31 research outputs found

    Analisis Daya Saing Ekspor Panel-panel Kayu Indonesia dan Malaysia

    Full text link
    Indonesia bersama Malaysia merupakan pengekspor utama pasar dunia untuk kayu lapis keras tropik (tropical hardwood plywood) selama bertahun-tahun. Ekspor kedua negara memiliki pangsa terbesar (dominant players) di dunia untuk jenis kayu lapis tersebut, secara total jika diperhitungkan jenis kayu lapis kayu lunak (softwood plywood), pangsa kedua negara pada tahun 2000 adalah 47 %. Oleh karena itu untuk komoditas kayu lapis tropik, Indonesia dan Malaysia merupakan pesaing (competitor ) untuk segmen pasar tersebut. Selama bertahun-tahun hingga tahun 2003, industri kayu lapis Indonesia mendominasi pasar dunia kayu lapis tropik, namun sejak tahun 2004 Malaysia mengungguli volume ekspor kayu lapis Indonesia. Berbeda dengan kayu lapis, perkembangan ekspor panel kayu non kayu lapis Indonesia kurang menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan angka ekspor berfluktuasi dan mengalami stagnasi. Sebaliknya Malaysia menunjukkan perkembangan ekspor panel kayu non kayu lapis yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Industri kayu lapis Indonesia masih memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi dibandingkan pesaing-pesaingnya namun merosotnya pasokan bahan baku menyebabkan pangsa pasar ekspornya menurun secara tajam. Sebaliknya industri kayu lapis Malaysia dan China disamping memiliki keunggulan komparatif juga berhasil meningkatkan pangsa pasarnya

    Kebijakan Penurunan Bea Masuk Impor Kayu Lapis ke Indonesia

    Full text link
    Bea masuk impor kayu lapis di Indonesia ditetapkan 10% untuk beberapa tahun terakhir ini sedangkan panel kayu lainnya seperti papan partikel, oriented strand board dan medium density fiberboard hanya 5%. Telah lama Indonesia merupakan negara pengekspor kayu lapis utama khususnya kayu lapis hardwood namun kurang memperhatikan pasar domestik sebagaimana ditunjukkan oleh angka produksi dan ekspornya, namun dalam beberapa tahun terakhir produksi merosot cukup tajam karena kekurangan bahan baku. Saat ini tingkat pemanfaatan kapasitas industri kayu lapis nasional hanya 20% atau setara dengan produksi 2 (dua) juta m per tahun. Dengan tingkat produksi tersebut diperlukan impor kayu lapis yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Sejalan dengan liberalisasi perdagangan yang semakin menguat, tekanan-tekanan semakin besar terhadap Indonesia untuk menurunkan bea masuk impor saat ini. Jika Indonesia akan meningkatkan volume impor kayu lapis maka sangat logis untuk menurunkan bea masuknya. Makalah ini membahas faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan bagi pilihan kebijakan untuk penentuan bea masuk impor. Memperoleh bea masuk yang optimum merupakan tugas yang sulit baik dari sisi kerangka teori maupun ketersediaan data sehingga makalah ini mencari solusi dengan pendekatan argumentasi kualitatif untuk memperoleh tingkat bea masuk yang dapat diterima

    Komponen dan Bobot dari Kriteria dan Indikator Tata Kelola Perusahaan Kehutanan

    Full text link
    Otoritas kehutanan telah mewajibkan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari (SFM) bagi Perusahaan HPH atau IUPHHK dalam pengelolaan hutan, namun prinsip SFM hanya bagian dari prisipprinsip tata kelola kelola Perusahaan (GCG) yang baik. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi kriteria dan indikator GCG bidang kehutanan serta bobot dan rangkingnya. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan melakukan wawancara mendalam dan analisis isi peraturan CG. Penelitian dilakukan di Provinsi Kalimantan Timur dan Papua dengan responden dari Perusahaan kehutanan, asosiasi dan aparat kehutanan di kedua provinsi. Hasil studi menunjukkan bahwa dari sudut pandang Perusahaan, bobot Nilai-nilai Perusahaan menduduki bobot tertinggi (37%), disusul dengan Prinsip-prinsip GCG(35%) dan Kelengkapan organ GCG(28%). Urutan yang sama diberikan oleh aparat kehutanan daerah dengan persentase bobot yang berbeda (36%, 34%, dan 30%). Demikian juga untuk pilar GCG, responden Perusahaan pada dasarnya memiliki persepsi sama dengan aparat kehutanan dalam hal peran pemerintah, dunia USAha dan masyarakat dimana peran pemerintah memiliki bobot tertinggi (39%; 36%), diikuti dengan dunia USAha (38%; 33%) dan masyarakat (23%; 31%). Kriteria dan indikator untuk tata kelola Perusahaan kehutanan sebaiknya mengadopsi kriteria dan indikator tata kelola Perusahaan yang sudah ada di tingkat nasional, namun dengan mempertimbangkan pandangan dari Perusahaan dan instansi kehutanan atas bobot dan peringkat unsur-unsurnya

    Kajian Pengembangan Industri Furniture Kayu melalui Pendekatan Kluster Industri di Jawa Tenga H

    Full text link
    Produk furniture kayu Propinsi Jawa Tengah sangat potensial untuk dikembangkan mengingat keunggulan komparatif yang dimiliki industri tersebut berupa potensi jenis kayu jati yang khas belum dimanfaatkan dengan nilai tambah yang optimal dan keterampilan tenaga kerja (pengrajin furniture kayu) belum dihargai secara wajar. Ekspor yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia masih melalui perantara ( buyer ), sehingga industri furniture sangat tergantung pada pembeli dari luar negeri dan nilai tambahnya banyak dinikmati oleh pihak di luar negeri. Untuk itu industri furniture kayu perlu melakukan Perubahan strategi kepada strategi ekspor langsung. Salah satu alternatif pengembangan strategi tersebut digunakan pendekatan kluster industri yang didasarkan pada aspek penciptaan “kompetensi inti” ( Core Competence ). Pengembangan industri furniture kayu dengan pendekatan kluster industri merupakan upaya dalam mengatasi berbagai permasalahan melalui pendekatan yang terintegrasi, realistik dan efektif. Tulisan ini bertujuan mengkaji pengembangan industri furniture kayu melalui pendekatan kluster industri khususnya di Jawa Tengah. Analisis data dilakukan dengan secara deskriptif dengan lokasi pengkajian didasarkan pada banyaknya sentra industri furniture kayu yaitu Kabupaten Jepara, Sukoharjo dan Semarang. Hasil kajian menunjukan bahwa ada 4 faktor yang menyusun daya saing dalam pengembangan industri furniture kayu di Jawa Tengah yaitu; (i) strategi Perusahaan, struktur dan persaingan, (ii) kondisi faktor-faktor, (iii) kondisi permintaan (demand), dan (iv) industri pendukung. Keunggulan komparatif industri tersebut adalah kekayaan alam dan keunggulan kompetitif yaitu hasil kreasi sumberdaya manusia seperti kemampuan manajemen dan keunggulan teknologi. Kluster industri furniture kayu secara garis besar terdiri dari sub kluster industri inti (utama), sub kluster industri pendukung, dan sub kluster infrastruktur dan lembaga penunjang. Komisi kluster dibentuk dengan anggota Kadin Daerah, Asmindo Daerah, PEMDA (propinsi dan kabupaten) dan kluster industri untuk menjembatani pemerintah dan industri dengan tujuan menjaga kelangsungan/daya saing kluster industri serta sinkronisasinya dengan pengembangan ekonomi wilayah. Diharapkan pengembangan ini dapat mencapai efisiensi kolektif yang tercipta dari sinergisme antara sub kluster Perusahaan inti, industri pendukung, dan lembaga-lembaga penunjang

    Kajian Paduserasi Tata Ruang Daerah (Trd) dengan Tata Guna Hutan (Tgh)

    Full text link
    Kajian paduserasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan adalah suatu kajian terhadap aturan main dalam pelaksanaan paduserasi rencana tata ruang daerah dengan tata guna hutan, dasar hukum, serta upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengoptimalkan struktur ruang daerah sesuai dengan rencana pembangunan/pengembangan daerah. Kajian paduserasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan berorientasi terhadap aspek-aspek utama dan pendukung yang menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan dari pelaksanaan paduserasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan. Oleh karenanya analisis paduserasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan sangat diperlukan. Tujuan umum dari kajian ini adalah mengkaji sejauhmana kebijakan tata ruang yang ada dapat diimplementasikan dalam proses pelaksanaan paduserasi usulan revisi tata ruang daerah dengan tata guna hutan dan secara khusus mengkaji : a) kebijakan Perubahan kawasan hutan; b) mengidentifikasi tata cara dan persyaratan Perubahan kawasan hutan. Sasaran dari kajian ini adalah : (a) terindentifikasinya persepsi stakeholder terkait paduserasi antara TRD dengan TGH. (b) teridentifikasinya kekuatan dan kelemahan tatacara dan persyaratan Perubahan kawasan hutan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kegiatan paduserasi dan rekomendasi yang diberikan oleh tim terpadu telah sesuai dengan usulan permohonan Perubahan Peruntukan maupun Perubahan fungsi kawasan yang diusulkan oleh daerah setempat. Penyederhanaan persyaratan dalam permohonan paduserasi dan adanya kejelasan batas waktu dalam penyelesaiannya merupakan sesuatu yang sangat penting agar tercipta kepercayaan masyarakat terhadap produk kebijakan yang dibuat

    Hutan sebagai Penghasil Pangan untuk Ketahanan Pangan Masyarakat: Studi Kasus di Kabupaten Sukabumi

    Full text link
    Hutan memiliki peran dan berkontribusi cukup besar dalam menopang ketahanan pangan masyarakat terutama masyarakat sekitar hutan. Salah satu pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat dan menghasilkan pangan dan menopang ketahanan pangan masyarakat adalah program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui sistem tumpang sari yang dikembangkan oleh Perhutani. Penelitian dilakukan di Kabupaten Sukabumi dengan tujuan mengetahui sejauh mana hasil pangan dari hutan menopang ketahanan pangan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi hutan di KPHSukabumi dalam penyediaan pangan pada tahun 2009 cukup meningkat dibandingkan saat program tersebut dimulai pada tahun 2005. Jenis tanaman pangan yang diusahakan adalah padi, ubi kayu, kacang tanah dan jagung. Namun disisi lain kontribusi hutan terhadap ketahanan pangan pada dua desa sampel berdasarkan empat kriteria yang dipakai menunjukkan bahwa ketersediaan pangan kurang cukup, stabilitas kurang stabil, keterjangkauan pangan rendah, dan kualitas pangan pada kedua desa kurang baik

    Analisis Sosial-ekonomi Rotan Tanaman Dijawa

    Full text link
    Sebagian besar atau sekitar 95% bahan baku rotan untuk keperluan industri barang jadi rotan di Jawa berasal dari hutan-hutan alam Luar Jawa. Sejak tahun 1983 Perum Perhutani telan mengadakan rotan tanaman pada areal hutan produksinya. Untuk meningkatkan manfaat hutan, penanaman rotan dapat memberikan suatu alternatif pemecahan.Studi ini dimaksudkan untuk memberikan hasil analisis sosial-ekonomi terhadap penanaman rotan untuk melihat manfaat ekonomisnya dengan data hasil survei lapangan dan data sekunder. Analisis dilakukan meliputi pendapatan pekerja pada berbagai kegiatan penanaman dan kontribusinya terhadap pendapatan total keluarga pekerja, biaya produksi rotan tanaman dan kriteria finansial rotan tanaman.Hasil studi menunjukkan bahwa pendapatan pekerja pada kegiatan perkecambahan adalah Rp Rp 65.000,- – Rp 285.000,- dalam satu bulan, namun kegiatan ini hanya berlangsung selama sebulan dalam satu tahun. Pendapatan ini memberikan kontribusi sebesar 6-26% terhadap pendapatan total keluarga pekerja. Pada kegiatan persemaian, pendapatan pekerja dapat mencapai Rp 65.000,- per bulan atau 56% dari pendapatan total keluarga dan kegiatan ini berlangsung sepanjang tahun. Dalam kegiatan penanaman, pendapatan pekerja rata-rata adalah Rp 81.000,- per bulan atau 17% dari pendapatan keluarga. Kegiatan berlangsung selama 3 bulan dalam setahun. Hasil analisis finansial terhadap tanaman pinus menunjukkan pendapatan bersih kepada Perusahaan sebesar Rp 9.430.866,- per ha dengan daur 25 tahun dan tingkat lRR 15,05%. Jika dicampur dengan tanaman rotan maka pendapatan bersih mencapai .Rp 13.256.753,- dan lRR 16,36%.Hasil ini menunjukkan bahwa penanaman rotan dapat membawa manfaat sosial bagi masyarakat sekitar hutan dan pendapatan tambahan bagi Perusahaan sehingga penanamannya perlu ditingkatkan untuk meningkatkan manfaat huta

    Organisasi Belajar dan Implementasi Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKM)

    Full text link
    Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan (Hkm) oleh pemerintah dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari. Kajian ini bertujuan menilai, melalui karakteristik organisasi belajar (Learning Organization), organisasi pelaksana yang terlibat program Hkm dan implementasi kebijakannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif melalui observasi, wawancara mendalam, studi dokumen dan cara . Metode analisis dilakukan dengan melihat diskursus, aktor dan kepentingannya mengikuti proses kebijakan. Penelitian dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan, Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Responden penelitian adalah individu, kelompok, institusi atau masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan karakteristik organisasi pembelajar: telah terjadi pada berbagai tingkat pada organisasi HKm yang menjadi sampel. Figur kepemimpinan bersifat kritis agar organisasi belajar dapat terwujud dengan baik. Titik kritis lain dalam perbaikan organisasi sesuai karakteristik organisasi pembelajar adalah dimana pada umumnya terjadinya kesulitan dalam menterjemahkan dan mengamalkan visi misi dari organisasi tersebut. Kebijakan Hkm masih menunjukkan kelemahan implementasi pada institusi pelaksana
    corecore