6 research outputs found

    EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERAN DAN TUGAS TIM MANGUNI DAN TIM BARACUDA DALAM PENEGAKAN HUKUM

    Get PDF
    Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas  tim Manguni dan Barracuda dalam penegakan hukum di Sulawesi Utara dan faktor  yang mendukung dan menghambat Peran tim manguni dan tim Barracuda dalam penegakan hukum. Dengan menggunakan metode penelitian bersifat sosio-yuridis disimpulkan: 1. Tim Manguni dan Tim Baraccuda di Provinsi Sulawesi Utara telah melaksanakan tugas sesuai peran yang diamanatkan kepada kedua tim ini namun belum sepenuhnya efektif dan masih terdapat hambatan dan tantangan yang menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan perannya dalam penegakan hukum. 2. Faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan peran tim Manguni dan Barraccuda dalam penegakan hukum adalah memadainya aturan hukum, sarana dan prasarana serta mekanisme kerja dari tim Manguni dan akan mencapai titik optimal apabila seluruh unsur sistem hukum dalam pembentukan Tim manguni diwujudkan secara bersama-sama yakni pengaturan yang jelas, aparat penegak hukum yang handal melalui pembentukan perangkat hukum yang kuat, pengadaan sarana dan prasarana yang memadai, dan mekanisme kerja yang jelas serta didukung oleh budaya hukum masyarakat. Kata kunci: Efektivitas, peran dan tugas, Tim Manguni dan Tim Baracuda, penegakan hukum

    IMPLIKASI HUKUM PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS WILAYAH LAUT ANTARA INDONESIA (PROVINSI SULAWESI UTARA) DAN FILIPINA

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penetapan dan penegasan secara yuridis kawasan pulau-pulau terluar di Indonesia terutama di kawasan Provinsi Sulawesi Utara yang berbatasan dengan wilayah negara Filipina. Penetapan dan penegasan batas wilayah dilakukan sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Internasional No.102 tertanggal 17 Desember 2002 dalam sengketa kedaulatan wilayah Pulau Sipadan dan Ligitan yang kini menjadi milik kedaulatan wilayah Malaysia.  Konsekuensi lainnya yakni  sebagai implementasi dari Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Penelitian ini menggunakan analisis yuridis normatif.  Dalam hal ini menganalisis relevansi peraturan perundang-undangan, konvensi hukum internasional, putusan Mahkamah Internasional serta sumber hukum lainnya yang disinergikan dengan kondisi masyarakat di kawasan perbatasan. Penelitian ini  dilaksanakan dengan mengidentifikasi peraturan-perundang-undangan yang terkait dengan kebijakan regulasi yang diberlakukan di kawasan. Selanjutnya analisis pelaksanaan penetapan dan penegakan secara yuridis dengan pendekatan peraturan perundang-undangan.Key words : Implikasi hukum, penetapan  dan penegasan batas wilayah laut.  PENDAHULUAN A.   Latar Belakang PenelitianKegagalan negara Indonesia mendapatkan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan sebagaimana ditegaskan di dalam putusan Mahkamah Internasional No. 102 Tertanggal 17 Desember 2002, berakibat pada penetapan dan penegasan kembali batas-batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penetapan dan penegasan kembali batas-batas wilayah NKRI harus dilakukan mengingat dari 67 pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, 10 pulau diantaranya memerlukan perhatian khusus, karena terletak di perbatasan terluar.  Kesepuluh pulau tersebut antara lain pulau Marore dan Pulau Miangas yang terletak di kawasan Provinsi Sulawesi Utara, yang berbatasan langsung dengan wilayah negara Filipina.(https://docs.google.com/Makalah).Perhatian khusus tersebut seperti peninjauan kembali konstitusi negara atau peraturan perundang-undangan ataupun regulasi terkait dengan batas-batas wilayah negara.  Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara menekankan bahwa pengaturan wilayah negara dilakukan untuk memberikan keapastian hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara

    IbM TENTANG SOSIALISASI DAN PENYULUHAN SADAR HUKUM DI KELURAHAN KOYA KECAMATAN TONDANO SELATAN KABUPATEN MINAHASA

    Get PDF
    Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kesadaran hukum masyarakat yang ada di Kelurahan Koya Kecamatan Tondano Selatan Kabupaten Minahasa.  Hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa: 1. Setelah tim pelaksana mengadakan evaluasi dan monitoring, sampai pada tahap aparat dan masyarakat desa koya Kecamatan Tondano Selatan Kabupaten Minahasa secara signifikan terjadi perubahan. Aparat terlihat semakin meningkatan pelayanan prima kepada masyarakat dan setiap masalah yang terjadi dimasyarakat sudah mulai di selesaikan melalui jalur hukum ataupun secara kekeluargaan. 2. Saran dari tim pelaksana IbM ini adalah, jika bisa lebih seringnya diadakan pelatihan, penyuluhan serta pendampingan baik dari peneliti, kepolisian ataupun pihak-pihak yang berkompeten dengan masalah kesadaran hukum di desa koya Kecamatan Tondano Selatan Kabupaten Minahasa. Berhubung waktu dan dana maka tim pelaksana belum bisa mengadakan pengawasan dan pendampingan secara jangka panjang.Kata kunci: Sadar huku

    TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUTAN UDARA NIAGA MENURUT KONVENSI MONTREAL 1999 DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

    Get PDF
    Konvensi Montreal 1999 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah dua peraturan hukum yang mengatur tanggung jawab hukum pengangkutan udara niaga. Konvensi Montreal 1999 adalah sebuah perjanjian internasional yang membahas tanggung jawab maskapai penerbangan terkait dengan kerugian yang timbul akibat kecelakaan atau insiden di udara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah undang-undang nasional yang mengatur berbagai aspek pengangkutan udara, termasuk tanggung jawab hukum maskapai penerbangan dalam melakukan operasi penerbangan niaga. Konvensi Montreal 1999 adalah sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk mengatur tanggung jawab maskapai penerbangan dalam hal kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan barang, serta kerugian pribadi atau kematian penumpang yang terjadi selama penerbangan. Pengaturan hukum pengangkutan udara niaga menurut Konvensi Montreal 1999 didasarkan pada prinsip tanggung jawab maskapai penerbangan terkait dengan kerugian yang timbul akibat kecelakaan atau insiden di udara. Kata Kunci : Konvensi Montreal 1999, Pengangkutan udara niaga, Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

    TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUTAN UDARA NIAGA MENURUT KONVENSI MONTREAL 1999 DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

    Get PDF
    Konvensi Montreal 1999 dan Undang-Undamg No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, pada prinsipnya kedua aturan ini berkaitan erat dalam hal tanggung jawab hukum angkutan udara niaga dan bukan niaga. Konvensi Montreal 1999 mengatur tatanan hukum secara internasional mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap pengguna jasa penerbangan yang mengalami kerugian yang ditimbulkan oleh pengangkut. Baik itu pengangkutan penumpang, bagasi dan kargo dalam penerbangan internasional dengan pesawat udara serta ganti rugi yang harus dibayarkan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur hak, kewajiban, serta tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga akibat dari penyelenggaraan penerbangan. Konvensi Montreal 1999 adalah sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk mengatur tanggung jawab maskapai penerbangan dalam hal kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan barang, serta kerugian pribadi atau kematian penumpang yang terjadi selama penerbangan. Pengaturan hukum pengangkutan udara niaga menurut Konvensi Montreal 1999 didasarkan pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dimana pengangkut bukan lagi dianggap bertanggung jawab tetapi pengangkut selalu harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban tanpa ada kemungkinan membebaskan diri kecuali korban juga turut bersalah.   Kata Kunci: Konvensi Montreal 1999; Tanggung jawab angkutan udara niaga; Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

    PERLINDUNGAN HUKUM PENGUNGSI DI INDONESIA PASCA PERATURAN PRESIDEN NO.125 TAHUN 2016

    Get PDF
    Perlindungan pengungsi terdapat dalam konvensi Jenewa 1951 dan protokol 1967 dan yang menjadi kewenangan dari UNHCR “United Nation High Commisionerfor Refugees” atau Komisioner tinggi perserikatan bangsa-bangsa dibidang pengungsi. Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol 1967 namun Indonesia mengakui salah satu prinsip internasional yaitu prinsip Non Refoulement. Dalam perlindungan pengungsi di Indonesia di jamin oleh Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena pengungsi merupakan manusia yang rentan terhadap pelanggaran ham dan dalam masuk arus pengungsi terdapat dalam  Undang-Undang No.6 Tahun 2011 serta dalam penanganan pengungsi di jamin oleh Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan luar Negeri. Setelah adanya Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 penanganan pengungsi dilakukan berdasarkan kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia. Saat Pandemi Pandemi Covid-19 pemerintah Indonesia dalam penanganan pengungsi melakukan berbagai upaya agar para pengungsi mendapatkan fasilitas keshatan terlebih hak agar pengungsi tidak terdiskriminasi dan tertinngal dalam Pandemi Covid-19. Kata Kunci: Konvensi Jenewa 1951, Protokol 1967, Pasca Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016, Pengungsi
    corecore