4 research outputs found

    Standart Contract dalam Kontrak Kerjasama Profit and Loss Sharing : (Studi Hukum Perjanjian Islam)

    Get PDF
    A contract standard is an agreement prepared and determined in advance unilaterally by the agreement maker, which is binding and must be obeyed by other parties. The standard contract for profit and loss-sharing cooperation has two forms: the legal contract for Musharakah and the formal agreement for Mudarabah. Formal arrangements for for-profit and loss-sharing partnerships, with mudarabah and musharakah schemes, have differences in the legal structure between Islamic law of contract and banks. Mudarabah and musharakah in Islamic law of contract have a clear pattern in terms of legal subjects, whereas in Islamic Banks, even though the scheme is a business partnership but has standards in which the position of Islamic Banks remains as a financier that determine the certainty of payment in a definite amount so that it is similar to a scheme credit accompanied by collateral. This identifies that the standard contract determines the confidence of income (fixed return), which in Islamic contract law can cancel the contract because the capital/funds of business participation are not debts. Ā  Abstrak: Standart contract merupakan perjanjian yang telah dipersiapkanĀ  dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pembuat perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh pihak lainnya. Standart contract kerjasama profit and loss sharing memiliki dua bentuk, yaitu: Standart contract Musharakah dan standart contract Mudarabah. Standart contract kerjasama profit and loss sharing baik dengan skema mudarabah maupun musharakah memiliki perbedaan pada struktur bangunan hukumnya antara hukum perjanjian Islam dan Bank Syariah. Mudarabah dan musharkah pada hukum perjanjian Islam memiliki pola yang jelas pada aspek subyek hukumnya, sedangkan di Bank Syariah, meskipun skemanya adalah bermitra usaha tetapi memiliki standar di mana kedudukan Bank Syariah tetap sebagai pemberi pembiayaan yang menetapkan kepastian pembayaran dalam jumlah yang pasti sehingga mirip seperti skema kredit dengan disertai agunan. Hal ini mengidentifikasikan bahwa dalam standart contract menentukan kepastian pendapatan (fix return) yang dalam hukum Perjanjian Islam hal tersebut dapat membatalkan akad karena modal/dana penyertaan usaha bukanlah hutang-piutang.

    Political Culture of Madurese Community in Marriage Law: from the Perspective of Utilitarianism and Structuration Theories and Maqasidi Interpretation

    Get PDF
    This research delves into marriage law of Madurese community seen from the purview of its culture and nature. The practice of such marriage contravenes the formal restrictions of the legislation concerning marriage as ruled by the state. Several facts show that some marriage norms were spoiled, sparking the popularity of sirri (unregistered) marriage which further leads to istbat nikah and underage marriage that triggers an exemption. This research employed a qualitative method by garnering information from the judges of a religious court, kiai (a respected and religious Javanese expert in Islam), and the members of the public. The primary data were collected from data on unregistered marriage and exemption in marriage. The data were reductively analyzed, discovering that, first, the political culture of the marriage in Madurese community is captured in a particular pattern: 1) political administration is a measure taken to manipulate the administrative process; 2) political prevention is defined as a legal objective (maslahah, avoiding the likelihood of sharia violations with the basis of hifdz an-nasb) which is a milestone of a legal politics referred to by people, 3) political family and political culture were shaped by the peopleā€™s view believing that securing familial relationships from breaking is far more important than what the legislation regulates, 4) political authority represents the presence of a kiai that works like a shield and an escape thoroughfare from the law of the state for the sake of the tradition; second, 1) from the aspect of utilitarianism, there is a point at which political culture of Madurese community and justice meet, 2) the structuration theory views political culture in Madurese community as inevitability, involving religious roles, public, and legal materials, and 3) within maqasidi scope, a law enforcement is seen as preventive (darā€™u al-mafasid) as congruent with the aspect of lawmaking objective.

    USAHA MIKRO SYARIAH: Pemberdayaan Masyarakat Purna TKI melalui Rintisan Kampung Lele di Geger Kedungadem Bojonegoro

    Get PDF
    Membangun usaha mikro syariah berbasis lokal adalah untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap sumber pendapatan alternatif pasca kebijakan pemerintah menghentikan pengirimkan TKI ke luar negeri. Masyarakat Geger Kedungadem Bojonegoro merupakan sumber suplay TKI ke luar negeri yang mayoritas bekerja di sektor domestik. Sebanyak 60% penduduknya berusia produktif bekerja sebagai TKI yang secara bertahap telah dipulangkan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut meresahkan warga yang memiliki keterbatasan pengetahuan berwirausaha, memanfaatkan sumber daya lokal sebagai sumber ekonomi alternatif serta tidak adanya lembaga penguat ekonomi masyarakat untuk memobilisasi perubahan kepada kehidupan yang lebih berkualitas. Social entrepreneurship merupakan salah satu cara yang paling tepat guna memberdayakan masyarakat, membangun kreativitas dan kemampuan atas daya individu masyarakat yang kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses serta berkemandirian ekonomi. Perubahan masyarakat diperlukan pendampingan dan pemberdayaan guna meningkatkan kondisi dan kesejahteraan masyarakat agar terlepas dari keterbelengguan akan kemiskinan sehingga masyarakat mampu hidup mandiri. Untuk merealisasikannya, maka rencana program pemberdayaan akan difokuskan pada: Pertama, menciptakan usaha mikro syariah dengan membentuk ā€œKampung Leleā€ untuk mewujudkan kemandirian ekonomi warga Geger Bojonegoro, sehingga ada usaha produktif alternatif untuk menopang kehidupan keluarga TKI, kedua, membentuk UKM Syariah sebagai lembaga penguat ekonomi dan menjamin keberlangsungan program pemberdayaan, dan ketiga, mengadakan pendidikan kewirausahaan dan pelatihan budidaya Lele

    ACTIO PAULIANA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP KREDITUR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1998

    Get PDF
    Dari permasalahan dan pembahasan mengenai penyelesaian permasalahan Actio Pauliana sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap kreditur yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Dalam Undang-undang kepailitan hasil revisi ini, dapat kita lihat pada prinsipnya Undang-undang Kepailitan berupaya untuk mengakomodasi kepentingan dari seluruh pihak yang terkait dengan dinyatakannya kepailitan atas seorang debitur. Salah satunya, tidak hanya kepentingan dari kreditur preferent, kreditur istimewa dengan hak privilige, melainkan juga kreditur konkuren dan kreditur dengan hak retensi, bentuk perlindungan yang diberikan bagi kreditur oleh Undang-undang Kepailitan yaitu : a. Permohonan pailit atas debitur seketika setelah utang jatuh waktu. Pembekuan harta pailit b. Hak separatis dari kreditur pemegang hak jaminan c. Putusan permohonan pernyataan pailit Actio Pauliana 2. Actio Pauliana dapat dikatakan merupakan terobosan terhadap sifat dasar perjanjian yang hanya berlaku dan mengikat diantara pihak-pihak yang membuatnya ( psl 1340 ayat (1) B.W.). Terobosan yang diatur dalam ketentuan pasal 1341 B.W. tersebut memperoleh ketentuan pelaksanaannya dalam pasal 41-48 Undang-undang Kepailitan. menentukan bahwa setiap kreditur dapat mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak wajib dilakukan oleh debitur dengan nama apapun juga yang merugikan para kreditur sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan baik debitur maupun pihak dengan atau siapa debitur itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan para kreditur. Lembaga ini diciptakan untuk melindungi para kreditur agar mereka tidak diperdayai oleh debiturnya, yaitu orang, persekutuan atau badan hukum yang dinyatakan pailit. Adalah tugas kurator untuk mencari tahu apakah debitur yang telah dinyatakan pailit karena kesalahannya atau karena kelalaiannya, telah berusaha menjual, menghibahkan, menjamin, menyewakan, menukarkan atau melakukan tindakan lain dengan maksud untuk memperdayai krediturnya. Menurut pasal 41-42 Undang-undang Kepailitan, syarat-syarat Actio Pauliana yaitu : a. Dilakukan Actio Pauliana tersebut untuk kepentingan harta pailit, b. Adanya perbuatan hukum dan debitur, c. Debitur tersebut telah dinyatakan pailit, d. Perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditur, e. Perbuatan hukum tersebut dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan, f. Perbuatan hukum tersebut dilakukan debitur dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pernyataan pailit, g. Kecuali dalam hal-hal berlaku pembuktian terbalik, dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, debitur tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur, h. Kecuali dalam hal-hal berlaku pembuktian terbalik, dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur, i. Perbuatan hukum tersebut bukan perbuatan hukum yang diwajibkan, yaitu tidak diwajibkan oleh perjanjian atau Undang-undang
    corecore