15 research outputs found

    PROFILE OF PROCALCITONIN LEVELS IN SEVERE–CRITICAL COVID-19 PATIENTS

    Get PDF
    The diagnostic and therapeutic modalities of COVID-19 are still being researched and developed. One of the diagnostic modalities in the treatment of COVID-19, especially in patients with severe and critical symptoms, is procalcitonin. Although procalcitonin is more commonly associated with bacterial infections, several studies have shown association between the severity of COVID-19 patients and procalcitonin levels, and serial measurement of procalcitonin levels may be useful in predicting prognosis. This report presents three cases of severe-critically ill COVID-19. All three patients were tested for procalcitonin serially. Survivors (patient I and II) showed relatively low procalcitonin levels. These patients were clinically responsive to conventional oxygen therapy modalities. Serial chest X-rays in both patients also did not show the progression of pneumonia. In non-survivor (patient III) procalcitonin level have shown high value before ICU treatment, and during ICU care showed an increasing trend. The increase was in line with the progression of pneumonia on chest X-ray, and the patient is also clinically unresponsive to oxygen therapy, requiring invasive mechanical ventilation. Procalcitonin examination is one of the modalities that can be used in predicting the prognosis and disease course of severe-critical COVID-19 patients. COVID-19 patients with low procalcitonin levels are associated with a better prognosis than patients with high procalcitonin levels

    Tatalaksana Syok Sepsis Akibat Community Acquired Pneumonia dengan Penyulit Acute Kidney Injury

    Get PDF
    Latar Belakang: Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi respons tubuh terhadap infeksi. Pneumonia  merupakan  penyebab  utama  lebih  dari  50%  angka  kejadian  sepsis  pada  pasien  di Intensive  Care  Unit (ICU). Isi: Laporan kasus ini membahas pasien laki-laki usia 36 tahun dengan penurunan kesadaran dan gelisah, sesak napas disertai tidak ada produksi urin sejak 1 hari sebelumnya. Dari pemeriksaan fisis, laboratorium dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan syok sepsis yang disebabkan penumonia komunitas, edema paru karena paru uremik dan cedera ginjal akut pada penyakit ginjal kronik akibat nefropati diabetik.Pada pasien dilakukan pemberian ventilasi mekanik, vasopressor, pemasangan monitor invasif, sedasi dan analgetik, antibiotik empirik spektrum luas dan dilakukan continuous renal replacement therapy (CRRT) selama 4 hari. Kesimpulan: Telah dilaporkan sebuah kasus keberhasilan dan keamanan penerapan CRRT pada pasien pneumoni komunitas dengan penyulit syok sepsis dan cedera ginjal akut di ICU. Terapi ini dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan pada pasien dengan masalah yang sama

    Excess mortality attributable to antimicrobial-resistant bacterial bloodstream infection at a tertiary-care hospital in Indonesia

    Get PDF
    The burden of antimicrobial-resistant (AMR) infections in low and middle-income countries (LMICs) is largely unknown. Here, we evaluate attributable mortality of AMR infections in Indonesia. We used routine databases of the microbiology laboratory and hospital admission at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital, a tertiary-care hospital in South Sulawesi from 2015 to 2018. Of 77,752 hospitalized patients, 8,341 (10.7%) had at least one blood culture taken. Among patients with bacteriologically confirmed bloodstream infections (BSI), the proportions of patients with AMR BSI were 78% (81/104) for third-generation cephalosporin-resistant (3GCR) Escherichia coli, 4% (4/104) for 3GCR plus carbapenem-resistant E. coli, 56% (96/171) for 3GCR Klebsiella pneumoniae, 25% (43/171) for 3GCR plus carbapenem-resistant K. pneumoniae, 51% (124/245) for methicillin-resistant Staphylococcus aureus, 48% (82/171) for carbapenem-resistant Acinetobacter spp., and 19% (13/68) for carbapenem-resistant Pseudomonas aeruginosa. Observed in-hospital mortality of patients with AMR BSI was 49.7% (220/443). Compared with patients with antimicrobial-susceptible BSI and adjusted for potential confounders, the excess mortality attributable to AMR BSI was -0.01 (95% CI: -15.4, 15.4) percentage points. Compared with patients without a BSI with a target pathogen and adjusted for potential confounders, the excess mortality attributable to AMR BSI was 29.7 (95%CI: 26.1, 33.2) percentage points. This suggests that if all the AMR BSI were replaced by no infection, 130 (95%CI: 114, 145) deaths among 443 patients with AMR BSI might have been prevented. In conclusion, the burden of AMR infections in Indonesian hospitals is likely high. Similar large-scale evaluations should be performed across LMICs to inform interventions to mitigate AMR-associated mortality

    Merokok menurut hukum positif dan hukum Islam (kajian terhadap pasal 13 tentang larangan merokok ditempat umum perda no. 2 tahun 2005 tentang pencermaran udara)

    No full text
    Merokok merupakan suatu kebiasaan tanpa tujuan positif bagi kesehatan, yang secara kolektif bersifat suatu proses pembakaran modal masyarakat secara masal, dan secara individu berwujud suatu pencemaran atau polusi udara yang padat dan terkonsentrasi, yang secara sadar langsung dihirup dan diserap oleh tubuh manusia yang menimbulkan cidera bagi tubuh itu sendiri. Kegiatan merokok sudah menjadi hal biasa di kalangan masyarakat dunia khususnya masyarakat indonesia. Pro dan kontra mengenai hukum merokok menyeruak ke publik setelah muncul tuntutan beberapa kelompok masyarakat yang meminta kejelasan hukum merokok. Sehingga mengenai boleh tidaknya merokok menimbulkan perdebatan dan beda pendapat (khilafiah) para ulama khalaf (kontemporer), ada yang membolehkannya, memakruhkannya dan ada pula yang mengharamkannya. Namun kebanyakan para ulama memakruhkannya (yakni bila dikerjakan tidak berdosa, tetapi jika ditinggalkan mendapat pahala). Jenis penelitian ini adalah pustaka (library research) Yaitu kajian merujuk pada data-data yang ada pada referensi berupa buku-buku dan kitab-kitab yang terkait dengan topik penelitian. Dalam kajian pustaka ini, penyusun berupaya mengumpulkan data mengenai hukum haram merokok dalam persepektif hukum Islam. Di samping itu, penyusun menggunakan pula sumber-sumber lain yang berkaitan dengan sumber-sumber primer dan ditempatkan sebagai sumber sekunder. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa hukum merokok bersifat kondisional. Seseorang bisa menentukan hukum merokok dari situasi dan kondisi yang dialaminya. Bila merokok dapat merusak dirinya maka itu di haramkan.dan bila merokok bisa menyemangati seseorang bila menghisapnya, maka diperbolehkan selama tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Mencegah lebih baik dari pada mengobati

    Management of Septic Shock with Complications of Acute Renal Failure in Patients with Secondary Peritonitis

    Get PDF
    Peritonitis akibat infeksi intraabdominal, khususnya peritonitis sekunder merupakan salah satu penyebab syok sepsis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perkembangan dalam pemahaman fisiologi, pemantauan, dan tunjangan sistem kardiopulmonal, serta penggunaan obat-obat baru secara rasional membuat mortalitas stabil pada kisaran 30%. Kasus ini mengenai seorang pasien perempuan usia 67 tahun masuk rumah sakit dengan diagnosis peritonitis generalisata karena suspek perforasi Hollow viscous. Setelah menjalani operasi laparatomi untuk source control, pasien dirawat di ICU selama 5 hari. Selama perawatan pasien mengalami edema paru, sepsis, anemia, hipokalemia, hipoalbuminemia, serta acute kidney injury (AKI). Pada pasien dilakukan tindakan ventilasi mekanik selama 4 hari yang diiringi dengan pemantauan analisis gas darah arteri dan furosemid untuk tata laksana edema paru dan fluid overload. Resusitasi dan pemeliharaan cairan sambil memantau hemodinamik konvensional dan melalui ICON, balance kumulatif, fluid overload, tekanan vena sentral, serta urine output. Terapi antimikrob diberikan berdasar atas pedoman terapi infeksi intraabdominal dan antibiogram ICU rumah sakit. Kondisi perfusi dipantau dengan kadar laktat dan SCVO2. Respons antibiotik dan perbaikan sepsis dipantau dengan pemeriksaan prokalsitonin dan leukosit. Perbaikan AKI dipantau dengan produksi urine serta kadar ureum dan kreatinin. Penatalaksanaan peritonitis sekunder dengan komplikasi sepsis dengan penyulit AKI telah berhasil dilakukan di ICU. Peritonitis sekunder memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi, namun dengan source control yang adekuat dan manajemen di ICU yang agresif maka diperoleh hasil yang baik seperti pada kasus ini.Management of Septic Shock with Acute Renal Failure Complications in Secondary Peritonitis PatientsPeritonitis due to intraabdominal infection, especially secondary peritonitis is one of the major causes of septic shock with high morbidity and mortality. Developments in understanding the physiology, monitoring and supportive therapy for cardiopulmonary system and rational use of new drugs, make mortality stable at around 30%. A 67-year-old female patient was hospitalized with generalized peritonitis due to suspected Hollow Viscous perforation. After undergoing laparotomy for source control, the patient was treated in the ICU for five days. During treatment, the patient experiences pulmonary edema, sepsis, anemia, hypokalaemia, and hypoalbuminemia, and acute kidney injury (AKI). The patient received mechanical ventilation intervention for four days accompanied by monitoring of arterial blood gas analysis and furosemide administration for pulmonary edema and fluid overload management. Fluid resuscitation and maintenance are monitored by conventional hemodynamic monitoring and through ICON, and by cumulative balance calculation, fluid overload calculation, central venous pressure, and urine output. Antimicrobial therapy is given based on guidelines for intraabdominal infection therapy and antibiogram at the hospital ICU. The condition of perfusion is monitored by examination of lactate and SCVO2 levels. Antibiotic response and improvement in sepsis are monitored by examination of procalcitonin and leukocytes. AKI improvement is monitored by urine production, and urea and creatinine levels. Management of secondary peritonitis with complications of sepsis and AKI has been successfully carried out in the ICU. Secondary peritonitis has a fairly high mortality rate, but with adequate source control and aggressive management in the ICU, good results are obtained as in this case.Peritonitis due to intraabdominal infection, especially secondary peritonitis is one of the major causes of septic shock with high morbidity and mortality. Developments in understanding the physiology, monitoring and supportive therapy for cardiopulmonary system, as well as rational use of new drugs, make mortality stable at around 30%. A 67-year-old female patient was hospitalized with generalized peritonitis due to suspected Hollow Viscous perforation. After undergoing laparotomy for source control, the patient was treated in the ICU for 5 days. During treatment, the patient experiences pulmonary edema, sepsis, anemia, hypokalaemia, and hypoalbuminemia, as well as acute kidney injury (AKI). Patients received mechanical ventilation intervention for 4 days accompanied by monitoring of arterial blood gas analysis and furosemide administration for pulmonary edema and fluid overload management. Fluid resuscitation and maintenance monitored by conventional hemodynamics monitoring and through ICON, and by cumullative balance calculation, fluid overload calculation, and measured of central venous pressure, and urine output. Antimicrobial therapy is given based on guidelines for intraabdominal infection therapy and antibiogram at the hospital ICU. The condition of perfusion is monitored by examination of lactate and SCVO2 levels. Antibiotic response and improvement in sepsis are monitored by examination of procalcitonin and leukocytes. AKI improvement is monitored by urine production, as well as urea and creatinine levels. Management of secondary peritonitis with complications of sepsis and AKI has been successfully carried out in the ICU. Secondary peritonitis has a fairly high mortality rate, but with adequate source control and aggressive management in the ICU, good results are obtained as in this case

    Pengaruh Remifentanil Vs Fentanyl Terhadap Hemodinamik dan Kadar Kortisol Pada Pasien Dengan Ventilasi Mekanis Di Ruang Rawat Intensif

    Get PDF
    Nyeri pascaventilasi mekanik membutuhkan analgosedasi untuk tata laksana nyeri, namun belum ada rekomendasi pasti penggunaan opioid dan perubahan fisiologis spesifik berdampak langsung pada farmakologi obat yang menyebabkan perbedaan respons antarpasien. Penelitian eksperimental secara double blind randomized control trial (RCT) pada 32 pasien dengan status fisik ASA I–II, usia 18–70 tahun, terventilator dengan durasi 24 jam pascaoperasi tiroid di Intensive Care Unit (ICU) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan Juni–Agustus 2023. Pasien dibagi dalam kelompok analgosedasia remifentanil dan kelompok analgosedasia Fentanil. Respons hemodinamik, dan kadar kortisol dicatat dan dilakukan uji statistik dengan student t-test dan chi-kuadrat. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kelompok remifentanil menunjukkan perubahan tekanan darah sistole, diastole, rerata tekanan arteri serta denyut jantung yang lebih stabil daripada fentanil. Penggunaan fentanil menunjukkan penurunan kadar kortisol dalam 24 jam yang lebih tinggi daripada penggunaan remifentanil (p<0,05), tetapi kadar kortisol serum dalam 24 jam lebih rendah pada kelompok remifentanil dibanding dengan kelompok fentanil. Simpulan, remifentanil lebih mempertahankan stabilitas hemodinamik dan memberikan kadar kortisol serum yang lebih rendah pada pasien yang terventilasi mekanik. Nyeri pasca ventilasi mekanik membutuhkan analgosedasi untuk tatalaksana nyeri, namun belum ada rekomendasi pasti tentang penggunaan opioid dan perubahan fisiologis spesifik berdampak langsung pada farmakologi obat yang menyebabkan perbedaan respons antar pasien. Penelitian eksperimental secara double blind randomized control trial (RCT) pada 32 pasien dengan status fisik ASA I–II, usia 18–70 tahun, terventilator dengan durasi 24 jam post operasi tyroid di Intensive Care Unit (ICU) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan Juni sampai Agustus 2023. Pasien dibagi dalam kelompok analgosedasia Remifentanil dan kelompok analgosedasia Fentanyl. Respon hemodinamik, dan kadar kortisol dicatat dan dilakukan uji statistik dengan student t-test dan chi-kuadrat. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kelompok Remifentanil menunjukkan perubahan tekanan darah sistol, diastol, rerata tekanan arteri, denyut jantung, frekuensi pernapasan dan suhu tubuh yang lebih stabil daripada Fentanyl. Penggunaan Fentanyl menunjukkan penurunan kadar kortisol yang lebih tinggi daripada penggunaan Remifentanil (p < 0,05).. Simpulan bahwa Remifentanil lebih mempertahankan stabilitas hemodinamik dan memberikan kadar kortisol serum yang lebih rendah pada pasien yang terventilasi mekanik

    Perbandingan Tiga Dosis Gabapentin Oral terhadap Nyeri Pascabedah, Sedasi, dan Mual-Muntah pada Histerektomi Total dengan Anestesi Spinal

    No full text
    Latar Belakang: Gabapentin dapat mencegah nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik, inflamasi akut dan mengurangi nyeri pasca operasi. Tujuan: penelitian ini membandingkan tiga dosis gabapentin oral pada operasi histerektomi total dengan anestesi spinal untuk efeknya pada sedasi, mual-muntah, dan nyeri pascabedah Subjek dan Metode: Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal. Sampel terbagi dalam kelompok G600: gabapentin 600 mg, kelompok G750 gabapentin 750 mg dan kelompok G900: gabapentin 900 mg dengan jumlah sampel masing-masing 14 orang. Data dianalisis menggunakan uji statistik uji Mann Whitney U. Hasil: Perbandingan analgesik tambahan pascabedah kelompok G600 membutuhkan lebih banyak analgesik tambahan dibanding kelompok G750 (p = 0,021) dan begitu juga untuk kelompok G750 dibanding kelompok G900(p = 0,004). Perbandingan kelompok G600 dan G750 untuk skor sedasi dan agitasi Richmond berbeda bermakna pada jam ke-3,6, dan 9 (nilai p 0,004; 0,007; dan 0,03) dan kelompok G600 dan G900 juga berbeda bermakna pada jam ke-3,6, dan 9 (p = 0,007). Untuk post operative nausea and vomiting (PONV) terdapat perbedaan bermakna antara kelompok G600 dan G900 dan juga antara kelompok G750 dan G900 (p = 0,043). Simpulan: Pemberian gabapentin oral 900 mg memberikan total rescue analgetik paling sedikit dibanding dengan pemberian gabapentin 600 mg dan 750 mg. Ketiga kelompok gabapentin mengalami efek samping sedasi ringan. Kejadian PONV paling rendah pada kelompok gabapentin 900 mg.   Comparison Between Three Doses of Oral Gabapentin Against Postoperative Pain, Sedation, and Nausea-Vomiting in Total Hysterectomy with Spinal Anesthesia Abstract Background: Gabapentin can prevent nociceptive pain, neuropathic pain, acute inflammation and reduce postoperative pain Objective: this study aimed to compare three doses of oral gabapentin in total hysterectomy with spinal anesthesia for its effect on sedation, postoperative nausea and vomiting, and post operative pain Subject and Method: This study was a single blind randomized clinical trial. Samples were divided into groups of G600: gabapentin 600 mg, group G750 gabapentin 750 mg and group G900: gabapentin 900 mg with the number of samples was 14 people each. Data were analyzed using statistical analysis using the Mann Whitney U test. Results: Comparison of postoperative adjunctive analgesics in the G600 group required more additional analgesics than the G750 group (p = 0.021) and likewise for the G750 group compared to the G900 group (p = 0.004). Comparison of the G600 and G750 groups for sedation and agitation scores for Richmond was significantly different at the 3.6 and 9 hours (p value 0.004; 0.007; and 0.03) and the G600 and G900 groups were also significantly different at the 3.6 hour, and 9 (p = 0.007). For post operative nausea and vomiting (PONV), there were significant differences between the G600 and G900 groups and also between the G750 and G900 groups (p = 0.043). Conclusion: Gabapentin oral 900 mg with the least total analgesic rescue compared to gabapentin 600 mg and 750 mg. All three gabapentin groups experienced mild side effects of sedation. The lowest incidence of PONV was in the gabapentin 900 mg grou

    Komplikasi Berat Pemasangan Central Venous Catheter: Serial Kasus

    Get PDF
    Kateter vena sentral/central venous catheter (CVC) diindikasikan untuk melakukan pemantauan terhadap tekanan vena sentral/central venous pressure (CVP), pemberian cairan untuk menangani hipovolemia dan syok, nutrisi parenteral dan untuk mendapatkan akses vena bagi pasien yang akses vena perifernya sulit didapatkan. Salah satu komplikasi pemasangan CVC yang paling umum adalah penusukan arteri yang dapat menyebabkan kondisi yang membahayakan jiwa. Laporan kasus ini menunjukkan keberhasilan penanganan syok hemoragik pascapemasangan CVC melalui resusitasi yang adekuat dan pembedahan endovaskular.  Kateter vena sentral (central venous catheter [CVC]) diindikasikan untuk melakukan pemantauan terhadap tekanan vena sentral (central venous pressure [CVP]), pemberian cairan untuk menangani hipovolemia dan syok, nutrisi parenteral dan untuk mendapatkan akses vena bagi pasien yang akses vena perifernya sulit untuk didapatkan. Salah satu komplikasi pemasangan CVC yang paling umum adalah penusukan arteri yang dapat menyebabkan kondisi yang membahayakan jiwa. Laporan kasus ini menunjukkan keberhasilan penanganan syok hemoragik pasca pemasangan CVC melalui resusitasi yang adekuat dan pembedahan endovaskular
    corecore