8 research outputs found
Delays in the presentation and diagnosis of women with breast cancer in Yogyakarta, Indonesia: A retrospective observational study
Purpose
To investigate factors associated with delays in presentation and diagnosis of women with confirmed breast cancer (BC).
Methods
A cross-sectional study nested in an ongoing prospective cohort study of breast cancer patients at Dr Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia, was employed. Participants (n = 150) from the main study were recruited, with secondary information on demographic, clinical, and tumor variables collected from the study database. A questionnaire was used to gather data on other socioeconomic variables, herbal consumption, number of healthcare visits, knowledge-attitude-practice of BC, and open-ended questions relating to initial presentation. Presentation delay (time between initial symptom and first consultation) was defined as ≥3 months. Diagnosis delay was defined as ≥1 month between presentation and diagnosis confirmation. Impact on disease stage and determinants of both delays were examined. A Kruskal-Wallis test was used to assess the length and distribution of delays by disease stage. A multivariable logistic regression analysis was conducted to explore the association between delays, cancer stage and factors.
Results
Sixty-five (43.3%) patients had a ≥3-month presentation delay and 97 (64.7%) had a diagnosis confirmation by ≥1 month. Both presentation and diagnosis delays increased the risk of being diagnosed with cancer stage III-IV (odds ratio/OR 2.21, 95% CI 0.97–5.01, p = 0.059 and OR 3.03, 95% CI 1.28–7.19, p = 0.012). Visit to providers ≤3 times was significantly attributed to a reduced diagnosis delay (OR 0.15, 95% CI 0.06–0.37, p <0.001), while having a family history of cancer was significantly associated with increased diagnosis delay (OR 2.28, 95% CI 1.03–5.04, p = 0.042). The most frequent reasons for delaying presentation were lack of awareness of the cause of symptoms (41.5%), low perceived severity (27.7%) and fear of surgery intervention (26.2%).
Conclusions
Almost half of BC patients in our setting had a delay in presentation and 64.7% experienced a delay in diagnosis. These delays increased the likelihood of presentation with a more advanced stage of disease. Future research is required in Indonesia to explore the feasibility of evidence-based approaches to reducing delays at both levels, including educational interventions to increase awareness of BC symptoms and reducing existing complex and convoluted referral pathways for patients suspected of having cancer
Survival outcome and prognostic factors of patients with nasopharyngeal cancer in Yogyakarta, Indonesia: A hospital-based retrospective study
Purpose
This study aimed to determine the survival outcome and prognostic factors of patients with nasopharyngeal cancer accessing treatment in Yogyakarta, Indonesia.
Methods
Data on 759 patients with NPC diagnosed from 2007 to 2016 at Dr Sardjito General Hospital were included. Potential prognostic variables included sociodemographic, clinicopathology and treatment parameters. Multivariable analyses were implemented using semi-parametric Cox proportional hazards modelling and fully parametric survival analysis.
Results
The median time of observation was 14.39 months. In the whole cohort the median observed survival was 31.08 months. In the univariable analysis, age, education status, insurance type, BMI, ECOG index, stage and treatment strategy had an impact on overall survival (OS) (p values <0.01). Semi-parametric multivariable analyses with stage stratification showed that education status, ECOG index, and treatment modality were independent prognostic factors for OS (p values <0.05). In the fully parametric models age, education status, ECOG index, stage, and treatment modality were independent prognostic factors for OS (p values <0.05). For both multivariable analyses, all treatment strategies were associated with a reduced hazard (semi-parametric models, p values <0.05) and a better OS (parametric models, p values <0.05) compared with no treatment. Furthermore, compared with radiation alone or chemotherapy alone, a combination of chemotherapy and radiation either in a form of concurrent chemoradiotherapy (CCRT), sequential chemotherapy and radiation, or induction chemotherapy followed by CCRT demonstrated a reduced hazard (hazard ratio/HR 0.226, 95% confidence interval/CI 0.089–0.363, and HR 0.390, 95%CI 0.260–0.519) and a better OS (time ratio/TR 3.108, 95%CI 1.274–4.942 and TR 2.531, 95%CI 1.829–3.233) (p values < 0.01).
Conclusions
Median OS for the cohort was low compared to those reported in both endemic and non-endemic regions. By combining the findings of multivariable analyses, we showed that age, education status, ECOG index, stage and first treatment modality were independent predictors for the OS
Potensi Dan Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Di Jawa Timur
Menurunnya kondisi perekonomian sebagai akibat dari
pandemi Covid-19 berdampak pada berbagai sektor, termasuk
peternakan. Salah satu komoditas utama peternakan adalah sapi
potong. Provinsi Jawa Timur menempati peringkat pertama
produksi daging sapi di Indonesia. Untuk mempertahankan
serta mengembangkan sektor usaha tersebut, diperlukan adanya
alternatif strategi, dan dalam penentuan strategi diperlukan
adanya pendataan dan analisis terhadap potensi yang dimiliki
serta faktor-faktor yang mempengaruhi berjalannya usaha.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi
usaha ternak sapi potong di Jawa Timur menggunakan analisis
Location Quotient (LQ) untuk mengetahui pembagian wilayah
berdasarkan kategori basis dan non basis sapi potong, analisis
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)
untuk mengetahui jumlah populasi yang dapat ditambahkan
pada masing-masing kabupaten/kota, serta memberikan
alternatif strategi pengembangan menggunakan analisis
Strength Weakness Opportunity Threat (SWOT). Data utama
yang digunakan berupa data sekuder tahun 2018 yang
bersumber dari berbagai lembaga resmi pemerintah.
Hasil perhitungan LQ berdasarkan potensi sumber daya
manusia peternak sapi potong dan populasi sapi potong Provinsi
Jawa Timur menunjukkan bahwa sebanyak 20 kabupaten/kota
merupakan wilayah basis sapi potong, yakni Tulungagung,
Kediri, Lumajang, Pasuruan, Sidoarjo, Jombang, Madiun,
Magetan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan,
Pamekasan, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Probolinggo, Kota
Pasuruan, Kota Mojokerto, dan Kota Madiun. Wilayah non
basis sebanyak 18 kabupaten/kota, yakni Pacitan, Ponorogo,
Trenggalek, Blitar, Malang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso,
Situbondo, Probolinggo, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi,
Sampang, Sumenep, Kota Malang, Kota Surabaya, dan Kota
Batu.
Hasil KPPTR berdasarkan potensi hijauan (SDA)
menunjukkan hasil positif hanya terdapat pada 4
kabupaten/kota, yakni Lamongan, Kota Mojokerto, Kota
Madiun, dan Kota Surabaya, dengan total kelebihan populasi
ternak sebesar 2.316.221 ST. Sementara itu, KPPTR
berdasarkan SDM menunjukkan hasil positif 100% pada 38
kabupaten/kota. Indeks daya dukung lahan Provinsi Jawa Timur
masuk dalam kategori kritis, yakni 0,44.
Faktor-faktor pendukung usaha peternakan sapi potong
Provinsi Jawa Timur pada penelitian ini dianalisis berdasarkan
data-data sekunder yang berasal dari berita, artikel, jurnal
ilmiah, penelitian (tesis dan skripsi), proceedings, buku, serta
berbagai pustaka lainnya. Terdapat empat alternatif strategi
sebagai hasil dari analisis ini, yaitu strategi S-O dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas, serta diversifikasi produk
dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan potensi yang
dimiliki melalui berbagai program pemerintah; strategi W-O
dengan meningkatkan kualitas SDM dan pemerataan akses
permodalan sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing
untuk masuk ke dalam industri; strategi S-T dengan
meningkatkan inovasi dengan melihat perkembangan pasar
untuk meningkatkan daya saing sapi lokal; dan strategi W-T
dengan optimalisasi potensi sumber daya yang ada serta
efisiensi pengelolaannya untuk memperkuat ekonomi di tingkat
peternak.
Kesimpulan penelitian ini yaitu bahwa Provinsi Jawa
Timur tidak berpotensi untuk menambah populasi sapi potong,
dan untuk mengoptimalkan usaha ternak sapi potong dapat
dilakukan dengan empat alternatif strategi tersebut di atas.
Penelitian dengan data lebih aktual mengenai potensi SDA
masih dapat digali lagi mengingat sumber-sumber hijauan
pakan ternak belum semuanya terdata melalui Dinas Pertanian.
Penelitian mengenai dampak kelebihan populasi sapi potong
serta strategi penanggulangannya juga masih perlu dilakukan
Analisis Pengaruh Inklusi Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2015-2019
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh inklusi keuangan terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2015-2019. Pendekatan
dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskrptif dengan objek penelitian seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam kurun waktu 2015-2019. Jenis data
yang digunakan adalah data sekunder dan metode analisis datanya adalah perhitungan
indeks inklusi keuangan (IIK) dan regresi data panel dengan pendekatan Random Effect
Model. Indeks inklusi keuangan (IIK) dihitung berdasarkan tiga indikator yaitu penetrasi
perbankan, ketersediaan perbankan, dan kegunaan jasa perbankaan. Hasil perhitungan
indeks inklusi keuaangan (IIK) dari 22 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
menujukkan Kota Kupang memiliki nilai indeks inklusi keuangan paling tinggi dan Kabupaten
Sumba Tengah adalah wilayah dengan nilai indeks inklusi keuangan paling rendah di
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dan berdasarkan hasil regresi data panel dengan
pendekatan Random Effect Model menujukkan bahwa inklusi keuangan berpengaruh positif
dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
2015-201