18 research outputs found

    3-D Imaging of Cleat and Micro-cleat Characteristics, South Walker Creek Coals, Bowen Basin, Australia: Microfocus X-ray Computed Tomography Analysis

    Full text link
    DOI: 10.17014/ijog.v7i1.131The Permian coals of the South Walker Creek area have a moderately to highly developed cleat system. The cleat fractures are well developed in both bright and dull bands, and generally parallel, inclined or perpendicular to the bedding planes of the seam, with the spaces open or filled by mineral matter, such as clay and carbonate minerals. Microfocus X-ray computed tomography (CT) technique was performed to identify cleat characteristics in the coal seams. This technique allows visualizing of microcleat distribution and mineralization in three dimensional images. Cleat mineralization in the coal seam occurs either as single mineral (monomineralic) or intermixed mineral (polymineralic) masses. The cross cutting relationship was shown by X-ray CT scan analysis. The timing of microcleat formation in the coal seam from early to late is carbonate minerals, clay minerals (kaolinite) plus minor high density (rutile or anatase) phases. Thus, a high resolution of microfocus X-ray CT does not only provides a better visualization, but also could identify microcleat orientation, cleat mineralization, and generation of microcleat

    Daya Dukung Sedimen Dasar Laut di Perairan Pelabuhan Cirebon dan Sekitarnya

    Full text link
    Daya dukung sedimen dasar laut dan aspek keteknikan pada perencanaan pengembangan pelabuhan Cirebon lebih ditekankan pada faktor geoteknik, geofisika dan oseanografi. Pada saat pasang arah arus cenderung ke arah selatan dan baratdaya, sedangkan pada saat surut cenderung ke arah utara dan timurlaut dengan kecepatan rata-rata maksimum 0.11 m/detik dan minimum 0.08 m/detik. Morfologi dasar laut di perairan pelabuhan Cirebon sangat landai bervariasi antara - 6,5 m (LWS) dan -8.00 m, sedangkan kolamnya sendiri antara 0.00 -2.00 m, Daya dukung tanah pada kedalaman 18.00 - 27.00 m dari LWS di bagian atas diselingi oleh pasir lepas hingga lempung pasiran merupakan tanah bersifat lunak (soft) dengan N SPT = 22 hingga 32 tumbukan (blows). Data sondir di sekitar lokasi dermaga menunjukan nilai harga Qc = 2-4 kg/cm2 pada kedalaman 2.00-11.50 m dan nilai Qc > 150 kg/cm2 dijumpai pada kedalaman 14.00-15.50 m. Sedangkan lapisan bawah di daerah Astanajapura pada kedalaman lebih dari 20.00 meter tertumpu pada pasir, padat, keras, nilai SPT antara 35 hingga lebih dari 50 tumbukan. Analisis mineral lempung yang ada di daerah selidikan memperlihatkan bahwa lempung monmorilonite sangat dominan dan diketahui bahwa tanah yang mengandung monmorilonite sangat mudah mengembang oleh tambahan kadar air sehingga tekanan pengembangannya dapat merusak struktur bangunan pondasi. Bottom sediments bearing capacity on Cirebon harbor development planning are focused on Geotechnique, geophysical and oceanographically aspects. During tidal spring, current tend to the south and southwest wards and during the neap tide tend to the north and northeast with mean maximum velocity was 0.11 m/sec and minimum velocity was 0.08 m/sec. The sea floor morphology in the Cirebon harbor waters is slightly gentle and the water depth varies from -6.5 to 8.5 m (LWS), while the depth of the pond itself are between 0.00 to -2.00 meters. The bearing capacity from SPT (Standard Penetration Test) at depth between 18.00 - 27.00 m are composed of loose sand to sandy clay, soft, with (N) SPT values about 22 to 32 blows. Sondir data obtained at depth 2.00 - 11.50 and Qc value about 2 - 4 kg/cm2 while at depth 14.00 m to 15.50 m Qc value data about more > 150 kg/cm2 was found at depth more than 20.00 meters. The lower part layers in Astanajapura are composed of sand, dense, hard, with SPT value data obtained are 35 to more than 50 blows. Clay mineral analysis showed montmorilonite is dominant in this survey area. So that very easy to swell and will influenced the foundation structure construction

    Kematangan Gonad Ikan Sumpit (Toxotes Jaculatrix Pallas 1767) Pada Salinitas Berbeda [Gonad Maturity of Archerfish (Toxotes Jaculatrix Pallas 1767) in Different Salinity]

    Full text link
    Ikan sumpit (Toxotes jaculatrix Pallas 1767) memiliki toleransi tinggi terhadap Perubahan salinitas (eurihalin). Namun kemampuan adaptasi ikan sumpit pada berbagai salinitas belum didukung oleh informasi perkembangan gonadnya. Pe-nelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi perkembangan kematangan gonad ikan sumpit yang dipelihara pada salinitas berbeda. Wadah yang digunakan adalah bak beton berukuran 300 x 200 x 100 m3 sebanyak tiga bak, masing-masing di isi air dengan salinitas berbeda yaitu 0, 12-15, dan 30-35 ppt. Hewan uji yang digunakan adalah calon induk ikan sum-pit ukuran 15,06±2,05 cm (bobot badan 50-70 g). Selama enam bulan pemeliharaan, ikan diberi pakan jangkrik dua kali sehari secara ad libitum. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan betina diamati melalui pengukuran diameter telur yang didapat dari hasil kanulasi dan tingkat kematangan gonad ikan jantan diamati melalui kuantitas dan kualitas (motilitas) spermatozoa yang diperoleh melalui pengurutan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa gonad ikan sumpit berkem-bang pada semua salinitas media. Sebanyak 25-30% ikan betina mengalami perkembangan gonad hingga TKG 3 pada semua salinitas, sedangkan tingkat kematangan gonad ikan jantan tertinggi didapatkan pada ikan yang dipelihara pada salinitas 30-35 ppt selanjutnya 0 ppt dan 12-15 ppt masing-masing sebanyak 20%, 6% dan 7%

    Pengaruh Ketinggian Air dalam Pemeliharaan Larva Ikan Hias Botia (Chromobotia Macracanthus, Bleeker)

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketinggian air yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan botia (Chromobotia macracanthus, Bleeker). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan atau kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan B dengan ketinggian air 10 cm yaitu sebesar 98.88%, sedangkan kelangsungan hidup terendah terdapat pada perlakuan A dengan ketinggian air 5 cm yaitu sebesar 97.99%. Pertambahan bobot nilai tertinggi terjadi pada perlakuan A dengan ketinggian air 5 cm dengan nilai bobot rata–rata 0.02252 gr dan pertambahan bobot rata–rata terendah terjadi pada perlakuan C dengan ketinggian air 15 cm yaitu sebesar 0.01132 gr. Pertambahan panjang rata–rata tertinggi terjadi pada perlakuan A yaitu sebesar 0.42 cm dan yang terendah terjadi pada perlakuan B yaitu sebesar 0.29 cm. Parameter kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran optimal dimana suhu 24,3–28,9oC, pH 6,5–7,0, DO 6,84–7,69 ppm, NH3 0,00–0,03 ppm, NO2 0,00–0,07 ppm. Analisis statistik dengan uji F diperoleh bahwa ketinggian air yang berbeda dalam pemeliharaan larva ikan botia (C. macracanthus, Bleeker) berbeda sangat nyata (P>0.01) terhadap pertambahan bobot dengan nilai Fhitung (21.00) > Ftabel (10.92), dan berbeda sangat nyata terhadap pertambahan panjang dengan nilai Fhitung (23.56) > Ftabel (10.92), sedangkan untuk sintasan atau kelangsungan hidup tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hasil uji BNT menunjukkan, setiap perlakuan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup.The study aims to determine the effect of different water levels on the growth and survival of fish larvae Botia (Chromobotia macracanthus, Bleeker). The results showed that the survival rate was highest in treatment B with the water level was 10 cm which was equal to 98.88 %, whereas the lowest survival rate was found in treatment A with the water level was 5 cm which was equal to 97.99 %. The highest value of weight gain occurred in treatment A with average value in weight was 0.02252 g and the average weight gain was lowest in the treatment of C that reached 0.01132 g. The highest growth of length was occured in treatment A that was equal to 0.42 cm and the lowest occurred in treatment B that was 0.29 cm. Water quality parameters during the study were in the tolerance range where the optimum temperature were 24,3-28,9 oC , pH 6.5 to 7.0, DO 6.84 to 7.69 ppm, NH3 0.00 to 0.03 ppm , NO2 0.00 to 0.07 ppm . Statistical analysis by F test showed that the different water levels in the larval rearing of fish Botia (C. macracanthus, Bleeker) was significantly different ( P > 0.01) in the weight gain with the value of Fcount ( 21.00 ) > Ftable ( 10.92 ), and it was significantly different against the length with the value of F count ( 23:56 ) > F table ( 10.92), while for the survival rate showed has not significantly different between treatments. The LSD test showed that all the treatment were effected the growth rate, but not for survival rate

    Pengaruh Perbedaan Umur Bibit Single Bud Planting Dengan Pemupukan Nitrogen Pada Pertumbuhan Awal Tanaman Tebu (Saccharum Officinarum L.)

    Get PDF
    Pembibitan tebu dengan teknik Single Bud Planting (SBP) merupakan teknik pembibitan baru di Indonesia adaptasi dari Kolombia yang memiliki tingkat kemurnian tinggi, mempunyai daya tumbuh seragam, jumlah anakan yang dihasilkan lebih banyak dibanding sistem pembibitan konvensional. Standard operating procedure (SOP) Pem-bibitan SBP memerlukan waktu 75 hari sebelum dipindah tanam pada lahan. Dengan umur yang relatif panjang, perlu dilakukan penelitian tentang umur bibit SBP agar lebih cepat untuk ditanam di lahan. Salah satu cara untuk memperpendek umur pembibitan ialah dengan pemberian dosis pupuk N yang tepat pada bibit SBP yang lebih muda. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari – Agustus 2014 di Desa Darungan, Kecamatan Tanggul, Kabupaten Jember. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit SBP varietas Bululawang yang telah berumur 45 hari, 60 hari dan 75 hari serta pupuk nitrogen urea. Penelitian menggunakan percobaan faktorial dengan dasar Rancangan Acak Kelompok yang terdiri 2 faktor, yaitu umur bibit SBP dan dosis pupuk Nitrogen. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa perlakuan bibit umur 60 hari (U60) dengan dosis pemupukan 200 kg ha-1 (N200), memiliki pertumbuhan vegetatif yang sama baiknya dengan perlakuan bibit yang berumur 75 hari (U75) dengan dosis pupuk yang sama ( 200 kg ha-1). Untuk parameter taksasi bobot tebu perlakuan umur bibit Umur 60 hari tidak berbeda nyata dengan umur bibit 75 hari pada dosis pupuk 200 kg ha-1
    corecore