5 research outputs found

    Hubungan variabilitas mixed layer depth kriteria ∆T=0,5 oC dengan sebaran tuna di Samudera Hindia bagian timur

    Get PDF
    Abstract. The Indian Ocean has an important role in the variability of aquatic ecosystems including fisheries resource. This study was conducted to determine the relationship between Mixed Layer Depth (MLD) criterion ∆T = 0.5 oC and distribution of tuna in the Eastern Indian Ocean. The study area was situated in the Eastern Indian Ocean at the coordinate 100 – 120oE dan 5 – 20oS. The data MLD criterion ∆T = 0.5 oC as well as data distribution and tuna catches which processed in the seasonal period were used in this study. Visualization result showed that the variation of MLD based on the depth value was inversely related to MLD variation based on temperature. MLD variations indicated that the depth of the shallowest MLD on the West Monsoon and deepest on the East Monsoon, while the highest temperature of MLD was recorded in Transitional Monsoon 1 and the lowest in Transitional Monsoon 2. The most widespread distribution of tuna were in Eastern Monsoon and the narrowest in Transional Monsoon 1. MLD variation relations with tuna catches have seen fairly high correlation of Pearson correlation value of 0.891 for tuna catches with depth MLD correlation and -0.927 for tuna catches correlation with temperature MLD.Keywords : Mixed Layer Depth (MLD); ∆T = 0.5 oC; Temperature; Depth; TunaAbstrak. Samudera Hindia merupakan salah satu perairan yang memiliki peranan penting dalam variabilitas ekosistem perairan termasuk didalamnya sumberdaya perikanan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan Mixed Layer Depth (MLD) kriteria ∆T = 0,5 oC dengan sebaran Tuna di Samudera Hindia bagian Timur. Wilayah kajian penelitian ini adalah perairan Samudera Hindia bagian Timur dengan koordinat 100 – 120oBT dan 5 – 20oLS. Data yang digunakan adalah data MLD kriteria ∆T = 0,5 oC berdasarkan suhu dan kedalamannya, serta data sebaran dan tangkapan Tuna yang diolah dalam periode musiman. Hasil visualisasi menunjukkan bahwa variasi MLD berdasarkan kedalaman memiliki nilai berbanding terbalik dengan variasi MLD berdasarkan suhu. Variasi MLD menunjukkan bahwa kedalaman MLD paling dangkal berada pada Musim Barat yakni berkisar antara 22 – 60 dbar dan paling dalam berada pada Musim Timur dengan nilai berkisar antara 60 – 100 dbar, sedangkan suhu MLD tertinggi berada pada Musim Peralihan 1 yakni 28,5 – 29,5 oC dan terendah pada Musim Peralihan 2 dengan nilai berkisar antara 23 – 29 oC. Sebaran Tuna paling luas berada pada Musim Timur dan paling sempit berada pada Musim Peralihan 1. Hubungan variasi MLD dengan hasil tangkapan Tuna memiliki korelasi cukup tinggi yang terlihat dari nilai korelasi Pearson sebesar +0,891 untuk korelasi tangkapan Tuna dengan kedalaman MLD dan -0,927 untuk korelasi hasil tangkapan Tuna dengan suhu MLD.Kata kunci : Mixed Layer Depth; ∆T = 0,5 oC; Suhu; Kedalaman; Tun

    PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BLANAKAN DAN KECAMATAN LEGONKULON, KABUPATEN SUBANG

    Get PDF
    Kawasan pesisir adalah suatu kawasan yang labil dan mudah mengalami perubahan, karena merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan, dimana garis pertemuan itu dinamakan garis pantai. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan  program ArcGIS dari data citra Landsat 7 ETM+ dan data luasan mangrove tahun 1996, 2002 dan 2011. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Blanakan dan kecamatan Legon kulon, serta pengaruh ekosistem hutan mangrove terhadap perubahan garis pantai yang terjadi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah overlay garis pantai dari data citra Landsat 7 ETM+ tahun 1996, 2002 dan 2011, penelitian lapangan serta metode analisis deskriptif kuantitatif dengan menggunakan regresi linear untuk mengetahu hubungan antara penurunan luasan mangrove dengan perubahan garis pantai. Hasil dari penelitian ini menunjukkan sebagian besar kecamatan Blanakan mengalami akresi dengan rata-rata nilai perubahan garis pantainya sejauh 360.57 meter selama kurun waktu 15 tahun, sedangkan sebagian besar kecamatan Legonkulon mengalami abrasi dengan nilai rata-rata perubahan garis pantainya sejauh 350.18 meter. Pengaruh kerusakan hutan mangrove terhadap perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Blanakan adalah sebesar 41% sedangkan di kecamatan Legonkulon sebesar 68%.

    Karakterisasi Kimiawi Dan Organoleptik Pempek Dengan Penambahan Tepung Tulang Ikan Mas Asal Waduk Cirata

    Get PDF
    Penelitian mengenai karakterisasi kimiawi dan organoleptik pempek dengan penambahan tepung tulang ikan mas bertujuan untuk mengetahui jumlah tepung tulang ikan pada produk pempek yang paling disukai panelis.  Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran pada bulan Agustus sampai Nopember 2014. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan lima perlakuan yaitu penambahan tepung tulang ikan mas sebanyak 0, 5, 10, 15 dan 20% pada pempek. Parameter yang diamati adalah rendemen, karakteristik kimiawi (kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu) tepung tulang ikan, dan karakteristik organoleptik (kenampakan, aroma, tekstur dan rasa) pempek berdasarkan tingkat kesukaan menggunakan skala hedonik serta kadar kalsium pempek dari perlakuan paling disukai. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tepung tulang ikan mas menghasilkan rendemen 30%,  karakteristik kimiawinya meliputi kadar air 10,56% kadar protein 12, 11%; kadar lemak 4, 07%  dan kadar abu 2,5%. Karakteristik organoleptik terhadap kenampakan, aroma, tekstur dan rasa pempek pada dengan penambahan tepung tulang ikan mas hinga 15% masih disukai panelis. Kriteria rasa memiliki nilai terbesar dibandingkan kenampakan, aroma dan tekstur berdasarkan uji Bayes. Kadar kalsium pada pempek dengan penambahan 10% tepung tulang ikan mas adalah  0, 65 % jika dibandingkan dengan kontrol sebesar 0,18%. Kata kunci: tepung tulang, kimiawi, organoleptik, pempek 

    HUBUNGAN ANTARA KARAMBA JARING APUNG DENGAN JENIS MAKANAN YANG TERDAPAT PADA LAMBUNG IKAN ENDEMIK DI WADUK KOTO PANJANG, RIAU

    No full text
    AbstractIn the Koto Panjang Dam, Riau there are more than 1582fish floating cages present.  Fish feed spilled from the cage is believed to affect the diet of wild endemic fishes inhabit the dam. To understand the effect of the cage on the diet of the endemic, a study has been conducted on May to September 2013. There were 5 sampling sites, 2 sites located in the natural area that there is no cage (St 1Na and St2 Na) and the others (3 Ka, 4 Ka and 5 Ka) were in the area around the cage. Fishes were sampled hourly, for a 24 hour period and their stomach content was analyzed. Results shown that there were 31 species of endemic fishes such as Puntius schwanenfeldii, Macrones nemurus, Hampala bimaculata, Osteochillus hasselti, Rasbora vaillanti, Tynnichtys vaillanti, Ophiocephalus melanosoma, Chela oxygastroides, Cyclocheilichthys heteronema, Notopterus chilata, Puntius bramoidesandCyclocheilichtys apogon. Among these fishes, however, only P. schwanenfeldii that greatly affected by the presence of the aquaculture activities as the stomach of fish living around the cage was filled with fish feed pellets (more than 90%). The fish living in the area with no cage, however, filled with animal and plant remains. This fact indicates that the P.  schwanenfeldii is an opportunist fish that is able to change their diet into fish feed pellets. Based on data obtained, it can be concluded that the presence of fish floating cage aquaculture activities affect certain fish species only.Key words: Fish floating cage, Puntius schwanenfeldii, Koto Panjang Dam, endemic fish, fish feed pelle

    Hubungan variabilitas mixed layer depth kriteria ∆T=0,5 oC dengan sebaran tuna di Samudera Hindia bagian timur

    No full text
    Samudera Hindia merupakan salah satu perairan yang memiliki peranan penting dalam variabilitas ekosistem perairan termasuk didalamnya sumberdaya perikanan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan Mixed Layer Depth (MLD) kriteria ∆T = 0,5 oC dengan sebaran Tuna di Samudera Hindia bagian Timur. Wilayah kajian penelitian ini adalah perairan Samudera Hindia bagian Timur dengan koordinat 100 – 120oBT dan 5 – 20oLS. Data yang digunakan adalah data MLD kriteria ∆T = 0,5 oC berdasarkan suhu dan kedalamannya, serta data sebaran dan tangkapan Tuna yang diolah dalam periode musiman. Hasil visualisasi menunjukkan bahwa variasi MLD berdasarkan kedalaman memiliki nilai berbanding terbalik dengan variasi MLD berdasarkan suhu. Variasi MLD menunjukkan bahwa kedalaman MLD paling dangkal berada pada Musim Barat yakni berkisar antara 22 – 60 dbar dan paling dalam berada pada Musim Timur dengan nilai berkisar antara 60 – 100 dbar, sedangkan suhu MLD tertinggi berada pada Musim Peralihan 1 yakni 28,5 – 29,5 oC dan terendah pada Musim Peralihan 2 dengan nilai berkisar antara 23 – 29 oC. Sebaran Tuna paling luas berada pada Musim Timur dan paling sempit berada pada Musim Peralihan 1. Hubungan variasi MLD dengan hasil tangkapan Tuna memiliki korelasi cukup tinggi yang terlihat dari nilai korelasi Pearson sebesar +0,891 untuk korelasi tangkapan Tuna dengan kedalaman MLD dan -0,927 untuk korelasi hasil tangkapan Tuna dengan suhu MLD
    corecore