7,511 research outputs found

    On the Impact of Financial Inclusion on Financial Stability and Inequality: The Role of Macroprudential Policies

    Get PDF
    Financial Inclusion - access to financial products by households and firms - is one of the main albeit challenging priorities, both for Advanced Economies (AEs) as well as Emerging Markets (EMs), even more so for the latter. Financial inclusion facilitates consumption smoothing, lowers income inequality, enables risk diversification, and tends to positively affect economic growth. Financial stability is another rising priority among policy makers. This is evident in the re-emergence of macroprudential policies after the global financial crisis, minimizing systemic risk, particularly risks associated with rapid credit growth. However, there are significant policy tradeoffs that could exist between both financial inclusion and financial stability, with mixed evidence on the link between the two objectives. Given the importance of macroprudential policies as a toolbox to achieve financial stability, we examine the impact of macroprudential policies on financial inclusion - a potential cause for financial instability if not carefully implemented. Using panel regressions for 67 countries over the period 2000-2014, our results point to mixed effects of macroprudential policies. The usage (and tightening) of some tools, such as the debt-to-income ratio, appear to reduce financial inclusion whereas others, such as the required reserve ratio (RRR), increase it. Specifically, both institutional quality and financial development appear to increase the effectiveness of macroprudential policies on financial inclusion. Institutional quality helps macroprudential policies boost financial inclusion, with mixed effects as a result of financial development, but the results are more significant when we include either institutional quality or financial development. This leads us to believe that macroprudential policies conditional on better institutional quality and financial development improves financial inclusion. This has important policy implications for financial stability

    Meneguhkan Islam Harmoni Melalui Pendekatan Filologi

    Full text link
    Indonesia dihuni oleh sebuah bangsa yang memiliki kelimpahan aneka seni dan budaya. Salah satu produk budaya yang khas nusantara adalah naskah kuno. Maka menjadi sebuah keniscayaan menjadikan naskah kuno sebagai bagian dari sumber utama dalam meneguhkan Islam nusantara. Maka ilmu filologi mutlak diperlukan. Paper ini akan membahas ruang lingkup manuskrip di nusantara serta menjelaskan pemahaman tentang pendekatan filologi secara teoritis dan praktis. Penulisan paper ini merupakan bagian dari penguatan theoretical framework melalui review literatur secara kritis. Kesimpulannya adalah bahwa hampir di setiap kota lintas pulau di Indonesia ditemukan sejumlah manuskrip dengan ragam aksara, bahasa dan materi isinya yang mencerminkan kedalaman spiritualitas bangsa. Salah satu tugas filolog adalah peran pokoknya adalah melakukan transliterasi (alih aksara), agar naskah kuno tersebut bisa dibaca lebih luas dan selanjutnya mengkajinya secara interdisipliner sebagai bahan untuk rekonstruksi budaya. Sejauhmana produk riset filologis tersebut memberi kontribusi keilmuan tergantung kecerdasan dan kreatifitas peneliti mendialogkan dengan disiplin keilmuan yang ditekuninya sehingga mampu meneguhkan identitas Islam nusantara yang dikenal ramah dan harmoni dalam relasi dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan

    Nalar Pluralisme John Hick Dalam Keberagamaan Global

    Full text link
    Paper ini secara khusus membahas paham pluralisme agama dalam nalar John Hick sebagai respon atas terjadinya berbagai aksi kekerasan bernuansa agama di berbagai negara terutama di Perancis baru-baru ini. Terjadinya kekerasan bernuansa agama tak lepas dari paham keberagamaan yang eksklusif. Maka perlu paridigma baru yang lebih humanis. Paham pluralisme agama bisa sebagai alternatif, meski tetap harus kritis tak menerima begitu saja. Melalui pendekatan filsafat kritis, topik ini dikaji. Simpulannya adalah bahwa Hick telah menawarkan suatu kerangka paradigmatis dalam melihat teologi agama sehingga mendorong terwujudnya dialog antar agama di tengah kemajmukaan. Menurut Hick, semua agama berasal dari the Real. Namun karena tidak adanya akses secara langsung kepada the Real, lahirlah conflicting conception of the Real. Semua persepsi terhadap the Real selalu melalui mediator yaitu tradisi keagmaan yang unik (unique religious tradition) yang disebut sebagai “konsep lensa “ (conceptional lens) sehingga melahirkan pluralitas agama sebagai awal paham pluralisme agama. Secara etik paham pluralisme Hick bisa menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan universal untuk saling bekerja-sama menanggulangi penderitaan manusia. Namun secara paradigmatis paham pluralisme Hick tetaplah problematik, karena Hick cenderung rasional murni. Padahal secara ontologis setiap manusia itu bergerak dengan tiga pertimbangan sekaligus yaitu; kualitas baik (potensi rasional), kualitas benar (potensi spiritual), dan kualitas nyaman (potensi emosional). Dalam tiga kualitas itulah mestinya paradigma pluralisme agama perlu dirumuskan ulang agar paham pluralisme yang berkembang lebih komprehensif
    • …
    corecore