3 research outputs found

    Legal Obligations of Corporate Social Responsibility as Efforts to Improve the Image of Islamic Banking in Indonesia

    Get PDF
    : This study aims to identify and analyze Islamic banking policies in maintaining and even improving the image/reputation of Islamic banking and to contribute scientifically to CSR in Islamic banking based on national law and Islamic law. This study uses a qualitative normative legal research method with a conceptual, statutory, and sociological approach. The results of this study indicate that the image or reputation of Islamic banking is the beliefs or feelings of consumers or stakeholders about Islamic banking itself. The reputation of Islamic banking is respect, assessment, and even appreciation from consumers or stakeholders. Islamic banking in improving its image or reputation can be done through CSR. This study provides a descriptive picture of Islamic banking, in general, to provide quality programs through CSR. CSR activities by several examples of Islamic banking in Indonesia refer to the company's obligation to protect and contribute to the community and stakeholders where the company is located. The concept of CSR in Islam is implemented in 3 (three) models of responsibility, namely the relationship of responsibility to Allah SWT; responsibility to humans; and responsibility to the natural environment. The concept of CSR in Islamic banking is a necessity that needs to be implemented as a form of responsibility towards fellow humans and the environment

    Analisis Desentralisasi Asimetris Pada Pengangkatan Penjabat (PJ) Gubernur Provinsi DKI Jakarta

    Get PDF
    One of the impacts arising from the implementation of simultaneous elections and elections is the existence of vacancies in regional heads in several provinces and districts. To fill the vacancy, an Acting PJ was appointed by the Government. Rapture acting regional head as stipulated in the provisions of Article 201 paragraph (9) of the Law 10 of 2016 raises questions about its application in the DKI Jakarta Provincial Government. As regions with a special status different from other regional governments, Jakarta places the Governor with great authority, including appointing and dismissing the Mayor and Regent in Article 29 of 2007, which is indeed placed as an acting administrative task. Because of that great authority, the mechanism for electing the Governor of DKI Jakarta is more specialized, namely meeting the number of votes 50%, and if it is not fulfilled, a second round of elections will be held. This is done so that The governor elected by the people is truly of the will of the majority of the people because later the Governor has great authority. Given the specificity possessed by DKI Jakarta Government, hence the application of Article 201 paragraph (9) of Law Number 10 of 2016 is questionable, especially from its constitutionality.Keywords: Simultaneous Elections; Asymmetric Decentralization; Acting Regional Heads; DKI Jakarta AbstrakSalah satu dampak yang muncul dari pelaksanaan pemilu dan pemilukada serentak adalah adanya kekosongan jabatan pada kepala daerah di beberapa provinsi dan kabupaten. Sebagai upaya untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut, maka diangkat Penjabat (PJ) oleh Pemerintah. Pengangkatan Penjabat (PJ) Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 201 ayat (9) Undang-Undang 10 Tahun 2016 menimbulkan pertanyaan penerapannya di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai daerah yang memiliki status kekhususan yang berbeda dengan pemerintahan daerah lain, DKI Jakarta menempatkan Gubernur dengan kewenangan yang besar, termasuk mengangkat dan memberhentikan Walikota dan Bupati yang dalam desain Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, memang ditempatkan sebagai pelaksana tugas administratif. Karena kewenangan yang besar itu, mekanisme pemilihan Gubernur DKI Jakarta lebih dikhususkan lagi yaitu memenuhi jumlah suara 50%, dan jika tidak terpenuhi akan dilakukan putaran kedua pemilihan. Hal tersebut dilakukan agar Gubernur yang dipilih oleh masyarakat adalah benar-benar dari kehendak mayoritas masyarakat sebab nantinya Gubernur memiliki kewenangan yang besar. Mengingat kekhususan yang dimiliki Pemerintahan DKI Jakarta, maka penerapan Pasal 201 ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 patut dipertanyakan terutama dari konstitusionalitasnya.Kata Kunci: Pemilu Serentak; Desentralisasi Asimetris; Penjabat Kepala Daerah; DKI Jakart

    Desain kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945

    No full text
    Buku ini menyuguhkan sebuah karya, yang menjadi momen yang tepat dan penting bagi penyadaran, pemahaman, peneguhan bagi seluruh elemen anak bangsa, dalam upaya penyelenggaraan negara yang demokratis berasaskan pada konstitusi. Masih segar dalam ingatan. bahwa salah satu agenda terpenting yang diusung pada awal Era Reformasi adalah melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dikenal dengan "Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945" yang merupakan suatu keniscayaan. UUD 1945 pada saat itu (sebelum perubahan) dinilai kurang memenuhi aspirasi demokrasi. termasuk lemahnya checks and balances antar lembaga negara. kekuasaan yang sentralistik dan otoriter, serta lemahnya hubungan antara pusat dan daerah yang melahirkan suasana yang tidak segar dan tidak berkeadilan
    corecore