10 research outputs found

    Tingkat Rujukan Emisi Hutan Mangrove Delta Mahakam

    Full text link
    Forest Reference Emission Level (FREL) is one of four required elements for developing countries in implementing REDD+ activities, and serves as a benchmark in assessing REDD+ performance. This study assessed the emission level from mangrove deforestation in Mahakam Delta - East Kalimantan, aiming to enhance the baseline for subnational FREL document. Over the observation period of 1980-2001, conversion of mangrove forest into aquaculture ponds has resulted in a massive mangrove loss, with an estimation of 3,183 hectare/year, or equivalent to the release of 0.46 Tg CO2e/year. If soil pool was also included in the calculation, mangrove deforestation in Mahakam Delta between 1980 and 2001 emitted 2.9 TgCO2e/year. The CO2 emission from aquaculture ponds may couple with mangrove deforestation, which released 52 Gg CO2 /year from the pond floor. After 2001, the rate of mangrove deforestation decreased, allowing mangrove forests to recover with the expansion rate of 1,546 hectare/ year during 2001-2011 or equivalent to the carbon sequestration or removal of 0.67-4.7 TgCO2e/year. The results of the study suggest the way to improve the existing FREL by raising the importance of mangrove as “blue” carbon, with reference of the 2013 IPCC Guideline: Wetland Supplement. Tingkat Rujukan Emisi Hutan (TREH) merupakan salah satu acuan bagi negara berkembang dalam melaksanakan aktivitas REDD+ sekaligus sebagai tolak ukur dalam menilai kinerja pelaksanaan REDD+. Studi ini mengkaji tingkat emisi CO2 dari deforestasi hutan mangrove di Delta Mahakam Kalimantan Timur melalui pendekatan retrospective, dengan tujuan untuk melengkapi baseline TREH subnasional. Selama masa tahun pengamatan 19802001, konversi hutan mangrove menjadi tambak budidaya telah menyebabkan hilangnya hutan mangrove sekitar 3.183 hektar/tahun atau setara dengan terlepasnya 0,46 TgCO2e/tahun. Apabila soil pool dimasukan ke dalam perhitungan maka nilai tersebut akan bertambah menjadi 2,9 TgCO2e/tahun. Diperkirakan lahan tambak turut memberikan kontribusi pada nilai emisi sekitar 52 GgCO2/tahun yang dilepaskan dari permukaan tanah tambak. Setelah tahun 2001, laju deforestasi mangrove menurun ditandai dengan pertambahan luas hutan mangrove (recovery) dengan laju perluasan 1.546 hektar/tahun selama tahun 2001-2011, atau setara dengan penyerapan (C sequestration) atau perpindahan karbon (removal) sekitar 0,67–4,7 TgCO2e/tahun. Hasil dari studi ini memberikan masukan untuk penyempurnaan TREH yang telah ada dengan mengangkat peran penting mangrove sebagai “blue' carbon di dalam dokumen TREH, mengikuti acuan dari 2013 IPCC Guideline: Wetland Supplement

    Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung

    Full text link
    Permasalahan hutan lindung Indonesia sudah sangat kritis, penurunan luas dan kerusakan hutan lindung sejak 1997 sampai 2002 dua kali lebih besar dari kerusakan hutan produksi. Melihat kondisi yang demikian, muncul beberapa pertanyaan mendasar, seperti sejauh mana kebijakan dan peraturan Perundangan yang ada mendukung ke arah pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan? Adakah dampak kebijakan ini terhadap pengelolaan hutan lindung? Sudah tepatkah kebijakan dan peraturan Perundangan yang ada sehingga mendukung ke arah tujuan dari Peruntukkan kawasan hutan lindung tersebut? Kajian tentang kebijakan pengelolaan hutan lindung ini selain bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, juga bertujuan untuk mengkaji kebijakan dan peraturan Perundangan terkini yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung. Secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi kebijakan dan peraturan Perundangan yang mengatur secara langsung maupun tidak langsung hutan lindung, mulai tingkat pusat sampai daerah, (ii) menelaah kebijakan dan peraturan Perundangan, termasuk mengkaji konsistensi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, (iii) mengetahui kondisi hutan lindung saat ini, dan (iv) merekomendasikan kebijakan pengelolaan hutan lindung yang diperlukan untuk mencapai pembangunan hutan lindung yang berkelanjutan. Hasil kajian terhadap 83 peraturan yang mengatur hutan lindung, menunjukkan masih belum jelas dan terarahnya kebijakan pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan. Walaupun berbagai Perundangan mulai dari UU No. 41/1999, PP 44/2004, PP 34/2002, Keppres 32/1990 sudah secara jelas menyebutkan fungsi, peranan dan kriteria hutan lindung, serta bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan di atasnya. Tetapi Perundangan yang sama masih mengijinkan Perubahan penggunaan areal hutan lindung untuk kepentingan penggunaan di luar kehutanan, termasuk pertambangan tertutup. Sehingga keberadaan hutan lindung menurut peraturan Perundangan masih dilematis. Secara lebih rinci persoalan dalam kebijakan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, masih terdapat perbedaan mendasar antar Perundangan tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung. Kedua, adanya dualisme kebijakan pemerintah, dimana di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan lindung dan menetapkan aturan-aturan untuk melestarikannya, tapi di sisi lain membuka peluang kawasan hutan lindung tersebut untuk dieksploitasi. Ketiga, belum terlihatnya harmonisasi kebijakan yang dapat menjadi dasar dan acuan dalam pengelolaan hutan lindung di daerah. Keempat, adanya kebijakan yang overlapping dan membingungkan pelaksana lapangan. Kelima, kurangnya apresiasi pemerintah kabupaten terhadap fungsi ekologis dari hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan mencegah intrusi air laut. Keenam, tidak mengacunya kebijakan yang lebih rendah kepada peraturan yang berkaitan erat yang berada diatasnya. Penelitian ini menyarankan perlunya meningkatkan kebijakan terutama dalam hal : (i) mewujudkan persamaan persepsi tentang fungsi hutan lindung antar instansi yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung, dan (ii) kebijakan yang komprehensif, integrated, dan tidak overlapping

    Kondisi Tata Kelola Hutan untuk Implementasi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) di Indonesia

    Full text link
    Salah satu elemen kritis untuk mendukung keberhaslan REDD+ adalah melalui upaya meningkatkan tata kelola kepemerintahan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis upaya kondisi tata kelola lembaga REDD+ sudah ada. Penelitian dilakukan pada tahun 2011 di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Berau. Pemilihan kedua lokasi ini didasarkan pada keberadaan kegiatan percontohan (Demonstration Activities good) di lokasi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga REDD+yang ada belum sepenuhnya mencerminkan tiga pilar dalam good governance , keterwakilan unsur masyarakat masih kurang. Indikator profesionalisme menduduki nilai tertinggi, sedangkan indikator partisipasi menduduki nilai terendah. Lembaga yang dapat berpotensi untuk menjadi lembaga REDD+ tersebut juga belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip good governance , hal ini karena baru dalam tahap awal operasional. Lembaga REDD+ yang ada semuanya merupakan lembaga ad hoc sehingga bersifat sementara, ada kecenderungan tidak adanya learning organization dan mengarah ke overlapping fungsi. Penelitian menyarankan beberapa hal: (i) penguatan tata kelola hutan pada lembaga REDD+ yang sudah ada bisa dilakukan melalui penguatan pilar masyarakat dan penguatan prinsip partisipasi, (ii) masyarakat atau pihak yang mewakili masyarakat perlu dilibatkan dalam struktur kelembagaan REDD+, (iii) Penilaian prinsip-prinsip good governance dalam institusi REDD+ akan lebih komprehensif jika dilakukan pada kondisi implementasi, dimana mekanisme distribusi pembayaran dari kegiatan penurunan emisi sudah berjalan, (iv) Fungsi fasilitas perlu terus diperkuat sebagai penggerak mekanisme REDD+ agar dapat terimplementasikan dan (iv) Struktur organisasi yang terbaik mengikuti strategi REDD+yang ditetapkan

    Kelembagaan Aforestasi dan Reforestasi Mekanisme Pembangunan Bersih (A/r Mpb) di Indonesia: Kasus di Nusa Teggara Barat dan Jawa Barat 1

    Full text link
    Kelembagaan Mekanisme Pembangunan Bersih untuk dan (A/R MPB) Aforestasi Reforestasi menarik untuk dikaji karena berbagai hal, diantaranya: (i) siklus proses perolehan Sertifikat Penurunan Emisi yang panjang, sehingga pedoman yang jelas pada setiap tahap sangat diperlukan (Yamada dan Fujimori, 2003), (ii) lahan kosong dan terdegradasi yang perlu direhabilitasi sangat luas, dan (iii) merupakan alternative pilihan dana reboisasi yang menarik di tengah minimnya dana DR dan APBN. Bagaimana bentuk kelembagaan MPB, siapa saja lembaga yang terlibat dan apa saja yang perlu dilakukan terutama di tingkat daerah agar mekanisme pelaksanaan MPB lebih efisien dari aspek biaya dan waktu, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Metode AHP digunakan sebagai alat analisis. Pre-MPB proyek di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan JIFPRO ( ) sebagai investor awal dipilih sebagai lokasi penelitian. Japan International Forestry Promotion and Cooperation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan MPB A/R harus mencakup dan melibatkan kelembagaan pada tingkat daerah, nasional dan Internasional. Kelembagaan daerah sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan MPBA/R, terutama berkaitan dengan pemilihan lokasi atau lahan MPByang layak berdasarkan definisi Protokol Kyoto, jelas status kepemilikannya, dan tidak mempunyai resiko sosial yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya bobot kepentingan indikator lahan dan indikator sosial di NTBdan jawa Barat, yaitu masing-masing 28% dan 31%. Struktur kelembagaan MPB A/R di daerah saat ini disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan sistem administrasi setempat. Karena itu struktur kelembagaan di NTB dan Jawa Barat berbeda, di NTB terdapat beberapa pihak yang mempunyai peran penentu dalam mengarahkan pelaksanaan MPB yaitu Dinas Kehutanan Propinsi, Gubernur NTB dan Bupati Lombok Timur, Departemen Kehutanan terutama Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS) serta JIFPRO. Untuk Jawa Barat hanya melibatkan Departemen Kehutanan terutama Dirjen RLPS, dan BP DAS Citarum Ciliwung, serta JIFPRO. Keduanya melibatkan JIFPRO sebagai investor awal, yang menandakan pentingnya peran investor awal dalam memulai kegiatan MPBA/R. Hasil penelitian menyarankan perlunya dibentuk komisi daerah MPB atau forum MPB daerah yang dapat berfungsi untuk koordinasi, fasilitasi dan sinkronisasi kegiatan MPB mulai tingkat lokal sampai nasional

    Strategi Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali

    Full text link
    Adanya tekanan dari berbagai kepentingan terhadap kawasan Tahura Ngurah Rai berpotensi menjadi penyebab kerusakan tanaman mangrove yang menyebabkan Perubahan ekosistem. Penelitian ini bertujuan: mengidentifikasi pemanfaatan mangrove oleh masyarakat; mengidentifikasi faktor internal dan eksternal dalam pengelolaan mangrove; dan menentukan strategi pengelolaan mangrove. Analisis SWOT digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua faktor internal tertinggi yang menjadi kekuatan pengelolaan mangrove di Bali adalah lokasi yang strategis dan merupakan ekosistem mangrove terbesar di Bali. Sedangkan faktor internal yang menjadi kelemahan adalah banyaknya sampah dan lumpur serta adanya sedimentasi di Tahura bagian hilir. Faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang pengelolaan mangrove yaitu wisatawan yang terus meningkat dan lokasi yang dekat dengan objek wisata lain. Sedangkan yang menjadi ancaman pengelolaan adalah adanya kepentingan pihak-pihak tertentu yang cenderung mengurangi keberadaan dan kelestarian hutan mangrove, pembuangan sampah di daerah hulu yang masih terjadi, dan pembangunan infrastruktur di sekitar. Lima strategi pengelolaan mangrove di Bali adalah implementasi dan penegakan aturan yang jelas, terkait zonasi dan regulasi yang menyertainya; pengelolaan sampah dan pengendalian pencemaran; penyuluhan dan pendidikan lingkungan terhadap masyarakat; perencanaan pembangunan strategis yang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung mangrove; pengembangan pariwisata yang melibatkan masyarakat dan kearifan lokal

    Nilai Ekonomi Air di Sub DAS Konto dan Sub DAS Cirasea

    Full text link
    Nilai ekonomi manfaat hidrologis yang dihasilkan hutan lindung belum diketahui secara luas, sehingga apresiasi terhadap hutan lindung masih rendah dan tekanan terhadap hutan lindung masih terus berlangsung. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai-ekonomi manfaat hidrologis air dari hutan lindung. Metode yang digunakan adalah pendekatan biaya pengadaan, yang mencerminkan nilai minimal manfaat ekonomi air yang dirasakan rumah tangga di hulu DAS yang langsung memanfaatkan air dari sumber mata air hutan lindung. Analisis ini menggunakan software Minitab versi 13.0. Penelitian dilakukan di bagian hulu-tengah DAS Brantas, yaitu di Sub DAS Konto, yang mengalirkan air ke waduk Selorejo, dan di Sub DAS Cirasea, hulu DAS Citarum. Lokasi ini dipilih karena merupakan DAS yang paling banyak memiliki permasalahan, terutama polusi air permukaan, konflik air, dan penurunan muka air tanah, serta merupakan sumber air utama untuk Perum Jasa Tirta (PJT) I dan PJT II yang merupakan BUMN pensuplai air terbesar di pulau Jawa. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi air untuk manfaat hidrologis Sub DAS Konto, dan Sub DAS Cirasea, masing-masing sebesar Rp. 37.873.740.832/tahun dan Rp. 76.769.512.989/tahun, nilai ini adalah nilai yang diberikan oleh keberadaan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea yang menghasilkan manfaat hidrologis terhadap rumah tangga. Hasil perhitungan nilai ekonomi air dari manfaat hidrologis yang dihasilkan sebagai fungsi dari keberadaan kawasan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea ini, hanya sebagian kecil dari nilai ekonomi air total yang dikandung oleh kawasan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea karena masih banyak pengguna-pengguna air lain yang lebih besar seiring dengan mengalirnya air

    Economic Assessment of Some Agro Forestry Systems and Its Potential for Carbon Sequestration Service in Indonesia

    Get PDF
    This paper provides several alternatives agroforestry and plantation systems to consider for carbon sequestration purposes. It is indicated that multicropping of coffee multistrata or fruit trees such as mango, duku and durian with timber or food and vegetable crops produces more benefits financially and economically compared to monoculture of tree plantation such as albizia. The former system is more attractive in terms of return to labour and land. However, the later system produce more carbon and low cost of carbon, which is more potential from the buyers point of view: So there is a trade-off from supply and demand side for choosing the best alternatives system. Implication of these are as follows: (i) amount and price of product is becoming a key factors in determining whether a system is more feasible for selling of product or carbon trade, and (ii) there is a need to create incentives system for land owners/producers if carbon trade is a priority

    Perkembangan Implementasi Pasar Karbon Hutan di Indonesia

    Full text link
    Pasar karbon REDD+ dapat menjadi insentif bagi pelaku implementasi REDD+ di lapangan. Permasalahan yang dihadapi adalah ketidakpastian pasar yang tinggi yang diakibatkan oleh belum tersedianya mekanisme transaksi karbon. Komitmen pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten relatif tinggi yang ditunjukan dengan disusunnya peraturan pendukung implementasi REDD+. Kegiatan REDD+ adalah dalam rangka menjaga hutan lestari dan seandainya terjadi perdagangan karbon maka hasil perdagangan merupakan manfaat tambahan.Stakeholder terutama pemda belum mengetahui secara pasti tentang tata cara atau mekanisme pasar karbon, termasuk standar karbon dan metodologi untuk mengha­sil­kan kredit karbon. Insentif yang diharapkan atas capai­an penurunan emisi yang dihasilkan lebih didasarkan pada perannya dalam pengelolaan hutan lestari/peningkatan kese­jah­teraan masyarakat bukan berdasarkan harga karbon. Terkait dengan pemenuhan target penurunan emisi 26% masih perlu kajian lebih jauh tentang proporsi yang dapat diklaim oleh pembeli. Besarnya proporsi perlu mempertimbangkan pangsa modal investasi antara pembeli dan pemerintah yang dikeluarkan, lain halnya jika pembiayaan awal ditanggung oleh pemerintah. Juga diperlukan lembaga registri yang mengelola kegiatan, capaian penurunan emisi, dan fasilitasi implementasi REDD+ di lapangan.Selain itu lembaga ini mengatur sistem insentif dan disinsentif dalam pengelolaan resiko kebocoran dan ketidakpermanenan
    corecore