47 research outputs found

    Variasi Morfometrik Pada Beberapa Lamun Di Perairan Semenanjung Minahasa

    Get PDF
    Lamun (seagrass) atau disebut juga ilalang laut. Istilah lamun untuk seagrass, pertama-tama diperkenalkan oleh Hutomo dimana merupakan satu-satunya kelompok tumbuhan hidup di perairan laut dangkal. Lamun tumbuh padat membentuk padang, sehingga dikenal sebagai padang lamun (seagrass beds). Penelitian pada ekosistem padang lamun dimana banyak terjadi kegiatan atau aktivitas pemanfaatan oleh manusia sangatlah terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini perlu diadakan sehingga dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi peneliti di perairan semenanjung Minahasa. Pengumpulan data dilaksanakan  di Perairan Semenanjung Minahasa Sulawesi Utara, khususnya di desa Arakan dan desa Tongkeina. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode jelajah. Sampel yang telah diperoleh (30 individu per species), diidentifikasi, diukur dengan aplikasi image-J gambar dan diolah menggunakan aplikasi SPSS versi 20.Rata-rata ukuran empat spesies yang diidentifikasi, memiliki variasi dan perbedaan antara spesies yang satu dengan spesies yang lain. Untuk spesies Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii yang tumbuh di Tongkeina berukuran lebih panjang dibanding yang tumbuh di Arakan. Sedangkan untuk spesies Halodule pinifolia, terlihat yang tumbuh di Arakan yang memiliki ukuran lebih panjang dari Halophila ovalis.     Hasil pengukuran menggunakan Hobo Pendant loggers di Arakan : intensitas cahaya 130000-139000 lux dan temperatur 36-37 0C. Di Tongkeina intensitas cahaya 230000-240000 lux dan temperatur 31-32 0C.Secara umum dapat disimpulkan bahwa ketiga spesies baik yang tumbuh di arakan maupun yang tumbuh di Tongkeina memiliki variasi morfometrik.

    Metal Concentration In Water, Sediment, and Green Alga Halimeda opuntia (Linnaeus) J.V. Lamouroux from Totok Bay and Blongko Waters, North Sulawesi

    Get PDF
    Heavy metals in the water and sediment, in spite of low concentration, will not degrade and even can be absorbed  and biologically accumulated by marine algae. This study was aimed to analyze the heavy metal concentrations in the seawater, sediment, and  Halimeda opuntia in Totok Bay and Blongko waters. Samples were analyzed using  APHA method  and USEPA method in Water Laboratory Nusantara (WLN). Results showed that the heavy metal concentration in Totok Bay waters was  <0.0001 ppm for Cadmium (Cd),  <0.001 ppm for lead (Pb),  <0.005 ppm for Zinc (Zn), and  <0.00005 ppm for mercury (Hg), respectively, while Blongko waters had Cd concentration of <0.0001 ppm, Pb  <0.001 ppm, Zn <0,005 ppm, Hg <0.00005 ppm. Heavy metal concentration in the sediment of Totok Bay was 4.71 ppm for Cd, 10.7 ppm for lead, 58 ppm for Zn, and 2.68 ppm for Hg, respectively, while in Blongko, the heavy metal concentration was 0,03 ppm for Cd,  0.4 ppm for Pb,  <1 ppm for Zn, and <0.05 ppm for Hg, respectively. The heavy metal concentration in H. opuntia of  Totok Bay was 0.18 ppm for Cd,  2.2 ppm for Pb, 5.10 ppm for Zn, 0.74 ppm for Hg, while H. opuntia of Blongko contained 0.02 ppm of Cd,  0.2 ppm of lead,  <0.5 ppm of  Zn, and  0.009 ppm of Hg, respectively.Keywords : Cadmium (Cd); Lead (Pb); Zink (Zn); Mercury (Hg); Halimeda opuntia; Totok Bay; Blongko waters.ABSTRAKLogam berat dalam perairan dan sedimen meskipun memiliki kadar yang relatif rendah namun tidak akan mengalami degradasi bahkan dapat diabsorbsi dan terakumulasi secara biologis oleh alga laut. Tujuan penelitian adalah menganalisis kandungan logam berat dalam air laut, sedimen dan Halimeda opuntia di perairan Teluk Totok dan Perairan Blongko. Analisis sampel mengacu metode APHA, (2012) dan USEPA, (2005) yang dianalisis di Water Laboratory Nusantara (WLN). Hasil analisis konsentrasi logam berat dalam air laut di perairan Teluk Totok yaitu kadmium (Cd) <0,0001 ppm, timbal (Pb) <0,001 ppm, seng (Zn) <0,005 ppm dan merkuri (Hg) <0,00005 ppm sedangkan dari perairan Blongko yaitu konsentrasi kadmium (Cd) <0,0001 ppm, timbal (Pb) <0,001 ppm, seng (Zn) <0,005 ppm dan merkuri (Hg) <0,00005 ppm. Konsentrasi logam berat pada sedimen di perairan Teluk Totok yaitu kadmium (Cd) 4,71 ppm, timbal (Pb) 10,7 ppm, seng (Zn) 58 ppm dan merkuri (Hg) 2,68 ppm dan perairan Blongko dengan konsentrasi kadmium (Cd) 0,03 ppm, timbal (Pb) 0,4 ppm, seng (Zn) <1 ppm dan merkuri (Hg) <0,05 ppm. Sedangkan konsentrasi logam berat pada H. opuntia di perairan Teluk Totok dengan konsentrasi kadmium (Cd) 0,18 ppm, timbal (Pb) 2,2 ppm, seng (Zn) 5,10 ppm dan merkuri (Hg) 0,74 ppm dan perairan Blongko dengan konsentrasi kadmium (Cd) 0,02 ppm, timbal (Pb) 0,2, seng (Zn) <0,5 ppm dan merkuri (Hg) 0,009 ppm.Kata-kata kunci : Kadmium (Cd); Timbal (Pb); Seng (Zn); Merkuri (Hg); Halimeda opuntia; Teluk Totok; Perairan Blongko

    Cultivation of tropical red seaweeds in the BIMP-EAGA region

    Get PDF
    The Brunei–Indonesia–Malaysia–Philippines East Asia Growth Area (BIMP-EAGA) is located within the Coral Triangle, known to have the world’s richest biodiversity in marine flora and fauna. This region lies within the 10° N and 10° S of the Equator where natural populations of both Kappaphycus and Eucheuma grow luxuriantly and abundantly. It is in this same region where commercial cultivation of Kappaphycus and Eucheuma began in the Philippines around the mid-1960s. Commercial farming of Kappaphycus (which was originally called Eucheuma) was successful in the Philippines from the early 1970s, after which the technology was transferred to Indonesia and Malaysia in the late 1970s. No seaweed cultivation has been reported in Brunei. At present, carrageenophytes are cultivated in sub-tropical to tropical countries circumferentially around the globe within the 10° N and S of the Equator. However, their combined production is still low as compared to Indonesia, the Philippines, and Malaysia. Notably, few improvements in farming techniques have been made since its first introduction. Some of the major improvements were the introduction of deep-water farming using hanging long lines, multiple rafts, and spider webs in the Philippines; the use of short and long ‘loops’, instead of plastic ‘tie-tie’ in Indonesia; and mechanization in harvesting and use of solar “greenhouse” drying in Malaysia. Commercial cultivation of tropical red seaweeds in the BIMP-EAGA region is dominated by Kappaphycus and Eucheuma (carrageenophytes) and Gracilaria (agarophytes) and the area became the major region for the production of carageenophytes and agarophytes globally. In particular, Indonesia is a major center for the production of Gracilaria. There is an increasing demand for other agarophytes / carrageenophytes in the international market such as Gelidium spp., Pterocladia spp., Porphyroglossum sp., and Ptilophora sp. for paper and ethanol production in Indonesia and Malaysia, and Halymenia for phycoerythrin pigments in the Philippines currently pursued in an experimental stage. A summary of the present status, problems, sustainability, and challenges for the cultivation of tropical red seaweeds in the BIMP-EAGA region are discussed in this paper

    Variasi Morfometrik Pada Beberapa Lamun Di Perairan Semenanjung Minahasa

    Full text link
    Lamun (seagrass) atau disebut juga ilalang laut. Istilah lamun untuk seagrass, pertama-tama diperkenalkan oleh Hutomo dimana merupakan satu-satunya kelompok tumbuhan hidup di perairan laut dangkal. Lamun tumbuh padat membentuk padang, sehingga dikenal sebagai padang lamun (seagrass beds). Penelitian pada ekosistem padang lamun dimana banyak terjadi kegiatan atau aktivitas pemanfaatan oleh manusia sangatlah terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini perlu diadakan sehingga dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi peneliti di perairan semenanjung Minahasa. Pengumpulan data dilaksanakan di Perairan Semenanjung Minahasa Sulawesi Utara, khususnya di desa Arakan dan desa Tongkeina. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode jelajah. Sampel yang telah diperoleh (30 individu per species), diidentifikasi, diukur dengan aplikasi image-J gambar dan diolah menggunakan aplikasi SPSS versi 20.Rata-rata ukuran empat spesies yang diidentifikasi, memiliki variasi dan perbedaan antara spesies yang satu dengan spesies yang lain. Untuk spesies Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii yang tumbuh di Tongkeina berukuran lebih panjang dibanding yang tumbuh di Arakan. Sedangkan untuk spesies Halodule pinifolia, terlihat yang tumbuh di Arakan yang memiliki ukuran lebih panjang dari Halophila ovalis. Hasil pengukuran menggunakan Hobo Pendant loggers di Arakan : intensitas cahaya 130000-139000 lux dan temperatur 36-37 0C. Di Tongkeina intensitas cahaya 230000-240000 lux dan temperatur 31-32 0C.Secara umum dapat disimpulkan bahwa ketiga spesies baik yang tumbuh di arakan maupun yang tumbuh di Tongkeina memiliki variasi morfometrik

    Komparasi Struktur Komunitas Lamun Di Bantayan Kota Dumaguete Filipina Dan Di Tanjung Merah Kota Bitung Indonesia

    Get PDF
    Lamun adalah tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari kelas Angiospermae.Tumbuhan ini telah menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Lamun terdiri dari rhizome atau rhizoma (batang terbenam atau akar rimpang), daun dan akar. Perairan Bantayan, Kota Dumaguete dan perairan Tanjung Merah berbeda letak geografis, tetapi sama-sama memiliki padang lamun, sehingga perlu dilakukan penelitian dalam rangka menyediakan informasi ilmiah mengenai padang lamun tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas lamun di kedua perairan tersebut. Pengambilan data dilakukan di daerah padang lamun kedua lokasi penelitian dengan luas masing-masing area 50 x 100 atau 5000 m2 (0,5 Ha) dengan menggunakan kuadran 50 x 50 cm pada 3 line transek.Hasil penelitian diperoleh sebanyak 8 spesies lamun di perairan Bantayan sedangkan di perairan Tanjung Merah diperoleh 7 spesies. Nilai kepadatan lamun di perairan Bantayan yaitu 0,4448 sedangkan di perairan Tanjung Merah adalah 0,3464 (kepadatan tertinggi di perairan Bantayan). Luas tutupan lamun di perairan Bantayan 0,00378 % sedangkan di perairan Tanjung Merah 0,00372 %. Indeks keanekaragaman (H\u27) lamun di perairan Bantayan yaitu 0,8574 sedangkan di Tanjung Merah 0,7074, dari hasil ini menujukkan bahwa keanekaragaman lamun di perairan Bantayan lebih tinggi dari perairan Tanjung Merah

    PENGARUH TIMBAL ASETAT (Pb (CH3COO)2) TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA LAUT Nannochloropsis oculata

    Get PDF
    Microalgae are simple unicellular or multicellular microorganisms that are able to bind CO2 andcan absorb solar energy for the process of photosynthesis so that microalgae can convert inorganiccompounds into organic compounds. The organic compounds contained in microalgae arecarbohydrates, proteins, nucleic acids, and fats. The purpose of this study was to determine the growthand density of the microalgae Nannochloropsis oculata from the start of the culture to the exponentialphase and then proceed with the administration of lead acetate with 3 different concentrations. Thedensity of microalgae cells from the beginning of the culture to the exponential phase was on the 11day of observation. In the exponential phase, microalgae gave lead acetate treatment to 3 containerswith concentrations of 30 ppm, 50 ppm, 80 ppm and 1 control container without treatment. The growthof Nannochloropsis oculata cell density with lead acetate administration experienced a decrease ingrowth when compared to the control container (without lead acetate treatment).Keywords: Microalgae, Nannochloropsis oculata, Lead Acetate ABSTRAKMikroalga merupakan mikroorganisme uniseluler atau multiseluler sederhana yang mampumengikat CO2 dan dapat menyerap energi matahari untuk proses fotosintesis sehingga mikroalga dapatmengubah senyawa anorganik menjadi senyawa organik. Senyawa organik yang terkandung dalammikroalga yaitu karbohidrat, protein, asam nukleat, dan lemak. Tujuan dari penelitian ini adalah untukmengetahui pertumbuhan dan kepadatan mikroalga Nannochloropsis oculata dari awal kultur sampaipada fase eksponensial kemudian dilanjutkan dengan perlakuan pemberian timbal asetat dengan 3konsentrasi yang berbeda. Kepadatan sel mikroalga dari awal kultur sampai pada fase eksponensialyaitu pada hari ke-11 pengamatan. Pada fase eksponensial, mikroalga diberikan perlakuan timbalasetat ke dalam 3 wadah dengan konsentrasi 30 ppm, 50 ppm, 80 ppm serta 1 wadah kontrol tanpaperlakuan. Pertumbuhan kepadatan sel Nannochloropsis oculata dengan pemberian timbal asetatmengalami penurunan pertumbuhan jika dibandingkan dengan wadah kontrol (tanpa perlakuan timbalasetat). Kata kunci : Mikroalga, Nannochloropsis oculata, Timbal Aseta

    In Vitro Culture of Seaweed Kappaphycus alvarezii under Different Formulation of Growth Stimulating Substances and Culture Media

    Get PDF
    This study aims at obtaining a sustainably superior seed stock following the characteristics of the parent plant, determining the best formulation of the growth stimulating substance. In general, cytokinin and auxin combination was used, but this study also added with the combination of cytokinin and giberelin and cytokinin and abscisic acid (AA).Parameters measured were bud length, number of buds, and survival rate. Bacterial Vibrio sp test was also done as a cause of the explant mortality. Results showed that the longest bud was recorded in treatment C (S+A 1:2.5) cultured in a jar, 1.343 mm long, 38% of survival, while the highest number of buds was found in treatment B (S+A 1 : 2) 8.86. The shortest bud was recorded in treatment J (S + AA 1:2.5) cultured in a jar, 0.093 mm long, 2.64 buds, 10% of survival, while the explant cultured in the bottle had a length of 0.051 mm long, 1.50 buds, 4% of survival. As conclusion, the best growth stimulating substance was found in the treatment C for the bud length and the survival rate, while the best number of bud was recorded in the treatment B. The best culture tank was topless bottle (aerated). In vitro culture could also use S + G formulation. The explant mortality was caused by Vibrio charchariae. The use of S + AA formulation had lower growth than that of control treatment.Keywords :in vitro, growth stimulating substance, culture media, Kappaphycus alvarezii, Vibrio charchariae ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk memperoleh benih unggul secara berkelanjutan yang mengikuti karakteristik dari tanaman induk, menentukan formulasi terbaik dari substansi pertumbuhan merangsang. Secara umum, kombinasi sitokinin dan auksin digunakan, tetapi penelitian ini juga menambahkankombinasi sitokinin, giberelin, sitokinin dan asam absisat (AA). Parameter yang diukur adalah panjang tunas, jumlah tunas, dan tingkat kelangsungan hidup. Bakteri Vibrio Uji sp juga dilakukan sebagai penyebab kematian eksplan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas terpanjang terdapat pada perlakuan C (S + A 1: 2,5)  kultur dalam toples, 1,343 mm, 38% hidup, sementara jumlah tertinggi tunas ditemukan pada perlakuan B (S + A 1: 2) 8.86 . Jumlah tunas paling sedikit terdapat pada perlakuan J (S + AA 1: 2,5) yang dikultur dalam toples, 0,093 mm, 2,64 tunas, 10% hidup, sedangkan eksplan yang dikultur dalam botol memiliki panjang 0.051 mm, 1. 50 tunas , 4% bertahan hidup. Sebagai kesimpulan, pertumbuhan terbaik merangsang zat ditemukan dalam perlakuan C untuk panjang tunas dan tingkat kelangsungan hidup, sementara jumlah tunas terbanyak ditemukan pada perlakuan B. Penggunaan wadah budaya terbaik adalah topless yang diaerasi. Kultur in vitro juga dapat menggunakan formulasi S + G. Kematian eksplan disebabkan oleh Vibrio charchariae . Penggunaan formulasi S + AA memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dari pada pengobatan kontrol .Kata kunci : in vitro, zat perangsang tumbuh, media kultur, Kappaphycus alvarezii, Vibrio charcharia

    DNA Isolation And Amplification of the rbcL (ribulose-1,5- bisphosphate carboxylase/oxygenase large subunit) gene of Caulerpa sp., Gracilaria sp., And Sargassum sp.

    Get PDF
    DNA isolation and gene amplification of algae are significantly influenced by various factors such as characteristics and components of the algae cell wall. Therefore techniques and methods of DNA isolation in certain algae, sometimes only succeed in one particular species and can not be applied to another algae species. Based on that issue, this study was conducted with the aims to determine the succeed of DNA isolation and amplify the rbcL gene as a target gene for identification. Algae DNA was isolated by using innuPrep Plant DNA commercial kit, and the second one with a modified conventional Cetyl Trimetyl Ammonium Bromide (CTAB) method,  for the amplification process was using rbcL gene (ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase / oxygenase large subunit) with two pairs of primers : rbcL 7F-753R and rbcL 577F-rbcSR. The results showed that the DNA of Gracilaria sp was succeed isolated by using CTAB method and it was denoted by the presence of DNA bands in agarose gel. Meanwhile DNA amplification for Gracilaria sp., and Sargassum sp., were succeed amplified with the appearance of DNA bands. But in algae Caulerpa sp., was only succeed on 1 pair of primary rbcL 7F and 7.Keywords : DNA, gene rbcL, algae Caulerpa sp., Sargassum sp., Gracilaria sp;AbstrakIsolasi DNA dan amplifikasi gen pada alga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti karakter dan komponen pada dinding sel alga. Oleh karena itu proses isolasi DNA terkadang bisa berhasil pada satu jenis alga, namun tidak berhasil pada jenis alga lainnya. Oleh karena alasan tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menentukan keberhasilan Isolasi DNA dan mengamplifikasi gen rbcL sebagai gen target identifikasi. Penelitian ini dilakukan dengan tahapan awal Isolasi DNA yang menggunakan kit komersil innuPrep Plant DNA Kit, dan metode konvensional Cetyl Trimetyl Ammonium Bromide (CTAB) yang telah dimodifikasi. Sedangkan untuk proses amplifikasi, menggunakan gen rbcL (ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase/oxygenase large subunit) digunakan dua pasang primer yaitu rbcL 7F-753R dan rbcL 577F-rbcSR. Hasil isolasi DNA dari alga Gracilaria sp berhasil diisolasi menggunakan metode CTAB yang ditandai dengan adanya pita DNA pada gel agarose. Amplifikasi DNA pada alga Gracilaria sp., dan Sargassum sp., berhasil diamplifikasi dengan munculnya pita DNA. Namun pada alga Caulerpa sp. hanya berhasil pada 1 pasang primer rbcL 7F dan753R.Kata kunci : DNA, gen rbcL, alga Caulerpa sp., Sargassum sp., Gracilaria sp

    Study on the seaweeds of Ambon Island, Indonesia

    Get PDF
    Ambon island is located in the Eastern Indonesia at 3°33\u27-3°43\u27S, 128°0\u27-128°16\u27E. A study to find out the structure of the algae community, based on the transect line method by using quadrate sampling techniques, was conducted in 3 stations (Hutumuri, Lateri and Series). Meanwhile, studies on the diversity of macro algae were carried out in 15 stations all over the Ambon\u27s coastal areas (Galela, Latta, Lateri, Passo, Toisapu, Hutumuri, Rutong, Leahari, Hukurila, Amahusa, Frie, Seilale, Aerlow, Latuhalat and Serie). The results showed that there were 48 species of macro algae belonging to 30 genera, 21 families, 15 orders, 3 classes and 3 divisions. Chlorophyta was represented by Boergesenia forbesi, Bornetella sphaerica, Caulerpa peltata, Chaetomorpha crassa, C. spiralis, Codium edule, C. geppi, Dictyosphaeria cavernosa, D. verssluysii, Enteromorpha clathrata, E, intestinalis, Halimeda opuntia, Neomeris annulata, Ulva conglobata, U. lactuca, U. reticulata, Valonia aegagrophil. Phaeophyta was represented by Padina australis, P. minor, P. tetrastromatica, Sargassum cristaefolium, S. duplicatum, S. polycystum, Turbinaria decurrens, T. ornata. Rhodophyta was represented by Acanthophora muscoides, A. spidfera, Acrocystis nana, Actinotrichia fragilis, Amphiroa foliacea, A. rigida, Ceratodictyon spongiostum, Cryptonemia crenulata, Galaxaura arborea, G. filamentosa, Gelidiella acerosa, Gracilaria arcuata, G. edulis, G. salicornia, G. verrucosa, Halymenia durvillaei, H. boergesenii, Hypnea valentine, Mastophora rosea, Porphyra sp., Rhodymenia sp., Trideocarpa fragilis, and Zellera tawallina. The highest number of species was found in Hutumuri (27 species) and the lowest was in Lateri (2 species). The highest density and relative frequency indices shown by Ulva reticulata (2.82 individuals/m^2; 0.42) were found in Hutumuri. The species similarity values varied from 0-50% with the highest value found in Serie and Hutumuri (C=50%). The highest dominance index (D) was found in Lateri (D=1), and the highest species diversity (H\u27) in Hutumuri (H\u27=2.86). The species evenness values (E) ranged from 0.849-0.850. The distribution of macro algae species in general showed aggregating pattern
    corecore