4 research outputs found
PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PRODUKSI AIR MINUM DALAM KEMASAN (AMDK) YANG TIDAK MEMENUHI STANDAR KESEHATAN MENURUT PERMENKES NOMOR.492/MENKES/PER/IV/2010 (SUATU PENELITIAN DI KABUPATEN ACEH BESAR)
ABSTRAKNADIA ARDANI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PRODUKSI AIR MINUM DALAM KEMASAN (AMDK) YANG TIDAK MEMENUHI STANDAR KESEHATAN MENURUT PERMENKES NOMOR.492/Menkes/PER/IV/2010 (Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar)Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh(vi.69), pp, bibl, app.(YUNITA, S.H., LL.M.)Pasal 3 Permenkes No.492/Menkes/PER/IV/2010 menjelaskan bahwa air yang memenuhi kualitas air minum yang aman bagi kesehatan secara garis besar dapat digolongkan dalam empat syarat yaitu syarat fisik, kimia, bakteriologis, dan radioaktif. Tetapi dalam kenyataannya berdasarkan data dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) terdapat indikator bahwa ada pelaku usaha AMDK di Kabupaten Aceh Besar yang belum melakukan pengujian harian untuk pengujian Angka Lempeng Total (ALT) dan Bakteri Coliform pada AMDK yang diproduksinya.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor yang menyebabkan pelaku usaha masih memproduksi AMDK yang tidak memenuhi standar kesehatan, perlindungan konsumen yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap pelaku usaha AMDK yang tidak memenuhi standar kesehatan dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen terhadap pelaku usaha yang memproduksi AMDK yang tidak memenuhi standar kesehatan menurut Permenkes No.492/Menkes/PER/IV/2010.Penelitian ini bersifat yuridis empiris. Data penelitian diperoleh melalui kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dengan cara membaca peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, pendapat para sarjana, buku-buku dan artikel. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara responden dan informan.Berdasarkan hasil penelitian, adapun faktor yang menyebabkan pelaku usaha masih memproduksi AMDK yang tidak memenuhi standar kesehatan menurut Permenkes karena faktor ekonomi, pengetahuan dan kesadaran hukum. Bentuk perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan pengawasan langsung, pemeriksaan rutin pada setiap sarana AMDK, sosialisasi, pembinaan dan pencabutan izin usaha. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan dan diluar pengadilan.Disarankan kepada pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usaha harus memenuhi segala peraturan yang berlaku, Pemerintah harus terus meningkatkan perannya dalam pengawasan dan memberikan perlindungan kepada konsumen secara maksimal, masyarakat selaku konsumen apabila menemukan AMDK yang tidak layak konsumsi segera melaporkan kepada Pemerintah maupun Lembaga terkait
PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PEMBIAYAAN AKAD MURABAHAH PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH DI KOTA BANDA ACEH
PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PEMBIAYAAN AKAD MURABAHAH PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH DI KOTA BANDA ACEHNadia Ardani 1Teuku Ahmad Yani 2Zahratul Idami 3ABSTRAKPasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 menjelaskan bahwa Lembaga keuangan mikro adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Pasal 1 ayat (4) juga menjelaskan bahwa penyediaan dana oleh LKM kepada nasabah yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan dengan prinsip syariah. Tetapi dalam kenyataaannya pembiayaan murabahah pada lembaga keuangan mikro syariah mengalami kendala yakni pihak nasabah tidak mampu melaksanakan kesepakatan yang tertera di dalam akad yang disebut wanprestasi.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjelaskan Indikator dalam pemberian pembiayaan kepada nasabah, faktor yang menyebabkan nasabah melakukan wanprestasi terhadap pembiayaan murabahah, upaya hukum penyelesaian yang dapat dilakukan oleh lembaga keuangan mikro syariah terhadap nasabah yang wanprestasi.Penelitian ini bersifat yuridis empiris. Data penelitian diperoleh melalui kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dengan cara membaca peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, pendapat para sarjana, buku-buku dan artikel. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara responden dan informan.Berdasarkan hasil penelitian, adapun indikator dalam pemberian pembiayaan oleh LKMS kepada nasabah dinilai dari karakter, kemampuan, modal, jaminan, dan kondisi dari nasabah. Faktor yang menyebabkan nasabah melakukan wanprestasi terhadap pembiayaan murabahah karena faktor kurangnya kesadaran hukum nasabah, itikad kurang baik dari nasabah, kegagalan usaha nasabah, penyalahgunaan modal pinjaman pembiayaan, terjadi nya force majeur terhadap usaha nasabah. Upaya hukum penyelesaian yang dapat dilakukan oleh LKMS terhadap nasabah yang wanprestasi dapat ditempuh melalui jalur litigasi (Pengadilan) dan jalur non litigasi (Luar pengadilan), namun pada umumnya diselesaikan melalui non litigasi dimana upaya penyelesaian langkah awal mengedepankan musyawarah dengan memberikan pemberitahuan, memberikan peringatan, melakukan pemanggilan debitur untuk hadir ke LKMS, mendatangi langsung tempat kediaman debitur, Langkah kedua memberikan sanksi sosial dengan cara menempelkan identitas nasabah di kantor Geucik, di depan rumah ditempat nasabah berdomisili, Langkah ketiga pihak LKMS melakukan Recheduling (penyelamatan kembali), Reconditioning (persyaratan kembali), dan Restructuring pembiayaan (penataan kembali).Disarankan kepada LKMS untuk wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan pembiayaan kepada nasabahnya. Nasabah dalam mengambil pembiayaan harus mengetahui serta mempelajari isi akad sehingga nasabah mengetahui kewajibannya dan tidak bertindak sesuka hati tanpa memperdulikan akad yang telah disepakati sebelumnya. Pemerintah dapat terus meningkatkan perannya dalam pengawasan maupun membentuk regulasi terkait dengan pembiayaan syariah. THE SETTLEMENT OF A DEFAULT ON MURABAHA (SALES)CONTRACT FINANCING AT ISLAMIC MICROFINANCE INSTITUTIONSIN BANDA ACEH CITYNadia Ardani 1Teuku Ahmad Yani 2Zahratul Idami 3ABSTRACTArticle 1(1) of Law Number 1 of 2013 stipulates that microfinance institutions are primarily established for providing corporate and community-based development services through lending or financing to members and the local community, savings management, and the provision of corporate growth advice which is not solely for profit. Article 1(4) also stipulates that the customers' MFI allocation of funds must be returned in compliance with the principles of Sharia law. Murabaha financing at Islamic microfinance institutions is facing constraints; in other words, the customer cannot fulfill the deal, known as a default.This study aims at analyzing and describing the indicators in the provision of financing to customers, the factors that cause customers to default on murabahah financing, and the remedies that Islamic microfinance institutions may offer to customers who experience default.This study is an empirical juridical. The data of the study were obtained through literature and the field. Literature research is conducted to obtain secondary data by reading laws and regulations, scientific works, opinions of scholars, books and articles. Field research was conducted to obtain primary data by interviewing respondents and informants.Based on the study results, the indicators in the provision of IMFI funding to customers are assessed by the customer's character, capacity, resources, collateral, and conditions. The factors that cause customers to default on Murabaha financing are due to the lack of legal awareness of the customer, bad intentions of the customer, failure of the customer's business, misuse of loan financing capital, the occurrence of force majeure on the customer's business. Legal remedies that can be done by IMFI for customers who default are through litigation (Court) and non-litigation (Out of court), but in general, these defaults are resolved through non-litigation with deliberation as a first step by giving notice, giving warning, call debtors to attend to IMFI, go directly to the debtor's residence, the second step provides social sanctions by attaching customer identity at the Village Head office, in front of the house where the customer is domiciled, The third step IMFI conducts Rescheduling, Reconditioning, and Reconditioning, and Restructuring of financing (realignment).IMEI is advised to have to enforce the precautionary policy when supplying its customers with funding. The consumers in the lending process must know and understand the contents of the contract in such a way that they are respectful of their commitments and do not behave as they wish, regardless of the agreement reached in advance. The government should continue to strengthen its role in supervising and controlling Islamic financing.Keywords: Islamic microfinance institutions, finance, murabahah, defaul
Surface Electromyography Unveil the Relationship between Masticatory Muscle Tone and Maloclusion Class I & II in Javanese Ethnic Patient
Aim to evaluate the difference of masticatory muscle activity of Malocclusion Class I and Class II malocclusion in Javanese ethnic patient detected by surface electromyography (sEMG). Observational analytic cross-sectional study was done. The sample consisted of 16 patients, 18-21 years-old taken by the total sampling. The classification of malocclusion based on Angle’s malocclusion classification then divided into Class I malocclusion (ANB4º) based on cephalometric, study models and intra-oral examination (n=8). The cephalometry was traced using the Orthovision™ digital program and then the anatomical points are determined. The measurement of muscle activity was recorded by means of sEMG. Determine the installation of black-red electrodes according to the direction of muscle contraction from origo to insertio. Pairing the electrode pad then parallel to the muscle belly with muscle fibers with a distance of 1 cm between the electrodes and ground plug. Select the feedback mode and sensitivity according to muscle strength. The right and left side of masseter, temporalis, suprahyoid muscles activity was examined. Mann-Whitney analysis (p0.05). Only the right side of temporal muscle activity was significantly different in Class I and Class II malocclusions in Javanese ethnic patient (p=0.0001). Meanwhile, the masseter and suprahyoid muscles right side, have no significant differences were found in Javanese ethnic patient (p=0.99). Therefore, there was no significant different in left side of temporalis (p=0.11), masseter (p=0.99) and suprahyoid (p=0.104) muscle activity between malocclusion class I and II in Javanese ethnic patient. Temporalis, masseter, and suprahyoid muscle activity detected by sEMG have no significant difference in malocclusion Class I and II in Javanese ethnic patients
