4 research outputs found

    Pengaruh Penggunaan Tepung Bonggol Pisang Sebagai Pengganti Bekatul Dalam Pakan Terhadap Penampilan Produksi Itik Pedaging

    No full text
    Bonggol pisang adalah bagian bawah dari tanaman pisang yang menggelembung, bulat dan besar seperti umbi, merupakan salah satu limbah perkebunan yang dihasilkan dari pemanenan tanaman pisang. Tepung bonggol pisang mengandung BK 92,64 %, PK 1,71 %, LK 1,5 %, SK 7,85 %, abu 7,04 % dan karbohidrat 89,75 %. Kandungan karbohidrat yang tinggi dan pati sehingga akan memudahkan dalam proses pencernaan dalam ternak unggas. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penggunaan tepung bonggol pisang sebagai pengganti bekatul mampu memberikan pengaruh terhadap penampilan produksi itik pedaging yang meliputi konsumsi pakan, Pertambahan Bobot Badan (PBB), konversi pakan, Indeks Produksi (IP) dan Income Over Feed Cost (IOFC). Penelitian ini dilakukan secara in vivo dimulai bulan November sampai Desember 2018. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan di peternakan milik bapak Tito di Dusun Rejoso, Desa Junrejo, Kota Batu, Malang. Analisis kandungan zat makanan bahan pakan dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya serta di Laboratorium Pakan, Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Blitar. Materi yang digunakan adalah 100 ekor itik pedaging tanpa dibedakan jenis kelaminnya dengan strain Hibrida persilangan dari itik Peking (jantan) dan Khaki Campbell (betina) yang telah berumur 20 hari dengan rataan bobot badan yang digunakan adalah 410,52 ± 95,25 g dengan koefisien keragaman sebesar 23,20 %. Kandang yang digunakan menggunakan kandang panggung terdiri dari 20 flock dengan ukuran masing-masing kandang panjang 1,2 m, lebar 0,5 meter, dan tinggi 0,6 m. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah percobaan lapang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan 4 kali ulangan. Masing-masing ulangan 5 ekor itik pedaging. Perlakuan terdiri dari P0: Bekatul 10 % + Tepung Bonggol Pisang (TBP) 0 %, P1: Bekatul 7,5 % + TBP 2,5 %, P2: Bekatul 5 % + TBP 5 %, P3: Bekatul 2,5 % + TBP 7,5 %, P4: TBP 10 %. Variabel yang diamati yaitu konsumsi pakan, PBB, konversi pakan, IP dan IOFC. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis menggunakan analisis kovarian (ANCOVA) dari Rancangan Acak Lengakap (RAL) dengan 5 perlakuan 4 ulangan. Apabila hasil penelitian menunjukan perbedaan sangat nyata (P<0,01) atau berbeda nyata (P<0,05) terhadap perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan’s. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan TBP sebagai pengganti bekatul dalam pakan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan. Rataan jumlah konsumsi pakan dari yang terkecil secara berurutan adalah P0 (1359,61 ± 331,11 g/ekor), P1 (1477,07 ± 238,71 g/ekor), P4 (1497,29 ± 118,86 g/ekor), P3 (1549,25 ± 155,85 g/ekor), P2 (1608,27 ± 166,25 g/ekor). Konsumsi pakan terendah yaitu pada P0 dengan bekatul 10 % tanpa penggantian TBP sedangkan tertinggi yaitu pada P2 dengan penggunaan level pengganti sebesar 5% bekatul oleh TBP. Namun, penggunaan tepung bonggol pisang pengganti bekatul dalam pakan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap PBB. Rataan jumlah pertambahan bobot badan dari yang terkecil secara berurutan adalah P0 (400,92 ± 26,20 g), P4 (460,99 ± 40,63 g), P2 (476,75 ± 28,70 g), P3 (539,10 ± 28,70 g), P1 (559,76 ± 91,27 g). PBB terendah yaitu pada P0 dengan bekatul 10 % tanpa penggantian TBP, sedangkan tertinggi yaitu pada P1 dengan penggunaan level penggati sebesar 2,5 % bekatul oleh TBP. Selanjutnya, penggunaan TBP sebagai pengganti bekatul dalam pakan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konversi pakan. Rataan jumlah konversi pakan dari yang terkecil secara berurutan adalah P1 (2,82 ± 0,96), P3 (3,04 ± 0,27), P0 (3,26± 0,90), P4 (3,34 ± 0,30), P2 (3,40 ± 043). Konversi pakan terendah yaitu pada P1 dengan penggunaan level pengganti sebesar 2,5% bekatul oleh TBP, sedangkan tertinggi yaitu P2 dengan penggunaan level penggantian sebesar 5 % bekatul oleh TBP. Kemudian, penggunaan TBP sebagai pengganti bekatul dalam pakan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap IP. Rataan jumlah Indeks Produksi (IP) dari yang terkecil secara berurutan adalah P0 (466,3 ± 118,04), P4 (516,9 ± 76,32), P2 (525,1 ± 61,73), P1 (658,8 ± 132,18), P3 (754,5 ± 247,71). IP terendah yaitu pada P0 dengan bekatul 10 % tanpa penggantian Tepung Bonggol Pisang (TBP), sedangkan tertinggi yaitu P3 dengan penggunaan level penggantian sebesar 7,5% bekatul oleh TBP. Selanjutnya, penggunaan tepung bonggol pisang pengganti bekatul dalam pakan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap IOFC. Rataan jumlah Indeks Produksi (IP) dari yang terkecil secara berurutan adalah P0 (11008,46 ± 1646,32 Rp/ekor), P2 (12148,04 ± 1169,99 Rp/ekor), P4 (12188,63 ± 1686,83 Rp/ekor), P3 (14094,31 ± 363,35 Rp/ekor), P1 (15416,03 ± 2416,43 Rp/ekor). IOFC terendah yaitu pada P0 dengan bekatul 10 % tanpa penggantian Tepung Bonggol Pisang (TBP), sedangkan tertinggi yaitu P1 dengan penggunaan level penggantian sebesar 2,5% bekatul oleh TBP. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan tepung bonggol pisang sebagai pengganti bekatul sampai dengan 10 % dalam pakan memberikan hasil positif terhadap penampilan produksi itik pedaging meliputi konsumsi pakan, Pertambahan Bobot Badan (PBB), konversi pakan, Indeks Produksi (IP) dan Income Over Feed Cost (IOFC). Saran pada penelitian ini yaitu dapat dilakukan pengujian dengan metode biologis dengan proses fermentasi pada tepung bonggol pisang untuk meningkatnya kandungan zat makannya sehingga tepung bonggol pisang dapat menjadi salah satu sumber pakan alternatif yang baik bagi itik pedaging

    Kualitas dan Akurasi Hasil Spermatozoa X dan Y pada Semen Sexing Sapi Limousin dengan Metode Ukuran Kepala dan Polymerase Chain Reaction (PCR)

    No full text
    Tujuan penelitian ini adalah untuk memastikan keberhasilan hubungan kelamin pedet seperti yang diharapkan, sehingga perlu dilakukan mengetahui kualitas dan proporsi spermatozoa X dan Y berdasarkan ukuran kepala ukuran spermatozoa dan akurasi hasil pemisahan spermatozoa X dan Y menggunakan Reaksi Rantai Polimerase (PCR). Metode yang digunakan adalah metode observasional tanpa jenis kelamin dan kualitas sexed semen sapi Limousin dari 2 lokasi penelitian, A: Balai Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari menggunakan SGDP dan B: Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang menggunakan metode sedimentasi dan ketelitian albumin yang bertujuan untuk menguji ketelitian hasil sexing spermatozoa menggunakan ukuran kepala dan PCR. Data dianalisis dengan tindependent, selain itu menggunakan chi square untuk motilitas, konsentrasi dan motil total spermatozoa untuk dibandingkan dengan standar SNI kualitas semen. Hasil t-independen motilitas, konsentrasi, jumlah spermatozoa motil semen non sexed lebih besar dibandingkan sexed air mani. Hasil t-independent untuk semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) kualitas sperma menggunakan metode yang berbeda. Proporsi non sexing dari BBIB Singosari menghasilkan 50,2% proporsi spermatozoa X dan 49,9% spermatozoa Y. Sedangkan, rata-rata persentase pengukuran proporsi non sexed dari BIB Lembang menghasilkan proporsi spermatozoa X sebesar 49,8% dan Y sebesar 50,1%. Sexing spermatozoa menggunakan albumin sedimentasi menghasilkan kualitas dan proporsi spermatozoa X dan Y yang lebih baik dibandingkan sexing spermatozoa menggunakan SGDP. Metode duplex PCR menggunakan gen SRY (318 bp) dan GAPDH (415 bp) dapat digunakan untuk menentukan akurasi hasil berdasarkan identifikasi jenis kelamin dari X dan DNA spermatozoa Y

    Global Prevalence and Potential Influencing Factors of COVID-19 Vaccination Hesitancy : A Meta-Analysis

    Get PDF
    Countries worldwide have deployed mass COVID-19 vaccination drives, but there are people who are hesitant to receive the vaccine. Studies assessing the factors associated with COVID-19 vaccination hesitancy are inconclusive. This study aimed to assess the global prevalence of COVID-19 vaccination hesitancy and determine the potential factors associated with such hesitancy. We performed an organized search for relevant articles in PubMed, Scopus, and Web of Science. Extraction of the required information was performed for each study. A single-arm meta-analysis was performed to determine the global prevalence of COVID-19 vaccination hesitancy; the potential factors related to vaccine hesitancy were analyzed using a Z-test. A total of 56 articles were included in our analysis. We found that the global prevalence of COVID-19 vaccination hesitancy was 25%. Being a woman, being a 50-year-old or younger, being single, being unemployed, living in a household with five or more individuals, having an educational attainment lower than an undergraduate degree, having a non-healthcare-related job and considering COVID-19 vaccines to be unsafe were associated with a higher risk of vaccination hesitancy. In contrast, living with children at home, maintaining physical distancing norms, having ever tested for COVID-19, and having a history of influenza vaccination in the past few years were associated with a lower risk of hesitancy to COVID-19 vaccination. Our study provides valuable information on COVID-19 vaccination hesitancy, and we recommend special interventions in the sub-populations with increased risk to reduce COVID-19 vaccine hesitancy
    corecore