47 research outputs found
Perdagangan Ternak dan Daging Sapi: Rekonsiliasi Kebijakan Impor dan Revitalisasi Pemasaran Domestik
EnglishFor the last decade, average national consumption of beef increases by 4.5 percent/year, with a high trend of import i.e. 21.6 percent/year compared to that of domestic beef production rate of 2.6 percent/year. Development of beef cattle need long-term investment, therefore disincentive of import policy will give substantial impact, psychologically and economically, to the farmers. The objective of this paper is to formulate the harmonization of import policy and domestic marketing in order to support the development and sustainability of beef cattle agribusiness. In the context of the Food Law No.18/2012, the import policy of feeder cattle and beef cattle is the last resort policy and should be conducted with the principle of cautiously. Coordination and consolidation between the logistic institution (Bulog) and the importer association is needed in relation to implementation of price stabilization policy effectively and efficiently. The implementation of import policy based on price reference have to be conducted in conjunction with the powerful logistic system development. The respective policy should be complemented with the enhancement of domestic marketing efficiency for the benefits of increasing beef cattle population, beef production, and the welfare of the farmers. Policy direction of livestock and beef cattle domestic marketing is to maintain meat consumption diversification, deregulation of retribution and marketing system, enhancement of the institutional and bargaining position of the farmers, as well as gradual reducing of beef cattle inter-regional trade quota complemented with production development policy of beef cattle farming. IndonesianDalam satu dasa warsa terakhir ini, rataan konsumsi nasional daging sapi meningkat dengan laju 4,5 persen/tahun, tetapi dengan laju impor yang tinggi yaitu 21,6 persen/tahun vs laju peningkatan produksi domestik hanya 2,6 persen/tahun. Pengembangan sapi potong membutuhkan investasi jangka panjang, sehingga disinsentif kebijakan impor akan memiliki konsekuensi psikologis dan ekonomi yang besar bagi peternak. Tujuan tulisan ini adalah merumuskan harmonisasi kebijakan impor dan pemasaran domestik untuk mendukung pengembangan dan keberlanjutan agribisnis sapi potong. Dalam konteks UU Pangan No.18 Tahun 2012 kebijakan impor ternak dan daging sapi adalah pilihan terakhir dan harus dilakukan dengan prinsip penuh kehati-hatian. Dibutuhkan koordinasi dan konsolidasi antar institusi parastatal (Bulog) dan asosiasi importir dalam eksekusi kebijakan stabilisasi harga secara efektif dan efisien. Kebijakan impor berbasis harga referensi harus dalam satu paket kebijakan dengan kebijakan pengembangan sistem logistik yang handal dan perbaikan efisiensi pemasaran domestik, sehingga memberikan insentif yang memadai bagi peningkatan populasi, produksi, dan kesejahteraan peternak. Arah kebijakan pemasaran ternak dan daging sapi domestik adalah menjaga diversifikasi konsumsi daging, deregulasi sistem retribusi dan tataniaga, penguatan kelembagaan dan posisi tawar peternak, dan pelaksanaan penghapusan kuota perdagangan sapi antar pulau secara terpadu dengan penguatan kebijakan pengembangan produksi USAha ternak sapi potong
Prakiraan Produksi Dan Kebutuhan Produk Pangan Ternak Di Indonesia
Pertumbuhan ekonomi telah menggeser pola konsumsi dengan penyediaan produk pangan ternak yang lebih besar. Dalam kajian ini prakiraan kebutuhan didasarkan atas perbedaan elastisitas dan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Prakiraan produksi dibedakan berdasarkan perkembangan selama sepuluh tahun terakhir dan rencana pengembangan dalam Repelita IV. Ditinjau dari aspek produksi, daging unggas dan telur ayam ras mempunyai prospek pengembangan yang cukup baik di masa depan. Aspek konsumsi menunjukkan bahwa untuk mencapai norma gizi 5 gram protein asal ternak per kapita per hari, komoditi telur dapat diandalkan untuk mensubstitusi kebutuhan akan daging asal ternak (daging sapi dan kerbau). Di masa depan rencana peningkatan produksi telur hendaknya dibuat minimal sama dengan laju kebutuhan terahdap komoditi ini. Perkembangan komoditi susu hendaknya dibatasi sampai pada taraf kecukupan dan menjelang tahun 1995 pekembangan produksinya perlu disesuaikan dengan laju kebutuhan di dalam negeri
Dampak Krisis Moneter dan Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Daya Saing Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Jawa Barat
Monetary and economic crisis started on the mid of 1997 has negative impact on theperformance and sustainability of poultry industry in this country. The main problem facedby broiler industry, namely: (1) Most of feed stuff are highly dependent on import; (2) Thestructure of input and output market are olygopolistic in nature; (3) Cooperative farming isnot consistently implemented; and (4) The price of input factor increased threefold due tomonetary and economic crisis. Based on those backgrounds, the objective of this study is toanalysis the impact of government policy on financial and economic feasibilities of broileragribusiness. The finding of the respective study conducted in two district (Bogor andTasikmalaya) indicated that: (1) Because of economic crisis, financial and economicprofitability of broiler industry decreases; (2) Private Cost Ratio (PCR) increased from 0,753β 0,873 to 0,851 β 0,989 due to crisis, indicating lower financial competitiveness; (3) Thevalue of DRCR before and after crisis are 0,727 β 0,976 vs. 0,790 vs. 0,917 which reveallower economic competitiveness; and (4) The value of Nominal Protection Coefficient (NPC)during the economic crisis showed that broiler industry experiencing disincentive for bothinput and output market. The implication of this study in relation with the development ofbroiler industry facing the economic globalization are as follows: (1) The vertical integrationand cooperation between smallholder broiler farming and input/output industry should bestrengthening in synergistic manner; (2) In order to generate foreign exchange and highervalue added through export and product development as well as product differentiation,vertical integration for all agribusiness subsystem in broiler industry should be implemented;and (3) The establishment of cooperative broiler farming system should be conducted in theregional news of potential market and feed stuff producing regions
Kebijaksanaan Dan Perspektif Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Dalam Mendukung Otonomi Daerah
Implementasi UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 memberikan implikasi strstegis mengenai peran daerah dalam menejemen pembangunan termasuk di dalamnya pembangunan pertanian. Dalam semangat otonomi daerah, pemerintah setempat perlu tetap mengacu dan mengakomondasi beberapa strategi pembangunan pertanian nasional seperti transformasi struktur ekonomi berbasis pertanian, peningkatan ketahanan pangan berkelanjutan, pengembangan agribisnis dan ekonomi kerakyatan, dan pengembangan agropolitan yang diadaptasikan bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Balai pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) memegang peranan penting melalui pengembangan komoditas unggulan lokal yang didukung teknologi spesifik lokasi dan sesuai dengan potensi sumber daya dan keunggulan komparatif wilayah. Dalam masa transisi ini, dukungan bimbingan teknis, menejemen, dan pendanaan dari pusat masih tetap di perlukan, khususnya bagi daerah yang terbatas kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan keuangannya. Dalam perspektif otonomi daerah, BPTP/Balitbangda perlu memperkuat perencanaan dan pelaksanaan seluruh program penelitian/pengkajian partisipatif, dengan penguatan koordinasi penelitian antar wilayah, pengembangan SDM dan sistem insentif yang handal
Pengembangan Padi Hibrida: Pengalaman dari Asia dan Prospek Bagi Indonesia
EnglishFood security always occupies top government\u27s priority in national development due to its huge impact in terms of social, economy, and politics of the country. Regarding the strategic role of food, the policy on increasing food production and farmers\u27 welfare constitute a crucial program, particularly in the Ministry of Agriculture. With the increased demand for food (rice) steadily as well as the rice production levelling off, the government seeks a technological breakthrough, such as hybrid rice introduction. This rice variety is expected to boost production significantly, although its role is still debatable. This paper aims to look at the potential and challenges of hybrid rice development in Indonesia as well as to describe the development in some countries as a comparative study. The result shows both theoretically and factually in some countries, the hybrid rice has a higher potential yield than non-hybrid rice as long as it meets the agronomic requirements. Nevertheless, the development of hybrids (mainly outside of China) still encounters a set of problems, i.e. unstable production, susceptibility to pests and diseases, expensive seed prices, low quality grain, and less-favored rice flavor. Specifically for Indonesia where the hybrid rice is still newly introduced, the hybrid rice development will require a well-planned, gradual, and socialization process. Mass program approaches in hybrid rice which is merely to capture the target oriented, tend to create an ineffectiveness both of output achievement and budget. Agro-ecosystem aspect and the characteristics of farmers in terms of social, economic and cultural sides become a key factor to accomplish the successful hybrid rice development in the future. IndonesianKetahanan pangan selalu menjadi prioritas utama pemerintah dalam pembangunan nasional karena memiliki implikasi yang luas terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik nasional. Dengan peran yang strategis tersebut kebijakan untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani selalu menjadi agenda penting, terutama di Kementerian Pertanian. Dengan terus meningkatnya permintaan akan pangan (beras) serta kecenderungan terjadinya pelandaian produksi maka pemerintah berupaya melakukan sejumlah terobosan di antaranya dengan memperkenalkan padi hibrida. Varietas ini diharapkan mampu mendongkrak produksi beras secara nyata walaupun peran tersebut masih menimbulkan perdebatan. Paper ini bertujuan melihat potensi dan tantangan pengembangan padi hibrida di Indonesia sekaligus memaparkan kondisi pengembangan di beberapa negara sebagai studi perbandingan. Hasil studi menunjukkan bahwa secara teori dan faktual di beberapa negara lain padi hibrida memiliki potensi hasil lebih tinggi dari inbrida asalkan memenuhi persyaratan agronomis. Namun demikian, pengembangan hibrida di luar negara Cina secara umum masih menghadapi sejumlah kendala di antaranya ketidakstabilitan produksi, kerentanan terhadap hama penyakit, harga benih yang mahal, kualitas gabah yang rendah, dan rasa nasi yang belum sesuai dengan keinginan konsumen. Dalam konteks Indonesia, di mana padi hibrida masih menjadi komoditas yang relatif baru (inovasi), maka dalam pengembangan memerlukan tahapan-tahapan yang terencana dan proses sosialisasi yang matang. Massalisasi padi hibrida melalui program dan hanya berorientasi pada target realisasi menyebabkan ketidakefektifan baik dari sisi capaian output maupun anggaran. Kondisi agroekosistem serta karakteristik petani baik aspek sosial, ekonomi dan budaya menjadi faktor kunci bagi keberhasilan pengembangan padi hibrida ke depan
Kebijakan Tarif Impor Paha Ayam dalam Melindungi Industri Perunggasan Nasional
The objectives of this paper are to analyze the competitiveness and comparativeadvantage of broiler production and to recommend alternative policies on import tariff andnon-import tariff barriers for chicken leg-quarter (CLQ), aimed at protecting the nationalbroiler industry. The results of the analysis indicate that Indonesia has the comparativeadvantage of whole chicken, but not in the form of parting chicken, particularly CLQ. Underan assumption that the profit of broiler industry is at least 20 percent of the total broilerproduction costs, the import tariff rate for CLQ should be 100 percent of CIF value of US$630/ton. Should the profit be 25 percent and 30 percent of the total broiler production costs,the fair tariff rates would be 110 percent and 120 percent. Such an import tariff policy forCLQ should be complemented by several strategic non-tariff policies, i.e.: (i) ASUH policy(save, healthy, whole and halal) which is considered comprehensive and effective; (ii) overallreview on the implementation of halal conditions in USA; (iii) import quantity barrier forCLQ as raw material for processed meat industry; (iv) smuggling abolition and lawenforcement as the consequences of a high import tariff implementation; and (v) for theurgency and the economic viability of the national broiler industry, it is essential to carry outpolitical lobby to limit or even to stop CLQ export from USA to Indonesia
Analisa Penggunaan Dan Penyaluran Pupuk Di Kalimantan Barat
Kajian ini menggunakan data sekunder yang diperkaya dengan informasi kualitatif melalui wawancara untuk menganalisa penggunaan dan penyaluran pupuk di Wilayah Pemasaran Kalimantan Barat. Didapatkan bahwa pengalihan program Bimas ke Inmas mengakibatkan menurunnya secara tajam penggunaan berbagai jenis pupuk Sub Sektor Tanaman Pangan. Penyebabnya antara lain adalah besarnya kendala teknis budidaya, keadaan agroekologi yang kurang menguntungkan perkembangan tanaman pangan dan masih lemahnya persepsi petani tentang penggunaan berbagai jenis pupuk, khususnya TSP. Konsumsi pupuk Sub Sektor Perkebunan dalam jangka pendek akan dapat ditingkatkan dengan memperluas areal Perkebunan Besar Negara, berbagai proyek pengembangan komoditi perkebunan dan memantapkan pembinaan pemasaran komoditi swadaya seperti cengkih, lada dan jeruk. Bidang USAha penyaluran pupuk yang kurang emnarik di daerah ini dapat dirangsang diantaranya dengan meningkatkan margin penyaluran dan mengalihkan penjualan langsung oleh KPW Pusri kepada penyalur. Pemecahan kendala penyaluran pupuk dari Lini IV ke petani secara koordinatif diyakinkan akan dapat memperlancar penyaluran pupuk secara keseluruhan di daerah ini
Analisis Keunggulan Komparatif Industri Pakan Ternak Di Jawa Barat Dan Lampung
The role of feedmill industry in the livestock production system is very essential. Therefore the efficient feed production is required to support the poultry industry development. This study is intended to evaluate the economic feasibility of the feed industries in Lampung and West Java. The finding of this study indicated that poultry feed production is economically efficient under import substitution scenario, but on the border line under interregional trade regime, and is not feasible for export promotion. Although feedmill industries did not receive any input subsidies, they persistently enjoyed financial profit due to highly output price protection. The implication of the study is that the poultry feed production have to be vertically integrated with feedstuff supply and poultry production. Operationally the feedmills have to use local raw materials and the output (feed) should be directed to support livestock development in the respective region