43 research outputs found
KAJIAN IKONOGRAFI PADA BANGUNAN PURI DI BALI DALAM KAITANNYA DENGAN NILAI-NILAI KULTURAL
The identity of puri as a central government building remain during the period of Balinese kingdom and also as the king family residence, can be seen from the icons in its building. In applying the general iconography theory to traditional architecture, the Balinese cultural values should be considered. Most of the canonic icon concepts in Bali are related to the icon of Hindu religion and the local culture, which can be found in the puri location in catus patha or pempatan agung, sanga mandala to tri angga concepts. Besides, there is an analogic icon which has three kinds of references : the real things, the modified real things and mythological. There are several analogic icons made by resembling strongly with reference object, by modification of the reference object and by just following the basic form of the reference object. The iconās theme use at puri building is inclined to heroism or as a reflection of the puri authority. Each icon has its particular meaning, code, form, philosophy, ideas, ideology and concept in their original context. Nowdays, the changes in puri function cause the changes in its usage, form and interpretation by the community of the icons. This research emphasizes on the iconography of puri building (icon in the category of positions, forms and values of meanings) as an inventory effort as well as searching the consistency on the use and the interpretation by community of the icon
Lifestyle Postmodern Pada Bangunan dan Accent di Bali
Seni adati dalam perkembangan seni masa kini, nampak menunjukkan kecenderungan untuk menggali kembali nilai-nilai adati sebagai sumber inspirasi. Usaha menggali nilai-nilai adati pada umumnya dilakukan sesuai dengan tuntutan modernisasi. Penemuan-penemuan baru dalam perkembangan teknologi dipaksakan untuk dipergunakan dalam usaha tersebut. Fenomena ini juga terjadi dalam karya arsitekturnya. Bentuk-bentuk dalam Arsitektur Bali, baik bentuk struktural hingga ragam hiasnya yang diyakini memiliki makna dan nilai yang sakral, kini seakan kesakralan itu sudah tidak ada lagi. Hal ini dapat dilihat, banyak pemakaian bentuk-bentuk tersebut pada peniruan bentuk baru yang tidak semestinya, pada tempat dan juga dengan maksud atau tujuan yang sangat bertentangan dengan yang pada awalnya. Kenyataan seperti ini banyak bisa ditemukan pada proses pembangunan di pulau Bali sebagai daerah wisata.Pertamanan yang juga disebut dengan istilah āarsitektur pertamananā, merupakan pendekatan dari pengertian landscape architecture. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Frederick Law Olmsted pada 1858, saat merancang Taman Kota New York (Onggodiputro, 1985: vi). Saat itu Law Olmsted dan Calvert Vaux memenangkan sayembara perancangan taman kota New York dengan konsep Greenward. Di Indonesia, istilah landscape architecture ini disebut dengan arsitektur lansekap atau arsitektur pertamanan yang banyak berkaitan dengan ruang luar. Sehingga dalam kaitan dengan perancangan atau desain, disebut dengan desain eksterior atau desain pertamanan. Dalam konteks yang lebih luas, pertamanan merupakan bagian dari ruang luar. Fungsi pertamanan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan tempat hiburan, tempat untuk melepaskan lelah dari ketegangan-ketegangan pikiran setelah bekerja secara terus-menerus (Ashihara, 1974: 3).
Mengacu pada pendapat Piliang, maka upaya untuk mengangkat keunggulan lokal pertamanan tradisional Bali, antara lain bisa dilakukan dengan upaya menggali atau meneliti sumber-sumber pengetahuan lokal untuk menghasilkan berbagai konsep taman yang unik dan orisinal. Perubahan gaya hidup, juga akan berpengaruh pada rancangan taman, terkait dengan aktivitas dan fasilitasnya. Agar rancangan taman bisa diterima oleh masyarakat secara luas, diperlukan juga pengembangan pemaknaan terhadap rancangan taman tersebut.
Desain taman tradisional Bali berpotensi untuk dikembangkan sebagai keunggulan lokal di bidang desain pertamanan, untuk pengkayaan desain etnik Nusantara melalui kreativitas dan inovasi kultural, sehingga diperoleh makna baru tanpa merusak nilai-nilai esensialnya. Agar dapat menghasilkan keunggulan lokal di bidang pertamanan, konsep dan filosofi taman tradisional Bali dapat di-reinterpretasi, sehingga diperoleh makna baru tanpa merusak nilai-nilai esensialnya. Tak tertutup kemungkinan adanya konsep pelintasan estetik, untuk memperkaya desain taman dengan mempertemukan dua budaya. Melalui proses pertemuan antar budaya yang selektif dan tidak mengorbankan nilai serta identitas budaya lokal, maka akan bisa diperoleh suatu konsep desain yang baru dan khas. Melalui keterbukaan kritis, sikap menerima budaya luar yang positif dan menyaring yang negatif, budaya lokal tidak akan rusak
Arti Seni dan Perkembangan Nilai Seni di Indonesia
Sejauh yang diketahui, seni ditafsirkan dengan cara bermacam-macam. Di antara pengertian pokok yang sering dipakai adalah main, ilusi, ungkapan, perasaan, imajinasi, intuisi, hasrat, senang, teknik, arti, bentuk, fungsi, empati, abstraksi dan jarak estetik. Sekilas, pengertian itu memperlihatkan keragaman pendapat yang membingungkan; tetapi dengan pengamatan yang cermat menunjukkan bahwa banyaknya ketidaksepakatan itu hanyalah dalam nama saja. Istilah seperti imajinasi, bentuk dan jarak estetik menunjukkan segi yang berbeda dari sesuatu yang beragam dan kaya, bukannya batasan-batasan yang tidak dapat dipertemukan. Beberapa istilah menitikberatkan pada penciptaan seni, yang lain pada karya seni dan lainnya lagi pada kegiatan apresiasi. Berbagai perselisihan yang sia-sia, seperti ditunjukkan oleh Morris Weitz dapat dihindari jika cap estetika tidak ditempelkan pada satu potong dari seluruh tubuh seni, tetapi dipakai secara terpisah sebagai unsur pokok dari proses penciptaan, benda estetis dan pengalaman estetis.1 Menurut Weitz bahwa seni terlalu rumit dan penuh perubahan untuk dimasukkan dalam satu batasan
Transformasi Desain Angkul-angkul
Transformasi mempunyai pengertian perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi dan sebagainya) atau pengalihan menjadi bentuk yang berbeda namun masih memiliki nilai-nilai yang sama, perubahan dari satu bentuk atau ungkapan menjadi suatu bentuk yang mempunyai arti atau ungkapan yang sama mulai dari struktur permukaan, fungsi, perubahan bentuk, penampilan, karakter atau penempatan, mengubah dari pengakuan, mengubah atau mengganti bentuk atau penampilan luarnya, mengubah kondisi, alam dan fungsi.
Lebih jauh, transformasi dalam arsitektur hanya akan berarti bila dipertimbangkan dari suatu tindakan yang kompleks, sama sekali tanpa kecacatan visual dan bentuk dari kondisi yang lama, serta diperoleh melalui metodelogi ākeserentakanā atau simultaneity, dan tidak menganjurkan metodelogi monodimensi. Transformasi tidak hanya merupakan saluran tetapi merupakan lautan kreatifitas yang bersungguh-sungguh dan jujur pada elemen yang memiliki sejumlah resiko, ketertiban dan upaya. Terdapat suatu kecenderungan bahwa saluran transformasi dapat sangat menolong untuk mencapai tujuan.
Lebih jelasnya, transformasi merupakan upaya untuk mengubah, mengalihkan, menyatukan beberapa hal dalam mencapai nilai yang sama-sama dapat diterima secara serentak
Fish Therapy Room At Spa
Latar Belakang
Perkembangan kehidupan terutama di perkotaan kini dituntut untuk
semakin aktif dalam bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Akibat
disibukkan oleh berbagai pekerjaan, rasa lelah dan jenuh semakin sering
dirasakan. Sebagai salah satu upaya untuk menetralisir permasalahan
tersebut, berbagai upaya dilakukan. Diantaranya mencari hal-hal yang
dianggap menarik, santai, fresh dan bisa menghibur, dengan harapan
dapat mengembalikan energi dan semangat baru untuk dapat melanjutkan
pekerjaan dan kegiatan pada hari-hari berikutnya.
Menurut masyarakat Bali, kegiatan spa dalam hal ini adalah pijat dan
berendam, yang telah merupakan bagian dari kebudayaan Bali. Hal ini
bisa dilihat dari adanya istilah-istilah pengobatan atau kegiatan relaksasi
tradisional yang sangat mirip dengan kegiatan spa modern. Kegiatan
seperti mepijet (pijat), meurut (menggesek-gesekkan kulit dengan
menekan), meboreh (memakai ramuan rempah-rempah yang ditempelkan
pada bagian tubuh tertentu yang akan diobati), melebleban (berendam di
sungai atau laut untuk kesehatan), mekerok (kerokan) dan sebagainya,
telah ada dalam kebudayaan Bali sejak lama. Relaksasi jasmani ini
dilakukan dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Untuk perawatan kaki, selain berupa layanan massage (pijat), dapat juga
dilakukan perawatan dengan menggunakan media ikan. Fish therapy
room kini banyak bisa ditemukan di spa-spa modern, yang merupakan
ruang perawatan pembersihan dengan bantuan sejenis ikan kecil diimpor
langsung dari Turki. Namun perawatan yang ditawarkan disini hanya
khusus untuk bagian kaki. Kedalaman kolam biasanya sekitar 70 cm
sesuai dengan panjang betis yang terendam di kolam, penggunaan tidak
dibedakan menurut jenis kelamin. Kolam bisa digunakan antara 2 ā 4
orang dengan posisi duduk. Pada saat kaki direndam di kolam maka
ikan-ikan ini segera menggigiti bagian betis. Selain kotoran-kotoran pada
kaki terangkat dan termakan oleh ikan-ikan tersebut, dapat juga dirasakan
sensasi gigitan kecil dari ikan-ikan ini
Performansi Bioskop Cineplex 21
Performansi perusahaan dinilai dari pihak perusahaan, sejauh mana mereka memberikan pelayanan yang terbaik terhadap konsumennya. Hal ini berbeda dengan tingkat kepuasan konsumen, yang dinilai dari sejauh mana kepuasan seorang konsumen terhadap pelayanan yang dialaminya. Dalam perhitungan tingkat kepuasan konsumen, sangat besar kemungkinan untuk melibatkan hal-hal yang bersifat subjektif, karena pada dasarnya tingkat kepuasan seseorang sangat relatif, dan berbeda antara pribadi yang satu dengan yang lain
Desain dan Lingkungan Untuk Tuna Netra
Kita tidak dapat begitu saja menutup mata bahwa ada sebagian dari anggota masyarakat yang keadaan fisiknya kurang sempurna, yang sebenarnya mempunyai berbagai macam aktifitas atau kegiatan yang sama dengan manusia lainnya yang dapat dikatakan tidak cacat fisik. Namun pada kenyataannya, dapat dijumpai perbedaan perlakuan yang diterima para penderita kelainan fisik, terutama para tuna netra. Kelainan fisik yang mengakibatkan kehilangan penglihatan adalah merupakan salah satu jenis penderitaan yang paling tidak diharapkan setiap manusia. Kehilangan penglihatan atau kebutaan sebenarnya bukanlah suatu ketidakmampuan atau kecacatan (handicap) tetapi hanya suatu keterbatasan kemampuan karena sebenarnya mereka dapat melakukan segala sesuatu pekerjaan sehari-hari walaupun dengan kondisi tersebut. Orang dikatakan cacat bila sebagian dari anggota tubuhnya secara fisik tidak dapat bekerja dengan baik walaupun untuk pekerjaan yang ringan (āDisabledā or āHandicappedā , Selwyn Goldsmith hal17-18). Masyarakat tuna netra merupakan kelompok masyarakat yang seringkali disisihkan oleh golongan masyarakat yang normal. Mereka seringkali dianggap sebagai golongan yang membebani orang lain.
Dengan keterbatasannya, sebenarnya potensi yang ada pada setiap individu tersebut dapat dikembangkan semaksimal mungkin dan mereka juga berhak atas pendidikan dan penghidupan yang layak. Misalnya, keberadaan fasilitas untuk belajar serta sarana untuk menyalurkan kreatifitas dan bakat para tuna netra yang tetap harus direncanakan dan disosialisasikan dengan baik. Sehingga, proyek ini bertujuan mengangkat serta menjadikan kelompok tuna netra ini sebagai masyarakat yang juga menerima kualitas serta hak yang sama di sisi masyarakat.
Aspek perilaku pemakai menjadi bahasan utama ketika seseorang akan merancang suatu bangunan termasuk interiornya. Perilaku yang berbeda akan membutuhkan solusi desain yang berbeda. Demikian pula pada saat membuat suatu desain untuk penyandang tuna netra yang memiliki kemampuan yang terbatas dalam penglihatan. Mereka mengandalkan kemampuan inderanya selain indera penglihatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Keadaan tersebut berakibat terhadap fungsi pengamatan, di antaranya lingkup keanekaragaman penglihatan pengalaman, kemampuan berpindah tempat, interaksi dengan lingkungan, perilaku atau sikap terhadap lingkungan (manusia dan alam). Namun fenomena yang terjadi saat ini yang berawal dari jumlah tuna netra yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan orang normal (tidak cacat penglihatan) sehingga menimbulkan konsekuensi bahwa para tuna netralah yang harus beradaptasi dengan lingkungan masyarakat normal. Perancangan bangunan untuk tuna netra banyak yang tidak memperhatikan kebutuhan pemakainya terutama dari segi keamanan, kemudahan pergerakan, pencarian orientasi dan lain sebagainya.
Para tuna netra, seperti halnya orang normal yang tidak cacat penglihatan, melakukan aktifitas sehari-hari dari bangun tidur, mandi, berpakaian, ke sekolah atau kerja, makan hingga tidur kembali pada malam harinya. Dalam melakukan aktifitasnya yang tidak jauh berbeda dengan orang normal ini, tentu saja memerlukan fasilitas-fasilitas seperti halnya tempat bagi civitas untuk beraktifitas. Di sinilah kemudian dapat ditemukan perbedaan fasilitas antara para tuna netra dengan orang normal, bahwa fasilitas-fasilitas untuk tuna netra memerlukan suatu desain khusus sehingga dapat memudahkan bagi tuna netra dalam melakukan aktifitasnya. Di antara beberapa fasilitas yang diperlukan oleh tuna netra, terdapat satu fasilitas yang memerlukan ekstra perhatian dalam desainnya yaitu tempat tinggal, karena disitulah para tuna netra menghabiskan sebagian besar waktunya (bukan hanya tuna netra, dan bahkan berlaku bagi orang normal sekalipun). Sehingga inilah yang menjadi latar belakang pengambilan studi khasus tempat tinggal para tuna netra di lingkungan Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna yang berupa barak dan asrama di antara beberapa alternatif bangunan, sebagai obyek penelitian
Karya Arsitektur Tanpa Kehadiran Seorang Arsitek "Profesional" (Architecture Without Architect)
ABSTRAK
Kebanyakan orang bila ditanya, barangkali akan berkata bahwa arsitektur
bermula sebagai tempat bernaung. Memang, bangunan-bangunan yang
pertama adalah tempat tinggal, dan orang memerlukan tempat bernaung agar
dapat bertahan hidup. Namun tempat bernaung bukanlah merupakan satusatunya
fungsi, atau bahkan bukan fungsi pokok dari perumahan.
Lingkungan buatan (built environment) mempunyai bermacam-macam
kegunaan, seperti : melindungi manusia dan kegiatan-kegiatannya serta harta
miliknya dari elemen-elemen, dari musuh-musuh berupa manusia dan hewan,
dan dari kekuatan-kekuatan adikodrati, membuat tempat, menciptakan suatu
kawasan aman yang berpenduduk dalam suatu dunia fana dan cukup
berbahaya, menekankan identitas sosial dan menunjukkan status, dan
sebagainya. Dengan demikian, asal mula arsitektur dapat dipahami sebaikbaiknya
bila orang memilih pandangan yang lebih luas dan meninjau faktorfaktor
sosial budaya, dalam arti seluas-luasnya, lebih penting dari iklim,
teknologi, bahan-bahan dan ekonomi.
Perkembangan bentuk bangunan yang berkolong sampai ke bentukbentuk
yang langsung di atas tanah, demikian pula perkembangan
penggunaan pepohonan kasar sampai ke kayu yang diukir-ukir sampai
penggunaan bata dan seterusnya, sangatlah sukar untuk diusut kembali secara
tepat. Tetapi satu hal yang pasti bahwa perkembangan tersebut berjalan
sejajar dengan perkembangan taraf kemajuan pemikiran manusia dalam
mencari keselamatan bagi dirinya dengan cara mengatasi atau menghindarkan
diri dari gangguan dan bahaya (alam, binatang dan manusia). Dengan kata
lain, semakin cerdik dan tumbuh pulalah hasrat manusia untuk membuat sesuatu yang lebih baik, lebih kuat dan lebih indah. Alam semakin
dikuasainya dan kemungkinan-kemungkinan baru pun dicarinya.
Manusia sudah sejak lama merencanakan dan membuat bangunan.
Sampai beberapa waktu yang lalu, adalah biasa untuk membedakan antara
arsitektur dengan ābangunan biasaā, akan tetapi hal ini menjadi semakin sulit.
Sudah pasti bahwa asal mula arsitektur lebih dini dari arsitek pertama, yang
biasanya dianggap sebagai si perancang piramida berbentuk tangga di Mesir.
Bahkan sekiranya orang memasukkan pembangunan rumah kepala-kepala
suku dan bangunan-bangunan ritual, sebagian besar dari apa yang dibangun
tidak dirancang oleh kalangan profesional yang pernah menempuh
pendidikan akademik, tapi lebih merupakan dorongan ekspresi arsitektural
yang sama yang mendorong rancangan gaya modern (yang dilakukan oleh
para perancang profesional). Jadi dalam mempersoalkan asal mula arsitektur
atau pemahaman tentang apakah arsitektur itu, harus memperhatikan tradisi
rakyat atau tradisi yang disenangi masyarakat, bangunan-bangunan yang
disebut āprimitifā atau āasliā yang selalu merupakan bagian terbesar dari
lingkungan buatan dan yang hakiki bagi setiap generalisasi yang asbah.
Hal itulah yang mendorong terciptanya desain bangunan yang pertama,
yaitu adanya hasrat untuk melindungi diri dari alam beserta isinya. Bangunan
didesain dan dibangun oleh masyarakat biasa, bukan dari kalangan arsitektur
profesional. Desain tersebut dibuat dengan tradisi turun menurun sehingga
bangunannya antara satu dengan yang lainnya memiliki banyak kemiripan.
Dalam perkembangannya, kemudian dikenallah dengan istilah karya-karya
architecture without architects. Dalam proses pendesainannya, ide-ide dan
konsep-konsepnya bukan diperoleh dari desainer yang dalam hal ini adalah
arsitek profesional yang pernah menempuh pendidikan akademik arsitektur,
melainkan diperoleh dari user atau calon pemakai bangunan itu sendiri yang
juga sekaligus menjadi desainernya. Dapat dikatakan bahwa desain yang
semacam ini disebut sebagai desain partisipator.
Kata Kunci : karya arsitektur, tradisi, arsite
RANGKUMAN ESTETIKA :MAKNA, SIMBOL DAN DAYA
RAUT ESTETIKA. Adanya istilah yang kerap tidak tepat digunakan dan definisi yang sangat beragam, maka bangun estetika dapat ditarik ulur, dan kemudian berujung pada simpang siurnya pemahaman estetika sebagai filsafat dan estetika sebagai praksis dalam berkesenian di Indonesia. Memandang estetika sebagai suatu filsafat, pada hakikatnya menempatkannya pada satu titik dikotomis antara realitas dan abstraksi, serta juga antara keindahan dan makna. Estetika tidak lagi menyimak keindahan dalam pengertian konvensional, melainkan telah bergeser ke arah sebuah wacana dan fenomena. Beberapa pandangan mengenai estetika setiap waktu mengalami pergeseran, sejalan dengan pergeseran konsep estetik dari setiap jaman. Pandangan bahwa estetika hanya mengkaji segala sesuatu yang indah (cantik dan gaya seni), telah lama dikoreksi karena terdapat kecenderungan karya-karya seni modern tidak lagi menawarkan kecantikan, tetapi lebih pada makna dan aksi mental. Kemudian dalam perkembangannya terdapat adanya istilah Kebudayaan Barat (kerap dianalogikan dengan unsur ārasionalitasā) dan Kebudayaan Timur (kerap dianalogikan dengan āsuasana hatiā). Dalam peradaban dunia, dua kebudayaan ini selalu dipertentangkan. āTimurā dan āBaratā lebih berupa perseteruan, persaingan dan perang daripada saling mengerti, bersahabat dan bekerja sama. Bagi kebanyakan orang āTimurā, āBaratā selalu dihubungkan dengan kapitalisme, teknologi dan imperialisme. Bagi masyarakat āBaratā, āTimurā selalu berkonotasi dengan negara-negara yang padat penduduk, serba miskin, terbelakang dan amat tradisional. Demikian pula di akhir abad ke-20, pandangan-pandangan mengenai estetika mengalami rekonstruksi dan penyegaran-penyegaran baru ketika filsafat Posmodern berkembang sejalan dengan wacana kaum Postrukturalis