26 research outputs found

    Implementasi Sistem Ketertelusuran pada Produk Perikanan

    Get PDF
    Ketertelusuran adalah kemampuan suatu sistem untuk mengenali dan menelusuri suatu produk pada setiap tahapan produksi, pengolahan maupun pemasaran. Untuk produk pangan, tujuan utama sistem ketertelusuran adalah untuk mencatat/mendokumentasikan produk mulai dari bahan baku sampai kepada konsumen (from farm to fork). Aplikasi sistem ketertelusuran sangat diperlukan guna menghasilkan produk-produk yang terjamin mutu dan keamanannya. Pada prinsipnya, terdapat  2 aspek penting pada implementasi sistem ketertelusuran, yaitu tracking dan tracing, yang digunakan sebagai alat untuk menelusuri riwayat produksi suatu produk. Pada  prakteknya,  implementasi  sistem ketertelusuran  pada produk perikanan di Indonesia masih terbatas pada produk hasil industri maupun produk ekspor. Komitmen bersama antara pemerintah, pelaku usaha perikanan/produsen, dan konsumen sangat penting dalam membangun sistem ketertelusuran  pada produk perikanan, termasuk pada unit usaha kecil dan menengah

    PENGARUH PENUNDAAN PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN HISTAMIN IKAN LISONG (Scomber australascus CV)

    Get PDF
    Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh penundaan pengolahan terhadap kandungan histamin ikan lisong (Scomber australasicus CV), Penundaan pengolahan dilakukan pada suhu kamar dan suhu rendah (es).

    PENGARUH SUHU ESTERIFIKASI TERHADAP KARAKTERISTIK KARBOKSIMETIL KITOSAN (CMCts)

    Get PDF
    Sifat kitosan yang hanya larut dalam asam lemah menjadi kendala pada pemanfaatannya secara luas

    PENGGUNAAN ARANG UNTUK MENGURANGI KADAR HISTAMIN IKAN PINDANG TONGKOL BATIK (Euthynnus affinis)

    Get PDF
    Penefitian penambahan arang pada proses pemindangan ikan tongkol batik (Euthynnus affinis) untuk menurunkan kadar histamin sudah dilakukan.

    Method Comparison of DNA Isolation and Quantification for Fish and Seafood Authenticity Determination

    Get PDF
    Fish and seafood products has been commonly targeted for fraudulent activities. For that reason, authentication of fish and seafood products is important to protect consumers from fraudulent and adulteration practices, as well as to implement traceability regulation. From the viewpoint of food safety, authenticity is beneficial to protect public from serious food poisoning incidents, such as due to ingestion of toxic species. Since DNA based identification depends on the nucleic acid polymerase chain reaction (PCR), the quantity and quality/purity of DNA will contribute significantly to the species authentication. In the present study, different DNA extraction and purification methods (3 classical methods and one commercial kit) were compared to produce the better isolated DNA for PCR amplification. Additionally, different methods for the estimation of DNA concentration and purity which is essential for PCR amplification efficiency were also evaluated. The result showed that classical DNA extraction methods (based on TNES-Urea) yielded a higher amount of DNA (11.30-323.60 ng/g tissue) in comparison to commercial kit/Wizard Promega (5.70-83.45 ng/g tissue). Based on the purity of DNA extract (A260/280), classical DNA extraction method produced relatively similar on DNA quality to the commercial kit (1.79-2.12). Interestingly, all classical methods produced DNA with A260/280 ratio of more than 2.00 on the blue mussel, in contrast with commercial kit. The commercial kit also produced better quality of DNA compared to the classical methods, showing the higher efficiency in PCR amplification. NanoDrop is promising as cheap, robust and safe UV-spectrophotometer method for DNA quantification, as well as the purity evaluation. Keywords: seafood authenticity, DNA isolation, polymerase chain reaction, NanoDrop, Picogree

    Non-Target Screening Method for the Identification of Persistent and Emerging Organic Contaminants in Seafood and Sediment from Jakarta Bay

    Get PDF
    Identification of persistent and emerging organic contaminants in green mussels (Perna viridis), various fishes, banana shrimp (Penaeus merguiensis) and sediment samples from Jakarta Bay has been employed. A non-target GC-MS screening approach has identified more than 60 individual organic compounds from the whole fractions either non-polar, semi-polar or acidic-polar compounds. The substances comprised as persistent organic pollutants (POPs) including DDT (dichlorodiphenyl trichloroethane) and its metabolites as well as high molecular weight polycyclic aromatic hydrocarbons (HMW-PAHs). Noteworthy, a number of emerging contaminants detected in the present study have never been reported previously either from the same location or from Asian waters. They include some priority contaminants of non-persistence halogens and emission of technical products, such as di-iso-propylnaphthalenes (DIPNs) dichlorobenzene (DCB), dichlorodiphenyl chloroethene (DDMU) and phenylmethoxynaphthalene (PMN). In general, the concentration order of the priority organic contaminants was sediment > green mussel > fishes > shrimp. Further analysis based on the spatial distribution, individual concentrations and bioavailability suggested that some contaminants are applicable as molecular marker for the assessment of anthropogenic emission in Jakarta Bay, i.e. DIPNs, linear alkylbenzenes (LABs), phenylmethoxynaphthalene (PMN), PAHs, dichlorobenzene, DDT and its metabolites

    Potential Risk of Organic Contaminants to The Coastal Population Through Seafood Consumption from Jakarta Bay

    Get PDF
    A comprehensive study on exposure assessment of the priority organic contaminants via seafood consumption has been conducted to the coastal population of Jakarta Bay. Seafood is essential food source in Indonesia and also important income for the majority of coastal populations. A number of 152 respondents from 4 districts surounding the bay were interviewed to record their frequency and pattern on seafood consumption. In the same time, 13 seafood species were collected directly from Jakarta Bay during the dry and wet seasons for the assessment of organic contaminants. A non-target GC/MS screening identified more than 40 organic contaminants in which 6 of them are potentially considered as priority contaminants including 3 groups of carcinogenic contaminants i.e. dichlorodiphenyl-trichlorethane (DDT) and its metabolites (DDXs), dichlorobenzenes (DCB) and carcinogenic PAHs (PAH4). Further exposure analysis suggested cumulative health risk of these contaminants was less than official minimal risk level (MRL) and therefore categorized safe for the corresponding population. However, attention must be paid since additional exposure of either from the different food category or other exposure route may contribute to significantly elevate the health risk on the population as well as potential exposure of emerging contaminants

    Studi Penggunaan Asap Cair Untuk Pengawetan Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus) Segar

    No full text
    Penelitian tentang penggunaan asap cair untuk pengawetan ikan kembung (Rastrelliger neglectus) segar telah dilakukan dengan perlakuan perendaman larutan asap cair pada konsentrasi 0; 2,5; 5,0; 7,5 dan 10% selama 30 menit dan disimpan pada suhu kamar sampai ikan menjadi busuk. Pengamatan yang dilakukan meliputi TVB, TPC, kadar air dan organoleptik. Berdasarkan nilai organoleptik, konsentrasi larutan asap cair >5% dapat mempertahankan tingkat kesegaran ikan sampai 24 jam, lebih lama 12 jam dari kontrol. Akan tetapi, berdasarkan nilai TVB hanya perlakuan konsentrasi 7,5 dan 10% yang menghasilkan nilai TVB rendah (18,09 dan 14,10 mgN%) pada 12 jam penyimpanan. Berdasarkan nilai TPC, asap cair mampu menekan pertumbuhan bakteri pembusuk dibandingkan dengan kontrol

    Penggaruh Pemberian Pupuk Organik dan Variasi Padat Tebar Ikan terhadap Produktivitas Minapadi

    No full text
    Penggaruh pemberian pupuk organik dan variasi padat tebar ikan terhadap produktivitas minapad

    Pengaruh Penundaan Pengolahan terhadap Kandungan Histamin Ikan Lisong ( Scomber Australaskus Cv. )

    No full text
    Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh penundaan pengolahan terhadap kandungan histamin ikan lisong (Scomber australasicus CV). Penundaan pengolahan dilakukan pada suhu kamar dan suhu rerdah (es). Pada suhu kamar, penundaan dilakukan selama 16 jam dengan pengamatan setiap 2 jam sekali, sedangkan penundaan pada suhu rendah menggunakan es di dalam coolbox selama 16 hari dengan pengamatan setiap 2 hari sekali. Parameter yang diamati meliputi kadar air, histamin, total volatile base (TVB) dan organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penundaan pada suhu kamar berpengaruh nyata terhadap peningkatan kandungan histamin, namun tidak demikian pada penundaan dengan es. Pada suhu kamar kadar histamin meningkat dari 75,7 mg/1 00 g menjadi 280,5 mg/1 00 g pada jam ke 16, sedangkan pada penundaan dengan es hanya meningkat menjadi 104,2 mg/100 g setelah hari ke‑10. Perlakuan penundaan pada suhu kamar maupun dengan es berpengaruh nyata terhadap nilai TVB ikan, yaitu pada suhu kamar TBV meningkat dari 26,4 mgN/100 g menjadi 54,3 mgN/100 g pada jam ke 16, sementara pada perlakuan dengan es menjadi 62,7 mgN/1 00 g pada hari ke 16. Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin pada suhu kamar lebih cepat dibandingkan pada perlakuan dengan es. Pada awal penelitian jumlah bakteri 2,4 x 104 koloni/g dan meningkat menjadi 2,8 x 108 koloni/g pada perlakuan suhu kamar jam ke‑16, sedangkan pada perlakuan dengan es jumlah bakteri tertinggi pada hari ke‑8 yaitu 8,7 x 104 koloni/g. Pada suhu kamar ikan sudah ditolak oleh panelis pada jam ke‑12, sedangkan pada perlakuan dengan es pada hari ke­10
    corecore