5 research outputs found

    OH-6 Sistem Informasi Pelaporan Kesehatan Satwa Liar (SEHATSATLI) dalam Rangka Integrasi Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis Bersumber Satwa Liar Melalui Pendekatan One Health

    Get PDF
    PENDAHULUAN“Integrasi Pencegahan Dan Pengendalian Zoonosis Bersumber Satwa Liar Melalui Pendekatan One Health” merupakan program kegiatan pada subdit keamanan hayati yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja Ditjen KSDAE – KLHK dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis bersumber satwa liar baik di habitat alaminya (in-situ) maupun di luar habitat alaminya (ex-situ) dengan menerapkan konsep One Health.  Adapun bentuk upaya kegiatan tersebut meliputi pengembangan kesatuan kebijakan, strategi dan program kegiatan untuk menangani penyakit zoonosis pada hewan, satwa liar, kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan. Bentuk implementasi kegiatan pengembangan kesatuan kebijakan yang saat ini telah dilaksanakan yaitu penyusunan Permen LHK tentang pencegahan dan pengendalian penyakit pada satwa liar, dan saat ini masih dalam proses penyusunan. Sedangan bentuk implementasi kegiatan strategi dan program untuk menangani penyakit zoonosis pada hewan, satwa liar, kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan yaitu meliputi :Peningkatan kapasitas petugas lapangan (PEH, POLHUT dan Penyuluh) dalam pencegahan dan pengendalian penyakit pada satwa liar dengan pendekatan one healthPebentukan tim One Health Lintas Sektor dalam penanganan penyakit zoonosis bersumber pada satwa liarPembangunan dan pengembangan sistem informasi pelaporan kesehatan pada satwa liar (SEHATSATLI).

    OH-3 One health, Tantangan dan Peluang dalam Pencegahan dan Pengendalian Rabies pada Konservasi Gajah Sumatera di Taman Nasional Way Kambas Lampung

    Get PDF
    PENDAHULUANTaman Nasional Way Kambas (TNWK) yang terletak di provinsi Lampung adalah habitat hutan yang sangat penting untuk konservasi mamalia besar di Indonesia. Daerah ini adalah habitat alami bagi spesies satwa langka dan terancam punah di dunia termasuk gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Berdasarkan IUCN (2013) gajah Sumatra adalah spesies yang terancam punah dan berisiko menjadi punah (CITES APPENDIX I) dan dilindungi.Pusat Latihan Gajah (PLG) dengan luas sekitar 2.000 ha di TNWK adalah salah satu fasilitas penting untuk konservasi gajah Sumatera yang meripakan bagian penting dari konservasi alam Indonesia. PLG didirikan pada tanggal 27 Agustus 1985 memelihara gajah konflik yang bersasal dari Sumatera Selatan dan Lampung. PLG juga sebagai pusat konservasi gajah sumatera dan tempat tujuan wisata unggulan yang mendukung perekonomian masyarakat sekitar. Deforestasi, kerusakan habitat dan perburuan liar telah mengakibatkan penurunan populasi gajah Sumatra secara signifikan. Faktor lain yang penting adalah penyakit termasuk penyakit infeksi baru dan zoonosis.Tantangan Pencegahan dan pengendalian zoonosis dengan pendekatan one health dengah keterbatasan sumber daya manusia khususnya tenaga medis dan petugas lapangan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Kerjasama lintas sektor antara kesehatan manusia (Kementerian Kesehatan - Kemenkes), kesehatan hewan (Kementerian Pertanian - Kementan), kesehatan satwaliar (kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan - KLHK) dan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) sangat diperlukan.Jumlah penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious diseases) khususnya yang bersumber dari satwa liar mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Jones et al,. 2008). Perubahan iklim, introduksi spesies invasif, urbanisasi, kegiatan pertanian dan hilangnya biodiversitas termasuk deforestasi yang berimplikasi terhadap peningkatan penyebaran patogen menular. Deforestasi dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh secara langsung terhadap kemunculan penyakit baru terutama yang bersumber dari satwa liar (Sehgal. 2010).Zoonosis yang ‘reservoir’nya satwa liar menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir semua benua yang mana penularan berbagai patogen nya dipengaruhi oleh banyak factor (Kruse et al,. 2004).Rabies penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus(dari bahasa Yunani Lyssayang berarti mengamuk atau kemarahan), bersifat  akut serta menyerang susunan saraf pusat,  hewan  berdarah  panas dan  manusia.Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana sedapat mungkin memperkecil kesenjangan disiplin ilmu antara ahli penyakit menular, ahli satwa liar, ahli ekologi dan ahli sosial dalam meneliti dan memahami semua aspek yang terkait dengan penyakit baru muncul yang inang antaranya adalah satwa liar (Wilcox and Ellis B. 2006), hal ini juga terjadi pada petugas lapangan sektor kesehatan satwa liar. Upaya untuk mengatasi penyakit infeksi baru dan zoonosis pada satwa liar bergantung kepada jejaring lintas sektor dan lintas disiplin ilmu yang efisien di tingkat nasional, regional dan internasional, sehingga dapat dilakukan saling tukar menukar informasi untuk kewaspadaan dini serta respon tepat waktu dan efektif terhadap kemungkinan kemunculan wabah penyakit dapat dilakukan (Kruse et al,. 2004).”One Health” adalah suatu konsep satu kesehatan yang mencakup kesehatan manusia, hewan, dan lingkungannya yang saling berkaitan satu dengan lainnya (Katz et al,. 2010) yang merupakan peluang yang harus dimanfaatkan untuk pencegahan dan pengendalina Rabies untuk konservasi gajah

    OH-3 One health, Tantangan dan Peluang dalam Pencegahan dan Pengendalian Rabies pada Konservasi Gajah Sumatera di Taman Nasional Way Kambas Lampung

    Get PDF
    PENDAHULUANTaman Nasional Way Kambas (TNWK) yang terletak di provinsi Lampung adalah habitat hutan yang sangat penting untuk konservasi mamalia besar di Indonesia. Daerah ini adalah habitat alami bagi spesies satwa langka dan terancam punah di dunia termasuk gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Berdasarkan IUCN (2013) gajah Sumatra adalah spesies yang terancam punah dan berisiko menjadi punah (CITES APPENDIX I) dan dilindungi.Pusat Latihan Gajah (PLG) dengan luas sekitar 2.000 ha di TNWK adalah salah satu fasilitas penting untuk konservasi gajah Sumatera yang meripakan bagian penting dari konservasi alam Indonesia. PLG didirikan pada tanggal 27 Agustus 1985 memelihara gajah konflik yang bersasal dari Sumatera Selatan dan Lampung. PLG juga sebagai pusat konservasi gajah sumatera dan tempat tujuan wisata unggulan yang mendukung perekonomian masyarakat sekitar. Deforestasi, kerusakan habitat dan perburuan liar telah mengakibatkan penurunan populasi gajah Sumatra secara signifikan. Faktor lain yang penting adalah penyakit termasuk penyakit infeksi baru dan zoonosis.Tantangan Pencegahan dan pengendalian zoonosis dengan pendekatan one health dengah keterbatasan sumber daya manusia khususnya tenaga medis dan petugas lapangan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Kerjasama lintas sektor antara kesehatan manusia (Kementerian Kesehatan - Kemenkes), kesehatan hewan (Kementerian Pertanian - Kementan), kesehatan satwaliar (kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan - KLHK) dan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) sangat diperlukan.Jumlah penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious diseases) khususnya yang bersumber dari satwa liar mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Jones et al,. 2008). Perubahan iklim, introduksi spesies invasif, urbanisasi, kegiatan pertanian dan hilangnya biodiversitas termasuk deforestasi yang berimplikasi terhadap peningkatan penyebaran patogen menular. Deforestasi dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh secara langsung terhadap kemunculan penyakit baru terutama yang bersumber dari satwa liar (Sehgal. 2010).Zoonosis yang ‘reservoir’nya satwa liar menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir semua benua yang mana penularan berbagai patogen nya dipengaruhi oleh banyak factor (Kruse et al,. 2004).Rabies penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus(dari bahasa Yunani Lyssayang berarti mengamuk atau kemarahan), bersifat  akut serta menyerang susunan saraf pusat,  hewan  berdarah  panas dan  manusia.Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana sedapat mungkin memperkecil kesenjangan disiplin ilmu antara ahli penyakit menular, ahli satwa liar, ahli ekologi dan ahli sosial dalam meneliti dan memahami semua aspek yang terkait dengan penyakit baru muncul yang inang antaranya adalah satwa liar (Wilcox and Ellis B. 2006), hal ini juga terjadi pada petugas lapangan sektor kesehatan satwa liar. Upaya untuk mengatasi penyakit infeksi baru dan zoonosis pada satwa liar bergantung kepada jejaring lintas sektor dan lintas disiplin ilmu yang efisien di tingkat nasional, regional dan internasional, sehingga dapat dilakukan saling tukar menukar informasi untuk kewaspadaan dini serta respon tepat waktu dan efektif terhadap kemungkinan kemunculan wabah penyakit dapat dilakukan (Kruse et al,. 2004).”One Health” adalah suatu konsep satu kesehatan yang mencakup kesehatan manusia, hewan, dan lingkungannya yang saling berkaitan satu dengan lainnya (Katz et al,. 2010) yang merupakan peluang yang harus dimanfaatkan untuk pencegahan dan pengendalina Rabies untuk konservasi gajah

    Plasmodium pitheci malaria in Bornean orang-utans at a rehabilitation centre in West Kalimantan, Indonesia

    No full text
    Background Plasmodial species naturally infecting orang-utans, Plasmodium pitheci and Plasmodium silvaticum, have been rarely described and reportedly cause relatively benign infections. Orang-utans at Rescue Rehabilitation Centres (RRC) across the orang-utan natural range suffer from malaria illness. However, the species involved and clinical pathology of this illness have not been described in a systematic manner. The objective of the present study was to identify the Plasmodium species infecting orang-utans under our care, define the frequency and character of malaria illness among the infected, and establish criteria for successful diagnosis and treatment. Methods During the period 2017-2021, prospective active surveillance of malaria among 131 orang-utans resident in a forested RRC in West Kalimantan (Indonesia) was conducted. A total of 1783 blood samples were analysed by microscopy and 219 by nucleic acid based (PCR) diagnostic testing. Medical records of inpatient orang-utans at the centre from 2010 to 2016 were also retrospectively analysed for instances of symptomatic malaria. Results Active surveillance revealed 89 of 131 orang-utans were positive for malaria at least once between 2017 and 2021 (period prevalence = 68%). During that period, 14 cases (affecting 13 orang-utans) developed clinical malaria (0.027 attacks/orang-utan-year). Three other cases were found to have occurred from 2010-2016. Sick individuals presented predominantly with fever, anaemia, thrombocytopenia, and leukopenia. All had parasitaemias in excess of 4000/mu L and as high as 105,000/mu L, with severity of illness correlating with parasitaemia. Illness and parasitaemia quickly resolved following administration of artemisinin-combined therapies. High levels of parasitaemia also sometimes occurred in asymptomatic cases, in which case, parasitaemia cleared spontaneously. Conclusions This study demonstrated that P. pitheci very often infected orang-utans at this RRC. In about 14% of infected orang-utans, malaria illness occurred and ranged from moderate to severe in nature. The successful clinical management of acute pitheci malaria is described. Concerns are raised about this infection potentially posing a threat to this endangered species in the wild.ISSN:1475-287
    corecore