6 research outputs found

    Detection of Blatem Gene Of Klebsiella pneumoniae Isolated From Swab Of Food-Producing Animals In East Java

    Get PDF
    Klebsiella pneumoniae is one of 9 bacteria resistance to antibiotics in concern. This research aimed to detect any gene of blaTEM in bacteria of the K. pneumoniae isolated from swab of food-producing animals. In this study, 195 swab samples were taken from 17 sampling locations. Samples obtained were cultivated on selective medium and had several tests including identifcation, antibiotic sensitivity test using Kirby-Bauer method against antibiotics of ampicillin, cefotaxime, amoxicillin, meropenem, and trimetrophrim-sulfamethoxazole, and followed by PCR test for detecting the gene that was responsible for the antibiotic resistances. The results showed that 10 out of 195 samples were found to be K. pneumonia, those were 4 samples originated from dairy cows (SP-S1, SP-S3, SP-B2, SP-G4), 2 samples originated from beef (SPT-K1, SPT-K2), 1 sample originated from chickens (A-W5), and 3 samples originated from fsh (IN-P2, IN-P3, IN-S3). Most of isolates (9/10) were found to be resistant toward amoxicillin. These isolates were SP-S3, SP-B2, SP-G4, SPT-KI, SPT-K2, A-W5, IN-P2, IN-P3, and the IN-S3 and all of them also showed to be positive of blaTEM gene. It could be concluded that most of K. pneumoniae isolates from food animals harbour had Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) encoding gene. Keywords: antibiotic resistance, ESBL, food-producing animals, Klebsiella pneumonie, amoxicilli

    REKAYASA BIOTEKNOLOGI DALAM PENANGGULANGAN LIMBAH PADAT RUMAH POTONG HEWAN

    No full text
    Penelitian ini dilakukan rekayasa bioteknologi terhadap Iimbah padat rumah potong hewan. Adapun parameter yang diperiksa adalah kandungan gizi yang meliputi kadar protein, kadar Jemak, kadar bahan kering, kadar abu dan kadar serat kasar; dan juga pemeriksaan pH serta organoleptik dari bahan tersebut.Pada penelitian ini menggunakan dua jenis variabel bebas yang akan diuji pengaruhnay terhadap limbah padat rumah potong hewan meliputi: 1) Variabel bebas A berupa proses pengolahan dan 2) Variabel bebas B berupa tempat pengambilan. Variabel A terdiri dari empat variasi yaitu A1 proses kontrol, A2 proses fermentasi saja, A3 proses fermentasi yang diberi urea 3 % dan A4 proses fermentasi yang diberi starter Sacharomyces cervicae. Sedangkan variabel 8 terdiri dari tiga tempat pengambilan sampet, yaitu 81 pengambilan dari rumen langsung, 82 pengambilan dari bak penampungan dan 83 pengambilan dari bak penampungan yang tercampur cairan. Lama proses fermentasi adalah tujuh hari. Sejumlah 36 sampel limbah pad at rumah potong hewan dengan be rat sekitar 500 gram digunakan di dalam penelitian ini. Rancangan percobaan yang dipilih berupa Rancangan Faktorial (4 x 3) x 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH limbah pad at rumah potong hewan terpengaruh (p < 0.001) oleh proses pengolahan yang dilakukan. Proses fermentasi yang diberi urea 3 % dapat meningkatkan (p < 0,001) kadar protein limbah padat tersebut. Proses fermentasi saja dan fermentasi yang diberi starter dapat menghilangkan bau busuk, sedangkan untuk melunakkan tekstur Iimbah didapat dari seluruh proses bioteknologi. Proses fermentasi saja dan fermentasi diberi starter yang limbahnya diambil dari rumen langsung dapat menurunkan kadar serat kasar.Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar protein dapat dilakukan dengan fermentasi yang diberi urea 3 %, untuk menurunkan kadar serat kasar dapat dilakukan pada fermentasi saja dan fermentasi yang diberi starter, dan untuk menghilangkan polusi bau dilakukan dengan fermentasi saja dan fermentasi yang diberi starter

    REKAYASA BIOTEKNOLOGI DALAM PENANGGULANGAN LIMBAH PADAT RUMAH POTONG HEWAN

    No full text
    Penelitian ini dilakukan rekayasa bioteknologi terhadap Iimbah padat rumah potong hewan. Adapun parameter yang diperiksa adalah kandungan gizi yang meliputi kadar protein, kadar Jemak, kadar bahan kering, kadar abu dan kadar serat kasar; dan juga pemeriksaan pH serta organoleptik dari bahan terse but

    PENGGUNAAN POLYMORPHISM GEN PENYANDI KOAGULASE SEBAGAI PELACAK VARIABILITAS GENETIK STAPHYLOCOCCUS AUREUS

    Get PDF
    Mastitis adalah keradangan pada ambing dan umumnya berdampak paling jelek pada peternakan sapi perah yang terkait dengan masalah ekonomi dan produktivitas ternak. Penyakit tersebut tidak dapat diberantas tetapi dapat diturunkan angka kejadiannya dengan manajemen yang baik pada peternakan sapi perah tersebut. Mastitis menyebabkan kerugian ekonomi pada petani dengan beberapa jalan; hasil susu yang menurun, kualitas susu menjadi jelek atau terkontaminasi dengan antibiotika yang mengakibatkan produknya tidak dapat dijual, adanya biaya pengobatan, tingginya angka pengafkiran dan kadang-kadang mengakibatkan kematian. Susu yang diproses dalam industri juga merugi disebabkan oleh masalah kandungan antibiotika dalam susu yang dapat menurunkan kandungan kimiawi susu dan kualitas susu dari sapi perah penderita mastitis. Pemahaman tentang epidemiologi dari Staphylococcus aureus yang meliputi sumber penularan, alur penularan dan faktor resiko menghasilkan sistem pengendalian mastitis yang baik dengan agen penyakit Staphylococcus aureus di beberapa peternakan. Hal penting dari pengendalian Staphylococcus aureus adalah menyadari bahwa bakteri ini ditularkan dari sapi ke sapi selama proses pemerahan. Langkah higienis selama waktu pemerahan menurunkan perpindahan bakteri dari sapi ke sapi yang berdampak penurunan intramammary infection (IMI) yang baru. Tetapi hanya dengan sistem higienis pemerahan saja tidak cukup baik untuk pengendalian penyakit ini. Dengan tambahan pengobatan pada waktu kering dan khususnya pengafkiran bagi yang terinfeksi kronis diperlukan untuk menurunkan IMI oleh Staphylococcus aureus. Pengetahuan yang detail tentang bakteri Staphylococcus aureus akan memperoleh gambaran bahwa pemberantasan pada saat ini masih belum memungkinkan, khususnya adanya Staphylococcus aureus yang memproduksi beberapa faktor virulensi. Jadi investigasi dalam tingkat biologi molekuler harus dilakukan untuk pemecahan masalah mastitis. Pada penelitian ini digunakan 67 sampel susu dari sapi perah dari Surabaya dan sekitarnya yang diambil susunya untuk diisolasi dan identifikasi isolat Staphylococcus aureus. Dari sampel susu mastitis dilakukan identifikasi bakteri Staphylococcus aureus yang meliputi bentuk mikroskopis kokus bergerombol, sifat hemolisis tipe #946;, katalase (+), koagulase (+) dan Gram (+). Identifikasi variabilitas strain Staphylococcus aureus dengan mempergunakan pendekatan gen penyandi koagulase dengan metode PCR, sedangkan ekspresi gen koagulase dengan metode SDS-PAGE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Staphylococcus aureus yang didapat dari peternakan Surabaya dan sekitarnya adalah 16 isolat. Dengan pendekatan genotipik memakai berat molekul gen penyandi koagulase didapatkan 3 polimorfisme yaitu berat molekul 510, 600, dan 680 bp. Hasil ekspresi dari gen penyandi permukaan bakteri tersebut tidak ditemukan perbedaan yang berarti. Berpijak pada hasil analisis yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gen penyandi koagulase (coa) dapat menentukan adanya variabilitas genetik Staphylococcus aureus penyebab mastitis sapi perah di Surabaya dan sekitarnya. Karakterisasi ekspresi gen penyandi permukaan bakteri Staphylococcus aureus tidak dipengaruhi oleh faktor Iingkungan

    ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GEN PENYANDI FIBRINOGEN BINDING PROTEIN DARI STAPHYLOCOCCUS AUREUS PENYEBAB MASTITIS SAPI PERAH

    Get PDF
    Pemahaman tentang epidemiologi dari Staphylococcus aureus yang meliputi sumber penularan, alur penularan dan faktor resiko menghasilkan sistem pengendalian mastitis yang baik dengan agen penyakit Staphylococcus aureus di beberapa peternakan. Hal penting dari pengendalian Staphylococcus aureus adalah menyadari bahwa bakteri ini ditularkan dari sapi ke sapi selama proses pemerahan. Langkah higienis selama waktu pemerahan menurunkan perpindahan bakteri dari sapi ke sapi yang berdampak penurunan intramammary infection (IMI) yang baru. Tetapi hanya dengan sistem higienis pemerahan saja tidak cukup baik untuk pengendalian penyakit ini. Dengan tambahan pengobatan pada waktu kering dan khususnya pengafkiran bagi yang terinfeksi kronis diperlukan untuk menurunkan IMI oleh Staphylococcus aureus. Pengetahuan yang detail tentang bakteri Staphylococcus aureus akan memperoleh gambaran bahwa pemberantasan pada saat ini masih belum memungkinkan, khususnya adanya Staphylococcus aureus yang memproduksi beberapa faktor virulensi. Jadi investigasi dalam tingkat biologi molekuler harus dilakukan untuk pemecahan masalah mastitis. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui isolasi dan identifikasi gen penyandi fibrinogen binding protein dari Staphylococcus aureus. Adapun pengujiannya melalui pencarian isolat murni Staphylococcus aureus.Sampel susu yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari sapi penderita mastitis yang dilakukan pemerahan sore hari. Pencarian isolat murni Staphylococcus aureus melalui uji koloni pada MS agar, uji hemolysis pada agar darah, uji katalase dan uji koagulase. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa identifikasi gen penyandi fibrinogen binding protein Staphylococcus aureus kasus mastitis sapi perah ditemukan dengan BM 1000 bp. Ekspresi gen penyandi fibrinogen binding protein yang berhasil dikarakterisasi adalah protein dengan BM 40 kD. Understanding the epidemiology of Staphylococcus aureus (reservoirs, transmission pathways, and risk factors) has resulted in excellent control of this major mastitis pathogen in many herds. The major breakthrough in controlling S. aureus came with the realization that it was primarily transmitted from cow to cow during the milking process. Milking time hygiene measures that decreased cow to cow transfer were largely responsible for decreasing new S. aureus intramammary infections (IMI). However, milking time hygiene alone was insufficient in controlling the disease. The addition of dry-cow therapy, and especially, culling the chronically infected were needed to achieve low levels of S. aureus IMI. The knowledge of the sources of S. aureus would suggest that total eradication is not currently possible, especially S. aureus produce virulence factors. Therefore, investigation in molecular biology level on S. aureus should be done to solve mastitis problems. The experiment to be done to show identification of coding gene of fibrinogen binding protein of Staphylococcus aureus. The first step of test was to prepare pure culture of Staphylococcus aureus. Milk samples were collected from mastitic cases at the afternoon milking time. Preparation of pure culture were confirmed by MS agar, hemolytic activity, catalase test and coagulase. The result showed that molecular size of coding gene of fibrinogen binding protein of Staphylococcus aureus were 1000 bp. The molecular weight of protein were 40 kD

    PENGGUNAAN POLYMORPHISM GEN PENYANDI KOAGULASE SEBAGAI PELACAK VARIABILITAS GENETIK STAPHYLOCOCCUS AUREUS

    Get PDF
    Mastitis adalah keradangan pada ambing dan umumnya berdampak paling jelek pada peternakan sapi perah yang terkait dengan masalah ekonomi dan produktivitas ternak. Penyakit tersebut tidak dapat diberantas tetapi dapat diturunkan angka kejadiannya dengan manajemen yang baik pada peternakan sapi perah tersebut. Mastitis menyebabkan kerugian ekonomi pada petani dengan beberapa jalan; hasil susu yang menurun, kualitas susu menjadi jelek atau terkontaminasi dengan antibiotika yang mengakibatkan produknya tidak dapat dijual, adanya biaya pengobatan, tingginya angka pengafkiran dan kadang-kadang mengakibatkan kematian. Susu yang diproses dalam industri juga merugi disebabkan oleh masalah kandungan antibiotika dalam susu yang dapat menurunkan kandungan kimiawi susu dan kualitas susu dari sapi perah penderita mastitis. Pemahaman tentang epidemiologi dari Staphylococcus aureus yang meliputi sumber penularan, alur penularan dan faktor resiko menghasilkan sistem pengendalian mastitis yang baik dengan agen penyakit Staphylococcus aureus di beberapa peternakan. Hal penting dari pengendalian Staphylococcus aureus adalah menyadari bahwa bakteri ini ditularkan dari sapi ke sapi selama proses pemerahan. Langkah higienis selama waktu pemerahan menurunkan perpindahan bakteri dari sapi ke sapi yang berdampak penurunan intramammary infection (IMI) yang baru. Tetapi hanya dengan sistem higienis pemerahan saja tidak cukup baik untuk pengendalian penyakit ini. Dengan tambahan pengobatan pada waktu kering dan khususnya pengafkiran bagi yang terinfeksi kronis diperlukan untuk menurunkan IMI oleh Staphylococcus aureus. Pengetahuan yang detail tentang bakteri Staphylococcus aureus akan memperoleh gambaran bahwa pemberantasan pada saat ini masih belum memungkinkan, khususnya adanya Staphylococcus aureus yang memproduksi beberapa faktor virulensi. Jadi investigasi dalam tingkat biologi molekuler harus dilakukan untuk pemecahan masalah mastitis. Pada penelitian ini digunakan 67 sampel susu dari sapi perah dari Surabaya dan sekitarnya yang diambil susunya untuk diisolasi dan identifikasi isolat Staphylococcus aureus. Dari sampel susu mastitis dilakukan identifikasi bakteri Staphylococcus aureus yang meliputi bentuk mikroskopis kokus bergerombol, sifat hemolisis tipe #946;, katalase (+), koagulase (+) dan Gram (+). Identifikasi variabilitas strain Staphylococcus aureus dengan mempergunakan pendekatan gen penyandi koagulase dengan metode PCR, sedangkan ekspresi gen koagulase dengan metode SDS-PAGE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Staphylococcus aureus yang didapat dari peternakan Surabaya dan sekitarnya adalah 16 isolat. Dengan pendekatan genotipik memakai berat molekul gen penyandi koagulase didapatkan 3 polimorfisme yaitu berat molekul 510, 600, dan 680 bp. Hasil ekspresi dari gen penyandi permukaan bakteri tersebut tidak ditemukan perbedaan yang berarti. Berpijak pada hasil analisis yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gen penyandi koagulase (coa) dapat menentukan adanya variabilitas genetik Staphylococcus aureus penyebab mastitis sapi perah di Surabaya dan sekitarnya. Karakterisasi ekspresi gen penyandi permukaan bakteri Staphylococcus aureus tidak dipengaruhi oleh faktor Iingkungan
    corecore