14 research outputs found
Implementasi Ritual Addinging-dinging pada Masyarakat Modern di Tambung Batua Gowa: Tinjauan Sosio-Kultural
This research aims to analyze the rituals or practices Addinging-dinging that survives in the context of modern society. This research is descriptive research using a qualistative approach. Primary data are obtained from research informants, cultural figures and community leaders, while secondary data are obtained from the relevant literatur, documents and references. The techniques of collecting data are done by interviewing, observing and documenting. This research also employs a relational social culture. The results conclude the implementation of Addinging-dinging ritual means relasing the nazar that had been said. They are grateful for the bountiful harvest and as a forms of repellent against things that are feared. The addinging-dinging ritual has been able to survive until now because it is based on religious values, spiritual values, social values, cultural values and economic values. Penelitian ini bertujuan menganalisis makna impelentasi ritual (amalan) Addinging-dinging yang bertahan dalam konteks masyarakat modern. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis yang menerapkan pendekatan kualitatif. Data yang diperlukan berupa proses pelaksanaan, benda-benda yang digunakan dalam tradis serta analisis nilai yang ada dalam ritual. Data utama bersumber dari informan, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Data sekunder diperoleh dari literatur, dokumen dan referensi yang relevan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Penelitian menggunakan pendekatan teori budaya sosial. Hasil penelitian menyimpulkan impelementasi ritual addinging-dinging bermakna pelepas nazar yang pernah diucapkan sebagai tanda syukur patas hasil panen yang melimpah dan sebagai wujud penolak bala terhadap hal-hal yang ditakutkan. Adapun ritual Addinging-dinging mampu bertahan sampai sekarang karena dilandasi nilai religious, nilai kesadaran spiritual, nilai sosial, nilai budaya dan nilai ekonomi
Mattoana Arajang di Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone (Suatu Tinjauan Kebudayaan Islam)
Mattoana Arajang is a rite to offering sesajen which as a symbol of respect to memorize the respected ancestors of Ajangale-Bone Society. This ritual is still ongoing after the arrival of Islam. This ritual shows that the presence of Mattoana Arajang in Ajangale District which began to the local belief to Dewata SeuwaE. That local belief was trusted as a provider of the heritage to ensure the settlement of Buginese people in Bone. Based on people’s views about Mattoana Arajang that this ritual could be disappear by itself due to a deep understanding of Islamic teachings on the society. So, the Arajang should be stored in museum to ensure the maintenance of it. Furthermore, there is the main thing to be considered which is to do counseling due to this custom can violate the Islamic law
Perbandingan Tingkat Validitas Metode Penelitian Sejarah dan Sanad Hadis (Studi Kasus Haji Wada’)
Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana perbandingan tingkat
validitas metode penelitian sejarah dan sanad hadis (studi kasus Haji Wada’)? Pokok
masalah tersebut selanjutnya di-breakdown ke dalam beberapa submasalah atau
pertanyaan penelitian, yaitu: 1) Bagaimana langkah-langkah metode penelitian
sejarah dan sanad hadis?. 2) Bagaimana tingkat validitas metode penelitian sejarah
dan sanad hadis terhadap studi kasus Haji Wada’?.
Proses penelitian menggunakan jenis penelitian library research. Metode
penelitian ini bersifat penelitian analisis komparatif, yaitu membandingkan dan
menganalisis “metode penelitian” sejarah dan sanad hadis, pengkajian dan
pembahasan sumber dari buku-buku pustaka dan sumber lainnya. Pendekatan yang
digunakan adalah kritik historis melihat suatu permasalahan berdasarkan sudut
tinjauan sejarah dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa objek sejarah adalah masa lalu yaitu
fakta sejerah (periodisasi, jenis peistiwa, tempat dan waktu ). Objek penelitian sanad
hadis adalah peristiwa masa lalu khusus pada zaman Rasulullah saw. Langkah
pertama, metode penelitian sejarah adalah pengumpulan data (heurisitik),
pengumpulan data dalam kritik sanad disebut takhrij al-hadīṡ. Langkah kedua, kritik
sumber sejarah adalah kritik eksternal (fisik dokumen dan para saksi sejarah) dan
kritik internal (mengkritik isi dokumen). Kritik sanad adalah melakukan i’tibar
meneliti periwayat dan metode periwayatannya, persambungan sanad dan al-Jarh wa
al-Ta’dil. Langkah ketiga, metode penelitian sejarah adalah interpretasi sumber yang
telah diteliti, metode kritik sanad adalah melakukan Syudzūd dan ‘Illat. Langkah
terkahir, metode penelitian sejarah adalah historiografi atau penelisan sejarah adapun
dalam metode penelitian sanad adalah menyimpulkan hasil penelitian.
Studi kasus metode penelitian sejarah dan sanad hadis adalah Haji Wada’.
Mengidentifikasi penukil yang autentik dalam kritik sejarah adalah melihat langgam,
personalitas dan situasi sosialnya, tingkat keahliannya dalam penguasaan hadis, fisik,
usia, pendidikan, kesehatan mental, daya ingat, keterampilan dalam bercerita dan
lainnya. Adapun metode kritik sanad menetapkan periwayat tsiqah (adil dan dhabith)
dengan melihat komentar para ulama. Suatu fakta dalam metode sejarah baik saksi
primer maupun sekunder dapat diterima apabila ada pendukung berupa saksi lain
dengan persayaratan kredibilitas. Sejalan metode kritik sanad, menempatkan saksi
yang memiliki pendukung saksi lain (syahid dan mutabi’) dalam posisi kredibilitas
tertinggi. Menyatakan kebenaran dalam ilmu sejarah dapat dilihat dengan hubungan
para saksi terdekat atau jarak antara saksi dengan perisitiwa (Haji Wada’). Ketentuan
mengenai jarak saksi dengan peristiwa pun telah dipenuhi oleh penelitian sanad terkonsep dalam kaidah sanad bersambung. Hasil interpretasi penelitian sejarah
adalah menganalisis peristiwa Haji Wada’ secara empiris dan rasional sesuai dalam
QS al-Taubah/9:36. Perbandingan interpretasi kritik sanad adalah syduzūdz dan ‘illat
menunjukkan hadis Haji Wada’ tidak mengandung syudzūdz ataupun ‘illat. Tahap
akhir adalah penulisan sejarah (historiografi) disajikan dalam bentuk cerita sejarah
Haji Wada’ sesuai ruang lingkup kajian. Tahap akhir penelitian sanad adalah
menyimpulkan hasil penelitians Haji Wada’ yang berstatus sahih. Oleh karena itu,
Seorang penukil haruslah objektif, lugas dan sopan demi kepentingan sumber yang
akurat. Asas norma ilmu sejarah adalah tata nilai yang dianut oleh masing-masing
ahli kritik sejarah. Tampak ilmu sejarah tidak terikat pada kriteria keagamaan untuk
mengidentifikasi sumber. Adapun asas norma ilmu hadis adalah nilai-nilai ajaran
Islam. Untuk menentukan keadilan, harus memiliki pengetahuan ajaran Islam sebagai
ciri khusus dalam metode penelitian hadis. Wajar dalam bidang keilmuwan,
dikarenakan kajian ilmu hadis adalah sumber hukum ajaran Islam.
Implikasi dua meteode penelitian ini adalah berorientasi sama-sama berupaya
meneliti sumber untuk menghasilkan data yang akurat. Keduanya ketat dalam
menentukan kriteria bagi periwayat atau saksi yang dapat dipercaya. Perbandingan
metode kritik internal sejarah dan kritik internal hadis (matan) yang hanya disinggung
sedikit. Oleh karena itu, pada kesempatan selanjutnya mengharap akan melanjutkan
kembali penelitian perbandingan ini terkhusus pada kritik internal sejarah dan hadis
serta lebih tajam melihat perbedaan dan persamaan kedua metode ini
Pergulatan dalam Memperjuangkan Dasar Negara
Artikel ini membahas mengenai perdebatan di seputar ideologi dasar negera yang mula-mula menjadi fokus perhatian menjelang kemerdekaan Indonesia sampai hasil akhir pergularan dasar Negara tersebut. Sidang BPUPKI mengalami perdebatan hangat saat dasar negara disentuh, iklim politik. dua kubu Islam dan nasionalis (atau kadang disebut Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler) mengkristal menjadi kekuatan yang saling berhadapan. Dibentuklah “Piagam Jakarta”, yang pada dasarnya merupakan penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dengan sila pertama “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya. Akan tetapi, seorang pejabat angkatan laut Jepang datang ke Hatta dan melaporkan bahwa orang-orang Krisiten (yang sebagian besarnya berdomisili di wilayah timur Nusantara) tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia kecuali jika beberapa unsur dari Piagam Jakarta (yakni dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Islam sebagai agama negara dan pernyataan bahwa presiden harus seorang Muslim) dihapuskan. Pandangan mereka kerangka konstitusi nasional semacam itu akan mengundang diambilnya langkah- langkah yang diskriminatif. Muhammad Hatta menyarankan (beberapa sumber menyebut “mendesak”) kelompok Islam agar dibuat penyesuaian-penyesuaian tertentu atas Piagam Jakarta dan batang tubuh UUD 1945 untuk menjamin keutuhan dan kesatuan negara nasional Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Hasil pertemuan tersebut menhasilkan perubahan sila “Ketuhana Yang Maha Esa”
Pinisi Maritime Traditions in The Bonto Bahari Community of Bulukumba
This research aims to examine the elements of Islamic culture in the pinisi maritime tradition of the Bonto Bahari Bulukumba community. Pinisi boat, which originated from the Sawerigading story, is a traditional boat from South Sulawesi, precisely Bulukumba, known as Butta Panrita Lopi. Pinisi in its manufacture is still thick with the culture of the local community. In its development, the pinisi boat has been recognized as a humanitarian heritage for intangible culture authorized by UNESCO. This research is a cultural research using qualitative data obtained from field study data and literature data. The data collection methods used are interviews, observations, and through written documents. The results of this study show that in the tradition of pinisi maritime there are several rituals performed, namely, annakbang kalabiseang (keel cutting), annattara (keel connection), appasili (rejecting bad luck), ammossi (cutting the navel), and annyorong lopi (boat launching). The elements of Islamic culture contained in these rituals are religious system and religious ceremonies, community organization system, and livelihood system.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji unsur-unsur budaya Islam dalam tradisi kebaharian pinisi masyarakat Bonto Bahari Bulukumba. Perahu pinisi yang bermula dari kisah Sawerigading merupakan perahu tradisional yang berasal dari Sulawesi Selatan, tepatnya Bulukumba yang dikenal dengan nama butta panrita lopi. Pinisi dalam pembuatannya masih kental dengan budaya masyarakat setempat. Dalam perkembangannya, perahu pinisi telah diakui sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya takbenda yang disahkan oleh UNESCO. Penelitian ini merupakan penelitian budaya dengan menggunakan data kualitatif yang diperoleh dari data studi lapangan dan data kepustakaan. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan melalui dokumen tertulis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam tradisi kebaharian pinisi terdapat beberapa ritual yang dilakukan yakni, annakbang kalabiseang (penebangan lunas), annattara (penyambungan lunas), appasili (tolak bala), ammossi (pemotongan pusar), dan annyorong lopi (peluncuran perahu). Adapun unsur-unsur budaya Islam yang terkandung dalam ritual tersebut yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, dan sistem mata pencaharian hidup
Integrasi Budaya Islam dengan Budaya Lokal dalam Upacara Pernikahan di Desa Ummareng Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru
This research aims to find out how Islamic culture is integrated with local culture in wedding ceremonies in Ummareng Village, Tanete Rilau District, Barru Regency. This research is cultural research with qualitative data, descriptive analysis. Data was obtained through field research (field data) as a primary source and library research (library data) as a secondary source. The research approaches used are historical, sociological, anthropological and religious approaches. The application of local culture in wedding ceremonies in Tanete Rilau sub-district, Barru Regency is related to this existence, namely the beginning of the Bugis Barru wedding in Tanete Rilau sub-district, Barru Regency which is divided into two stages, namely preparation for the procession before the wedding, the marriage contract procession. Integration of the Bugis Traditional Wedding Procession with the Islamic Wedding Procession, in several stages of implementation, such as the Al-Quran mappatemme procession, barazanji, and the marriage contract. Values of Islamic Cultural Integration, mammanu-manu, ma'duta, mappetu'ada, mappasikarawa, barazanji. And the values of Islamic Cultural Integration, tolerance, justice, interconnection.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana integrasi budaya Islam dengan budaya lokal dalam upacara pernikahan di Desa Ummareng Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru. Penelitian ini adalah penelitian budaya dengan data kualitatif analisi deskriptif. Data diperoleh melalui field research (data lapangan) sebagai sumber primer dan library research (data pustaka) sebagai sumber sekunder. Pendekatan penelitian digunakan adalah pendekatan sejarah, sosiologi, antropologi, agama. Pelaksanan Budaya lokal dalam Upacara pernikahan di kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru terkait keberadaan tersebut, yang mana awal dilakukannya pernikahan Bugis Barru kepada Kacamatan tanete rilau Kabupaten barru yang terbagi menjadi dua tahapan yaitu, persiapan prosesi sebelum pelaksanaan pernikahan, prosesi akad nikah. Intergrasi dalam Prosesi Pernikahan Adat Bugis dengan Prosesi Pernikahan islam, dalam beberapa tahap-tahap pelaksanaannya seperti pada prosesi mappatemme Alquran, barazanji, dan akad nikah. Nilai-nilai Intergrasi Budaya islam, mammanu-manu, ma’duta, mappetu’ada, mappasikarawa, barazanji. Dan nilai-nilai Intergrasi Budaya Islam, toleransi, keadilan, Interkoneksi
Peran Dinasti Mamluk dalam Membendung Ekspansi Bangsa Mongol ke Dunia Islam
“Mamluk” berarti budak atau hamba yang ditawan dan dididik, pengetahuan agama dan pengetahuan militer serta ilmu pengetahuan lainnya oleh Dinasti Ayyubiyah. Dalam proses pemerintahan, Mamluk berubah menjadi Dinasti. Sistem pemerintahannya adalah sistem militeristik (pergantian kepemimpinan berdasarkan karir militer). Walaupun pada perkembangannya kemudian, sistem pergantian pemimpinnya, berubah menjadi sistem monarchieheredetis. Kemajuan yang diperoleh Dinasti Mamluk tidak hanya dari segi militer, tetapi ilmu pengertahuan, arsitektur dan bidang ekonomi. Sejak Mamluk berkuasa, Mesir menjadi penghubung jalur perdagangan Timur dan Barat. Kehadiran Dinasti Mamluk menambah catatan perstasi kerajaan Islam dalam pentas politik terutama peranannya dalam membendung ambisi pasukan Tartar (Bangsa Mongol) untuk menguasai Islam yang pada saat itu mengalami kemajuan peradaban. Tentara Mamluk dan Mongol saling berhadapan di Ayn Jalut dan pertempuran pun terjadi pada tanggal tahun 658 H./1260. Strategi yang digunakan oleh Dinasti Mamluk dalam mempersatukan umat Islam membuat pasukan Islam berhasil mengalahkan pasukan Mongol
Pengaruh Kepemimpinan dan Kebijakan Sultan Alauddin Terhadap Kerajaan Makassar (1593 -1639 M)
Sultan Alauddin (1593-1639) adalah anak dari raja Gowa ke-12 yang bernama Karaeng Bontolangkasa atau Tunijallo, dan ibunya adalah raja Tallo yang ke-4. Ketika ia dinobatkan sebagai raja Gowa ke-14, umurnya masih sangat muda sehingga yang menjalankan roda pemerintahan diwakilkan kepada raja Tallo ke-6 atau Mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo yang bernama Karaeng Matoaya. Raja Tallo yang merangkap Mangkubimi Kerajaan Gowa bernama I Malingkaang Daeng Manyonri adalah yang pertama kali menerima agama Islam dan mengucapkan dua kalimat Syahadat. Setelah pengucapan dua kalimat syahadat, beliau lalu diberi gelar Islam Sultan Abdullah Awwalul Islam, yang artinya orang yang pertama menerima agama Islam sebagai agamanya. Setelah itu menyusul raja Gowa yang bernama I Mangarangi Daeng Manra’bia raja Gowa ke-14, lalu kemudian diberi gelar Islam Sultan Alauddin. Pada 9 November 1607, dinyatakan sebagai penerimaan Islam oleh rakyat Gowa dan Tallo sebagai agamanya, dan Kerajaan Gowa menjadikan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. ketika pemerintahan Sultan Alauddin di Kerajaan Gowa, beliau sangat menekankan perlunya ada persamaan di antara sesama manusia, apakah itu adalah penduduk asli kerajaan ataukah mereka berasal dari luar, bahkan juga berlaku bagi bangsa asing. Hal ini tercermin dalam bidang perdagangan, dimana Pelabuhan Somba Opu dibuka selebar-lebarnya kepada siapa saja dengan tidak membedakan warna kulit. Hal inilah yang menyebabkan sehingga Kerajaan Gowa terkenal hingga ke luar negeri dan bangsa-bangsa asing berdatangan untuk melakukan perdagangan antar wilayah. Ia juga sangat menentang monopoli perdagangan di daerahnya
Fort Rotterdam's Contribution to The Development Of Cultural Heritage
This research aims to examine the role of Fort Rotterdam as a cultural heritage development in people's lives. This research is qualitative research using library research and field research. The steps in historical research are heuristics, source criticism, interpretation and historiography. The establishment of Fort Rotterdam was initiated by King Gowa IX Tumaparisi Kallonna as a royal defense base and continued by his son Karaeng Tunipalangga. The results of this research show that Fort Rotterdam continues to experience changes in function in each period. The role of Fort Rotterdam as a post-independence cultural heritage development in people's lives can be seen in several aspects of society's social, economic and political life. The role of Fort Rotterdam as a source of increasing understanding regarding history and culture, a means of building social relations, a means of maintaining the local identity of the Makassar community, and improving the community's economy.This research aims to examine the role of Fort Rotterdam as a cultural heritage development in people's lives. This research is qualitative research using library research and field research. The steps in historical research are heuristics, source criticism, interpretation and historiography. The establishment of Fort Rotterdam was initiated by King Gowa IX Tumaparisi Kallonna as a royal defense base and continued by his son Karaeng Tunipalangga. The results of this research show that Fort Rotterdam continues to experience changes in function in each period. The role of Fort Rotterdam as a post-independence cultural heritage development in people's lives can be seen in several aspects of society's social, economic and political life. The role of Fort Rotterdam as a source of increasing understanding regarding history and culture, a means of building social relations, a means of maintaining the local identity of the Makassar community, and improving the community's economy
Mattoana Arajang di Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone
Ritual Mattoana Arajang adalah persembahan sesajen sebagai simbol penghoramatan untuk mengenang leluhur yang dihormati masyarakat dan memiliki sejarah di Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone. Ritual ini masih berlangsung setelah kedatangan Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Mattoana Arajang di Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone berawal pada kepercayaan terhadap Dewata Sewa`E yang dipercaya pemberi pusaka (Arajang) sebagai awal membentuk pemukiman orang Bugis di Bone. Dalam perkebangannya sekarang, Arajang dikenal sebagai benda kerajaan yang berupa atribut-atribut raja. Prosesi Mattoana Arajang terhadap masyarakat Islam telah mengalami perubahan setelah pembaharuan yang dilakukan oleh pasukan DI/TII unsur kebudayaan Islam lebih terlihat pada prosesinya. Akan tetapi, timbul pergulatan di kalangan masyarakat yang memiliki pandangan berbeda-beda mengenai Mattoana Arajang.Berdasarkan beberapa pandangan masyarakat mengenai Mattoana Arajang, tidak menutup kemungkinan ritual ini akan menghilang dengan sendirinya akibat pemahaman ajaran Islam yang mendalam terhadap masyarakat yang melaksanakannya. Benda Arajang tersebut yang seharusnya di simpan di Museum masih sangat sulit untuk diperlihatkan secara umum, karena terlalu disakralkan. Hal pokok yang harus diperhatikan adalah melakukan penyuluhan, dikarenakan adat seperti ini dapat menyalahi syariat Islam yang mana pelakunya adalah masyarakat Islam sendiri.ix, 74 hlm