12 research outputs found

    IMPLIKASI PRINSIP MOST FAVOURED NATION TERHADAP PENGATURAN TARIF IMPOR DI INDONESIA

    Get PDF
    The existence of trade liberalization is faced with the fact that the competition of countries in trade especially in this case export and import increasingly felt very rapidly. The existence of international legal instruments that are commonly contained in the General Agreement on Tarriff and Trade (GATT) becomes an important point in the international trade regulatory concept for GATT member countries incorporated in the World Trade Organization (WTO). So the principles are also embedded in the drafting of the concept of national law for States that have ratified GATT. Indonesia, one of the countries that have ratified GATT, is bound by these Principles, one of which is the Most Favored Nation Principle which implies the regulation of import tariff in Indonesia. So protection of local commodities is closed even if limited to maintain the continuity of national production

    Implikasi Prinsip Most Favoured Nation terhadap Pengaturan Tarif Impor Di Indonesia

    Get PDF
    The existence of trade liberalization are faced with the fact that competition in the trade of countries particularly in this export and import kian feels very rapidly. The existence of instruments of international law contained in the General Agreement on the set fee and Trade (GATT) becomes an important point in the conception of international trade arrangements for States parties who joined GATT in the World Trade Organization (WTO). So the principles inherent in the preparation of the concept of a national law for countries that have ratified GATT. Indonesia one of the countries that have ratified GATT would of course be bound by those principles, one of which is the principle of Most Favoured Nation tariff arrangements that implicates to import in Indonesia. So the protection of local commodities closed chances though limited to keep the continuity of the national production.

    Sosialisasi E-Sertifikat Hak Atas Tanah Di Desa Petanang Kec. Kumpeh Ilir Kab. Muaro Jambi

    Get PDF
    Pendaftran tanah merupakan kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah. Oleh karena itu berdasarkan Pasal 19 UUPA Pemerintah mengatur Pendaftaran tanah melalui PP No.10 Tahun 1961 dan PP No. 24 tahun 1997. Dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan pada masa covid, maka pemerintah meningkatkan layanan pertanahan dengan suatu kebijakan berupa kemudahan dalam pemberian hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yakni melalui layanan pertanahan yang dilakukan dengan sistem digital melalui elektronik. Pemanfaatan teknologi  digital ini menjadi perhatian/sorotan khusus  dengan terbitnya Permen Agraria dan Tata Ruang No. 1 Tahun 2021. Hal ini menjadi kekhawatiran dan permasalahan bagi masyarakat,   Oleh sebab ini maka diadakan penyuluhan hukum di Desa Petanang Kecamatan Kumpeh Ilir Kab. Muaro Jambi. Penyuluhan ini dihadiri Kepala desa dan sekretaris, anggota BPD, ibu Ketua PKK Desa dan warga masyarakat.   Kecemasan publik tentang sertifikat tanah elektronik salah satunya didasari masalah keamanan. Apalagi, tidak sedikit masyarakat yang merasa bahwa dengan memegang salinan sertifikat tanah dalam bentuk fisik amat vital, terutama saat terjadi sengketa. Bukan hanya itu, kasus sertifikat kepemilikan tanah ganda cukup banyak terjadi, sehingga publik pun sulit untuk begitu saja percaya dengan rencana pemerintah untuk beralih ke sertifikat elektronik atau dikenal dengan sertifikat-el. Selain itu, sistem keamanan digital pemerintah untuk sertifikat tanah elektronik ini juga masih menjadi tanda tanya. Bagaimana apabila terjadi peretasan yang mengakibatkan kebocoran data penting masyarakat, sehingga bisa disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Peraturan ini perlu ditinjau kembali, apakah sudah saatnya pemerintah menerapkan system elektronik dalam proses pendaftaran tanah mengingat sejumlah kasus sertifikat ganda terus meningkat

    Sosialisasi E-Sertifikat Tanah Dalam Rangka Mewujudkan Kepastian Hukum Di Indonesia

    Get PDF
    Pendaftaran tanah merupakan kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah. Oleh karena itu berdasarkan Pasal 19 UUPA Pemerintah mengatur Pendaftaran tanah melalui PP No.10 Tahun 1961 dan PP No. 24 tahun 1997. Dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan pada masa covid, maka pemerintah meningkatkan layanan pertanahan dengan suatu kebijakan berupa kemudahan dalam pemberian hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yakni melalui layanan pertanahan yang dilakukan dengan sistem digital melalui elektronik. Pemanfaatan teknologi  digital ini menjadi perhatian/sorotan khusus terkait dengan dikeluarkannya aturan baru yakni sertipikat tanah asli milik masyarakat akan ditarik mulai tahun 2021 dengan terbitnya Permen Agraria dan Tata Ruang No. 1 Tahun 2021. Hal ini menjadi kekhawatiran dan permasalahan bagi masyarakat,   Oleh sebab ini maka diadakan penyuluhan hukum di Desa Petanang Kecamatan Kumpeh Ilir Kab. Muaro Jambi. Penyuluhan ini dihadiri Kepala desa dan sekretaris, anggota BPD, ibu Ketua PKK Desa dan warga masyarakat. Hasil pengabdian bahwa: kecemasan publik tentang sertifikat tanah elektronik salah satunya didasari masalah keamanan. Tidak sedikit masyarakat yang merasa bahwa dengan memegang salinan sertifikat tanah dalam bentuk fisik amat vital, terutama saat terjadi sengketa. Bukan hanya itu, kasus sertifikat kepemilikan tanah ganda cukup banyak terjadi, sehingga publik pun sulit untuk begitu saja percaya dengan rencana pemerintah untuk beralih ke sertifikat elektronik atau dikenal dengan sertifikat-el. Selain itu, sistem keamanan digital pemerintah untuk sertifikat tanah elektronik ini juga masih menjadi tanda tanya. Bagaimana apabila terjadi peretasan yang mengakibatkan kebocoran data penting masyarakat, sehingga bisa disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Peraturan ini perlu ditinjau kembali, apakah sudah saatnya pemerintah menerapkan system elektronik dalam proses pendaftaran tanah mengingat sejumlah kasus sertifikat ganda terus meningkat

    Tinjauan Precautionary Principle Dalam Hukum Internasional Terkait Pertanggung Jawaban Negara Dalam Penanganan Dan Pencegahan Wabah Covid 19

    Get PDF
    Keberadaan pertanggung jawaban Negara tentu tidak dapat dilepaskan dari konsepsi hukum dalam pencegahan dan penanganan covid 19. Pandangan universal ini tentu secara hukum perlu ditelaah secara mendasar dalam tataran prinsip itu sendiri, di samping itu tentunya untuk mewujudkan suatau ulasan penelitian yang universal perlu suatau telaah yang dilakukan berdasarkan hukum internasional. Salah satu prinsip hukum yakni Precautionary Principle atau lazim dikenal dengan prinsip kehati-hatian. Pada dasarnya prinsip lazim berkembang dan diterapkan di dalam hukum lingkungan. Maka dirumuskan permasalahan yakni bagaimana konsep precautionary principle dalam hukum internasional serta bagaimana penerapan Precautionary Principle dalam hal pertanggung jawaban Negara dalam penanganan dan pencegahan wabah covid 19 yang dikaji dengan metode yuridis normative. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Precautionary Principle adalah suatu prinsip yang mengatur tentang kehati-hatian yang pada dasarnya keberadaannya berada dalam sector hukum privat maupun hukum publik. Secara dimensi hukum internasional, prinsip ini berkembang di dalam hukum lingkungan internasional yang berkaitan erat dengan hukum kesehatan. Pada prinsip ini dituntut adanya kehati-hatian dalam menetapkan suatu kebijakan maupun peraturan perundang-undangan untuk mnghormati dan melindungi HAM serta tentunya hak hukum manusia. Serta dalam pandemic covid 19 negara dituntut untuk memperhatikan precautionary principle dalam menetapkan kebijakan maupun keputusan serta produk hukum. Hal ini dikarenakan secara hukum jika negara mengabaikan hal tersebut maka sepatutnya negara dapat dituntut di hadapan hukum baik terhadap pelanggaran atas hak asasi ataupun pelanggaran hukum yang menimbulkan kerugian maupun materiil maupun imateril

    Sosialisasi Keberlakuan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia Pada Masyarakat Adat Kedepatian Semerap Kabupaten Kerinci

    Get PDF
    Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini dilatarbelakangi oleh semakin terpojoknya posisi hukum adat yang pada dasarnya sudah hidup dan mengakar dalam kehidupan masyarakat adat. Lemahnya sosialisasi dan pemahaman masyarakat akan arti penting hukum adat dan kelestariannya. Hal ini disebabkan oleh salah satunya pandangan masyarakat lemahnya posisi hukum adat di dalam system hukum di Indonesia, sehingga masyarakat lebih memilih menggunakan hukum positif dibandingkan hukum adat. Sehingga pengabdian masyarakat ini memiliki tujuan untuk (1) meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini bertujuan agar dalam aplikasinya masyarakat tidak lagi memandang hukum adat sebagai suatu sistem yang terpisah dalam sistem huykum di Indonesia, dalam artian dalam hal-hal yang tertentu hukum adat dapat diambil sebagai langkah konkrit dalam mencapai tujuan keadilan dalam setiap permasalahan dan sengketa hukum yang dihadapi masyarakat; (2) Mendorong aparatur desa bersama unsur 4 (empat) jenis yang dalam hal ini terdiri atas, Depati, Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai kedepatian semerap untuk menggalakkan pemahaman masyarakat tentang materi muatan hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kedepatian semerap. Kesimpulan: Kegiatan pengabdian kepada masyarakat berupa sosialisasi ini mendapatkan sambutan positif dari masyarakat. Di samping itu kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap eksistensi hukum adat meningkat terlihat dari kesimpulan sosialisasi dimana ada komitmen untuk menjaga kelestarian dan menerapkan hukum adat dalam kehidupan bermasyarakat Saran: kegiatan seperti ini hendaknya dilakukan secara berkala mengingat ancaman tergerusnya hukum adat di tengah arus globalisasi saat ini tentu sangat disayangkan, apalagi mengingat kedudukan hukum adat sebagai bagian dari sejarah panjang kebudayaan dan peradaban nusantara

    Celah Hukum Spionase: Cukup dengan Hukum Kebiasaan atau Tata Cara Perang Perlu Pembaharuan?

    Get PDF
    At first, war was only carried out by the disputing parties but as the times progressed, the war also had an impact on the surrounding area or other countries. Arrangements for war need to be made such as war treaties or procedures. One of the unclear regulations concerning the act of espionage or what is known as spying. International humanitarian law regulates the customs of war and the manner of war. It turns out that the convention does not clearly regulate the legal protection of spy agencies. This article tries to discuss the urgency of protecting spy agents who are serving in war under humanitarian law.Pada mulanya, perang hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa namun semakin berkembangnya zaman, perang juga berdampak ke wilayah sekitar atau negara lainnya. Pengaturan demi pengaturan akan peperangan perlu dibuat seperti perjanjian perang ataupun tata caranya. Salah satu ketidakjelasan pengaturannya yaitu menyangkut tindakan spionase atau yang dikenal dengan istilah mata-mata. Hukum Humaniter Internasional mengatur mengenai kebiasaan perang dan tata cara perang. Ternyata konvensi tersebut tidak mengatur secara jelas mengenai perlindungan hukum terhadap agen mata-mata. Artikel ini mencoba membahas urgensi perlindungan agen mata-mata yang sedang bertugas dalam perang menurut hukum humaniter internasional

    Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berada Di Wilayah Perang Menurut Konvensi Jenewa 1949 Dengan Protokol Tambahan 1977

    No full text
    This article discusses how to protect children who are in areas of armed conflict. Protection of children has been regulated in the Geneva Conventions of 1949, Additional Protocols 1977, International Convention on The Rights of Childs 1989, Optional Protocol on Involvent of Children in Armed Conflict 2000. However, the parties to the conflict still violate the principle of distinction, the principle of limitation, the principle of balance, and the principles of protection that apply in international humanitarian law. In fact, Humanitarian Law prohibits civilians from being used as objects of violence and must be given protection from all matters relating to war. Meanwhile, combatants can be used as objects of violence during war, but they must still be given protection when they are prisoners of war. As a form of state responsibility, criminal sanctions and compensation need to be applied to ensure legal certainty and provide justice for the parties who are victims according to humanitarian law.Artikel ini membahas bagaimana perlindungan terhadap anak-anak yang berada di wilayah konflik bersenjata. Perlindungan anak telah diatur pada Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977, International Convention on The Rights of  Childs 1989, Optional Protocol on Involvent of Children in Armed Conflict 2000. Namun, para pihak yang berkonflik masih melanggar prinsip pembedaan, prinsip pembatasan, prinsip keseimbangan, dan prinsip perlindungan yang berlaku dalam hukum humaniter internasional.  Padahal, Hukum Humaniter  melarang penduduk sipil dijadikan sebagai objek kekerasan dan wajib diberikan  perlindungan  dari segala hal yang berkaitan dengan peperangan. Sedangkan kombatan dapat dijadikan objek kekerasan saat berperang tetapi tetap wajib  diberikan perlindungan ketika menjadi tawanan perang. Sebagai bentuk tanggung jawab negara, maka sanksi pidana dan ganti rugi perlu diterapkan demi menjamin kepastian hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang menjadi korban menurut hukum humaniter

    Pengapusan Hak Veto Dalam Rangka Reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

    No full text
    This study aims to find out what is the reason the veto is considered irrelevant to the Security Council in realizing world security and peace in connection with the plan of veto power in the framework of reform of the United Nations Security Council because the use of veto rights by the five permanent member states of the Security Council, especially the United States has been used with no limits. The research method used is normative type with statutory, conceptual, and case approach. The results of this study show that the security council's veto power in practice has deviated from its original intent. The reform efforts of the United Nations Security Council have many obstacles but the main obstacles that greatly hinder the reform efforts are the arrogant, selfish, and willless nature of the permanent members of the United Nations Security Council who are veto holders to continue to maintain their hegemony and national interests. Keywords:  United Nations; Right; Veto;Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi alasan hak veto dianggap tidak relevan lagi bagi Dewan Keamanan dalam mewujudkan keamanan dan perdamaian dunia berkaitan dengan rencana Pengapusan Hak Veto pada Rangka Reformasi DK PBB karena penggunaaan hak veto oleh kelima negara anggota tetap pemegang hak veto DK PBB, terutama Amerika Serikat telah digunakan dengan tidak ada batasnya. Metode penelitian yang digunakan adalah tipe normatif dengan pendekatan Perundang-undangan, Konseptual, dan Kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kendala utama yang menjadi sebuah penghambat dari upaya yang dilakukan oleh negara yang menunjukkan adanya proses reformasi atau perubahan di tubuh PBB adalah kekuasaan istimewa berbentuk hak veto yang dimiliki oleh anggota tetap DK PBB itu sendiri, hal ini menggambarkan sebuah sifat egois, arogan serta kemauan keras mereka dalam hal untuk mengusung terlebih dahulu hegemoni serta kepentingan nasional mereka diatas kepentingan lainnya
    corecore