9 research outputs found

    A DESCRIPTION OF PERINATAL AS A RISK FACTOR OF CHILDREN’S SENSORINEURAL HEARING DISORDER IN OTOLARYNGOLOGY (ENT) POLYCLINIC OF ABDUL WAHAB HOSPITAL SJAHRANIE IN SAMARINDA

    Get PDF
    Sensorineural Hearing Disorder in children could give a significant impact on everyday life and would cause loneliness, isolation, and frustration on children. Perinatal risk factors are important to note because they could be detected from newborn and could be an indication for the baby to do the screening. The purpose of hearing screening in newborns is to find hearing loss as early as possible so that habilitation can be done immediately. The purpose of this study was to describe perinatal period as risk factors for Sensorineural Hearing Disorder in children. The subjects of this study were children who has done BERA examinations at the Otolaryngology (ENT) Polyclinic of Abdul Wahab Sjahranie Hospital in Samarinda from January 2017 – June 2019. The design of this study was observational descriptive with cross-sectional method. There were 65 children as sample which consisted of 39 (60%) boys and 26 (40%) girls. BERA examination age that was found in this study has not reached the optimal standard if it is referring to the JCIH standard with the most age group is 3 years old. 37 (56.9%) children suffered from Sensorineural Hearing Disorder. 27 (41.5%) children had perinatal risk factors. The most common risk factors was jaundice which the researchers found on 11 (16.9%) children. 20 (30.8%) children who have perinatal risk factors and Sensorineural Hearing Disorder with the most common risk factor is LBW are as many as 10 (15.4%). &nbsp

    UJI AKTIVITAS TRAKEOSPASMOLITIK EKSTRAK ETANOL Centella asiatica (L.) URB. PADA ORGAN TERPISAH TRAKEA MARMUT UNTUK MELIHAT EFEK ANTIASMA

    Get PDF
    Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dengan terjadinya hiperesponsif saluran nafas dan penyempitan saluran nafas secara reversibel. Asma hingga kini masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Pemberian obat-obatan anti asma merupakan penatalaksanaan penyakit tersebut. Namun demikian terdapat masalah efek samping obat dan masalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian obat tersebut, apalagi asma merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Dengan demikian maka perlu pengembangan obat antiasma berbasis tumbuhan obat dengan biaya yang lebih terjangkau dan efek samping yang lebih sedikit. Penelitian ini dilakukan untuk menguji potensi ekstrak etanol Centella asiatica (L.) Urb. yang secara tradisional digunakan etnis Dayak sebagai obat batuk. Penelitian ini dilakukan untuk melihat aktivitas trakeospasmolitik ekstrak etanol C. asiatica pada organ terpisah trakea marmut untuk melihat efek antiasma. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak C. asiatica memiliki aktivitas trakeospasmolitik yang signifikan jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Meskipun nilai E maks C. asiatica lebih rendah daripada aminofilin, namun nilai EC50 tidak jauh berbeda dengan aminofilin sebagai kontrol positif. Kesimpulan penelitian ini adalah ekstrak etanol C. asiatica memiliki efek antiasma berdasarkan aktivitas trakeospasmolitiknya.   Kata kunci: Centella asiatica, spasmolitik, organ terpisah trake

    Peningkatan Imunoglobulin G Pada Mencit (Mus Musculus) Setelah Imunisasi Antigen Protein Solubel (SPTAg) Toxoplasma Gondii Dengan Atau Tanpa Ajuvan Toksin Kolera (CT) Secara Intranasal

    Get PDF
    Respon imun humoral sistemik terhadap toksoplasmosis yang bertahan lama adalah imunoglobulin G. lmunoglobulin ini dapat dideteksi setelah infeksi parasit atau imunisasi dengan vaksin hidup maupun subunit antigen parasit. Salah satu kandidat dari subunit antigen Toxoplasma gondii adalah Antigen Protein Solubel (SPTAg). Penggunaan SPTAg dimaksudkan untuk menginduksi respon imun, dengan aplikasi intranasal yang merupakan salah satu rute imunisasi yang efektif untuk menginduksi respon imun. Ajuvan Toksin Kolera (CT) digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan sistem imun mukosa untuk merespon SPTAg yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran respon imun lgG dengan imunisasi SPTAg T.gondii dengan atau tanpa ajuvan CT secara intranasal dari serum hewan coba. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : (1) membuktikan terdapatnya perbedaan gambaran respon imun lgG setelah imunisasi SPTAg T. gondii yang diaplikasikan secara intranasal dengan atau tanpa menggunakan ajuvan CT, (2) membuktikan terdapatnya pengaruh waktu terhadap gambaran respon imun igG mencit setelah imunisasi SPTAg T. gondii yang diaplikasikan secara intranasal dengan atau tanpa menggunakan ajuvan CT, dan (3) membuktikan terdapatnya interaksi antara waktu imunisasi dan perlakuan pada respon imun lgG mencit setelah imunisasi SPTAg T. gondii yang diaplikasikan secara intranasal dengan atau tanpa menggunakan ajuvan CT

    Peningkatan Imunoglobulin G pada Mencit (Mus Musculus) setelah Imunisasi Antigen Protein Solubel (SPTAg) Toxoplasma Gondii dengan atau Tanpa Ajuvan Toksin Kolera (CT) secara Intranasal

    Get PDF
    Respon imun humoral sistemik terhadap toksoplasmosis yang bertahan lama adalah imunoglobulin G. Imunoglobulin ini dapat dideteksi setelah infeksi parasit atau imunisasi dengan vaksin hidup maupun subunit antigen parasit. Salah satu kandidat dari subunit antigen Toxoplasma gondii adalah Antigen Protein Solubel (SPTAg). Penggunaan SPTAg dimaksudkan untuk menginduksi respon imun, dengan aplikasi intranasal yang merupakan salah satu rute imunisasi yang efektif untuk menginduksi respon imun. Ajuvan Toksin Kolera (CT) digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan sistem imun mukosa untuk merespon SPTAg yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran respon imun IgG dengan imunisasi SPTAg T.gondii dengan atau tanpa ajuvan CT secara intranasal dari serum hewan coba. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : (1) membuktikan terdapatnya perbedaan gambaran respon imun IgG setelah imunisasi SPTAg T. gondii yang diaplikasikan secara intranasal dengan atau tanpa menggunakan ajuvan CT, (2) membuktikan terdapatnya pengaruh waktu terhadap gambaran respon imun IgG mencit setelah imunisasi SPTAg T. gondii yang diaplikasikan secara intranasal dengan atau tanpa menggunakan ajuvan CT, dan (3) membuktikan terdapatnya interaksi antara waktu imunisasi dan periakuan pada respon imun IgG mencit setelah imunisasi SPTAg T. gondii yang diaplikasikan secara intranasal dengan atau tanpa menggunakan ajuvan CT. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan rancangan Faktorial Sama Subyek, menggunakan 60 ekor mencit (Mus musculus) BALB/c betina, umur 6 —8 minggu dibagi dalam 3 kelompok perlakuan yaitu kelompok imunisasi SPTAg, kelompok imunisasi SPTAg dengan ajuvan CT serta kelompok kontrol negatif yang diberikan PBS. Imunisasi 1 kali diberikan pada minggu pertama. Serum diambil dart pleksus orbitalis hewan coba 1 minggu setelah imunisasi dan dilakukan selama 4 minggu berturut-turut. Respon imun IgG ditentukan dart nilai Optical Density (OD) yang diperoleh dari pemeriksaan ELISA indirect. Data hasil penelitian kemudian dianalisis dengan uji Anova Faktorial Sama Subyek menggunakan program SPSS 10.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa imunisasi intranasal SPTAg tanpa ajuvan CT dapat meningkatkan respon imun IgG Iebih tinggi daripada imunisasi intranasal SPTAg dengan ajuvan CT baik pada minggu I, II, III dan IV. Pada analisis statistik, pertama, terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,017 (p0,05) pada respon imun IgG pada imunisasi SPTAg intranasal baik dengan ajuvan CT ataupun tanpa ajuvan CT; ketiga, tidak terdapat efek interaksi waktu dan perlakuan yang bermakna dengan nilai p=0,882 (p>0,05) balk pada imunisasi SPTAg intranasal baik dengan ajuvan CT ataupun tanpa ajuvan CT. Dengan demikian sebagai kesimpulan pada penelitian ini, imunisasi SPTAg intranasal dengan atau tanpa ajuvan CT dapat menginduksi peningkatan respon imun IgG. Sedangkan titer IgG pada imunisasi SPTAg dan CT tidak meningkat kemungkinan karena waktu perlakuan yang pendek

    Ketulian pada Sindroma Rubella Kongenital (Laporan Dua Kasus)

    No full text
    Pendengaran memainkan peran penting dalam perkembangan manusia. Sistetn pendengaran perifer sepenuhnya terbentuk saat 'lahir, sedangkan sistem pendengaran pusat membutuhkan dua tahun untuk sempuma. Identifikasi awal dan habilitasi dalam kasus-kasus gangguan pendengaran adalah hal yang terpenting untuk menunjang perkembangan bicara, yang disebut juga sebagai periode kritis dan periode optirnal. Selain itu juga penting dalam perkembangan fungsi kognitifpada anak.' Trrli sensonneural adalah jenis gangguan pendengaran Yang terletak pada koklea, saraf vestibulokoklear (N.VlII), nukleus koklea, kompleks olivari superior, lateral lemnikus, sampai dengan otak. Tuli sensorineural dapat terjadi akuisita maupun kongenital. Tuli kongenital sering dikaitkan dengan infeksi kehamilan dengan virus seperti rubella atau sitomegalovirus (CMV). Sebuah studi terbaru di USA menyatakan bahwa lebih dad 40o/, tuti kongenital disebabkan virus dan perlu habilitmi. Virus-virus tersebut umumnya masuk melalui inleksi intrauterin.2 Rubella adalah salah satu virus yang dapat menYebabkan tuli kongenital. Penelitian di Amerika Serikat TOY| wanita dewasa terinfeksi virus rubella. Apabila terjadi infeksi rubella selama kehamilan terutama selama trimester pertama, maka virus dapat menginfeksi jarri:r dan menyebabkan sindroma rubella kongenital (SRK), aborsi, dan cacat lahir berat. Sebanyak 20%o rJari bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi dalam trimester peftama kehamilan dapat berisiko terjadi SRK. SRK nrerupakan kumpulan beberapa gejala cacat bawaan atau trias SRK yang paling umum adalah tuli sensorineural, katarak, dan kelainan jantung.l Atas dasar tersebut di atas mak: diperlukan telaah pada laporan kasus ketulian pada SRK

    HUBUNGAN NILAI CT PADA PEMERIKSAAN REAL-TIME RT-PCR SARS-COV-2 DENGAN GEJALA KLINIS

    No full text
    Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pertama kali muncul di Wuhan, Cina pada akhir Desember 2019 dan menyebar ke hampir seluruh dunia. Indonesia termasuk negara dengan kasus terkonfirmasi COVID-19 terbanyak di Asia. Real-time RT-PCR merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan oleh WHO untuk mendeteksi virus penyebab COVID-19. Real-time RT-PCR memberikan gambaran nilai Ct atau Cycle Treshold yang diduga berhubungan dengan manifestasi klinis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara nilai Ct pada pemeriksaan Real-time RT-PCR SARS-CoV-2 dengan gejala klinis. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional. Sampel penelitian ini adalah semua pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19 melalui pemeriksaan Real-Time RT-PCR SARS-CoV-2. Penelitian menggunakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medik di Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman dan RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pada bulan Maret-Mei 2021. Responden berjumlah 442 pasien yang berusia 8-87 tahun. Jumlah responden pria 60.9% dan wanita 39.1%. Dari hasil uji beda Mann Whitney didapatkan terdapat perbedaan nilai Ct pada pemeriksaan Real-Time RT-PCR dengan gejala asimtomatik, ringan, sedang dan berat-kritis dengan p value 0.000. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai Ct pada pemeriksaan Real-Time RT-PCR SARS-CoV-2 dengan gejala klini

    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asfiksia Neonatorum: Suatu Kajian Literatur: Factors Affecting Asphyxia Neonatorum: A Literature Review

    No full text
    Asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai kegagalan memulai dan mempertahankan pernafasan pada neonatus. Penyebab kematian neonatus terbanyak kedua di Indonesia adalah asfiksia neonatorum. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian asfiksia neonatorum dan pembagiannya. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kepustakaan atau kajian literatur. Pencarian literatur telah dilakukan pada minggu kedua dan ketiga bulan Desember tahun 2020. Literatur yang digunakan adalah jurnal dan buku sebanyak minimal 15 judul yang diterbitkan dalam 10 tahun terakhir. Hasil penelitian menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi asfiksia dapat dibagi menjadi faktor resiko antepartum dan faktor resiko intrapartum. Faktor resiko antepartum antara lain preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, dan perdarahan. Faktor resiko intrapartum antara lain prematuritas, sindrom aspirasi mekonium, dan presentasi bokong

    Analysis of Age, Gender and H Analysis of Age, Gender and Hearing Loss in Early Stage Drug-Resistant TB Patients at Abdul Wahab Sjahranie Hospital Samarinda

    No full text
    ABSTRACT Hearing loss is one of the side effects of using kanamycin. Hearing loss will reduce the ability to receive information and verbal communication which will interfere with daily activities. This study aims to determine the relationship between age, sex on hearing loss and hearing loss in patients with drug-resistant TB during kanamycin treatment. The design of this study was cross sectional using purposive sampling. The number of samples that met the inclusion and exclusion criteria was 12 patients. The results show that hearing loss is not related to age (p = 0.293), sex (p = 1,000), and hearing loss (p = 0.182). Based on the results of this study it can be concluded that there is no relationship between age, sex on hearing loss and hearing loss during kanamycin administration. Keywords: Hearing Loss, Age, Se

    UJI AKTIVITAS TRAKEOSPASMOLITIK EKSTRAK ETANOL Centella asiatica (L.) URB. PADA ORGAN TERPISAH TRAKEA MARMUT UNTUK MELIHAT EFEK ANTIASMA

    Get PDF
    Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dengan terjadinya hiperesponsif saluran nafas dan penyempitan saluran nafas secara reversibel. Asma hingga kini masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Pemberian obat-obatan anti asma merupakan penatalaksanaan penyakit tersebut. Namun demikian terdapat masalah efek samping obat dan masalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian obat tersebut, apalagi asma merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Dengan demikian maka perlu pengembangan obat antiasma berbasis tumbuhan obat dengan biaya yang lebih terjangkau dan efek samping yang lebih sedikit. Penelitian ini dilakukan untuk menguji potensi ekstrak etanol Centella asiatica (L.) Urb. yang secara tradisional digunakan etnis Dayak sebagai obat batuk. Penelitian ini dilakukan untuk melihat aktivitas trakeospasmolitik ekstrak etanol C. asiatica pada organ terpisah trakea marmut untuk melihat efek antiasma. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak C. asiatica memiliki aktivitas trakeospasmolitik yang signifikan jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Meskipun nilai E maks C. asiatica lebih rendah daripada aminofilin, namun nilai EC50 tidak jauh berbeda dengan aminofilin sebagai kontrol positif. Kesimpulan penelitian ini adalah ekstrak etanol C. asiatica memiliki efek antiasma berdasarkan aktivitas trakeospasmolitiknya.   Kata kunci: Centella asiatica, spasmolitik, organ terpisah trake
    corecore