8 research outputs found
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional Kutai
Kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) mengalami defragmentasi dan degradasi habitat akibat perambahan, penebangan liar, serta kebakaran hutan. Kemitraan pengelolaan TNK terbentuk sejak 1994 dengan adanya Mitra Kutai. Namun berbagai permasalahan yang muncul mengindikasikan bahwa pengelolaan kawasan TNK belum efektif. Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi mengenai efektivitas kelembagaan pengelolaan kolaboratif di TNK. Penelitian dilakukan dengan cara : 1) identifikasi kebijakankesepakatan yang berlaku, 2) analisis isi kebijakan, 3) identifikasi persepsi dan peran pemangku kepentingan; 4) analisis kualitatif terhadap persepsi dan peran pemangku kepentingan 5) analisis SWOT, dilanjutkan 6) rekomendasi penyempurnaan kelembagaan kolaborasi Mitra Kutai. Disimpulkan bahwa pengelolaan kolaborasi di TNK ternyata belum efektif, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah berikut : 1) Penelitian potensi dan kondisi terkini TNK; 2) publikasi hasil penelitian serta mengangkat isu permasalahan dan nilai penting TNK melalui media; 3)Penguatan jejaring kerja dengan lembaga donor Internasional; 4) Penetapan/zonasi kawasan; 5) Rekonfigurasi lembaga kolaborasi pengelolaan TNK serta penyusunan program dan skema pendanaan yang disepakati semua pihak; 6) Kolaborasi dalam Pembangunan model Desa Konservasi; dan 7) Kolaborasi dalam program pemanfaatan ekonomi kawasan, seperti pembangunan kawasan agrowisata, pusat pendidikan lingkungan, taman safari dan kawasan ekowisata serta areal riset/penelitian
Kajian Implementasi Kebijakan dalam Pengelolaan Beberapa Hutan Lindung di Kalimantan Timur
Tulisan ini bertujuan mengkaji kesesuaian antara kebijakan di tingkat pusat dan di daerah dengan kegiatan pengelolaan beberapa hutan lindung di Kalimantan Timur, yaitu Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW), Hutan Wehea (HW), Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL), dan Hutan Lindung Gunung Beratus (HLGB). Berdasarkan PP No 62/1998, kewenangan pengelolaan hutan lindung berada pada pemerintah kabupaten/kota sehingga pembentukan lembaga pengelola hutan lindung juga merupakan wewenang mereka. Lembaga pengelola kolaboratif telah dibentuk di HLSW dan HW. Di HLGL peran lembaga pengelola dijalankan oleh Kelompok Kerja Pengelola, sedang di HLGB baru sampai pada tahap pembentukan Kelompok Kerja Penyiapan Lembaga Pengelola. Di HLSW, HW, dan HLGB, isu utama yang mendorong proses pembentukan lembaga pengelola adalah pelestarian fauna langka dan habitatnya. Ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terjadi di HW yang meskipun berstatus hutan produksi, namun pemerintah kabupaten setempat telah membentuk Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea. Pada kawasan hutan yang telah mempunyai Badan Pengelola, pelaksanaan kegiatan perlindungan hutan lebih efektif dengan dibentuknya tim pengamanan yang melibatkan masyarakat. Demikian juga kegiatan pemanfaatan hutan lebih terarah dengan diterbitkannya kebijakan pemerintah daerah dan lembaga adat mengenai pemanfaatan kawasan hutan dan perizinannya. Namun belum ada Peraturan Perundang-undangan yang mencantumkan kewajiban konsumen membayar insentif pemakaian air untuk kepentingan pengelolaan hutan lindung
Species Identification of Traditional Medicine Plants for Women's Health in East Kalimantan: Lesson Learned From Local Wisdom
Traditional communities in East Kalimantan have been using traditional medicinal plants for centuries. This paper aims to identify the plant species used for traditional medicine for women's health in three tribes in East Kalimantan: Dayak Benuaq around Gunung Beratus Protection Forest, Dayak Bahau around Wehea Forest, and Kutai tribe around Kutai National Park. Medicinal plant species identification is important for plant breeding and developing utilization technology of those species. Data were collected by: 1) interview with traditional midwives and traditional medicinal plants users in those villages; 2) collecting the medicinal plant specimens in their natural habitat; 3) qualitative analysis of the interview records; 4) botanical identification of the specimens in Herbarium Wanariset Samboja; and 5) literature review about the USAge of those medicinal plants by traditional communities in other places. This research result showed 44 medicinal plant species from 30 families for cosmetics, maternal uses, and women's reproductive health. The used parts of the medicinal plants were the roots, leaves, barks, stem, and fruits. The medicinal plants were processed by simple methods. There were 27 species also used by other communities for similar or different efficacies, and the active chemical compounds of 25 species have been known. The utilization of traditional medicinal plants are cheaper, more available, and accessible. However, the quality of the medicinal plants can not be guaranteed, and the dosage was not standardized. Therefore the medicinal plants need to be cultivated to ensure the quality and quantity, and to prevent species extinction
Pengaruh Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih terhadap Efisiensi Tataniaga Benih Tanaman Hutan : Studi Kasus di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
Kegiatan rehabilitasi hutan memerlukan pasokan benih dalam jumlah yang berlimpah dari sumber benih berkualitas. Sertifikasi sumber benih diterbitkan untuk menjamin kebenaran kelas sumber benih dan kualitas produknya. Dalam kegiatan sertifikasi sumber benih terdapat aturan main dalam relasi antar pihak atau disebut kelembagaan. Dari sudut pandang ekonomi, kelembagaan yang berlaku dalam kegiatan sertifikasi sumber benih ini diharapkan dapat membuat manfaat yang diperoleh para pihak seimbang dengan pengorbanan sumberdaya yang dikeluarkan (efisien). Tulisan ini memaparkan hasil penelitian mengenai efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Kriteria efisiensi yang digunakan adalah manfaat yang diperoleh parapihak seimbang dengan pengorbanan sumberdaya yang dikeluarkan dan biaya transaksi yang dikeluarkan dalam relasi antar pihak dapat diminimumkan. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara : 1) Menganalisis kelayakan finansial pengelola sumber benih; 2) Mengidentifikasi dan menghitung biaya transaksi; dan 3) Mengidentifikasi dan menganalisis distribusi manfaat antar pihak yang terlibat dalam tataniaga benih. Hasil analisis finansial memperlihatkan bahwa pengusahaan sumber benih bersertifikat layak secara finansial dan biaya transaksi sertifikasi tidak signifikan (minimum), namun distribusi manfaat antar pelaku tataniaga perbenihan dapat lebih seimbang dengan jalan memperpendek saluran tataniaga dan memperkuat posisi tawar pengelola sumber benih
Kelembagaan Mitigasi Kekeringan Di Kabupaten Grobogan (Institution of Drought Mitigation in Grobogan Regency)
Kekeringan yang terjadi hampir setiap tahun di Grobogan seharusnya dapat diantisipasi dan dikurangi dampak negatifnya secara bersama oleh semua pihak yang terkait. Tulisan ini bertujuan mengkaji kelembagaan mitigasi kekeringan di Kabupaten Grobogan, sebagai bahan penyusunan kebijakan mitigasi kekeringan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka, wawancara terstruktur, dan diskusi kelompok terarah. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan bantuan matrik analisis isi kebijakan, matrik peran parapihak, serta matrik analisis kapabilitas lembaga. Hasil kajian menunjukkan bahwa : 1) Pemerintah Kabupaten Grobogan telah mengeluarkan enam peraturan terkait penanggulangan bencana secara umum serta strategi penyediaan air minum, namun belum ada aturan khusus mengenai mitigasi kekeringan; 2) belum ada data kerugian akibat kekeringan yang terjadi setiap tahun, serta data titik-titik potensi sumber air di Kabupaten Grobogan; 3) belum ada rencana induk untuk antisipasi dan mitigasi bencana kekeringan, dan 4) telah dibentuk Forum Tanggap Bencana dan Pokja AMPL (Air Minum Penyehatan Lingkungan), namun tidak secara khusus menangani kekeringan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mitigasi kekeringan di Kabupaten Grobogan adalah : 1) Pembentukan Forum Mitigasi Kekeringan; 2) Penyusunan database informasi bencana kekeringan, termasuk identifikasi sumber air dan teknologi konservasi air yang aplikatif; 3) Penyusunan Rencana Induk Mitigasi Kekeringan; dan 4) Penyusunan dan penetapan aturan pemanfaatan air, aturan perlindungan dan pemanfaatan mata air, serta sistem mitigasi kekeringan
Kelembagaan Mitigasi Kekeringan Di Kabupaten Grobogan (Institution of Drought Mitigation in Grobogan Regency)
Kekeringan yang terjadi hampir setiap tahun di Grobogan seharusnya dapat diantisipasi dan dikurangi dampak negatifnya secara bersama oleh semua pihak yang terkait. Tulisan ini bertujuan mengkaji kelembagaan mitigasi kekeringan di Kabupaten Grobogan, sebagai bahan penyusunan kebijakan mitigasi kekeringan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka, wawancara terstruktur, dan diskusi kelompok terarah. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan bantuan matrik analisis isi kebijakan, matrik peran parapihak, serta matrik analisis kapabilitas lembaga. Hasil kajian menunjukkan bahwa : 1) Pemerintah Kabupaten Grobogan telah mengeluarkan enam peraturan terkait penanggulangan bencana secara umum serta strategi penyediaan air minum, namun belum ada aturan khusus mengenai mitigasi kekeringan; 2) belum ada data kerugian akibat kekeringan yang terjadi setiap tahun, serta data titik-titik potensi sumber air di Kabupaten Grobogan; 3) belum ada rencana induk untuk antisipasi dan mitigasi bencana kekeringan, dan 4) telah dibentuk Forum Tanggap Bencana dan Pokja AMPL (Air Minum Penyehatan Lingkungan), namun tidak secara khusus menangani kekeringan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mitigasi kekeringan di Kabupaten Grobogan adalah : 1) Pembentukan Forum Mitigasi Kekeringan; 2) Penyusunan database informasi bencana kekeringan, termasuk identifikasi sumber air dan teknologi konservasi air yang aplikatif; 3) Penyusunan Rencana Induk Mitigasi Kekeringan; dan 4) Penyusunan dan penetapan aturan pemanfaatan air, aturan perlindungan dan pemanfaatan mata air, serta sistem mitigasi kekeringan
Germadan Rawa Pening: Tindakan Bersama Dalam Pengelolaan Common Pool Resources (Germadan Rawa Pening: Collective Action in Managing Common Pool Resources)
Germadan merupakan salah satu bentuk kebijakan pengelolaan danau yang dilaksanakan melalui pembentukan kelembagaan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Kelembagaan pengelolaan Danau Rawa Pening merupakan tindakan bersama untuk kelestarian Danau Rawa Pening. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pelaksanaan Germadan dalam perspektif teori collective action. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi pustaka. Analisis secara deskriptif dilakukan untuk menggambarkan pelaksanaan Germadan dan mengetahui keberhasilan maupun kegagalan collective action dalam Germadan. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah tindakan bersama, Germadan telah gagal. Kegagalan ini disebabkan oleh partisipasi dalam penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program tidak sempurna, dan tidak adanya upaya penegakan aturan yang telah disepakati serta kurangnya insentif baik insentif ekonomi maupun sosial dalam pelaksanaannya
Germadan Rawa Pening: Tindakan Bersama Dalam Pengelolaan Common Pool Resources (Germadan Rawa Pening: Collective Action in Managing Common Pool Resources)
Germadan merupakan salah satu bentuk kebijakan pengelolaan danau yang dilaksanakan melalui pembentukan kelembagaan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Kelembagaan pengelolaan Danau Rawa Pening merupakan tindakan bersama untuk kelestarian Danau Rawa Pening. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pelaksanaan Germadan dalam perspektif teori collective action. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi pustaka. Analisis secara deskriptif dilakukan untuk menggambarkan pelaksanaan Germadan dan mengetahui keberhasilan maupun kegagalan collective action dalam Germadan. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah tindakan bersama, Germadan telah gagal. Kegagalan ini disebabkan oleh partisipasi dalam penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program tidak sempurna, dan tidak adanya upaya penegakan aturan yang telah disepakati serta kurangnya insentif baik insentif ekonomi maupun sosial dalam pelaksanaannya