7 research outputs found

    Cemaran aflatoksin pada produksi jagung di daerah Jawa Timur=(aflatoxin contamination during corn production in East Java)

    Get PDF
    Penelitian ini ditujuan untuk mengindentifikasi tingkat cemaran aflatoksin pada produksi jagung di Propinsi Jawa Timur =la, dart lingkat petani, pengecer maupun pedagang sena mendapatkan data tentang praktek pasca-panen melalui kuesioner maul, 1111 peninjauan lapangan. Pemantauan dilakukan di 4 (empat) kabupaten penghasil jagung terbesar di Propinsi Jawa Thrum yaitu Malang, Tuban, Kediri dan Sï´ï´enep. Uji infeksi jamur menunjukkan bahwa hampir 100% biji yang diambil balk dart petani. pengumpul maupun pedagang di empat kabupaten terinfeksi oleh jaunt)⢠bermiselia putih dan hitam (tidak dilakukan identifikasi lanjut), Aspergillus dan Penicillium. Kadar air jagung yang diuji berkisar antara 12.60% â 20.84%. Hal ini merupakan indikator bahwa proses pasca panen beim. berlangsung dengan balk. Data uji infeksi jamur aflatoksigenik menggunakan media AFPA menunjukkan bahwa sampel dengan cemaran aflatoksin tinggi (>100 ppb), rata-rata terinfeksi dengan jamur aflatoksigenik >50 %. Hasil uji aflatoksin menunjukkan bahwa dart 115 sampel yang diambil dart petani, pengumpul dan pedagang. 27 sampel (23%) tidak terdeteksi aflatoksin, sedang 48 sampel (42%) dengan cemaran aflatoksin 100 ppb. Dart hash uji diperoleh bahwa 6 sampel memiliki cemaran aflatoksin > 300 ppb, dengan cemaran tertinggi adalah sekitar 350 ppb. Secara urnum dapat disimpulkan bahwa praktek produksi jagung yang kurang balk dapat memberi peluang terhadap tingginya cemaran aflatoksin. Rekomendasi cara bercocok tanam yang tepat, pengeringan hingga kadar air 13% yang tidak boleti ditunda, penyimpanan pada ruang yang. kering dan bersih perlu disampaikan untuk petani, pengecer dan pedagang, maupun penterintah. Demikian pula insentif bagi petani, pengumpul dan pedagang yang mampu mempertahankan kebersihan bpi dart infeksi jamur Aspergillus flavus dan cemaran aflatoksin perlu ditingkatkan

    KEYWORDS Peanut Aflatoxin contamination Aspergillus flavus Seed moisture content Damage seed MONITORING OF AFLATOXIN CONTAMINATION AT MARKET FOOD CHAIN IN EAST JAVA

    No full text
    ABSTRACT Peanut is a cheapest source of protein especially for developing countries communities and mostly it obtained from traditional markets. Earlier studies showed that aflatoxin incidence was relatively less at the farmer/trader levels while it is significantly higher at retail levels especially in traditional markets. Present study was conducted to understand the factors leading to the post-harvest building up of aflatoxin in peanuts sold in traditional market and in supermarket. This study was carried out at Pasuruan regency, East Java Province, Indonesia from March 2005 to June 2006. During study period peanut grains were collected from wholesalers, retailers and supermarkets at three months interval. In each sampling point, 2kg of grains was obtained and then was divided into eight parts for the analysis of parameters namely seed moisture content, physical quality, Aspergillus flavus infection and aflatoxin B1 contamination. The results showed that seed water contents at wholesalers, collectors, and retailers in traditional wet markets were almost lower than 10%. They were thus 'safe' from aflatoxin B1 contamination as seed moisture contents were below the aflatoxin risk zone. Time of sampling did not affect the level of aflatoxin B1 contamination. Under controlled condition generated from air-tight container, the influence of seed moisture content and A. flavus infection on aflatoxin production was significant

    Changes of Chemical Composition and Aflatoxin Content of Peanut Products as Affected by Processing Methods

    Full text link
    Peanut production in Indonesia is predominantly used for food, thus information on nutritional aspects and aflatoxin contamination in peanuts is essential in terms of food security and safety. As changes may occur during processing, the effects of processing methods on chemical composition and aflatoxin content in selected peanut products were studied. The dried peanut pods collected from a farmer in Ponorogo, East Java were stored for one month, and then the kernels were prepared into fried peanut (kacang goreng), peanut sauce (sambel pecel), peanut press cake (bungkil kacang), fried-pressed peanut (bungkil kacang goreng), fermented peanut press cake (tempe bungkil kacang), and fried peanut tempe (tempe bungkil kacang goreng). The trial was arranged in a randomized complete design with three replicates. ELISA method was applied for aflatoxin B1 analysis. The results showed that peanut kernels contained 26.3% protein (dw) and 50.4% fat (dw) with relatively low aflatoxin B1 content (9.1 ppb) due to low moisture level (5.6%), no Aspergillus flavus infection and high sound/intact kernels (73.1%). Peanuts processed into tempe bungkil kacang showed the highest increase in protein content, followed by tempe bungkil kacang goreng, bungkil kacang, and bungkil kacang goreng, while fat contents decreased in all products. Processing into kacang goreng and bungkil kacang goreng decreased aflatoxin B1 by 26.4% and 41.8%, respectively, while no significant differences were noted in sambal pecel and bungkil kacang. Aflatoxin B1 increased two-fold during the preparation of tempe bungkil kacang, however it significantly decreased by 38.9% after deep-fried. Excluding peanut tempe, all peanut products contained aflatoxin B1 below the permitted level (15 ppb), therefore they are safe for consumption

    Penanggulangan Klorosis pada Kacang Tanah di Alfisol Alkalis

    Full text link
    Di masa mendatang Klorosis daun Kacang Tanah di Alfisol Alkalis akan menjadi kendala peningkatan produksi kacang tanah. Klorosis dapat terjadi selama fase pertumubuhan tanaman dengan intensitas yang bebeda , dan sangat ditentukan oleh lingkungan tumbuh. Penyebab Klorosis sangat kompleks , faktor penyebab yang satu bisa merupakan akibat faktor yang lain. Melihat gejala pada daun, klorosis yang terjadi pada alfisol Alkalis disebabkan oleh kesehatan Fe, yang dipicu terutama oleh tingginya pH tanah dan rendahnya SO , dalam tanah. Upaya mengatasi klorosis pada kacang tanah dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu penanaman varietas toleran, kecukupan hara, ameliorasi tanah. Hingga tahun 2000 varietas yang telah dilepas dan dinilai toleran terhadap klorosis adalah Kancil. Beberapa galur harapan toleran terhadap klorosis adalah ICGV 86031, G/PI 259747-92-B-28, K/PI 405132-90-B1-2-57, K/PI 390595/K-90-B2-54, K/SHM2-88-B-7, Lokal Tuban, dan ICGV 87055 . Pemupukan dengan FeSO4 takaran 30 kg/ha yang diberikan saat tanaman berumur antara 15 hingga 45 hari atau penyemprotan dengan larutan yang mengandung 1% FeSO4 + 0,1% asam sitrat + 3% ZA + 0,2% Urea sebanyak tiga kali pada 30, 45 dan 60 hari setelah tanam, atau pemberian 20 t pupuk kandang/ha berpeluang menurunkan klorosis dan meningkatkan hasil kacang tanah. Ameliorasi tanah untuk menurunkan pH dapat dilakukan dengan pemberian bubuk belerang (So) dengan takaran 400-600 kg S/ha sepanjang baris tanaman atau 1200 kg S/ha diberikan seminggu menjelang tanam dan dicampur rata dengan tanah efektif menurunkan intensitas klorosis dan meningkatkan hasil. Pemberian S mampu menurunkan pH tanah didaerah perakaran, meningkatkan persediaan SO4, memperbaiki pertumubuhan tanaman, meningkatkan indeks kandungan Klorofil dan efektif menurunkan klorosis hingga pada tingkat yang sangat rendah. Terdapat indikasi mekanisme S dapat menurunkan klorosis adalah melalui penghambatan translokasi unsur Ca ke bagian tanaman dari tanah dan mempertahankan nisbah Ca/Fe tetap rendah sehingga mengurangi inaktivasi Fe oleh C
    corecore