5 research outputs found

    RELATIONSHIP BETWEEN HANDWASHING HABITS WITH DIARHEA INCIDENT IN CHILDREN UNDER TWO YEARS

    Get PDF
    Diarrhea in children under five based on diagnosis and symptom occurred in 18.5% of children in 2018 and 12.3% of children in 2013, indicating an increase. According to the health profile of Bojonegoro Regency of 2018, out of 33,667 diarrhea cases reported, 31,010 or 92.11% of them were treated. This study aims to analyze the relationship between handwashing practice, use of latrine and SPAL (sewerage) with diarrhea incidents in Bojonegoro Incidents. This study used observational study design with cross-sectional approach. Samples in this study were 63 toddlers spread across 4 villages taken using proportional random sampling technique. The collection of primary data was performed by interviewing and observing mothers that had toddlers. Chi square test method was used to determine the relationship between variables examined, where diarrhea occurred in children under five if p < α (α margin of error = 0.05). The results of the study conducted from December 27, 2019 to January 31, 2020 showed that there was a significant relationship between handwashing habit and diarrhea incidents in toddlers, with p=0.000. There was no significant relationship between latrine condition and diarrhea in toddlers, with p=0.808. Furthermore, there was no significant relationship between SPAL condition and diarrhea incidents in toddlers, with p=0.085. There was a significant relationship between handwashing habits in mothers that had children under two with diarrhea incidents

    PERILAKU MASYARAKAT DALAM MENGGUNAKAN JAMBAN SEHAT DI DESA MAMBULU BARAT, KECAMATAN TAMBELENGAN, KABUPATEN SAMPANG

    Get PDF
    Pencapaian sasaran Sustainable Development Goals SDGs salah satunya tujuannya merupakan tentang air bersih serta sanitasi, pada prilaku hidup sehat salah satunya bisa diwujudkan dengan membuang kotoran manusia( feses)/ buang air besar dengan metode yang sehat ataupun pada tempatnya, semacam jamban. World Health Organization tahun 2018, memperkirakan sebanyak 2, 4 miliyar ataupun 1 dari 3 penduduk dunia tidak mempunyai jamban, serta tidak menyesuikan hidup bersih serta sehat. Permasalahan minimnya pemakaian jamban dipengaruhi oleh minimnya sikap kesehatan area warga. Riset ini bertujuan buat mendeskripsikan prilaku warga dalam memakai jamban bersih serta sehat di Desa Mambulu Barat, Kecamatan Tambelengan, Kabupaten Sampang. Riset ini memakai tata cara riset deskriptif. Populasi dalam riset ini merupakan segala kepala keluarga di Desa Mambulu barat yang bersedia. Terdapat 50 responden dalam riset ini. Pengumpulan informasi memakai kuesioner. Hasil riset menampilkan kalau prilaku warga Desa Mambulu Barat, Kecamatan Tambelengan, Kabupaten Sampang dalam memakai jamban bersih serta sehat dari 50 responden( 54%) ataupun 27 responden berperilaku negatif, sebaliknya( 46%) ataupun 23 responden berperilaku positif. Buat tingkatkan kepemilikan, pemanfaatan serta pemakaian jamban bersih serta sehat di Desa Mambulu Barat, Kecamatan Tambelengan, Kabupaten Sampang dibutuhkan motivasi serta pembinaan

    Laporan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Kelurahan Leran Kecamatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro

    Get PDF
    Desa Leran merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro. Desa ini merupakan Desa dengan wilayah terluas di Kecamatan Kalitidu sebesar 1592 Ha. Dengan batas sebelah Utara Desa Ngringin Rejo Kecamatan Kalitidu, sebelah Selatan Ngumpak Dalem Kecematan Dander, sebelah Timur : Sukoharjo Kecamatan Kalitidu, dan sebelah Barat Desa Ngujo Kalitidu. Penduduk Desa Leran sebanyak 6162. Desa Leran dibagi menjadi 4 Dusun, yang terdiri dari Dusun Kuce, Dusun Kalipang, Dusun Leran dan Dusun Sidokumpul dengan jumlah KK sebanyak 1960. Pekerjaan Desa Leran didominasi oleh petani dan mayoritas pendidikan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sedarajat. Desa Leran memiliki 4 masalah berdasarkan analisis data yang telah dilakukan. Masalah tersebut diantaranya adalah masih banyaknya pernikahan dini, pengelolaan dan pengolahan sampah tidak tepat, masalah kurang gizi pada balita, perilaku PHBS yang masih rendah. Setelah itu prioritas masalah diperoleh dari hasil USG yang dilakukan bersama para perangkat desa Leran. USG yang telah dilakukan menghasilkan prioritas masalah yaitu kurang gizi pada balita dan pengelolaan sampah rumah tangga yang belum tepat. Penggalian penyebab masalah dan alternatif solusi dilakukan dengan metode FGD serta Indepth interview bersama bidan desa dan para kader desa. Kemudian pencarian akar masalah menggunakan metode fishbone. Akar permasalahan yang ada dan didapatkan digunakan untuk membuat alternatif solusi. Ada beberapa alternatif solusi yang dihasilkan kemudian di prioritaskan menggunakan metode MEER (Metodologi, Efektif, Efisien, Relevansi). Rencana Intervensi Program yang akan dilaksankan di desa Leran bernama PAPARAZI Leran (Penyuluhan dan Praktik Pengelolaan Sampah dan Pengolahan MPASI yang Tepat dan Bergizi di Desa Leran) yang terdiri dari 4 kegiatan yang pertama adalah Pensi (Penyuluhan Pemberian MPASI), yang kedua adalah Dasi (Demo Masak MPASI), yang ketiga adalah Es Degan (Edukasi Sampah dan Pengelolaannya), dan yang keempat adalah Srabi Air (Sampah Organik untuk Biopori dan Atasi Banjir)

    Penerapan Risk Management pada Plant Amoniak IA PT Petrokimia Gresik

    No full text
    1. Identifikasi bahaya di Plant Amoniak IA PT Petrokimia Gresik (PG) dilakukan dengan mengggunakan lembar HIRADC dilakukan pada setiap aktivitas pekerjaan operasional bagian produksi plant amoniak IA. Berdasarkan identifikasi tersebut, ditemukan sebanyak 45 potensi bahaya dan 67 risiko dari 25 aktivitas pekerjaan di plant amoniak IA. 2. Analisis Inherent Risk dari tahapan aktivitas pekerjaan pada plant amoniak IA PG didapatkan hasil bahwa sebanyak 67 risiko bahaya dikategorikan dalam berbagai level risiko yakni potensi bahaya dengan level risiko high risk sebanyak 14, potensi bahaya dengan level risiko moderate risk sebanyak 51, potensi bahaya dengan level risiko low risk sebanyak 2. Potensi bahaya dengan level risiko high risk sangat erat dengan kejadian ledakan dan kebakaran yang disebabkan olehbahan kimia seperti adanya reaksi antara gas hidrogen (H2) dengan sistemperolian, reaksi gas hidrogen (H2) dengan percikan api pengelasan, adanya kebocoran gas CH4, H2, NH3 dan steam kering maupun karena adanya gas mudah terbakar lainnya di lingkungan plant amoniak IA. 3. Pengendalian risiko yang telah diterapkan oleh pihak manajemen plant amoniak IA PT Petrokimia Gresik dilakukan dengan menerapkan macam hirarki pengendalian K3 yakni dengan eliminasi, substitusi, teknik, administrasi, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) serta pembuatan Instruksi Kerja (IK) dalam bentuk buku panduan. 4. Analisis residual risk merupakan analisis risiko kedua yang dilakukan setelah mengetahui dan mempertimbangkan upaya pengendalian risiko yang telah diimplementasikan oleh pihak manajemen. Upaya pengendalian oleh manajemen dapat menekan angka level high risk pada penilaian residual risk. Dari 67 potensi risiko sebelumnya yang telah dikendalikan maka seluruh risiko dapat dikategorikan dalam level risiko low risk. 5. Penilaian risk reduction didapatkan hasil sebagai berikut 2 risiko turun 33,3% ,7 risiko turun 50% ,3 risiko turun 55,5% , 11 risiko turun 60% , 12 risiko turun 62,5% , 8 risiko turun 66,6% , 5 risiko turun 70% , 13 risiko turun 73,3% , 1 risiko turun 75% , 3 risiko turun 77,7%, 2 risiko turun 80%. Saran 1. Proses risk management sebaiknya dilakukan dengan memperluas objek pengamatan yakni tidak hanya pada tahap aktivitas pekerjaan saat pabrik beroperasi saja, melainkan aktivitas pekerjaan saat pabrik shutdown juga. 2. Pengendalian risiko yang telah diidentifikasi dan dianalisis pada aktivitas pekerjaan di plant amoniak IA PT Petrokimia Gresik dapat dikurangi dengan memperhatikan hal – hal berikut: 1) Pendekatan teknis a. Perawatan alat gas detector secara berkala. b. Pengecekan arah angin sebelum pengelasan dilakukan di ketinggian. Hal ini sebagai perkiraan jatuhnya percikan api. c. Pengukuran gas perlu dilakukan di area bekas pengelasan 2) Pendekatan administratif a. Dilakukan pengukuran/pengujian berkala setiap 1(satu) tahun sekali terhadap Lingkungan Kerja meliputi kebisingan, iklim kerja panas, gas/uap berbahya, dan pencahayaan. b. Penempelan info NFPA rating bahan kima di setiap bahan kimia tersebut berada. c. Penyediaan air minum kemasan d. Pelatihan dan edukasi bahaya kimia e. Penyediaan alat pembersih untuk membersihkan ceceran oli produksi. f. Pengadaan pelatihan berkala terkait confined space oleh internal manajemen. g. Penempelan poster atau infografis terkait tata cara duduk ergonomis, bahaya pancaran sinar dari layar komputer. h. Cek kelayakan ear muff sebulan sekali oleh pihak safety officer. i. Pengecekan full body hardness khususnya tali serta pengikat tubuhnya sebelum digunakan. j. Melakukan tour and review 1 minggu sekali oleh pihak manajemen khususnya safety officer. k. Relaksasi mata selama 10 menit tiap 1 jam sekali dengan melihat pemandangan yang jauh pada pekerja bagian operator l. Melakukan senam peregangan selama 10 menit tiap 1 jam sekali pada pekerja bagian operato

    Hubungan Pengetahuan Hepatitis B dan Perilaku Berisiko Tinggi dengan Kejadian Hepatitis B pada Remaja

    No full text
    Hepatitis B is a disease caused by Hepatitis B virus (HBV) and the most common type of Hepatitis in Indonesia at 21.8%. High-risk behaviors such as unsafe sexual intercourse and indiscriminate use of syringes can cause Hepatitis B. This study aimed to analyze the relationship between knowledge of Hepatitis B and high-risk behaviors with the incidents of Hepatitis B among adolescents. The study was conducted by using a cross-sectional design and 50 adolescents as the respondents. The data collection was carried out by using a questionnaire. Correlation analysis was performed by Fisher’s exact test. 62% of adolescents had a low level of knowledge about Hepatitis B, 54% of adolescents never engaged in high-risk behavior, and 70% of adolescents claimed that they were never exposed to Hepatitis B. This study did not show any relationship between knowledge of Hepatitis B and the incidents of Hepatitis B (p 0.086 > α 0.05) and there was a relationship between high-risk behaviors in adolescents and the incidents of Hepatitis B (p 0.002 < α 0.05). Adolescents' knowledge of Hepatitis B and high-risk behaviors in adolescents are important factors that need to be controlled to decrease Hepatitis B rates. Socialization of Hepatitis B knowledge is needed to understand the virus, causes, transmission channel, how to stop the spread, and treatments should be taken when being infected by Hepatitis B virus.Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV) dan merupakan jenis Hepatitis terbanyak di Indonesia yaitu sebesar 21,8%. Perilaku berisiko tinggi seperti hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik sembarangan dapat menyebabkan Hepatitis B. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengetahuan Hepatitis B dan perilaku berisiko tinggi dengan kejadian Hepatitis B pada remaja. Penelitian dilakukan dengan desain cross-sectional dengan responden sebanyak 50 remaja. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner. Analisis hubungan dilakukan dengan uji Fisher exact. Sebanyak 62% remaja memiliki tingkat pengetahuan kurang tentang Hepatitis B, 54% remaja tidak pernah melakukan perilaku berisiko tinggi, dan 70% remaja mengaku tidak pernah terpapar Hepatitis B. Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan Hepatitis B dengan kejadian Hepatitis B (p 0,086 > α 0,05) dan terdapat hubungan antara perilaku berisiko tinggi remaja dengan kejadian Hepatitis B (p 0,002 < α 0,05). Pengetahuan remaja terhadap Hepatitis B dan perilaku berisiko tinggi yang dilakukan remaja merupakan faktor penting yang perlu dikendalikan untuk menurunkan angka Hepatitis B. Sosialisasi pengetahuan Hepatitis B diperlukan untuk memperoleh pemahaman tentang virus, penyebabnya, saluran penyebarannya, bagaimana menghentikan penyebarannya, dan penanganan apa yang harus dilakukan jika terjangkit virus Hepatitis B
    corecore