10 research outputs found
Persilangan Cabai Merah Tahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Acutatum)
Perakitan varietas cabai tahan penyakit antraknosa relatif memerlukan waktu yang lama, tetapi varietas tahan antraknosa tetap penting diwujudkan sebagai kontribusi bidang pemuliaan tanaman untuk menurunkan tingkat pemakaian pestisida oleh petani, menjaga keseimbangan lingkungan, dan menyediakan produk yang aman bagi konsumen. Penelitian ini bertujuan menyeleksi tetua tahan antraknosa dan mengetahui keberhasilan persilangan antara tetua tahan dengan varietas Balitsa yaitu Kencana dan Tanjung-2 dalam rangka memperluas keragaman genetik ketahanan terhadap antraknosa sebagai bahan dasar untuk program seleksi. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi dan Rumah Kasa Balai Penelitian Tanaman Sayuran dari bulan Januari-Juli 2013. Penelitian dibagi menjadi dua tahap, tahap pertama adalah pemilihan tetua di laboratorium mikologi dan tahap kedua adalah persilangan antara tetua tahan dan tetua rentan di rumah kasa. Penelitian dibagi menjadi dua tahap, tahap pertama ialah pengujian ketahanan enam tetua di laboratorium mikologi yang didisain menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat ulangan. Tahap kedua adalah persilangan antara tetua tahan dan tetua rentan di rumah kasa, tetua betina dan jantan ditanam menggunakan RAL faktorial dengan lima ulangan. Faktor pertama ialah tetua betina yang terdiri atas dua varietas yaitu Kencana dan Tanjung-2, dan faktor kedua adalah tetua jantan yang terdiri atas empat genotip hasil introduksi yaitu AVPP 0207, AVPP 0407, PP 0537–7558, dan Perisai. Berdasarkan hasil pengujian tingkat ketahanan terhadap antraknosa di laboratorium, AVPP 0207 dan Perisai diketahui tahan terhadap antraknosa (Colletotrichum acutatum). Persilangan empat tetua jantan donor tahan antraknosa dengan dua tetua betina varietas Balitsa (Kencana dan Tanjung-2) telah dilaksanakan tanpa adanya barrier. Keberhasilan persilangan dan pembentukan biji sangat dipengaruhi oleh tetua betina dan tidak dipengaruhi oleh tetua jantan. Kisaran keberhasilan persilangan antara 37,16–67,64%, sedangkan benih bernas yang dihasilkan bervariasi antara 269–784 benih per tanaman. Daya berkecambah benih hasil persilangan berkisar antara 68–96%. Persilangan dengan tetua betina Kencana menghasilkan persentase benih baik yang lebih tinggi dengan kualitas benih yang lebih baik dibandingkan dengan persilangan menggunakan Tanjung-2 sebagai tetua betina. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk mengetahui penampilan fenotipik dan status ketahanan terhadap antraknosa generasi F1
Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Cabai Merah Untuk Mitigasi Dampak Perubahan Iklim
Penelitian dilaksanakan atas dasar adanya peningkatan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang sangat tinggi akibat terjadinya Perubahan iklim. Penggunaan pestisida yang intensif tidak mampu menekan serangan OPT tersebut. Sampai saat ini belum terformulasi langkah yang tepat untuk pengendalian OPT sebagai upaya mitigasi Perubahan iklim. Oleh sebab itu diperlukan inovasi teknologi pengendalian OPT pada tanaman cabai merah secara terintegrasi. Penerapan teknologi PHT yang diperbaiki merupakan solusi terbaik. Tujuan penelitian ialah menghasilkan rakitan teknologi PHT untuk mitigasi Perubahan iklim yang dapat menekan penggunaan pestisida > 50% dan mengurangi emisi CO2 > 10%. Penelitian dilaksanakan di Desa Kawali Mukti, Ciamis, Jawa Barat dari Bulan April sampai dengan September 2012. Rancangan percobaan yang digunakan ialah acak kelompok terdiri atas lima perlakuan (rakitan berbagai teknologi PHT dibandingkan dengan teknologi konvensional) serta lima ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi PHT- 4 (penggunaan varietas Kencana yang ditanam secara monokultur, penggunaan mulsa plastik hitam perak, pemupukan (pupuk kandang sebesar 30 t/ha dan NPK sebanyak 700 kg/ha), dan penggunaan pestisida berdasarkan ambang kendali), dapat menekan penggunaan pestisida sebesar 73,33% dengan hasil panen tetap tinggi yaitu sebesar 15,46 t/ha. Selain itu rakitan teknologi tersebut mampu mengurangi suhu lingkungan mikro sebesar 0,890C dan emisi CO2 dapat dikurangi sebesar 38,76%. Teknologi PHT tersebut dapat direkomendasikan sebagai teknologi untuk mitigasi Perubahan iklim (kemarau panjang) pada budidaya cabai merah
PREDIKSI SIFAT MATERIAL PRESSURE TRANSMITING MEDIUM PADA QUASI-ISOSTATIC PRESSING MENGGUNAKAN FINITE ELEMENT ANALYSIS
PREDIKSI SIFAT MATERIAL PRESSURE TRANSMITTING MEDIUM PADA QUASI-ISOSTATIC PRESSING MENGGUNAKAN FINITE ELEMENT ANALYSIS. Teknik quasi-isostatik pressing merupakan pengembangan dari isostatic pressing yang dibuat lebih sederhana dan efisien. Quasi-isostatic pressing mampu memberikan efek penekanan triaxial volumetrik sehingga dapat menghasilkan produk dengan densitas yang seragam. Dengan keunggulan tersebut, maka teknik quasi-isostatic pressing digunakan dalam proses fabrikasi bahan bakar bola (pebble fuel) untuk high temperature gas cooled reactor (HTGR). Masalah utama penggunaan teknik quasi-isostatic pressing terletak pada material hiper-elastis sebagai pressure transmitting medium (PTM) untuk mentranser tekanan statis yang seragam ke segala arah pada proses kompaksi. Oleh karena itu, sifat dan karakteristik material PTM yang dibutuhkan untuk quasi-isotatic pressing dengan kondisi batasan proses yang diinginkan harus ditentukan. Pada penelitian ini digunakan Finite Element Analysis (FEA) untuk mempredisksi sifat dan karakteristik (konstanta) material PTM untuk proses quasi-isostatic pressing dengan menggunakan model Mooney-Rivlin 2 dan 3 parameter dan metode single-acting press. Hasil pengukuran FEA diperoleh nilai C10 sebesar 120 MPa, C01 sebesar 49 MPa dan C11 sebesar 10 Mpa, namun demikian,proses quasi-isostatic pressing pada kompaksi serbuk grafit masih belum terjadi secara sempurna. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan dengan perbaikan secara numerik dan penggunaan model Mooney-Rivlin 5 hingga 9 parameter menggunakan metode double-acting press.
Kata kunci:Quasi-isostatic pressing, pebble fuel, Mooney-Rivlin, pressure transmitting medium, finite element analysis
Albumin Telur Sebagai Lem pada Operasi Cangkok Konjungtiva
Conjunctival graft has been frequently used in the field of ophthalmology. The frequently used methods to attach a conjunctival graft are suture technique and the use of fibrin glue. This study was to investigate albumin glue as an alternative to suture technique in attaching conjunctival grafts in rabbits. The aim of this study was to compare the conjunctival wound healing between albumin glue and suture technique in rabbit eye as a model. This was an experimental animal study that included 32 eyes (16 rabbits) conducted at PT. Bio Farma (Persero) and the Histology Laboratory, Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran from March 2014 to July 2104. The subjects in this study were divided into albumin glue group and suture technique group. The examinations were comparison of conjunctival graft attachment and histologic microscopic examination to assess the wound gap. Data analysis was performed statistically using Mann-Whitney test for small sample. The statistical analysis results showed that the graft attachment was significantly better when using albumin glue (grade 4) compared to suture (grade 2–3) on day-1 after surgery (p=0.000). The wound gap was smaller using albumin glue (0-0,33 µm versus 5,33-14 µm; p0.0005) 10 minutes after surgery and 0 µm versus 0.33–4 µm, p 0,0005, on day-7 after surgery. In conclusion, graft attachment using albumi n glue is better and the wound gap is smaller when using albumin glue compared to the suture technique. [MKB. 2016;48(4):241–8
Spatio‐temporal analysis for extreme temperature indices over the Levant region
Artículo revisado y aceptadoThe temporal and spatial trends of 16 climate extreme indices based on daily maxi-mum and minimum temperatures during the period 1987–2016 at 28 stations dis-tributed across Israel and Palestine territories in the Levant region were annuallyand seasonally analysed. The nonparametric Man-Kendall test and the Sen's slopeestimator were employed for the trend analysis. Results showed that the region hassignificantly experienced a dominant warming trend for the last three decades, withmore intense changes for minimum temperatures than for maximum. At annualscale, maximum values of minimum temperatures exhibited significant increasingtrends up to 0.68 C/decade. For percentile-based extreme temperature indices,changes detected were more pronounced than those for the absolute extreme tem-perature indices, with 93 and 89% of stations significantly showed increasingtrends in TX90p and TN90p, respectively. The duration and fixed thresholdextreme indices confirmed the trend toward a warming, with the 86% of the sta-tions exhibited significant increasing trends in the annual occurrence of summerdays (SU25) and tropical nights (TR20). Moreover, 57% of stations showed signifi-cant increasing trends in their very summer days (SU30) index. At seasonal scale,the analysis of trends for extreme temperature indices showed intense and broadsignificant increasing trends in all absolute extreme temperature indices. In sum-mer, more than 75% of total stations exhibited significant increasing trends forwarm days and warm nights (TX90p and TN90p). In winter and spring, 71% of thetotal stations also showed significant increasing trends in SU25 index, whereas thepercentage of stations reached 82% in summer and 64% in autumn for significantincreasing trends in TR20 index. Finally, the influence of large-scale circulationpatterns on temperature extremes was examined. The results highlighted the pres-ence of significant correlations between most of the selected extreme temperatureindices and the North Sea-Caspian pattern at annual and seasonal scales.Departamento de Física Aplicada, Facultad de Ciencias, Universidad de GranadaSpanish Ministry of Economy and Competitiveness, with additional support from the
European Community Funds (FEDER), projects CGL2013-48539-R and CGL2017-89836-