejadian stunting di
Puskesmas Putat Jaya Surabaya, hal ini dibuktikan dengan hasil uji multivariat bahwa
pengaruh tidak langsung (-0,226) lebih kecil dari pengaruh langsung (0,761) dan pola asuh
tidak meningkatkan gangguan perkembangan pada balita melalui kejadian stunting di
Puskesmas Kenjeran Surabaya, hal ini dibuktikan dengan hasil uji multivariat bahwa
pengaruh tidak langsung (-0,301) lebih kecil dari pengaruh langsung (0,920). kejadian
BBLR tidak meningkatkan kejadian stunting melalui gangguan perkembangan pada balita
vii
di Puskesmas Putat Jaya Surabaya, hal ini dibuktikan dengan hasil uji multivariat bahwa
pengaruh tidak langsung (0.037) lebih kecil dari pengaruh langsung (-0.191) dan kejadian
BBLR dapat meningkatkan kejadian stunting melalui gangguan perkembangan pada balita
di Puskesmas Kenjeran Surabaya, hal ini dibuktikan dengan hasil uji multivariat bahwa
pengaruh tidak langsung (-0.013) lebih besar dari pengaruh langsung (-0.043). Status
imunisasi dasar tidak meningkatkan kejadian stunting melalui gangguan perkembangan
pada balita di Puskesmas Putat Jaya Surabaya, hal ini dibuktikan dengan hasil uji
multivariat bahwa pengaruh tidak langsung (0.038) lebih kecil dari pengaruh langsung
(0.067) dan status imunisasi dasar tidak meningkatkan kejadian stunting melalui gangguan
perkembangan pada balita di Puskesmas Kenjeran Surabaya, hal ini dibuktikan dengan
hasil uji multivariat bahwa pengaruh tidak langsung (-0.051) lebih kecil dari pengaruh
langsung (0.052). Pola asuh tidak meningkatkan kejadian stunting melalui gangguan
perkembangan pada balita di Puskesmas Putat Jaya Surabaya, hal ini dibuktikan dengan
hasil uji multivariat bahwa pengaruh tidak langsung (-0.251) lebih kecil dari pengaruh
langsung (0.685) dan pola asuh tidak meningkatkan kejadian stunting melalui gangguan
perkembangan pada balita di Puskesmas Kenjeran Surabaya, hal ini dibuktikan dengan
hasil uji multivariat bahwa pengaruh tidak langsung (-0.402) lebih kecil dari pengaruh
langsung (0.691