15 research outputs found
Nilai vertebrae heart size anjing kintamani bali pada usia berbeda
Anatomical physiological clinical studies such as cardiac image, is one of the important studies that must to strengthen the position of kintamani bali dog as a dog recognized by the FCI. Cardiac image that can be seen is the size of the cardiac based on the value of vertebral heart size (VHS). The results obtained are used as the standard size and assessment of cardiac of kintamani bali dogs. This study aims to determine the VHS value of kintamani bali dog based on age group 12 and 24 months. The sample used 40 kintamani bali dogs, such as 20 dogs of 12 months and 20 dogs of 24 months. Images were taken by X-ray to determine the value of VHS kintamani bali dogs. The method used a lateral thoracic radiograph. Measured by using calipers at the longest axis from cardiac silhouette from carina to the apex, and the short axis were measured from the widest part of the cardiac silhouette. Then transfer that measured to the vertebrae, starting at the cranial edge of T4, count the number of vertebrae that fall within the caliper points, and sum of the two measurements. The result showed that the values of VHS at 12 months kintamani dogs were 9.4v±1.6 and the 24 month were 9.4v±0.
Komponen Penyusun Dermatofita
Dermatofitosis (ringworm) adalah penyakit kulit infeksius dan berpotensi zoonosis yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Informasi mengenai komponen penyusun dermatofita sangat penting untuk diketahui sebagai dasar untuk penemuan strategi baru dalam diagnosis, terapi, dan pencegahan dermatofitosis. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi mengenai komponen penyusun dermatofita berdasarkan review referensi. Fungi penyebab dermatofitosis tersusun atas glukosa, mannose, N-acetyl hexosamin, hexosamin, protein, abu, lipid, nitrogen, asam nukleat, karbohidrat, berbagai jenis asam amino, dan berbagai jenis mineral. Dua antigen utama dermatofita yaitu glikopeptida dan keratinase sedangkan faktor virulensinya berupa protease
Laporan Kasus: Spondylosis Lumbosacral pada Anjing Dachshund
Seekor anjing ras Dachshund berumur 12 tahun dengan berat badan 9 kg menunjukkan tanda klinis paraparesis, refleks fleksor kaki belakang dan refleks patella berkurang, hilangnya rasa sakit pada kulit di daerah pinggul, terdapat lesi erosi pada daerah inguinal, dan distensi kantong kemih. Pemeriksaan darah rutin menunjukkan terjadinya leukositosis. Pemeriksaan radiologi menunjukkan terdapat perkembangan osteofit pada daerah ventral epifisis os lumbal VI hingga os sakrum, distensi kantong kemih dan konstipasi. Anjing ini didiagnosis spondylosis lumbosacral dan bacterial dermatitis. Terapi yang diberikan adalah pemberian meloxicam tablet selama dua minggu, vitamin B1 tablet dan amoxicillin sirup selama tujuh hari. Setelah dua minggu terapi menunjukkan hasil yang baik, namun anjing tiba-tiba mati
EVALUASI KLINIS DAN PATOLOGIS INFEKSI Microsporum canis PADA ANJING DENGAN TERAPI KETOKONAZOLE, GRISEOFULVIN, DAN KOMBINASI KEDUANYA
Dermatophytosis is an infectious skin disease and potentially zoonotic caused by dermatophytes. The disease is often found in dogs. The clinical diagnosis of dermatophytosis is difficult to determine because the clinical symptoms of dermatitis is varied, however.
Moreover, the above clinical diagnosis problem results in uneffective antifungal treatment in patients. This study aimed to evaluate the clinical and pathological features of dog�s skin which is infected with Microsporum canis, as well as to evaluate the efficacy of antifungal therapy. Twelve female and male dogs with the aged of 12 weeks were divided into 4 groups of 3. Group I treated with 2% ketoconazole cream that given 2 times a day (on the right flank) and as a negative control that is not infected and not treated on the left flank. Group II
treated orally with 20 mg/kg BW griseofulvin once a day. Group III treated with a combination of both, and group IV untreated (positive control group). All groups were infected with M. canis suspension containing 36x105 spores cells/mL. Each dog infected by dripping a suspension of 20 ĂŽÂĽL on the skin at the right flank. Lesion progress was observed up to day 14. Treatment with antifungal started from day 14 post-infection, administered daily for 21 days. The progress of clinical and pathological lesion observed during infection
and therapy period with Wood's lamp, clinical examination and skin biopsy for
histopathological examination. To establish infectious agent of ermatophytosis, the infected skin was scrapped and then cultured in Sabaroud Dextrose Agar (SDA). Hematoxylin-eosin and immunohistochemistry staining with anti-CD68 and anti-CD45 antibodies conducted to observe the morphologycal skin tissues abnormality in the epidermis, the dermis and the cells which is expressed CD68 and CD45. Therefore, clinical and pathological lesions were
analysed descriptively, whereas antifungal treatment efficacy was analysed statistically using one-way ANOVA and posthoc Tukey�s test and descriptively toward the epidermal thickness and the number of macrophages and lymphocytes that express CD68 and CD45 protein respectively.
The observation of clinical lesions on the skin infected by M. canis demonstrated erythema, scale, crusting, circular alopecia, and hyperpigmentation. Histopathological features showed skin abnormality such as, epidermal hyperplasia, parakeratosis, dermal inflammation, the crusts and pieces of hyphae, as well as an increased in the number of inflammatory cells that express CD68 and CD45 protein. The decrease in the severity of both
clinical and histopathological lesions seen in all treatment group after single and combination therapy. Statistically, therapeutic effect of topical and systemic antifungal significantly reduced epidermal thickness (p0,05).
To conclude, the combination therapy of topical ketoconazole and systemic
griseofulvin have therapeutic effect better than single antifungal therapy against clinical and pathological features of M. canis infection in dogs
Studi Kasus : Dermatofitosis pada Anjing Lokal
Dermatofitosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh dermatofita. Tujuan dilakukan pemeriksaan pada anjing kasus adalah untuk mengetahui agen penyakit yang menyebabkan terjadinya banyak lesi pada kulit anjing tesebut. Pada pemeriksaan klinis terdapat kelainan seperti ditemukan lesi yang terdiri dari kombinasi alopesia anular, hiperkeratosis, makula, sisik dan krusta. Lesi-lesi tersebut ditemukan di bagian daun telinga, wajah, kaki depan, kaki belakang dan bagian perut. Anjing mengalami pruritis pada bagian-bagian yang terdapat lesi. Kemudian bagian-bagian lesi tersebut dikerok dibagian pinggir lesi menggunakan KOH 10% dan swab. Dari hasil kerokan ditemukan arthrospora  dengan bentukan bulat-bulat bening. Pada pemeriksaan mikroskopis rambut (trikogram) terlihat rambut mengalami kerusakan pada batangnya. Pemeriksaan Wood’s Lamp menunjukkan hasil negatif. Pada pemeriksaan darah lengkap monositosis dan limfositosis menandakan adanya infeksi oleh fungi. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan klinis dan laboratoris, dapat disimpulkan bahwa anjing lokal bernama Bleky didiagnosa suspect dermatofitosis
Identifikasi Spesies Fungi Microsporum gypseum dan M. nanum Penyebab Ringworm pada Sapi Bali (IDENTIFICATION OF SPECIES FUNGI MICROSPORUM GYPSEUM
Ringworm is an zoonotic infectious skin disease that can infect many types of animals. This disease is caused by dermatophytes fungi. Ringworm cases in cattle were quite widely reported in various countries but a report about the dermatophytes fungi that caused ringworm in bali cattle have never been published. It is very important in the efforts to give more effective therapies. This study aimed to identify the species of dermatophytes fungi that caused ringworm in bali cattle. Eight bali cattles suspected ringworm samples were taken using superficial skin scraping and trichogram (hair pluck) technique. The samples of skin scrapings dan hair on the area of the lesion were taken for direct microscopic examination to find the presence of fungal elements (hyphae or arthrospora). They were dropped with 10% KOH, were allowed for 10-15 minutes, then were observed using microscope. Skin scrapings dan hair samples that showed positive results were cultured on Sabauroud’s Dextrose Agar (SDA) medium for 1-3 weeks dan were identified using Lactophenol Cotton Blue with microscope. The data were analyzed descriptively. Dermatophytes fungi that isolated dan identified were Microsporum gypseum (75% or 6/8) and Microsporum nanum (25% or 2/8). Both of these fungi have ectothrix invasion/infection tipe, which is the forming of arthrospores/arthroconidia is only on the surface/superficial hair shaft therefore the topical therapy is sufficient to resolve the infection
Insidensi Escherichia Coli O157:H7 pada Sapi Bali Di Kecamatan Petang dan Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung
Escherichia coli O157:H7 merupakan satu dari ratusan strain bakteri E. coli yang berbahaya, dapat menghasilkan toksin yang sangat kuat dan dapat menyebabkan penyakit diantaranya hemorrhagic colitis dan hemolytic uremic syndrom. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan perbedaan Insidensi Escherichia coli O157:H7. Sampel diambil dari Kecamatan Petang dan Kecamatan Abisansemal Kabupaten Badung. Jumlah sampel yang diambil dari Kecamatan Petang sebanyak 58 sampel dan Kecamatan Abiansemal 60 sampel. Data hasil pengamatan disajikan dalam bentuk deskriptif dan selanjutnya dianalisis dengan uji Chi square untuk mengetahui signifikasi insidensi diantara kedua Kecamatan. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan Escherichia coli O157:H7 pada sapi bali di Kecamatan Petang sebesar 8,62% dan Kecamatan Abiansemal sebesar 10%. Insidensi di Kecamatan Petang 8,62% tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan Kecamatan Abiansemal sebesar 10%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keberadaan bakteri E.coli O157:H7 di Kecamatan Petang dan Kecamatan Abiansemal dan Insidensi E. coli O157:H7 pada sapi bali di Kecamatan Petang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung
Prevalensi Dan Predileksi Plak Gigi Pada Kucing Di Kota Denpasar
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan predileksi plak gigi pada kucing yang dipelihara di kota Denpasar. Penelitian observasional telah dilakukan terhadap 50 ekor kucing lokal maupun kucing ras di kota Denpasar. Kucing diamati di tempat yang gelap dan gigi diamati pencerahannya dengan Wood’ lamp untuk melacak keberadaan plak gigi. Hasil positif ditandai dengan adanya fluoresensi merah. Hasil penelitian ini, didapatkan 46 kucing positif memiliki plak gigi dengan prevalensi 92%. Predileksi plak gigi terdapat pada bagian gigi incisivus, caninus, molar dan pre molar, tetapi predileksi terbesar terdapat pada pre molar bagian maxillaris. Sehubungan dengan prevalensi tersebut, perlu dilakukan sosialisasi mengenai pentingnya kesehatan gigi dan mulut pada kucing, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit gigi, mulut, serta plak yang berpotensi menimbulkan penyakit periodontal. Pemeriksaan kucing harus difokuskan pada gigi pre molar dan molar untuk kesehatan mulut
Uji Kepekaan Antibiotika Isolat Escherichia coli O157:H7 asal Feses Ayam
Unggas diketahui merupakan salah satu reservoir penting dari agen bakterial zoonosis Escherichia coli O157:H7. Disisi lain, fenomena pemakaian obat obatan pada unggas terutama antibiotika melalui makanan, minuman maupun secara parenteral mengalami peningkatan dari waktu kewaktu. Antibiotika yang digunakan secara intensif ini cenderung tidak sesuai dengan dosis maupun waktu pemakaian sehingga berkontribusi terhadap munculnya peningkatan resistensi termasuk E. coli O157:H7. Penelitian untuk mengetahui pola kepekaan isolat E. coli O157:H7 ini diawali dengan identifikasi E. coli dengan  penumbuhan bakteri asal feses ayam pada media eosin methylene blue agar (EMBA), dilanjutkan dengan uji indol, methyl red, voges-proskauer dan citrat (IMVIC). Identifikasi O157 dilakukan dengan penumbuhan isolat E. coli pada media selektif sorbitol MacConkey agar (SMAC), dilanjutkan dengan uji konfirmasi menggunakan lateks O157. Uji pola kepekaan dilakukan mengacu pada metode Kirby Bauer  seperti yang direkomendasikan oleh national committee for clinical laboratory standard (NCCLS). Hasil penelitian dari 7 isolat  E. coli O157:H7 hasil isolasi 82 sampel feses ayam serta satu isolat kontrol ATCC 43894 menunjukan 85,7%  isolat  bersifat resisten terhadap antibiotika metisilin, 71,4% resisten terhadap antibiotika penisilin G, serta 42,9% resisten terhadap antibiotika doksisiklin hidroklorida dan streptomisin. Hasil kajian juga menemukan 42,9% isolat bersifat resisten  terhadap 2 jenis antibiotika, 14,3% resisten  terhadap 3 jenis antibiotika, 14,3% resisten  terhadap 4 jenis antibiotika dan 14,3% resisten terhadap 5 jenis antibiotika. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan telah terjadinya peningkatan pola resistensi dan bersifat multi-drug resistance dari agen E. coli O157:H7 sehingga perlu dipertimbangkan jenis-jenis antibiotika tertentu yang masih sensitif didalam penanganan infeksi oleh agen ini