28 research outputs found

    Ketahanan Pangan, Konsep, Pengukuran dan Strategi

    Full text link
    EnglishFood is the basic need for living and conducting daily activities, meanwhile food security is mandatory for productive and healthy life. The understanding of food security dimensions is important as a starting point on the respective study. The objectives of this paper are to analyze : (1) The concept, (2) The measurement and indicators; and (3) The approach or strategy to achieve food security. Analysis was done by reviewing several research reports and related papers. The study shows that : (1) Concept and definition of food security is changing due to intertemporal complexity of the problem; (2) Food security broad in nature, therefore relevance and various indicators is needed on its measurement; and (3) To achieve food security, food availability as well as entitlement approach need to be considered, sustainable food security, a new paradigm need to be formulated. IndonesianPangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup dan melakukan aktivitas sehari-hari, sedang ketahanan pangan adalah jaminan bagi manusia untuk hidup sehat dan bekerja secara produktif. Pemahaman berbagai aspek ketahanan pangan merupakan pengetahuan penting dalam mengawali jenis studi ini. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji: (1) Konsep; (2) Pengukuran dan indikator; dan (3) pendekatan atau strategi untuk mencapai ketahanan pangan. Kajian di lakukan melalui studi pustaka dari berbagai hasil penelitian dan tulisan yang terkait dengan aspek kajian. Hasil kajian menunjukan bahwa: (1) Konsep serta pengertian tentang ketahanan pangan berkembang sesuai dengan kompleksitas permasalahan dari waktu ke waktu; (2) Dimensi ketahanan pangan sangat luas sehingga di perlukan banyak indikator untuk mengukurnya; dan (3) untuk mencapai ketahanan pangan, pendekatan ketersediaan pangan dan kepemilikan perlu di pertimbangkan dan untuk ketahanan pangan berkelanjutan diperlukan suatu paradigma baru

    Pola Pengeluaran dan Konsumsi Rumah Tangga Perdesaan: Komparasi Antartipe Agroekosistem

    Full text link
    Berbicara terkait pangan tidak ada habisnya selama manusia masih membutuhkan pangan karena pangan merupakan hak asasi manusia. Terkait dengan hal ini, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan dan memantapkan ketahanan pangan agar kebutuhan pangan masyarakatnya dapat terpenuhi. Konsep pangan merupakan konsep eksistensi dan fungsionalisasi manusia dalam kehidupannya. Menurut Ariani (2015), fungsi pangan dapat berbeda-beda, seperti fungsi fisiologis/biologis agar manusia sehat; fungsi sosial/komunikasi; fungsi budaya sebagai identitas budaya atau ciri daerah/etnik; fungsi religi terkait dengan keyakinan, upacara khusus; fungsi ekonomi terkait pendapatan masyarakat dan harga pangan; fungsi politis terkait dengan kekuatan/kekuasaan; serta fungsi kelestarian dan lingkungan hidup. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mapandin (2006) untuk kasus rumah tangga di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya menunjukkan bahwa ubi jalar sebagai makanan pokok memiliki nilai budaya. Rumah tangga menggunakan ubi jalar sebagai simbol nilai untuk komunikasi, religi, persahabatan, nilai ekonomi, dan sebagai tradisi. Banyak faktor yang memengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga. Menurut Hattas (2011), faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi, di antaranya (1) Tingkat pendapatan masyarakat. Tingkat pendapatan dapat digunakan untuk dua tujuan, yaitu konsumsi dan tabungan. Besar kecilnya pendapatan yang diterima seseorang akan memengaruhi pola konsumsi. Semakin besar tingkat pendapatan seseorang, biasanya akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang tinggi, sebaliknya tingkat pendapatan yang rendah akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah pula. (2) Selera konsumen. Setiap orang memiliki keinginan yang berbeda dan ini akan memengaruhi pola konsumsi. Konsumen akan memilih satu jenis barang untuk dikonsumsi dibandingkan jenis barang lainnya. (3) Harga barang. Jika harga suatu barang mengalami kenaikan maka konsumsi barang tersebut akan mengalami penurunan. Sebaliknya, jika harga suatu barang mengalami penurunan maka konsumsi barang tersebut akan mengalami kenaikan. (4) Tingkat pendidikan masyarakat. Tinggi rendahnya pendidikan masyarakat akan memengaruhi terhadap perilaku, sikap dan kebutuhan konsumsinya. (5) Jumlah keluarga. Besar kecilnya jumlah keluarga akan memengaruhi pola konsumsinya. (6) Lingkungan. Keadaan sekeliling dan kebiasaan lingkungan akan memengaruhi perilaku konsumsi pangan masyarakat setempat

    Analisis Diversifikasi Konsumsi Energi Menurut Pola Pangan Harapan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

    Full text link
    EnglishThis paper aims at to analyse diversification pattern of energi consumption and its influences. Data National Socio-economic Survey (SUSENAS) 1993 an 1996 collected by Central Beaure of Statistics (BPS) is used in this study. The results of this study were (1) level of energy consumption tend to decrease between 1993-1996 and still under consumption of requirement energy (2.150 calory/cap/day); (2) Compared in "desirable dietary pattern" (PPH), the level of "hewani food" (pangan hewani) consumption was still low relatively. For low income groups, this consumption was only 10-34 compared with the suggested level, meanwhile for high income groups it was around 25-89 percent. To achieve the consumption pattern appropriate to PPH, the programs of \u27\u27hewani" food provision and increase of society\u27s income, should be prioritised. Supply of hewani food is done by pushing domestic production and searching competitive import market; (3) Because income is the significant factor influencing energy consumption diversification at the household level, improving household income through generating employment is the policy to push diversification of energy consumption. This policy should be prioritised to rural and poor household because their average consumption level was lower than in urban areas.IndonesianMakalah ini bertujuan untuk menganalisis diversifikasi konsumsi energi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data yang digunakan adalah data Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1993 dan 1996, bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil kajian menunjukkan bahwa: (1) Rata-rata tingkat konsumsi energi mengalami penurunan yaitu dari 2.018 kalori tahun 1993 menjadi 1984 tahun 1996 untuk di kota, sedangkan di desa untuk tahun yang sama dari 2.074 menjadi 2.040 kalori; (2) Dibandingkan dengan anjuran konsumsi pangan dalam PPH, pencapaian konsumsi pangan hewani sangat rendah dibandingkan kelompok pangan lainnya. Sebagai gambaran pada kelompok pendapatan rendah hanya 10-34 persen dari anjuran, sedangkan pada kelompok pendapatan tinggi sekitar 25-89 persen. Dalam rangka menuju pencapaian anjuran konsumsi pangan hewani menurut PPH maka upaya untuk memacu penyediaan pangan sumber protein hewani dan peningkatan pendapatan masyarakat perlu mendapat prioritas. Penyediaan pangan sumber protein hewani dilakukan dengan pemacuan produksi dalam negeri dan mencari pasar impor yang lebih kompetitif; (3) Mengingat tingkat pendapatan merupakan faktor yang nyata mempengaruhi tingkat diversiftkasi konsumsi pangan rumah tangga, maka upaya peningkatan pendapatan rumah tangga melalui perluasan kesempatan kerja merupakan kebijakan yang dapat memacu diversifikasi konsumsi pangan. Prioritas kebijakan disarankan lebih diutamakan di daerah pedesaan (dan masyarakat miskin) mengingat secara agregat tingkat konsumsi pangan mereka lebih rendah daripada di perkotaan

    Tingkat Pencurahan Kerja Rumah Tangga di Pedesaan: Studi Kasus di Empat Desa Kabupaten Kudus dan Klaten, Jawa Tengah

    Get PDF
    IndonesianPenelitian-penelitian ketenagakerjaan di Indonesia sebagian besar mendasarkan diri pada konsep Labor Force yang mengelompokkan angkatan kerja ke dalam kategori bekerja atau menganggur. Pendekatan tersebut tidak menggambarkan tingkat penggunaan tenaga kerja yang sebenarnya. Tulisan ini menyajikan analisa tingkat pencurahan kerja rumah tangga di pedesaan yang merupakan hasil studi kasus di Kabupaten Kudus dan Klaten Jawa Tengah. Dalam telaahan ini dinadingkan tingkat pencurahan kerja antar kelompok rumahtangga menurut luas garapan sawahnya. Hasil analisa menunjukkan bahwa petani kecil mempunya tingkat pencurahan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok petani yang mempunyai tanah lebih luas. Namun demikian, tingkat pendapatan yang diperoleh ternyata lebih kecil

    Cellular replacement therapy for liver disease

    Get PDF
    Liver disease is a major health problem worldwide. The liver performs a wide range of functions, which the human body cannot survive without. The human liver is continuously challenged with infectious organisms, alcohol and chemicals, congenital defects, autoimmunity and malignancy etc. The liver has been imparted a marvelous capacity to regenerate and recover from various insults. However, in many cases liver injuries exceed its regenerative capacity with end-stage liver disease becoming the inevitable end. So far, liver transplantation is still the only treatment modality for end-stage liver disease. However, there are many limitations to liver transplantation towards its applicability and availability for all patients worldwide, such as scarcity of donors as well as other ethical, technical and surgical considerations. Cell transplantation is a frequently studied alternative to organ transplantation in liver disease. Many cell types are under extensive evaluation, with primary human hepatocytes and different stem cell types coming first on the list. For primary human hepatocytes, liver tissue is still needed, and when available, cells are produced in huge numbers requiring cryopreservation. Available hepatocyte cryopreservation protocols still need further optimization. In addition, better cold storage techniques for hepatocytes are needed for the feasibility of frequent cell infusions per patient. Stem cells still need to be studied further for their differentiation potential towards hepatic lineages, safety, immunomodulatory roles, and their possible support for cotransplanted hepatocytes. In this thesis, we addressed a few of the current obstacles facing cellular replacement therapy for liver disease. In the first study, we isolated and characterized a mesenchymal stem cell population from human fetal liver. The hepatic origin, the mesenchymal nature, and the immunomodulatory effects of these cells suggest them as potential candidates for cellular therapy for liver disease. In addition, we transplanted these cells into a mouse model of liver disease with an evidence for their potential differentiation to hepatocyte-like cells in vivo. In the second study, we characterized microRNAs expressed in the human liver. Such information can help understanding the role of microRNAs in liver development and their potential use in microRNA-based stem cell differentiation towards hepatic lineages. In the third study, we introduced a new defined xeno-free cryoprotectant to the field of hepatocyte cryopreservation. This cryoprotectant could be of value when preserving hepatocytes and stem cell-derived hepatocytes in a clinical setting. In the fourth study, we showed that human liver material could be better cold-stored as a whole tissue rather than as single cells. This makes it possible for frequent hepatocyte infusions commonly needed in a clinical context

    Tingkat Pencurahan Kerja Rumah Tangga Di Pedesaan: Studi Kasus Di Empat Desa Kabupaten Kudus Dan Klaten, Jawa Tengah

    Full text link
    Penelitian-penelitian ketenagakerjaan di Indonesia sebagian besar mendasarkan diri pada konsep Labor Force yang mengelompokkan angkatan kerja ke dalam kategori bekerja atau menganggur. Pendekatan tersebut tidak menggambarkan tingkat penggunaan tenaga kerja yang sebenarnya. Tulisan ini menyajikan analisa tingkat pencurahan kerja rumah tangga di pedesaan yang merupakan hasil studi kasus di Kabupaten Kudus dan Klaten Jawa Tengah. Dalam telaahan ini dinadingkan tingkat pencurahan kerja antar kelompok rumahtangga menurut luas garapan sawahnya. Hasil analisa menunjukkan bahwa petani kecil mempunya tingkat pencurahan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok petani yang mempunyai tanah lebih luas. Namun demikian, tingkat pendapatan yang diperoleh ternyata lebih kecil

    Keragaan Konsumsi Pangan Hewani Berdasarkan Wilayah dan Pendapatan di Tingkat Rumah Tangga

    Full text link
    Konsumsi pangan sumber protein hewani dalam jumlah cukup diperlukan untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan gizi, termasuk stunting. Terkait penyediaan pangan sumber protein hewani, Kementerian Pertanian memperluas sasaran swasembada dari hanya daging sapi menjadi protein hewani asal ternak. Sehubungan dengan itu, diperlukan informasi yang akurat terkait pola konsumsi kelompok pangan ini. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menyajikan hasil analisis berbagai pola konsumsi pangan hewani di tingkat rumah tangga yang dikaji berdasarkan kelas pendapatan dan wilayah tempat tinggal. Sumber data yang digunakan adalah hasil Susenas tahun 2014 dari BPS dengan cakupan nasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat partisipasi dan besaran konsumsi pangan hewani tinggi pada rumah tangga di perkotaan dan pada rumah tangga berpendapatan tinggi. Secara aggregat, konsumsi produk peternakan dan perikanan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Jenis pangan hewani yang banyak dikonsumsi adalah telur ayam ras, daging ayam ras dan ikan tongkol/tuna/cakalang. Rata-rata konsumsi daging sapi/kapita sangat rendah dan angka partisipasi konsumsi juga rendah. Disarankan upaya pencapaian swasembada protein hewani dilakukan melalui intensifikasi peningkatan produksi dan pengembangan produk pangan asal ternak dan ikan, pengembangan prasarana dan kelembagaan pemasaran untuk memperlancar distribusi, menjaga harga wajar serta stabil, dan promosi yang intensif atas pentingnya makan sumber pangan protein hewani dalam konteks pola makan beragam bergizi seimbang dan aman

    Gedong Gincu mango farmer’s perceptions toward the advantages and obstacles of the modern market

    Get PDF
    Gedong gincu mango is an exotic fruit that can become an exclusive mango to supply the modern market. This paper aims to explore the perceptions of Gedong Gincu mango farmers toward their interests, advantages, and barriers to entering the modern market. The study was conducted in Indramayu and Cirebon Districts, West Java, during Juli‒Agustus 2019, with 102 farmers as respondents. This study applied a survey method for data collection using structured questionnaires. The data were descriptively analyzed with a focus on farmer’s perception of the modern market. The results showed that most respondents (>50%) in Indramayu and Cirebon Districts are interested in selling their mango to the modern market. The biggest advantages of the modern market are that they will get a higher price (75%), gain access to better quality seeds/seedlings (16.50%), and get technical assistance and new skills, especially for cultivating and handling yields (15.06%). This study also reveals factors that cause farmers reluctant to sell mangoes to the modern market. The main reason is that most farmers own small-scale farms, so they cannot meet modern market criteria (28.73%). Besides, farmers feel that the mango has low-quality products. Other farmers think they do not have the ability, experience, and sufficient information related to modern markets (14.94%). This study suggests that the government could encourage mango farmers to engage in the modern market by facilitating the training to improve farmer’s capability and provide a supplier who guarantees the supply’s payment and sustainability
    corecore