16 research outputs found

    PENGARUH PENGAIRAN TERHADAP PRODUKSI DAN KANDUNGAN MINYAK BIJI TIGA PROVENAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)

    Get PDF
    ABSTRAKPenelitian lapang dilakukan di Kebun Percobaan Balai PenelitianTanaman Tembakau dan Serat di Muktiharjo, Pati dengan tekstur tanah liatberdebu mulai tahun 2007 sampai 2009. Penelitian bertujuan untukmengetahui respon pengairan terhadap produksi dan kadar minyak bijijarak pagar. Jarak pagar ditanam pada bulan Februari 2007. Percobaanmenggunakan rancangan petak berjalur dengan tiga ulangan yang terdiridari dua faktor, yaitu faktor pertama : provenan IP-1A, IP-1M, dan IP-1P,dan faktor kedua yaitu kriteria pengairan : kontrol (tanpa pengairan),pengairan saat kandungan air tanah mencapai 35, 50, dan 65%. Pengairandiberikan selama musim kemarau. Pemangkasan pertama dilakukan padatahun II yaitu awal musim hujan (September 2008). Hasil penelitianmenunjukkan bahwa tambahan pengairan hanya diperlukan pada tahunpertama. Produksi biji jarak pagar tidak dipengaruhi oleh irigasi mulaitahun II sehingga tanaman jarak pagar tidak memerlukan tambahanpengairan selama musim kemarau dan dapat beradaptasi pada berbagaiketersediaan air tanah terutama pada daerah dengan curah hujan tahunan1.200-1.500 mm. Produksi biji IP-1P pada tahun I mencapai 258,7 kg/halebih tinggi dibanding IP-1A yaitu 148,11 kg/ha bila diairi saat kandunganair tanah 65%. Bila tidak diairi atau pengairan terbatas, produksi biji IP-1Adan IP-1P akan menurun masing-masing 37-59 dan 17-31%. Pada berbagaiperlakuan pengairan pada tahun II dan III, kisaran produksi biji 842-975dan 818-966 kg/ha. Pada tahun II, tanaman IP-1P menghasilkan produksibiji tertinggi (1.369 kg/ha) dibanding IP-1A (737 kg/ha) dan IP-1M (631kg/ha). Selanjutnya pada tahun III, produksi biji IP-1P (1.268 kg/ha) tetaplebih unggul dibanding IP-1A (902 kg/ha) dan IP-1M (416 kg/ha).Keunggulan IP-1P dibanding provenan lainnya adalah kemampuannyayang lebih tinggi dalam membentuk cabang produktif dan buah. Tambahanpengairan selama musim kemarau pada tahun I selain untuk meningkatkanproduksi biji juga meningkatkan kandungan minyak biji IP-1A dari 27,26menjadi 29,89% dan IP-1P dari 26,54 menjadi 30,05%. Selanjutnya padatahun II, tambahan pengairan sampai kandungan air tanah 50% tidakmempengaruhi kandungan minyak biji IP-1A, IP-1M, dan IP-1P.Kata kunci: Jarak pagar, ketersediaan air tanah, pengairan, produksi biji,kandungan minyak bijiABSTRACTEffects of irrigation on seed production and oil content ofthree provenances of physic nut (Jatropha curcas L.)A field experiment was conducted at the experiment station ofIndonesian Tobacco and Fiber Crops Research Institute in Muktiharjo, Pation a soil texture of silty clay for three years from 2007 to 2009. Theexperiment aimed to investigate the response of irrigation on productionand oil content of jatropha seed. Jatropha was planted in February 2007.The experiment used a striped plot design with three replicates. Itconsisted of two factors, firstly three provenances : IP-1A, IP-1M, and IP-1P, and secondly four irrigation levels : control (no irrigation), irrigationwhen available soil water content reached 35, 50, and 65%. Irrigation wasapplied during the dry season. The first pruning was done in the secondyear during rainy season (September 2008). The results showed thatsupplementary irrigation was needed only in the first year. The productionof jatropha seeds was not affected by irrigation from the second year on.The plants did not require additional irrigation during the dry season andthey well adapted to different soil available water, especially in areas withannual rainfall of 1,200-1,500 mm. When no irrigation supply or underinsufficient moisture content, the seed yield of IP-1A and IP-1P decreasedby 37-59 and 17-31%. In the second and third years, seed production of allirrigation treatments ranged from 842-975 and about 818-966 kg/ha. IP-1Pproduced the highest seed yield (1,369 kg/ha) compared to IP-1A (737kg/ha) and IP-1M (631 kg/ha) second year. In the third year, seedproduction of IP-1P was 1,268 kg/ha which was still more superior thanIP-1A (902 kg/ha) and IP-1M (416 kg/ha). Compared to the other twoprovenances, IP-1P was higher ability in producing productive branchesand fruits. In addition to increase in seed production, supplementaryirrigation during the dry season in the first year also increased seed oilcontent from 27.26 to 29.89% for IP-1A and from 26.54 to 30.05% for IP-1P. Furthermore, in the second year an additional irrigation to soilavailable water of 50% did not affect the seed oil content of allprovenances.Key words: Jatropha curcas L., soil available water, irrigation, seedyield, seed oil conten

    Kesesuaian Tipe Kemasakan Varietas Tebu pada Tipologi Lahan Bertekstur Berat, Tadah Hujan, dan Drainase Lancar

    Get PDF
    Tanaman tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang strategis berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gula.  Saat ini berbagai tipe kemasakan varietas tebu dapat ditemui pada tipologi lahan yang sama sehingga potensi varietas akan sulit dicapai pada tipologi lahan yang tidak sesuai. Untuk itu kesesuaian varietas tebu dengan tipe kemasakan yang berbeda perlu diuji dengan tipologi lahan.  Penelitian dilaksanakan di Desa Gili Timur, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan dengan tipologi lahan tekstur tanah berat (B), lahan tadah hujan (H), dan drainase lancar (L) atau BHL mulai Oktober 2014 sampai September 2015.  Penelitian lapang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang 5 kali dengan 8 perlakuan varietas dengan tipe kemasakan yang berbeda yaitu PS 881 (Awal);  Cenning, PSJK 922, dan PS 882 (Awal Tengah);  KK, VMC 76-16, PSDK 923, dan BL (Tengah Lambat).  Varietas tebu yang ditanam menggunakan benih bagal mata 2–3 dengan PKP 135 cm.  Kesesuaian tipologi lahan BHL dengan tipe kemasakan varietas tebu menunjukkan bahwa varietas tebu tipe kemasakan awal bila ditanam tepat waktu menghasilkan produktivitas sama dengan varietas masak tengah lambat dengan tingkat produktivitas (92,98–109,28 ton/ha). Varietas tebu dengan  tipe ke masakan awal sampai awal tengah menghasilkan produktivitas tebu 93–96 ton/ha menggunakan varietas PS 881, Cenning, dan PSJK 922, dan varietas tengah lambat menghasilkan produktivitas tebu 92-109 ton/ha menggunakan varietas VMC-7616, PSDK 923, dan BL.  Produksi hablur tertinggi varietas masak awal 8,46 ton/ha (PS 881), varietas awal tengah 8,66 ton/ha (PSJK 922), varietas  tengah lambat 9,40 ton/ha (PSDK 923).  Panen tebu dilakukan berdasarkan tingkat kemasakan yang optimal, di lokasi penelitian (wilayah Bangkalan, Madura) varietas tipe kemasakan awal sampai awal tengah mencapai tingkat kemasakan optimal pada saat tanaman mencapai umur 9 bulan dan 9,5 bulan setelah tanam pada tipe kemasakan tengah lambat. Dengan demikian pada tipologi lahan BHL direkomendasikan penggunaan varietas tebu dengan tipe kemasakan awal sampai tengah lambat.  Informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan penataan varietas tebu. Pemilihan varietas yang berproduksi tinggi dan tahan kepras serta sesuai dengan lingkungan setempat  sangat dianjurkan. Sugar cane is one of the strategic plantation crops associated with the fulfillment of sugar. At present various types of ripening sugarcane varieties can be found on the same land typology, so the potential productivity of a variety would be difficult to achieve on a typology that is not appropriate. The suitability of sugarcane varieties with different maturity types need to be checked with appropriate land typology. The research was conducted in East Gili, Kamal, Bangkalan on the land typology of heavy soil texture (B), the rainfed (H), and good drainage (L) or BHL started in October 2014 to September 2015. The field research was designed using a Randomized Block Design (RAK) with five replications with 8 varieties treatments namely PS 881 (early maturity), Cenning, PSJK 922 and PS 882 (middle early maturity); KK, VMC 76-16, PSDK 923 and BL (middle late maturity). Sugarcane stalks with 2-3 buds of each variety were planted per plot at 135 cm row spacing. Suitability of sugarcane varieties with different maturity types with land tipology showed that early maturity sugarcane varieties planted at the right time produced the similar productivity with late maturity varieties on lands with BHL tipology with a ranges of productivity 92.98 to 109.28 tons/ha. Sugarcane varieties with early maturity to mid early maturity of sugarcane produced 93-96 tons/ha using PS 881, Cenning, and PSJK 922, and varieties with mid late to late maturity produced 92-109 tonnes/ha using VMC-7616, PSDK 923, and BL. High sugar yields were produced by early variety of 8.46 tonnes/ha (PS 881), mid early variety of 8.66 tonnes/ha (PSJK 922), mid late variety of 9,40 tonnes/ha (PSDK 923). Cane harvesting was done based on the optimum maturity, in the study site (Bangkalan, Madura) cane varieties with early to middle early maturty reached the optimal maturity at the crop age of 9 months and 9.5 months in middle late maturity. Thus the land tipology of BHL recommended the use of sugarcane varieties with early to mid late maturity. This information can be used as a basis for the implementation of the planting management of sugarcane varieties.  Selection of high yielding varieties and ratooning ability and appropriate to the local environment is highly recommended.

    Kesesuaian Galur Harapan Kapas pada Sistem Tumpang Sari dengan Palawija

    Get PDF
    Tanaman kapas selalu ditumpangsarikan dengan palawija, sehingga varietas harapan yang telah dirakit hen-daknya mempunyai toleransi yang cukup tinggi terhadap persaingan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengevaluasi toleransi galur-galur harapan kapas tahan A. biguttula terhadap persaingan dengan kedelai dan jagung. Penelitian dilaksanakan di lahan petani Desa Sumber Soka, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamo-ngan pada bulan Maret sampai dengan Oktober 2008. Kegiatan penelitian disusun dalam rancangan petak terbagi dengan dua faktor yang diulang empat kali. Petak utama adalah galur unggul, yaitu: 99022/1 (G1); 99001/2 (G2); dan 199023/5 (G3). Anak petak adalah jenis tanaman tumpang sari, yaitu kedelai (Kd) dan jagung (J). Untuk menghitung nilai kesetaraan lahan (NKL) dilakukan penanaman monokultur kapas dari ke-tiga galur unggul, kedelai, dan jagung. Untuk masing-masing jenis tanaman monokultur diulang 2 kali. Peng-amatan dilakukan terhadap komponen pertumbuhan tanaman (vegetatif dan generatif), perkembangan po-pulasi A. biguttula, produksi kapas berbiji, jagung, dan kedelai, serta NKL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran kanopi tanaman, jumlah cabang vegetatif dan generatif yang terbentuk pada tumpang sari dengan jagung lebih besar dibanding tumpang sari dengan kedelai. Galur G1 membentuk square lebih ba-nyak dibanding galur yang lain jika ditumpangsarikan dengan jagung yaitu 10 square/tanaman pada 82 hst dan membentuk buah lebih banyak (9 buah/tanaman) pada 122 hst; galur G3 membentuk square lebih ba-nyak pada tumpang sari dengan kedelai yaitu 8 square/tanaman pada umur yang sama dan membentuk bu-ah yang lebih banyak (11 buah/tanaman). Persentase kerusakan square tertinggi terjadi pada galur G3 yang ditumpangsarikan dengan jagung (28%) dan galur G1 yang ditumpangsarikan dengan kedelai (15%). NKL dari galur-galur yang diuji tumpang sari dengan kedelai lebih tinggi (1,31,8) dibandingkan dengan tumpang sari dengan jagung (0,981,42). NKL tertinggi (1,8) ditunjukkan oleh galur G3 tumpang sari dengan kedelai. As a cash crop, cotton is intercropped with secondary food crops in Indonesia. Therefore, the promising lines of such cotton varieties should have a high tolerant to a competitions, so that their potential production would be less affected in intercropping system. The aim of this research was to evaluate the tolerance of promising-cotton lines resistant to A. biguttula in intercropping with soybean and maize. The research was conducted in farmer’s land at Sumber Soka Village, Mantup, Lamongan from March up to October 2008. The research used split plot design with two factors and four replicates. The main plots were the promising lines: 99022/1 (G1); 99001/2 (G2); and 199023/5 (G3) and sub-plots were the secondary crop species: soybean (Kd) and maize (J). For calculating land equivalent ratio (LER) we planted the cotton lines, soybean, and maize in monoculture, each of them with two replicates. Observations were made for plant growth compo-nents (vegetative and generative), development of A. biguttula population, productions of seed cotton, maize and soybean, LER, as well as a simple-partial farming analysis. In intercropping with maize, the canointercropped with soybean. Line G1 showed the highest number in forming squares in intercropping with maize (10 square/plant at 82 dap) and formed bolls more (9 bolls/plant) than the other lines; and so did line G3 in intercropping with soybean (8 square/plant) and formed 11 bolls/plant. However, square damage was also the highest occurrence in these two promising lines (1528%). LER of lines intercropped with soybean were higher (1.31.8) than that of lines intercropped with maize (0.981.42). Line G3 gives the highest LER (1.8) when intercropped with soybean. Cotton lines intercropping with soybean resulted in a better added income over monoculture system compare to that of maize intercropping

    KESESUAIAN BEBERAPA GALUR KAPAS BERDAUN OKRA PADA SISTEM TANAM RAPAT

    Get PDF
    ABSTRAKTanaman kapas dengan bentuk daun yang menjari (okra) diharapkanbisa dikembangkan dengan sistem tanam rapat untuk meningkatkan hasilkapas berbiji. Penelitian lapang dilakukan di Kebun Percobaan Asem-bagus, Situbondo, Jawa Timur mulai Februari-Juli 2007 dan bertujuanuntuk mengetahui kesesuaian galur kapas berdaun okra pada sistem tanamrapat. Sistem tanam rapat yang dimaksud adalah sistem tanam monokulturdengan jarak tanam dalam barisan dirapatkan yaitu dengan jarak tanam100 cm x 10 cm (100.000 tan/ha). Percobaan disusun dalam rancanganacak kelompok dengan 3 ulangan dan 1 ulangan monokultur dengan sistemtanam normal (100 cm x 25 cm; 40.000 tan/ha). Perlakuan terdiri dari 14galur/varietas kapas yang terdiri atas 12 galur berdaun okra dan 2 varietasberdaun normal (Kanesia 8 dan Kanesia 13) sebagai pembanding.Paramater yang diamati adalah tinggi tanaman, lebar kanopi, jumlahcabang generatif, jumlah buah/tanaman setiap bulan mulai 60-120 HST.Bobot buah, jumlah buah terpanen dan hasil kapas berbiji diamati saatpanen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan populasi tanam-an menurunkan jumlah cabang generatif, jumlah buah dan bobot buah pertanaman. Semua galur okra yang dicoba pada sistem tanam rapat rata-ratahanya meningkatkan hasil kapas berbiji 2,12% dibanding pada populasinormal. Rata-rata hasil kapas berbiji galur okra pada populasi rapat adalah2.315,8 kg/ha dan pada populasi normal 2.293,2 kg/ha. Selanjutnya hasilkapas berbiji berdaun normal Kanesia 8 dan Kanesia 13 pada populasirapat masing-masing 2.159 dan 2.179 kg/ha dan pada populasi normal1.983 kg/ha dan 2.525 kg/ha. Galur okra 98040/3 dan 98048/2 menghasil-kan produksi tertinggi pada populasi rapat (masing-masing 2.640 kg/hadan 2.627 kg/ha) dan pada populasi normal (2.688 kg/ha dan 2.807 kg/ha).Kedua galur okra tersebut mempunyai potensi hasil yang lebih tinggidibanding kapas berdaun normal (Kanesia 8 dan Kanesia 13) baik padapopulasi rapat maupun populasi normal.Kata kunci: Gossypium hirsutum L., tanam rapat, daun okraABSTRACTSuitability of Cotton Lines with Okra Leaves UnderNarrow Interrow SpacingOkra leaf cotton crop may have a potential increase in the seedcotton yield under narrow inter row spacing. Okra leaf cotton lines weretested in relative performance under high interrow spacing. The field trialwas conducted at the Asembagus Experimental Station, Situbondo, EastJava from February to July 2007. Okra leaf cotton lines were planted asmonocrop with plant spacing of 100 cm between rows and 10 cm withinrows (100,000 plants/ha). Experiment was arranged in a randomized blockdesign with three replicates. In addition, one plot was allocated formonocrop with normal inter row spacing (100 cm between rows and 25 cmwithin rows; 40,000 plants/ha). Fourteen selected cotton lines consistingof 12 lines with okra leaf and 2 varieties (Kanesia 8 and Kanesia 13) withnormal leaf as check varieties were tested. Cotton plant height, canopywidth, number of fruiting branches, and boll/plant were measured monthlyfrom 60-120 dap. Boll weight, number of harvested bolls, and seed cottonyield were counted at harvesting. Results showed that increased plantdensity resulted in reduced fruiting branches, boll count, and boll weight.The okra leaf cotton under high crop density system showed a yieldincrease by 2.12% compared to normal spacing. Average seed cotton yieldunder narrow interrow spacing was 2,315.8 kg/ha and the average yieldunder normal interrow spacing was 2,293.2 kg/ha. Okra lines cotton98040/3 and 98048/2 showed the highest yield under narrow interrowspacing (2,640 and 2,627 kg/ha) and under normal interrow spacing (2,688kg/ha dan 2,807 kg/ha). Both lines offered higher yield than those withnormal leaf under high interrow spacing and normal population.Key words: Gossypium hirsutum L., high interrow spacing, okra lea

    Toleransi Beberapa Galur Unggul Kapas pada Tumpang Sari dengan Kacang Hijau

    Get PDF
    Tanaman kapas dalam program pengembangan selalu ditanam secara tumpang sari dengan palawija. Pera-kitan varietas kapas untuk mendapatkan galur yang mempunyai toleransi tinggi terhadap sistem tumpang sari dengan palawija perlu/penting dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji galur-galur unggul ka-pas yang mempunyai toleransi tinggi terhadap sistem tumpang sari dengan kacang hijau. Pengujian dilakukan di Asembagus mulai bulan Februari sampai Juli 2009. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Perlakuan terdiri atas enam galur unggul kapas: 99022/1, 99002/2, 99023/5, 98037, 98045/40/11, 98050/9/2/4 dan dua varietas pembanding: Kanesia 13 dan Kanesia 14. Galur-galur kapas tersebut merupa-kan hasil persilangan yang mempunyai keunggulan dalam produktivitas dan mutu serat, serta ketahanan terha-dap hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa galur kapas yang toleran terhadap sistem tumpang sari de-ngan kacang hijau adalah galur 98050/9/2/4, dengan hasil kapas berbiji 1.940 kg/ha dan hasil kacang hijau 276 kg/ha, peningkatan hasil kapas berbiji sebesar 10,9% pada sistem tumpang sari dengan kacang hijau dibanding pada sistem monokultur dengan persentase terhadap potensi hasil 92% dan nilai kesetaraan lahan (NKL) ter-tinggi (1,57). Galur 98050/9/2/4 menunjukkan keragaan yang lebih unggul daripada Kanesia 13 dan Kanesia 14. Cotton is mainly grown under intercropping system with secondary food crops. Cotton breeding program to get high tolerance under multiple cropping with secondary crop should be conducted. Research of cotton in-tercropped with mungbean was done in Asembagus Experimental Station from February to July 2009. The field trial was lay out in a randomized block design with three replications. Monoculture of cotton and mung-bean were sown to calculate land equivalent ratio (LER). The treatments were 6 cotton lines (99022/1, 99002/2, 99023/5, 98037, 98045/40/11, 98050/9/2/4) and 2 cotton varieties (Kanesia 13 and Kanesia 14) as control varieties. The cotton lines tested were yields of cross breeding that had advantages in improving yield, lint quality, and resistance to pest. Results showed that cotton lines 6 (98050/9/2/4) was tolerant to intercropping system with mungbean yielded seed cotton and mungbean 1,940 kg/ha and 276 kg/ha, increased by 10.9% than solecrop with percentage to yield potential 92% and the highest LER (1.57). Cotton line 98050/9/2/4 had higher yield performance under intercropping than Kanesia 13 and Kanesia 14

    Uji Ketahanan Klon-klon Harapan Tebu terhadap Kekeringan

    Get PDF
    Pengembangan tebu di lahan kering harus didukung oleh ketersediaan varietas tebu tahan kering dan mempunyai rendemen yang tinggi. Penelitian rumah kaca bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan klon-klon harapan tebu terhadap cekaman kekeringan.  Sebanyak 13 klon-klon harapan tebu masak awal sampai awal tengah dan satu varietas pembanding ditanam di dalam pot mulai Juni sampai Desember 2018 menggunakan benih budchip.  Rancangan perlakuan menggunakan Rancangan Petak Terbagi dengan tiga ulangan, petak utama terdiri dari tiga perlakuan kekeringan yaitu (A) kadar air tanah tersedia (KAT) dipertahankan suboptimal 40% (kisaran 38-43%) dan (B) KAT dipertahankan 70% (68-73%) dan (C) KAT dipertahankan optimal 100% (95-100%) saat tanaman berumur setelah satu bulan sampai empat bulan setelah tanam (fase pembentukan anakan).  Anak petak teridiri dari 14 klon/varietas pembanding (PS 881).  Hasil penelitian menunjukkan tingkat ketahanan klon-klon unggul tebu terhadap kekeringan bervariasi dari sangat rentan sampai sangat toleran, yaitu sembilan klon ungggul dengan ketahanan kekeringan yang lebih baik dibanding varietas pembanding (rentan) yaitu MLG 26, MLG 12, MLG 55, dan MLG 11 (moderat), MLG 24 (toleran), MLG 9, MLG 14, MLG 4,  dan MLG 49 (sangat toleran).  Terdapat tiga klon unggul dengan ketahanan yang sama dengan varietas pembanding yaitu MLG 38, MLG 5, dan MLG 52 (rentan), serta satu klon dengan ketahanan tidak lebih baik dibanding varietas pembanding yaitu MLG 56 (sangat rentan).            Drought Resistance Test of Sugarcane Promising ClonesABSTRACT             The development of sugarcane in dry land must be supported by the availability of sugarcane dry-resistant varieties and high yield. A greenhouse research was done to determine the level of resistance of sugarcane clones to drought stress using bud chips planted in plastic pots from June to December 2018. The experiment was arranged in a Split Plot Design with three replicates. The main plots consisted of three moisture availability to provide the available soil water (ASW) content maintained at 40% (range 38-43%), 70% (68- 73%) and 100% (95-100%) at the age 1-4 months after planting. Sub plots consisted of 13 clones and one check variety (PS 881). The results showed the level of drought resistance of sugarcane clones varied from very vulnerable to very tolerant,  nine clones with better drought resistance compared to check variety (susceptible) namely MLG 26, MLG 12, MLG 55, and MLG 11 (moderate), MLG 24 (tolerant), MLG 9, MLG 14, MLG 4, and MLG 49 (very tolerant). There are three clones with the same level of drought resistance with check variety namely MLG 38, MLG 5, and MLG 52 (susceptible), and one clone namely MLG 56 is very susceptible

    WAKTU TANAM KAPAS DI JAWA TENGAH

    Get PDF
    ABSTRAKCurah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang sangatberpengaruh terhadap produksi kapas. Variasi hujan di lahan tadah hujanJawa Tengah sangat tinggi sehingga diperlukan penetapan waktu tanam.Waktu tanam ditetapkan berdasarkan analisis hujan lebih dari 20 tahundari 31 stasiun hujan yang tersebar di Kabupaten Grobogan, Wonogiri,Blora, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Data dianalisis menggunakan metodepeluang Markov Order Pertama dan perhitungan peluang selang keringberturut-turut. Peluang hujan yang dianalisis berupa peluang hujanmingguan lebih dari 10, 20, 30, 40, dan 50 mm. Besar peluang hujanmingguan lebih dari 60% untuk mendapatkan hujan lebih dari 20 mm dan30 mm dipakai dalam penentuan minggu tanam, selanjutnya disesuaikandengan peluang kering berturut-turut. Minggu tanam paling lambat (MPL)di Kabupaten Grobogan dan Wonogiri berkisar minggu I Desember sampaiminggu I Januari. MPL di Kabupaten Blora, Pemalang, Tegal, dan Brebesadalah minggu I-IV Januari. Sebagian besar lahan yang digunakan untukkapas bertekstur liat dengan kandungan liat di atas 60%. Ketersediaan airdari hujan cukup untuk memenuhi kebutuhan air kapas dan didukung olehkemampuan tanah menyimpan air yang tinggi.Kata kunci : Kapas, Gossypium hirsutum, waktu tanam, periode kering,masa tanam, Jawa TengahABSTRACTCotton planting times in Central JavaClimatic elements particularly rainfall strongly influences successfulprediction of rainfed cotton yield. Rainfall variability varies amongst theseasons. Longterm rainfall data were required for rainfall analysis to getreliable probabilities. The rainfall analysis was done using Markov ChainFirst Order Probability and dryspell probability methods. Initial andconditional probabilities of rainfall for selected amounts (10, 20, 30, 40and 50 mm/week) were analysed. Rainfall probabilities over 60% to have20-30 mm rainfall per week were used to identify cotton planting times.The rainfall data were collected from 31 rainfall stations in Central Java(Grobogan, Wonogiri, Blora, Pemalang, Tegal, and Brebes). The plantingtimes varied from the first week of December to the first week of Januaryfor Grobogan and Wonogiri. The planting times in Blora, Pemalang,Tegal, and Brebes ranged from early to late January. The majority of landused for cotton has high clay content with high water holding capacitywhich is sufficient to meet the cotton water requirement.Key words : Cotton, Gossypium hirsutum, planting time, dryspell,seasonal pattern, Central Jav

    Karakteristik Biodiesel Kemiri Sunan dengan Katalis NaOH dan KOH

    Get PDF
    Minyak non pangan seperti minyak biji kemiri sunan berpeluang digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Masalah yang muncul dalam pembuatan biodiesel adalah reaksi transesterifikasi tanpa katalis berlangsung sangat lambat sehingga dikhawatirkan reaksinya tidak stabil, serta kebutuhan input energi yang sangat tinggi menjadikan tidak layak teknis. Oleh karena itu, untuk mempercepat reaksi transesterifikasi diperlukan katalis. Penggunaan KOH 1% dan NaOH 0,75% sebagai katalis pada proses transesterifikasi dapat mempercepat reaksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biodiesel dari minyak biji kemiri sunan, campuran dari beberapa aksesi, yang dihasilkan dengan katalis NaOH 0,75% dan KOH 1 % dibandingkan dengan SNI 04-7182-2015 tentang Biodiesel. Metode pembuatan biodiesel yang digunakan meliputi tahapan degumming, transesterifikasi, separasi dan pencucian. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Tanaman Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Malang pada bulan Agustus-Desember 2019. Biodiesel kemiri sunan menggunakan katalis NaOH 0,75% memiliki nilai kadar air 0,03%, densitas 0,89 (g/cm3 ), angka asam 0,38 mg/KOH/g, angka iod 42,67, viskositas kinematik pada suhu 40 °C 5,45 °C, dan titik nyala 173 °C. Biodiesel dengan penambahan katalis NaOH 0,75% menghasilkan mutu lebih baik dari penambahan katalis KOH 1%. Biodiesel dengan katalis NaOH 0,75% sudah memenuhi SNI 04-7182-2015 tentang Biodiesel pada parameter mutu yang diukur (kadar air, densitas, angka asam, angka iod, viskositas kinematik, dan titik nyala). Parameter lain dalam SNI 04-7182-2015 yang belum dilaporkan dalam penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk biodiesel minyak kemiri sunan menggunakan katalis NaOH 0,75%.Characteristics of Toxic-Candlenut Biodiesel with NaOH and KOH CatalystsNon-food oils, such as toxic candlenut seed oil, have the opportunity to be used as raw material for biodiesel. The problem that arises in biodiesel process is the slowly transesterification reaction, when without a catalyst will cause unstable reaction, need very high energy inputs, so that makes it technically unfeasible. Therefore, a catalyst is needed to accelerate the transesterification reaction. The use of 1% KOH and 0.75% NaOH in the transesterification process can accelerate the reaction. This study was aimed to determine the characteristics of biodiesel from toxic candlenut oil, a mixture of several accessions of the toxic candlenuts, which was produced with 1% KOH and 0.75% NaOH catalyst.  The results were then compared to the characteristics of those determined in SNI 04-7182-2015 of Biodiesel. The method in producing biodiesel included the stages of degumming, transesterification, separation and washing. The experiment was conducted in Phytochemical Laboratory of IRSFCRI in August to December 2019. Toxic candlenut biodiesel using 0.75% NaOH catalyst has a value of moisture content (0.03%), density (0.89 g/cm3), acid number (0.38 mg/KOH/g), iodine number (42.67), kinematic viscosity at temperature 40°C (5.45°C), and flash point (173°C). Biodiesel quality with 0.75% NaOH is better than that of 1% KOH catalyst. Biodiesel with 0.75% NaOH catalyst has achieved the requirement of the SNI 04-7182-2015 on Biodiesel on almost all parameters (i.e., water content, density, acid number, iodine number, kinematic viscosity, and flash point). Other parameters in SNI 04-7182-2015 that have not been reported in this study need further research on biodiesel of toxic candlenut oil using 0.75% NaOH catalyst. Toxic candlenut biodiesel is expected to be used for biofuel

    USING GLOBAL CLIMATE INDICES TO PREDICT RAINFALL AND SUGARCANE PRODUCTIVITY IN DRYLANDS OF BANYUWANGI, EAST JAVA, INDONESIA

    Get PDF
    In Indonesia, sugarcane (Saccharum officinarum L.) is mostly cultivated in drylands, thus depending on rainfall for crop growth and development. Rainfall is an essential factor affecting sugarcane productivity. The global climate indices can be used to investigate potential of rainfall within a given area and its relationship with crop productivity. This reserach aimed to analyze the relationship between the global climate index, rainfall, and sugarcane productivity in drylands near Glenmore sugar mill, i.e., Benculuk and Jolondoro, Banyuwangi, East Java, Indonesia. The global climate index data used were the Southern Oscillation Index (SOI) and Sea Surface Temperature (SST) between 1995 and 2014. Results of this research showed that SOI and SST can be used to predict the rainfall in both Benculuk and Jolondoro. Rainfall (y) can be predicted with SST data (x) using the equation of y = -352.49x + 7724.1 in Benculuk and y = -107.32 + 3443.4 in Jolondoro, as well as with SOI data (x) using the equation of y = 38.664x + 1555.1 in Benculuk and y = 10.541x + 1567.8 in Jolondoro. Sugarcane productivity (y) in Jolondoro can be predicted using data of total rainfall (x) between October and March with the following equation: y = -0.1672x + 1157.3. This equation can be used by sugar mills, sugarcane growers, and other sugarcane-relevant stakeholders for determining the appropriate growing season

    Studi Kelayakan Pengembangan Usaha Tani Tebu di Kabupaten Sampang

    Get PDF
    Dalam mendukung pencapaian swasembada gula, Pulau Madura menjadi salah satu sasaran lokasi pengembangan tebu. Di Kabupaten Sampang pengembangan usaha tani tebu dimulai sejak tahun 2009. Program inididukung oleh masuknya perusahaan perkebunan serta bantuan penganggaran dari APBN. Penelitian bertujuan mengetahui kelayakan secara sosial dan ekonomi serta potensi pengembangan usaha tani tebu ke depan dan untuk mengetahui peluang dari usaha tani tebu ini bagi masyarakat di Pulau Madura secara umum.  Penelitian dilaksanakan mulai September sampai Desember 2013 di lokasi-lokasi kecamatan pengembangan tebu Kabupaten Sampang. Informasi dikumpulkan dengan memanfaatkan data sekunder dan data primer melalui wawancara dengan individu maupun grup/kelompok masyarakat, dinas/institusi terkait. Data dianalisa menggunakan analisis deskriptif untuk memperoleh gambaran kondisi yang dihadapi dan pemecahan dari masalah yang dihadapi di wilayah yang diamati. Analisis aspek usaha tani meliputi data input-output komoditas existing dengan analisis finansial. Untuk melihat kelayakan usaha tani digunakan R/C Ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelayakan usaha tani tebu adalah kepemilikan lahan, insentif rangsangan dana bantuan sosial (Bansos) APBN dan subsidi pengembangan Tebu Madura (Dinas Perkebunan Provinsi), serta kerja sama kemitraaan dengan pabrik gula (PTPN X) yang menawarkan bantuan modal, subsidi saprotan, alat/mesin pertanian, serta jaminan pasar. Kemitraan yang telah ada antara PTPN X dengan petani tebu di Sampang dapat dikategorikan dalam tipe kemitraan subkontrak dan layak diteruskan.  Skema yang sudah diterapkan dalam kontrak ini adalah pola kemitraan antara pemerintah daerah, swasta (PTPN X), dan petani tebu. Usaha tani tebu dengan R/C ratio sebesar 1,05 dan 1,68 dan pendapatan bersih Rp1.358.920,00/ha dan Rp14.024.360,00/ha pada usaha tani tebu awal dan tebu kepras I, membuktikan usaha tani tebu di lokasi penelitian sangat layak untuk diusahakan dan menguntungkan. Selain peluang bagi masyarakat memanfaatkan potensi lahan tidur dan sub-optimal untuk pengembangan usaha tani tebu yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat di Kabupaten Sampang. In order to achieve self-sufficient in sugar consumption, the Madura Island became one of the targets of sugar cane development area. In Sampang Regency, the development of sugar cane agribusiness have been started since 2009. This program was supported by the companies as well as financial supported from national budget (APBN). The study aims to determine the feasibility of social and economic as well as the potentialfor future development of sugar cane farming and to understand the opportunities of the farming for community in Madura Island on the whole. The study was conducted from September to December 2013 at 14 districts of sugar cane developing area in Sampang. Information was collected by using secondary data and primary data through interviews with individual and group/community groups, agencies/institutions concerned.  Data were analyzed using descriptive analysis to obtain a description of the conditions encountered and the solving of problems encountered in the observed region. The analysis covers aspects of farm commodity input-output data with the existing financial analysis. To look at the feasibility of farming used the R/C ratio. The results of the study showed that some factors which influenced the farmer to plant the cane were: land ownership; the stimuli of incentives from social grants (Bansos) from APBN and subsidy from projectdevelopment (from Provincial Agricultural office); the cooperation of partners through sugar company (PTPN X) which offered grants, input subsidy, equipments/agriculture machinery as well as market assurance. The partnership among PTPN X and the sugar cane farmers in Sampang was feasible and categorized a subcontract partnership type. Meanwhile, the scheme that had been implemented in this type of contract was thepartnership pattern between local government, private (PTPN X) and the sugar cane farmers. The sugar cane farming with R/C ratio of 1.05 and 1.68, or net income recieved of Rp1,358,920/ha and Rp14,024,360/ha atthe first harvested and second period harvested, proving that the farming in the study area is feasible to carry on and profitable. In addition, it is the opportunities to develop the potential of the unused and suboptialland for sugar cane agribusiness development that provides economic benefits to the community in Sampang Regency
    corecore