27 research outputs found

    Pemanfaatan Teknologi Transgenik Untuk Perakitan Varietas Unggul Kapas Tahan Kekeringan

    Full text link
    The Use of Transgenic Approach in Developing Drought Tolerant Cotton VarietiesAmong abiotic stresses, drought is the most crucial factor that influence cotton's productivity and development. As cotton development in Indonesia is focused in dry-rainfed areas, measures for developing drought tolerance varieties are needed. Evaluation of cotton accessions tolerance to drought has been done directly in the field, or indirectly by PEG simulation and resulted in drought tolerance cotton accessions. Hybridization by genes pooling or gene-pyramiding approaches involving selected accessions which are tolerant to drought and jassids attack, A. biguttula, have resulted in two new cotton varieties namely Kanesia 14 and Kanesia 15. In addition to conventional breeding, there are new avenues to engineer transgenic cotton varieties resistant to drought. by transforming the identified genes responsible for drought resistance. Transgenic technologies could combine several genes responsible for different characters in cotton genome. A number of genes have been transformed into various plants such as arabidopsis, tobacco, tomato, rice, and cotton, and have conferred improved resistance to drought. Technology support in terms of high yielding promising varieties resistant to drought or other characters should be accomplished with efficient farming techniques so that significant increase in cotton production can be achieved

    KANESIA 10 - KANESIA 13: EMPAT VARIETAS KAPAS BARU BERPRODUKSI TINGGI

    Get PDF
    ABSTRAKProgram perbaikan varietas kapas bertujuan meningkatkanproduktivitas dan mutu serat. Sembilan hasil persilangan kapas tahun 1997dan 1998 yang melibatkan dua tetua dari Amerika Serikat (DeltapineAcala 90 dan Deltapine 5690), tiga tetua dari India (LRA 5166, Pusa 1,dan SRT 1), dan satu tetua dari Asia Tengah (Tashkent 2) telah melaluitujuh pengujian di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan SulawesiSelatan untuk menilai potensi produksi, mutu serat, dan tingkat ketahananterhadap beberapa hama di lahan tadah hujan dengan atau tanpa diproteksidengan insektisida. Perlakuan disusun dalam rancangan acak kelompok(RAK) yang diulang tiga kali dalam kondisi diproteksi ataupun tanpadiproteksi dengan insektisida pada petak-petak percobaan berukuran 40-50m2 dengan jarak tanam (100 x 25) cm. Pengendalian hama pada ulanganulanganyang diproteksi dengan insektisida adalah penambahan insektisidabenih Imidachloprit 10 ml/kg benih dan pengendalian hama H. armigerasebanyak 5-6 kali menggunakan pestisida nabati Organeem (Azadirachtin1%). Hasil pengujian menunjukkan bahwa Kanesia 10 – Kanesia 13mampu berproduksi lebih tinggi apabila diproteksi dengan insektisidadengan potensi produksi berturut-turut 19,32, 21,75, 17,05, dan 21,7%lebih tinggi dari Kanesia 8, dan rata-rata produktivitas berturut-turutadalah 2.457,2, 2.507,3, 2.410,5, dan 2.506,8 kg kapas berbiji per hektar.Kanesia 10 dan Kanesia 11 memiliki kandungan serat berturut-turut 27,2%dan 8,11% lebih tinggi dibandingkan Kanesia 8. Pada rekayasa Kanesia10 - Kanesia 13 ini tidak diperoleh kemajuan genetik yang nyata padaparameter mutu serat, akan tetapi mutu serat dari empat galur tersebut diatas memenuhi kriteria industri tekstil yaitu dengan rata-rata karakteristikmutu serat yaitu panjang serat 26,92 – 29,34 mm, kekuatan 27,13 – 29,50g/tex, kehalusan 4,38-5,08 micronaire, dan keseragaman serat 83,3 –84,6%.Kata kunci : Gossypium hirsutum, kemajuan genetik, produktivitas, mutuseratABSTRACTKanesia 10- Kanesia 13: Four New High Yielding Cotton VarietiesThe cotton breeding program is focusing on the increase ofproductivity and fiber properties. The 1997 and 1998 crossing programinvolving two parents introduced from the United States of America(Deltapine Acala 90 and Deltapine 5690), three parents introduced fromIndia (LRA 5166, Pusa 1, and SRT 1), and one variety originated fromCentral Asia (Tashkent 2), have resulted in nine crosses which had beentested in seven locations at East Java, West Nusa Tenggara, and SouthSulawesi to evaluate their yield potentials, fiber properties, and resistancelevel to insect pests on rainfed areas with or without protection.Experiments were arranged in randomized block design (RBD) with threereplications either with or without insecticide spray on 40-50 m2 plots with(100 x 25) cm planting space. Insect controls were done by treating cottonseed with 10 ml Imidachloprit per kg seed and 5-6 applications ofbotanical pesticide Organeem (Azadirachtin 1%). Experimental resultsshowed that Kanesia 10-Kanesia 13 yield better when insects arecontrolled. Their yield potentials are 19.32, 21.75, 17.05, and 21.7%higher than Kanesia 8, respectively, and means of yield are 2,457.2,2,507.3, 2,410.5, and 2,506.8 kg seed cotton, respectively. Kanesia 10 andKanesia 11 have 27.2 and 8.11% higher gin turnout, respectively thanKanesia 8. On the engineering of Kanesia 10-Kanesia 13, there is noimprovement on the fiber properties, although they meet the textileindustries’ criteria i.e. staple length 26.92 – 29.34 mm, fiber strength 27.13– 29.50 g/tex, fiber fineness 4.38-5.08 micronaire, and uniformity ratio83.3 – 84.6%.Key words : Gossypium hirsutum, genetic improvement, productivity,fiber propertie

    PENGARUH KERAPATAN BULU DAUN PADA TANAMAN KAPAS TERHADAP KOLONISASI Bemisia tabaci GENNADIUS

    Get PDF
    ABSTRACTKetahanan tanaman terhadap serangga hama berdasarkan karaktermorfologi bulu (trichom) pada daun merupakan salah satu cara potensialmengurangi penggunaan insektisida kimia dalam pengendalian hama.Serangga hama pengisap Bemisia tabaci pada tanaman kapas juga dapatdikendalikan dengan menggunakan varietas kapas resisten berdasarkankarakter morfologi bulu daun. Penelitian peranan kerapatan bulu daunpada tanaman kapas terhadap kolonisasi B. tabaci Gennadius dilakukan diKebun Percobaan Pasirian, Kabupaten Lumajang, dan di LaboratoriumEntomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Malang, mulaiApril hingga Juli 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahuiperanan kerapatan bulu daun pada beberapa aksesi plasma nutfah kapasterhadap kolonisasi B. tabaci. Perlakuan terdiri atas 11 aksesi plasmanutfah kapas yang dipilih berdasarkan penilaian visual pada karakterkerapatan bulu daun yang mewakili kerapatan bulu rendah hingga tinggi,yaitu: (1) KK-3 (KI 638), (2) Kanesia 1 (KI 436), (3) A/35 Reba P 279 (KI257), (4) Acala 1517 (KI 174), (5) Asembagus 5/A/1 (KI 162), (6) 619-998xLGS-10-77-3-1 (KI 76), (7) DP Acala 90 (KI 23), (8) TAMCOT SP21 (KI 6)), (9) Kanesia 8 (KI 677), (10) CTX-8 (KI 494), dan (11) CTX-1(KI 487). Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan10 ulangan. Paramater yang diamati adalah jumlah bulu daun, telur dannimfa pada 1 cm2 luas daun, serta jumlah imago B. tabaci pada daunketiga dari atas tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatanbulu daun berkorelasi positif dengan kolonisasi B. tabaci (R=0,9701).Semakin tinggi kerapatan bulu daun, semakin meningkat kolonisasi B.tabaci. Kolonisasi B. tabaci lebih tinggi pada CTX-1, CTX-8, Kanesia 8,dan KK-3 (150-250 individu/cm 2 luas daun) karena tingkat kerapatan buludaun juga lebih tinggi (150-300 helai/cm 2 luas daun) dibanding TAMCOTSP 21, DP Acala 90, 619-998xLGS-10-77-3-1, Asembagus 5/A/1, Acala1517, A/35 Reba P 279, dan Kanesia 1 yang memiliki kerapatan bulu daun(0-100 helai/cm 2 luas daun) dan tingkat kolonisasi B. tabaci (<100individu/cm 2 luas daun) lebih rendah.Kata kunci : Kapas, Gossypium hirsutum, plasma nutfah, hama, Bemisiatabaci, trichom, kolonisasi, Jawa TimurABSTRACTRole of trichome density of cotton leaf to colonization ofBemisia tabaci GennadiusTrichome-based host plant resistance offers the potential to reducechemical insecticides used in insect pest control. Cotton whitefly, Bemisiatabaci can be controlled by using resistant variety based on trichomedensity as plant morphological characteristics. The study on the role oftrichome density of cotton accessions on the colonization of B. tabaci wascarried out at Pasirian Experimental Station at Lumajang, and atEntomology Laboratory of Indonesian Tobacco and Fiber Crops ResearchInstitute (IToFCRI ) in Malang from April to July 2005. Treatmentsincluded 11 cotton accessions, viz. (1) KK-3 (KI 638), (2) Kanesia 1 (KI436), (3) A/35 Reba P 279 (KI 257), (4) Acala 1517 (KI 174), (5)Asembagus 5/A/1 (KI 162), (6) 619-998xLGS-10-77-3-1 (KI 76), (7) DPAcala 90 (KI 23), (8) TAMCOT SP 21 (KI 6)), (9) Kanesia 8 (KI 677),(10) CTX-8 (KI 494), and (11) CTX-1 (KI 487). The experiment wasarranged in completely randomized design with ten replications.Parameters observed were trichome density, number of eggs and nymphson one cm2 of leaf and adult of B. tabaci on 3rd highest leaf of cottonplant. The result showed that trichome density was positively correlatedwith B. tabaci colonization (R=0,9701) in which higher trichome densityof cotton leaf has resulted in great colonization of B. tabaci. Bemisiatabaci colonisation was higher on CTX-1, CTX-8, Kanesia 8, and KK-3(150-250 individu/cm2 of leaf) due to dense trichome (150-300trichomes/cm2 leaf) as compared with other accessions, viz. TAMCOTSP 21, DP Acala 90, 619-998xLGS-10-77-3-1, Asembagus 5/A/1, Acala1517, A/35 Reba P 279, and Kanesia 1 which showed less density of leaftrichome (0-100 trichomes/cm2 of leaf) and B. tabaci colonization (< 100individu/cm2 of leaf).Key words : Cotton, Gossypium hirsutum, cotton accession, pest,Bemisia tabaci, trichome, colonizatio

    Kemajuan Genetik Varietas Unggul Kapas Indonesia Yang Dilepas Tahun 1990-2003

    Full text link
    Genetic Progress Of Indonesian Cotton Varieties Released In 1990 - 2003Kanesia 1 and Kanesia 2 are two high yielding cotton varieties which were obtained from individual selection from populations of Reba BTK-12 and Tak Fa 1, and have pioneered the development of the engineering of Indonesian national cotton varieties. The other high yielding varieties are engineered by using gene pooling or genes pyramiding approaches involving the use of genetic sources in the cotton germplasm collection which have resulted in the release of seven more new Indonesian cotton varieties (Kanesia 3 - Kanesia 9). As compared to Kanesia 1 and 2, the seven new Kanesias show a significant increase in productivity level as well as fibre properties. In parallel, those are accomplished with improved resistance to insect pests focusing on jassid (A. biguttula) via physical resistance mechanism expressed by long and high hair density on leaves and stem; this has resulted in reduced insecticide USAge. This paper reviews the genetic improvements which have been obtained from breeding program of Indonesia national cotton varieties, Kanesia 1 - Kanesia 9 and describes the future cotton breeding programmes

    Pengaruh Kerapatan Bulu Daun pada Tanaman Kapas terhadap Kolonisasi Bemisia Tabaci Gennadius

    Full text link
    Ketahanan tanaman terhadap serangga hama berdasarkan karaktermorfologi bulu (trichom) pada daun merupakan salah satu cara potensialmengurangi penggunaan insektisida kimia dalam pengendalian hama.Serangga hama pengisap Bemisia tabaci pada tanaman kapas juga dapatdikendalikan dengan menggunakan varietas kapas resisten berdasarkankarakter morfologi bulu daun. Penelitian peranan kerapatan bulu daunpada tanaman kapas terhadap kolonisasi B. tabaci Gennadius dilakukan diKebun Percobaan Pasirian, Kabupaten Lumajang, dan di LaboratoriumEntomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Malang, mulaiApril hingga Juli 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahuiperanan kerapatan bulu daun pada beberapa aksesi plasma nutfah kapasterhadap kolonisasi B. tabaci. Perlakuan terdiri atas 11 aksesi plasmanutfah kapas yang dipilih berdasarkan penilaian visual pada karakterkerapatan bulu daun yang mewakili kerapatan bulu rendah hingga tinggi,yaitu: (1) KK-3 (KI 638), (2) Kanesia 1 (KI 436), (3) A/35 Reba P 279 (KI257), (4) Acala 1517 (KI 174), (5) Asembagus 5/A/1 (KI 162), (6) 619-998xLGS-10-77-3-1 (KI 76), (7) DP Acala 90 (KI 23), (8) TAMCOT SP21 (KI 6)), (9) Kanesia 8 (KI 677), (10) CTX-8 (KI 494), dan (11) CTX-1(KI 487). Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan10 ulangan. Paramater yang diamati adalah jumlah bulu daun, telur dannimfa pada 1 cm2 luas daun, serta jumlah imago B. tabaci pada daunketiga dari atas tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatanbulu daun berkorelasi positif dengan kolonisasi B. tabaci (R=0,9701).Semakin tinggi kerapatan bulu daun, semakin meningkat kolonisasi B.tabaci. Kolonisasi B. tabaci lebih tinggi pada CTX-1, CTX-8, Kanesia 8,dan KK-3 (150-250 individu/cm 2 luas daun) karena tingkat kerapatan buludaun juga lebih tinggi (150-300 helai/cm 2 luas daun) dibanding TAMCOTSP 21, DP Acala 90, 619-998xLGS-10-77-3-1, Asembagus 5/A/1, Acala1517, A/35 Reba P 279, dan Kanesia 1 yang memiliki kerapatan bulu daun(0-100 helai/cm 2 luas daun) dan tingkat kolonisasi B. tabaci (<100individu/cm 2 luas daun) lebih rendah

    KESESUAIAN BEBERAPA GALUR KAPAS BERDAUN OKRA PADA SISTEM TANAM RAPAT

    Get PDF
    ABSTRAKTanaman kapas dengan bentuk daun yang menjari (okra) diharapkanbisa dikembangkan dengan sistem tanam rapat untuk meningkatkan hasilkapas berbiji. Penelitian lapang dilakukan di Kebun Percobaan Asem-bagus, Situbondo, Jawa Timur mulai Februari-Juli 2007 dan bertujuanuntuk mengetahui kesesuaian galur kapas berdaun okra pada sistem tanamrapat. Sistem tanam rapat yang dimaksud adalah sistem tanam monokulturdengan jarak tanam dalam barisan dirapatkan yaitu dengan jarak tanam100 cm x 10 cm (100.000 tan/ha). Percobaan disusun dalam rancanganacak kelompok dengan 3 ulangan dan 1 ulangan monokultur dengan sistemtanam normal (100 cm x 25 cm; 40.000 tan/ha). Perlakuan terdiri dari 14galur/varietas kapas yang terdiri atas 12 galur berdaun okra dan 2 varietasberdaun normal (Kanesia 8 dan Kanesia 13) sebagai pembanding.Paramater yang diamati adalah tinggi tanaman, lebar kanopi, jumlahcabang generatif, jumlah buah/tanaman setiap bulan mulai 60-120 HST.Bobot buah, jumlah buah terpanen dan hasil kapas berbiji diamati saatpanen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan populasi tanam-an menurunkan jumlah cabang generatif, jumlah buah dan bobot buah pertanaman. Semua galur okra yang dicoba pada sistem tanam rapat rata-ratahanya meningkatkan hasil kapas berbiji 2,12% dibanding pada populasinormal. Rata-rata hasil kapas berbiji galur okra pada populasi rapat adalah2.315,8 kg/ha dan pada populasi normal 2.293,2 kg/ha. Selanjutnya hasilkapas berbiji berdaun normal Kanesia 8 dan Kanesia 13 pada populasirapat masing-masing 2.159 dan 2.179 kg/ha dan pada populasi normal1.983 kg/ha dan 2.525 kg/ha. Galur okra 98040/3 dan 98048/2 menghasil-kan produksi tertinggi pada populasi rapat (masing-masing 2.640 kg/hadan 2.627 kg/ha) dan pada populasi normal (2.688 kg/ha dan 2.807 kg/ha).Kedua galur okra tersebut mempunyai potensi hasil yang lebih tinggidibanding kapas berdaun normal (Kanesia 8 dan Kanesia 13) baik padapopulasi rapat maupun populasi normal.Kata kunci: Gossypium hirsutum L., tanam rapat, daun okraABSTRACTSuitability of Cotton Lines with Okra Leaves UnderNarrow Interrow SpacingOkra leaf cotton crop may have a potential increase in the seedcotton yield under narrow inter row spacing. Okra leaf cotton lines weretested in relative performance under high interrow spacing. The field trialwas conducted at the Asembagus Experimental Station, Situbondo, EastJava from February to July 2007. Okra leaf cotton lines were planted asmonocrop with plant spacing of 100 cm between rows and 10 cm withinrows (100,000 plants/ha). Experiment was arranged in a randomized blockdesign with three replicates. In addition, one plot was allocated formonocrop with normal inter row spacing (100 cm between rows and 25 cmwithin rows; 40,000 plants/ha). Fourteen selected cotton lines consistingof 12 lines with okra leaf and 2 varieties (Kanesia 8 and Kanesia 13) withnormal leaf as check varieties were tested. Cotton plant height, canopywidth, number of fruiting branches, and boll/plant were measured monthlyfrom 60-120 dap. Boll weight, number of harvested bolls, and seed cottonyield were counted at harvesting. Results showed that increased plantdensity resulted in reduced fruiting branches, boll count, and boll weight.The okra leaf cotton under high crop density system showed a yieldincrease by 2.12% compared to normal spacing. Average seed cotton yieldunder narrow interrow spacing was 2,315.8 kg/ha and the average yieldunder normal interrow spacing was 2,293.2 kg/ha. Okra lines cotton98040/3 and 98048/2 showed the highest yield under narrow interrowspacing (2,640 and 2,627 kg/ha) and under normal interrow spacing (2,688kg/ha dan 2,807 kg/ha). Both lines offered higher yield than those withnormal leaf under high interrow spacing and normal population.Key words: Gossypium hirsutum L., high interrow spacing, okra lea

    POTENSI HASIL GALUR-GALUR F1 MANDUL JANTAN KAPAS PADA PERSILANGAN ALAMI

    Get PDF
    ABSTRAKProduksi benih varietas kapas hibrida dapat ditempuh dengan duacara, yaitu dengan persilangan manual dan dengan memanfaatkan galurmandul jantan (male-sterile line). Memproduksi benih kapas secarapersilangan manual memerlukan tenaga dan biaya yang tinggi, dan biayatersebut dapat dikurangi dengan menggunakan galur male steril. Penelitiandilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Tembakaudan Serat, di Karangploso, Malang, Jawa Timur, dari bulan April sampaiOktober 2007. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi hasilgalur-galur mandul jantan kapas untuk memproduksi benih hibrida. Tigaaksesi kapas yaitu KI 487, KI 489, dan KI 494 yang memiliki persentasetanaman mandul jantan masing-masing 60,8%, 57,5%, dan 65% telahdigunakan sebagai donor sifat mandul jantan dan telah dilakukan introgresisifat mandul jantan dari ketiga aksesi tersebut ke varietas komersialKanesia 7, Kanesia 8, dan Kanesia 9 melalui persilangan pada tahun 2006dan diperoleh 9 set kombinasi persilangan. Pada tahun 2007, evaluasipotensi galur dilakukan terhadap 8 galur F1 mandul jantan, 3 tetua jantanyaitu varietas Kanesia 7, Kanesia 8, dan Kanesia 9, serta satu varietas baruyaitu Kanesia 12 sebagai pembanding yang disusun dalam rancangan acakkelompok yang diulang 3 kali. Plot percobaan berukuran 3 x 10 m 2dengan jarak tanam 100 cm x 25 cm; satu tanaman per lubang. Dosispupuk yang digunakan adalah 100 kg urea + 100kg ZA + 100kg SP 36 +100kg KCL per ha. Tidak dilakukan pengendalian hama denganinsektisida kimia selama penelitian. Pengamatan yang dilakukan adalahkemandulan benangsari secara visual dan mikroskopis, jumlah buah pertanaman, bobot buah, dan hasil kapas berbiji. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pengamatan secara visual dan mikroskopis terhadapstruktur bunga menunjukkan bahwa semua individu tanaman dari 8 galurF1 yang diuji adalah mandul jantan. Jumlah buah galur mandul jantan 7 –96% lebih banyak tetapi ukuran buahnya lebih kecil dibandingkan denganKanesia. Galur-galur mandul jantan KI 494 x Kanesia 7 dan KI 494 xKanesia 8 memberikan hasil kapas berbiji paling tinggi masing-masing2.609kg dan 2.153kg per hektar dibandingkan dengan galur-galur lain,atau sebesar 94 % dan 95% dibandingkan dengan Kanesia 7 dan Kanesia8. Persilangan alami galur-galur tersebut bervariasi sebesar 51 – 95%.Kata kunci : Kapas, Gossypium hirsutum. L., mandul jantan, benih hibridaABSTRACTCotton yield potential of F1 male sterile lines undernatural crossingCotton hybrid seed production can be done by manual crossing andby using male steril line methods. The manual crossing technique ishowever labor dan cost intensive, and the cost can only be reduced byusing male sterile lines. The experiment was conducted in KarangplosoExperimental Station of Indonesian Tobacco and Fiber Crops ResearchInstitute (IToFCRI), Malang, East Java, from April to Oktober 2007aiming to evaluate the yield potential of cotton male sterile lines. Threecotton accessions e.i KI 487, KI 489, and KI 494 which have male sterilitypercentage of 60.8%, 57.5%, and 65%, respectively, were used as donorfor male sterility and were then introgressed to three commercial cottonvariety, Kanesia 7, Kanesia 8, and Kanesia 9 through manual crossing, andthat resulted in nine sets of crossing combinations. In 2007, yield potentialwere studied including 8 F1 male sterile lines, 3 male parent lines (Kanesia7, Kanesia 8, and Kanesia 9), and one new cotton variety, Kanesia 12, ascontrol in a randomized block design with 3 replications. Plot size was 3 x10 m 2 with 100 cm x 25 cm plant spacing; one plant per hill. Fertilizerdosage was 100kg urea + 100kg ZA + 100kg SP 36 + 100kg KCl per ha.Chemical insecticide was not used for insect protection during theresearch. Parameters observed were plants male sterility, number of bollsper plant, boll weight, and seed cotton yield. The experimental resultshowed that both visual and microscopic observation of male sterility onindividual plants confirmed that the eight F1 lines tested were male sterile.Number of bolls per plant of male sterile lines were 7 – 96% higher thanthat of Kanesia’s, but boll size was smaller. Lines KI 494 x Kanesia 7 andKI 494 x Kanesia 8 produced highest cotton seed yield of 2609 kg and2153 kg per hectar, respectively, which were 94% and 95% of that of theirmale parents, Kanesia 7 and Kanesia 8, respectively. Natural crossing ofthose lines varied around 51 – 95%.Key words : Cotton, Gossypium hirsutum. L., male sterile, hybrid see

    GALUR-GALUR HARAPAN KAPAS DI LAHAN TADAH HUJAN

    Get PDF
    ABSTRAKAreal pertanaman kapas di Indonesia tersebar di enam propinsi yaituJawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa TenggaraTimur, dan Sulawesi Selatan. Pengembangan kapas 70% berada di lahantadah hujan dan 30% di lahan sawah sesudah tanaman padi. Di lahan tadahhujan biasanya kapas ditanam setelah jagung, kedelai atau kacang hijaudan selalu mengalami kendala kekurangan air selama pertumbuhannya.Karena kendala tersebut, produksi kapas berbiji ditingkat petani umumnyahanya mencapai 200 – 500 kg per hektar. Penelitian uji multilokasidilaksanakan di Asembagus dan Wongsorejo (Jawa Timur), Bayan (NusaTenggara Barat), dan Bantaeng serta Bulukumba (Sulawesi Selatan), dilahan tadah hujan pada tahun 2004 – 2006. Sebanyak 9 galur dan varietasKanesia 8 disusun dalam rancangan acak kelompok yang diulang 4 kali(tiga ulangan tidak mendapatkan tambahan pengairan setelah tanamanberumur 42 hari atau setelah pemupukan kedua), satu ulangan diberipengairan optimal sampai panen, yang digunakan untuk menghitungIndeks Kepekaan Terhadap Kekeringan. Kapas ditanam secara monokulturpada petak percobaan berukuran 50m 2 dengan jarak tanam 100 cm x 25cm, satu tanaman per lubang. Pengamatan yang dilakukan adalah : hasilkapas berbiji pada kondisi keterbatasan air, hasil kapas berbiji padakondisi pengairan optimal, indeks kerentanan terhadap kekeringan, skorkerusakan daun akibat serangan Amrasca biguttula, dan mutu serat. Padakondisi tidak mendapatkan tambahan pengairan, rata-rata potensi hasilgalur-galur yang diuji tidak berbeda nyata dengan varietas Kanesia 8 sertatoleran terhadap A biguttula dan mutu seratnya memenuhi syarat untukindustri tekstil di Indonesia. Galur-galur yang produktivitasnya mencapailebih dari 1.500 kg kapas berbiji/ha adalah (135x182)(351x268)9,(135x182)(351x268)10, dan (135x182)10. Dilihat dari produktivitas, keta-hanan terhadap A. biguttula, ketahanan terhadap kekeringan dan mutuserat, terdapat dua galur harapan yang dapat dilepas sebagai varietas baruyang sesuai untuk dikembangkan di lahan tadah hujan pada kondisi keter-batasan air yaitu galur {(135x182)(351x268)}9 dan galur (339x448)2.Keunggulan galur {(135x182)(351x268)}9 adalah lebih toleran terhadapkondisi dengan ketersediaan air terbatas dibandingkan dengan Kanesia 8,sedangkan produktivitas, ketahanannya terhadap A biguttula, serta mutuseratnya tidak berbeda. Keunggulan galur (339x448)2 dibandingkandengan Kanesia 8 adalah mutu seratnya lebih tinggi, sedangkan produk-tivitas serta ketahanannya terhadap keterbatasan air dan A. biguttula tidakberbeda.Kata kunci : Kapas, produktivitas, mutu serat, tahan terhadap kekeringanABSTRACTNew cotton lines adaptive to rain-fedCotton growing area in Indonesia extended in six provinces i.e.East Java, Middle Java, Bali, West Nusa Tenggara, East Nusa Tenggaraand South Sulawesi. Cotton area in Indonesia is mostly (70%) in rain-fed, and the rest is on rice-field after paddy (30%). On rain-fed areas,cotton is commonly grown after maize, soybean, or greenbean, that itsuffers from drought. This condition has resulted low yield ranging 200 –500 kg seed cotton per hectare. As a result, farmers income and farmersinterest in cotton cultivation are low . Multilocations trial were conductedin Asembagus and Wongsorejo (East Java), Bayan (West Nusa Tenggara),and Bantaeng as well as Bulukumba (South Sulawesi), on rain-fed area in2004 to 2006. 9 lines of cotton and Kanesia 8 were arranged in randomizedblock design with four replications three replications without irrigation 42days after planting and one replication with optimal irrigation for theestimation of drought susceptibility index. Monoculture cotton was grownin plots sized 50 m 2 with 100 cm x 25 cm plant spacing, one plant perhole. Parameters observed were seed cotton yield on water limitedcondition, seed cotton yield on full irrigation, drought susceptibility index,score of leaf damage caused by Amrasca biguttula, and fibre quality.Means of productivity level of the cotton lines on water limited conditionwere not significantly different to Kanesia 8, all of them were tolerant toA biguttula with fiber quality was suitable for textile industries inIndonesia. There were three lines reached productivity more than 1,500kg/ha i.e. (135x182)(351x268)9, (135x182) (351x268)10, and (135x182)10. From the trials, there were two promising lines i.e. lines(135x182) (351x268) 9 and (339x448) 2 which can be released as newvarieties tolerant to water limited condition. Lines (135x182)(351x268) 9was more tolerant to water limited condition than Kanesia 8, and it was notsignificantly different in productivity, tolerancy to A biguttula, and fibrequality. Lines (339x448)2 was superior on its fiber quality than Kanesia 8and its productivity as well as its tolerancy to water limited condition andA biguttula were not significantly different
    corecore