11 research outputs found

    PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN KELOR (Moringa oleifera) DOSIS BERTINGKAT PADA GAMBARAN MIKROSKOPIS GINJAL Studi pada Tikus Wistar yang diinduksi Formalin

    Get PDF
    Latar Belakang: Formalin adalah suatu senyawa kimia yang biasa digunakan sebagai bahan pengawet cadaver. Kini formalin banyak disalahgunakan sebagai bahan pengawet makanan, padahal formalin bersifat korosif pada tubuh termasuk menyebabkan kerusakan ginjal. Untuk mencegah efek toksik formalin dalam tubuh, diperlukan antioksidan yang dapat berasal dari alam, salah satunya adalah daun kelor (Moringa oleifera). Tujuan: Membuktikan pengaruh pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dosis bertingkat pada gambaran mikroskopis ginjal tikus wistar yang diinduksi formalin. Metode: Penelitian true experimental dengan posttest only with control group design. Sampel sebanyak 25 ekor tikus wistar jantan yang memenuhi kriteria dan dibagi secara simple random sampling menjadi 5 kelompok. K(-) hanya diberi pakan dan minum standar; K(+) diberi formalin peroral 100mg/kgBB; P1 diberi formalin peroral 100mg/kgBB dan ekstrak daun kelor 200mg/kgBB; P2 diberi formalin peroral 100mg/kgBB dan ekstrak daun kelor 400mg/kgBB; dan P3 diberi formalin peroral 100mg/kgBB dan ekstrak daun kelor 800mg/kgBB (21 hari); P1, P2 dan P3 diberikan perlakuan preventif 5 hari sebelumnya dengan diberikan ekstrak daun kelor dosis bertingkat yang sesuai dengan dosis tiap kelompok perlakuan. Pada hari ke-27, tikus wistar dianestesi lalu dibedah kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis ginjal berupa degenerasi dan nekrosis. Data dideskripsikan dalam bentuk tabel, gambar, dan analisa statistik. Hasil: Rerata degenerasi tertinggi sel epitel tubulus proksimal ginjal terdapat pada kelompok P1, sedangkan rerata nekrosis tertinggi pada kelompok K(+). Pada degenerasi, terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) antara seluruh kelompok perlakuan, kecuali P1-K(+) dan P1-P2 tidak didapatkan perbedaan yang bermakna. Pada nekrosis, didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0.05) antara seluruh kelompok perlakuan, kecuali P3-K(-) tidak didapatkan perbedaan yang bermakna. Simpulan: Pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dosis bertingkat bertingkat berpengaruh pada perubahan gambaran mikroskopis ginjal tikus wistar yang diinduksi formalin. Kata Kunci: Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera), ginjal, degenerasi, nekrosis, formalin

    PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH DENGAN FREKUENSI PENGGORENGAN BERTINGKAT TERHADAP GAMBARAN MIKROSKOPIS DUODENUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

    Get PDF
    Latar belakang: Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan yang banyak digunakan sehari-hari. Dalam masyarakat seringkali menggunakan minyak goreng hingga beberapa kali pakai. Hal ini berbahaya bagi kesehatan karena adanya asam lemak bebas dan lipid peroksida yang merupakan senyawa radikal bebas yang dihasilkan selama proses pemanasan minyak goreng. Sehingga paparan kronik minyak goreng dapat menyebabkan iritasi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan gambaran mikroskopis pada duodenum. Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian minyak jelantah dengan frekuensi penggorengan bertingkat terhadap gambaran mikroskopis duodenum tikus Wistar (Rattus norvegicus) Metode: Penelitian ini berjenis true experimental dengan rancangan post test only controlled group design. Sampel sebanyak 25 ekor tikus wistar dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok kontrol 1 (K1) yang hanya diberi makanan dan minuman standar, kelompok kontrol 2 (K2) diberi minyak goreng dengan 1 kali penggorengan, kelompok perlakuan diberi minyak goreng dengan 3 kali penggorengan (P1), 6 kali penggorengan (P2), dan 9 kali penggorengan (P3) dengan dosis 1,5 ml/ekor/hari selama 30 hari. Hasil: Didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok K1 dengan kelompok P1 (p= 0,020), kelompok K1 dengan kelompok P2 (p= 0,013), dan kelompok K1 dengan kelompok P3 (p= 0,011) juga pada kelompok K2 dengan kelompok P1 (p= 0,031), kelompok K2 dengan kelompok P2 (p= 0,016), dan kelompok K2 dengan kelompok P3 (p= 0,014). Kesimpulan: Terdapat pengaruh pemberian minyak jelantah dengan frekuensi penggorengan bertingkat terhadap gambaran mikroskopis duodenum tikus wistar (Rattus norvegicus). Kata kunci: Minyak jelantah frekuensi penggorengan bertingkat, mikroskopis duodenu

    PENGARUH PEMBERIAN METANIL YELLOW PERORAL DOSIS BERTINGKAT SELAMA 30 HARI TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM MENCIT BALB/C

    Get PDF
    Latar belakang: Dalam masyarakat seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna metanil yellow yang seharusnya digunakan untuk tekstil digunakan untuk mewarnai bahan pangan contohnya untuk mewarnai kerupuk, mie, tahu, gorengan dan jajanan yang berwarna kuning, Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tesebut. Paparan kronik methanyl yellow pada manusia bersifat iritan, sehingga dapat menyebabkan iritasi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan gambaran histopatologi pada duodenum. Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian methanyl yellow dosis bertingkat selama 30 hari terhadap gambaran histopatologi duodenum mencit bab/c Metode: :Penelitian ini berjenis true experimental dengan rancangan post test only controlled group design. Sampel sebanyak 20 ekor mencit balb/c yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan diadaptasi lalu dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok control (K) yang hanya diberi makanan dan minuman standar, kelompok perlakuan diberi Metanil yellow peroral dengan dosis1050mg/kgBB (P1), 2100mg/kgBB (P2), dan4200mg/kgBB (P3) selama 30 hari. Pada hari ke 31, mencit diterminasi dan diambil duodenumnya untuk dilakukan pemeriksaan histopatologis Hasil : Nilai rerata jumlah kerusakan mukosa duodenum tertinggi pada perlakuan 3, uji Shapiro-wilk didapatkan distribusi data tidak normal (P<0,05), dilanjutkan dengan uji non parametrik Kruskal wallis, diperoleh hasil P = 0,02(<0,05) yang artinya ada perubahan histopatologi duodenum secara bermakna paling tidak pada dua kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan uji man-whitney antara kelompok kontrol dengan perlakuan 3 (P=0,003), kontrol dengan perlakuan 2 (P=0,004), maupun kontrol dengan perlakuan 1 (P=0,017). Didapatkan adanya perbedaan yang bermakna. Perbedaan bermakna juga terdapat pada kelompok perlakuan lain, yaitu perlakuan 3 dan perlakuan 2 (P=0,014), serta perlakuan 1 dan perlakuan 3 (0,017). Tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok perlakuan 2 dan perlakuan 1 (P=0,606). Kesimpulan : Pemberian Metanil yellow peroral dosis bertingkat selama 30 hari menunjukan perubahan yang bermakna pada duodenum mencit balb/c. pada perlakuan 3 rerata didapatkan erosi dan perlakuan 1 dan 2 terjadi erosi. Kata kunci : Metanil yellow dosis bertingkat, histopatologis duodenu

    Distribusi Penderita Sindrom Down Berdasarkan Analisis Sitogenetika Di Laboratorium CEBIOR

    Get PDF
    Background : Down syndrome is a condition when a person has an extra number of chromosomes 21 in the form of either classical trisomy 21, translocation or mosaic. The age of the mother is one of the factors that increases the risk of having a baby with Down syndrome. Down syndrome is one of indications for cytogenetic analysis in which it shows the chromosome abnormalities. Aim : To determine the distribution of chromosome abnormalities in patients with Down syndrome referred to Cebior Laboratory from 2006 until April 2015. Methods : This study is a prospective and retrospective descriptive with cross-sectional design. Results : Amongst 95 patients, there were 38 (40,0%) patients with karyotype 47,XX, +21; 50 (52,6%) patients with 47,XY, +21; 1 (1,1%) patients with 47,XX+21/ 46,XX; 2 (2,1%) patients with 47,XY, +21/ 46,XY; 1 (1,1%) patient with 46,XY, +21, t(8;21); 2 (2,1%) patient with 46,XX,+21,t(21;21)(q10;q10); and 1 (1,1%) patient with 46, XY, +21,t(21;21)(q10:q10). The distribution of maternal age with Down syndrome in descending order were 36-40 years old (31,6%), 31-35 years old (24,2%), 26-30 years old (22,1%), 41-45 years old (14,7%), and 20-25 years old (7,4%). Conclusion : Most patients with Down syndrome had classical trisomy 21. The majority of babies with Down syndrome were born from mothers aged older than 35 years old. Therefore advanced maternal age have a higher risk for having a baby with Down syndrome

    PENGARUH STRES KERJA TERHADAP KEJADIAN NYERI KEPALA PADA PEKERJA GROUND HANDLING(Studi Kasus di Bandara Ahmad Yani Semarang)

    Get PDF
    Latar belakang: Nyeri kepala merupakan suatu keluhan umum yang sering dialami pada pekerja lapangan seperti pekerja ground handling serta dapat menurunkan produktifitas kerja. Faktor pemicu terjadinya nyeri kepala salah satunya adalah stres kerja. Kondisi lingkungan kerja yang kurang baik dapat memicu terjadinya stres kerja seperti temperatur, penerangan, polusi udara, kebisingan, kebersihan tempat kerja, dan perlengkapan kerja. Stres kerja di duga dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit baik secara fisik maupun mental seperti nyeri kepala. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stres kerja terhadap kejadian nyeri kepala pada pekerja ground handling di Bandara Ahmad Yani Semarang. Metode: Penelitian observational dengan desain belah lintang untuk mengetahui pengaruh stres kerja terhadap kejadian nyeri kepala pekerja ground handling. Subjek penelitian ini merupakan pekerja ground handling di Bandara Ahmad Yani Semarang dengan metode consecutive sampling. Data yang digunakan merupakan data dari hasil wawancara untuk mengetahui nyeri kepala dan pengisian kuesioner COPSOQ (Copenhagen Psychosocial Questionnaire) II untuk mengetahui stres kerja. Uji statistik untuk mengetahui suatu hubungan antara stres kerja dengan nyeri kepala menggunakan uji chi square. Hasil: Sebanyak 50 subjek penelitian dianalisis dengan uji Fisher. Terdapat hubungan antara stres kerja dengan kejadian nyeri kepala (p= 0,002). Tidak terdapat hubungan antara usia, masa kerja dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan nyeri kepala, diperoleh nilai p = 1,000, p = 0,073 dan p = 0,419. Simpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara stres kerja terhadap kejadian nyeri kepala. Faktor – faktor lain seperti usia, masa kerja dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan nyeri kepala. Kata kunci: stres kerja, nyeri kepala, COPSO

    HUBUNGAN STRUKTUR PEDIS DENGAN KECEPATAN LARI 60 METER PADA SISWA SMA NEGERI 3 SEMARANG

    Get PDF
    Background: Indonesia has quite a number of athletes competing in elite runners category in the past. Unfortunately, nowadays these achievements has been difficult to be obtained by our Indonesian athletes. Various studies has been conducted to determine the maximum effort needed in order to achieve optimal results in running. One of the supporting elements that supported the optimalization of running speed is the anatomical structure of the foot such as arcus pedis and pedis length that helped maximize the efficiency of foot function. Pedis structure consists of two functions, for weight bearing and for walking or running movement. Several previous studies proved that arcus pedis has a negative correlation with running speed. Aim: To determine the relationship between the research subjects’ pedis structure (arcus pedis and pedis length index) and their running speed. Methods: This research was using a cross sectional study approach and the subjects were 61 male students grade X SMAN 3 Semarang State High School. Methods used to assess the arcus pedis index was Staheli-footprint methods. Pedis length was assessed using a set of triangle ruler. Running speed was measured using a stopwatch with a distance of 60 meters. Results: It was found the mean of the right and left arcus pedis index data were 0.85 ± 0.27;the mean of the relative pedis length data were 0.111 ± 0.003; and the mean of the running speed data were 0.46 ± 5.71 m / s. The Spearman correlation test between arcus pedis and running speed on 60 meters track showed non-significant negative correlation (r = -0.150; p = 0.247). On the other hand, Spearman correlation test between pedis length and running speed indicates non-significant positive correlation (r = 0.014; p = 0.914). Conclusion: There is a non-significant negative correlation between arcus pedis and the running speed on 60 meters track. There is a non-significant positive correlation between pedis and the running speed on 60 meters track. Keywords: Arcus pedis, pedis length, escape velocit

    CHROMOSOMAL ANALYSIS OF MENTALLY RETARDED CHILDREN WITH MICROCEPHALY

    Get PDF
    Background: Mental retardation is a common condition with the incidence of 1- 3% of the entire population; about 25% - 50% of them are genetic causes. Chromosomal causes account for up to 28%. Microcephaly and mental retardation may occur together as a syndrome. Cytogenetic and molecular analysis has been approved to definitively diagnose those syndromes. This research is aimed to know the chromosomal characteristic of children with mental retardation and microcephaly. Method: This research is observational descriptive study with retrospective data taken start from 2007-2009. The data of head circumference and chromosome analysis from 39 children were processed. The data are then presented as a descriptive statistic after being analyzed using Microsoft Excel 2007. Results: Chromosomal analysis results shows 18 (46.15%) children with 46,XX karyotype, 11 (28.21%) children with 46, XY karyotype, 5 (12.82%) children with 47,XX+21 karyotype, and 4 (10.26%) children with 47,XY+21 karyotype. There is also one Robertsonian translocation with 46,XX,+21, t(14;21) karyotype. Conclusion: Normal karyotype (46,XX and 46,XY) were found in 29 (74.36%) children. Visible chromosomal abnormalities detected includes 9 cases of Down syndrome trisomy 21 and one case of Robertsonian translocation with t(14;21) karyotype. Keyword: Mental retardation, microcephaly, chromosomal analysi

    PENGARUH PEMBERIAN METANIL YELLOW PERORAL DOSIS BERTINGKAT SELAMA 30 HARI TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ESOFAGUS MENCIT BALB/C

    Get PDF
    Latar Belakang : Metanil yellow adalah bahan pewarna sintetik berbentuk serbuk, bewarna kuning kecoklatan, bersifat larut dalam air dan alkohol, umumnya digunakan sebagai pewarna pada tekstil, kertas, dll. Namun di Indonesia banyak disalahgunakan untuk mewarnai berbagai jenis pangan. Metanil yellow yang merupakan bahan kimia industri bersifat iritan, apabila terhirup dapat menyebabkan reaksi sensitisasi, batuk, dan kesulitan bernapas. bila tertelan dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada saluran pencernaan. Dalam penelitian ini dikhususkan pada organ esofagus. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian Metanil yellow dosis bertingkat selama 30 hari terhadap gambaran histopatologis esofagus mencit balb/c. Metode : Penelitian ini berjenis true experimental dengan rancangan post test only controlled group design. Sampel sebanyak 20 ekor mencit balb/c yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan diadaptasi lalu dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok control (K) yang hanya diberi makanan dan minuman standar, kelompok perlakuan diberi Metanil yellow peroral dengan dosis 1050mg/kgBB (P1), 2100mg/kgBB (P2), dan 4200mg/kgBB (P3) selama 30 hari. Pada hari ke 31, mencit diterminasi dan diambil organ esofagusnya untuk dilakukan pemeriksaan histopatologis. Hasil : Nilai rerata jumlah kerusakan mukosa esofagus tertinggi pada perlakuan 3. Dengan uji non parametrik Kruskal-Wallis tidak diperoleh perbedaan yang bermakna pada hasil data penelitian (p=0,274). Kesimpulan : Pemberian Metanil yellow peroral dosis bertingkat selama 30 hari tidak menunjukan perubahan mukosa yang bermakna pada esofagus mencit balb/c. Kata kunci : Metanil yellow dosis bertingkat, histopatologis esofagu

    UKURAN FISIK ANAK NORMAL USIA 7-12 TAHUN (Studi Pendahuluan pada Siswa SDN Petompon 1 Semarang)

    Get PDF
    Backround:Both genetics and environmental factors could cause differences in child’s physical measurements. Thus, standard curves are needed to evaluate the presence of disorder or disturbance caused by those two factors. A huge number of samples are needed to make a reference curve. This research is aimed as a preliminary study to find the physical scales of normal children in Indonesia. Methods: This is a preliminary study with descriptive observasional design. The data were obtained by cross-sectional method between March-June 2011. Measurements were done on weight, standing height, sitting height, occipitofrontal circumference, armspan, inner canthal distance, outer canthal distance, interpupillary distance, ear length, chest circumference, internipple distance, and mid upper arm circumference, on 7 to 12 years old students of SD Petompon 1 Semarang. The data were then analyzed with Microsoft Excel, and presented in tables and graphs. The mean value of each measurement was plotted to corresponding reference curve. Result: The physical scales of 276 students, consisted of 128 boys and 146 girls, who met the inclusion criteria were obtained. It was showed that all physical measurement results on each age category were considered normal according to their corresponding reference/standard curve, except for sitting height and arm span. On some measurements, like weight, standing height, head circumference, interpupillary distance, internipple distance, and mid upper arm circumference, the means were tend to be lower compared to the means of their corresponding reference curve. Conclusion: Most of the physical scales of 7-12 years old children were considered normal according to their corresponding reference curve. However, their means were tend to be lower then the means of corresponding reference curve. A similar integrated study with larger scale is necessary to providestandard reference curves for Indonesian children
    corecore