13 research outputs found

    Cendawan Penyebab Abortus Dalam Alat Reproduksi Sapi Betina [Fungi Causing Abortion in Reproductive Track of Cow]

    Full text link
    The study on cases of abortion in cow caused by fungi have never been reported so far in Indonesia. The aim of this research is to get prevalence of cows have not and have aborted, both have reproductive disorder, and health cattles associated with percentage of fungi isolated.The study included both field survey and laboratory examination of samples. The samples of vaginal fluid were collected by using cotton swabs in cow which had suffered abortion or cow had repeated breeding, as well as freeze dried semen for artificial insemination (AI), and also examining the occurrence of abortion in cattle. The samples were collected in Sukabumi and Bandung, and then cultured in Sabouraud Dextrose Agar by stretch method, followed by incubation at 37oC. Number of samples collected consisted of 56 samples of cattle which had suffered from abortion and cow that had reproductive problems; 38 samples as control; five samples of freeze dried semen. There were no cases of abortion observed when field survey was conducted, therefore organ samples were not available for pathological and histophathological examination. Further examination on growth rate of yeast showed 20% of yeast presented in cows with abortion, 17% in cows with reproductive problem and 14% in normal cattle. On the other hand,there were samples that did not show any growth of yeast recorded f rom cows with abortion (15%)cattle with reproductive problem (7%) and normal cows (27%). Meanwhile, only twowith 2 yeast growth observed in semen samples. It was concluded that samples from cattles with reproductive problems (with and without aborted experiences) showed higher number of growth of yeasts compared with normal cow (P0,05)

    Kelembagaan Aforestasi dan Reforestasi Mekanisme Pembangunan Bersih (A/r Mpb) di Indonesia: Kasus di Nusa Teggara Barat dan Jawa Barat 1

    Full text link
    Kelembagaan Mekanisme Pembangunan Bersih untuk dan (A/R MPB) Aforestasi Reforestasi menarik untuk dikaji karena berbagai hal, diantaranya: (i) siklus proses perolehan Sertifikat Penurunan Emisi yang panjang, sehingga pedoman yang jelas pada setiap tahap sangat diperlukan (Yamada dan Fujimori, 2003), (ii) lahan kosong dan terdegradasi yang perlu direhabilitasi sangat luas, dan (iii) merupakan alternative pilihan dana reboisasi yang menarik di tengah minimnya dana DR dan APBN. Bagaimana bentuk kelembagaan MPB, siapa saja lembaga yang terlibat dan apa saja yang perlu dilakukan terutama di tingkat daerah agar mekanisme pelaksanaan MPB lebih efisien dari aspek biaya dan waktu, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Metode AHP digunakan sebagai alat analisis. Pre-MPB proyek di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan JIFPRO ( ) sebagai investor awal dipilih sebagai lokasi penelitian. Japan International Forestry Promotion and Cooperation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan MPB A/R harus mencakup dan melibatkan kelembagaan pada tingkat daerah, nasional dan Internasional. Kelembagaan daerah sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan MPBA/R, terutama berkaitan dengan pemilihan lokasi atau lahan MPByang layak berdasarkan definisi Protokol Kyoto, jelas status kepemilikannya, dan tidak mempunyai resiko sosial yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya bobot kepentingan indikator lahan dan indikator sosial di NTBdan jawa Barat, yaitu masing-masing 28% dan 31%. Struktur kelembagaan MPB A/R di daerah saat ini disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan sistem administrasi setempat. Karena itu struktur kelembagaan di NTB dan Jawa Barat berbeda, di NTB terdapat beberapa pihak yang mempunyai peran penentu dalam mengarahkan pelaksanaan MPB yaitu Dinas Kehutanan Propinsi, Gubernur NTB dan Bupati Lombok Timur, Departemen Kehutanan terutama Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS) serta JIFPRO. Untuk Jawa Barat hanya melibatkan Departemen Kehutanan terutama Dirjen RLPS, dan BP DAS Citarum Ciliwung, serta JIFPRO. Keduanya melibatkan JIFPRO sebagai investor awal, yang menandakan pentingnya peran investor awal dalam memulai kegiatan MPBA/R. Hasil penelitian menyarankan perlunya dibentuk komisi daerah MPB atau forum MPB daerah yang dapat berfungsi untuk koordinasi, fasilitasi dan sinkronisasi kegiatan MPB mulai tingkat lokal sampai nasional

    Pemanfaatan Sistem Microbial Fuel Cell Dalam Menghasilkan Listrik Pada Pengolahan Air Limbah Industri Pangan

    Full text link
    Microbial Fuel Cell (MFC) dapat langsung menghasilkan listrik dari oksidasi bahan organik yangterkandung dalam suatu larutan. Dibutuhkan suatu optimalisasi sistem MFC yang mencakup beberapa faktoruntuk meningkatkan hasil listrik seperti jenis media penukar kation, elektroda, luas permukaan elektroda, dandurasi reaksi. Penelitian dilakukan untuk melihat kinerja sistem MFC pada pengolahan air limbah industripangan, dalam hal ini tahu dan cucian beras (catering), dengan menggunakan tembaga sebagai elektroda, membran Poli Eter Eter Keton Tersulfonasi (SPEEK) sebagai media penukar kation, dan menggunakan mediasubstrat limbah. MFC diamati selama 80 jam. Pengukuran tegangan yang dihasilkan dilakukan setiap 4 jam.Tegangan maksimum yang dihasilkan pada media limbah tahu mencapai 80 mV (pada jam ke-28). Selama 52jam berikutnya, tegangan sedikit menurun. Sedangkan pada air limbah cucian beras, tegangan maksimum terjadipada jam ke-60 yaitu 234 mV. Selama proses 80 jam, melalui sistem MFC pada media limbah tahu, CODmampu turun 49,33% dari 6750 mg/L menjadi 3420 mg/L. Sedangkan pada limbah cucian beras, COD turundari 18840 mg/L menjadi 10560 mg/L atau sebesar 43,95 % selama 80 jam

    Dampak Pengganda Industri Pembibitan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan

    Full text link
    Salah satu upaya pemerintah mengatasi kerusakan hutan dan lahan kritis adalah melaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Secara keseluruhan dampak Gerhan diharapkan dapat menimbulkan Perubahan perilaku sosial masyarakat menuju terbangunnya kesadaran nasional untuk menanam pohon. Namun kecenderungan demikian tidak dapat diramalkan selama dampak sosial, dampak lingkungan dan dampak ekonominya tidak diketahui dengan pasti. Idealnya ketiga dampak tersebut perlu dikaji secara simultan. Namun penelitian ini lebih memfokuskan pada dampak ekonomi khususnya dampak pengganda industri pembibitan Gerhan, yang bertujuan untuk mengkaji dampak pengganda terkait dengan output, pendapatan dan tenaga kerja. Penelitian dilaksanakan di tiga desa contoh yang terlibat dalam program Gerhan: Desa Sirnajaya, Kabupaten Garut, Jawa Barat; Desa Margomulyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah; dan Desa Golo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Dengan menggunakan model I-O, hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak pengganda industri pembibitan Gerhan dalam perekonomian masing-masing desa contoh adalah kecil. Hal ini menyarankan bahwa kebijakan Gerhan perlu diperbaiki terutama terkait dengan pentingnya menggunakan sumberdaya lokal seperti pupuk kandang dan pembangunan benih sendiri di masing-masing desa yang akan melaksanakan Gerhan

    Perkembangan Implementasi Pasar Karbon Hutan di Indonesia

    Full text link
    Pasar karbon REDD+ dapat menjadi insentif bagi pelaku implementasi REDD+ di lapangan. Permasalahan yang dihadapi adalah ketidakpastian pasar yang tinggi yang diakibatkan oleh belum tersedianya mekanisme transaksi karbon. Komitmen pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten relatif tinggi yang ditunjukan dengan disusunnya peraturan pendukung implementasi REDD+. Kegiatan REDD+ adalah dalam rangka menjaga hutan lestari dan seandainya terjadi perdagangan karbon maka hasil perdagangan merupakan manfaat tambahan.Stakeholder terutama pemda belum mengetahui secara pasti tentang tata cara atau mekanisme pasar karbon, termasuk standar karbon dan metodologi untuk mengha­sil­kan kredit karbon. Insentif yang diharapkan atas capai­an penurunan emisi yang dihasilkan lebih didasarkan pada perannya dalam pengelolaan hutan lestari/peningkatan kese­jah­teraan masyarakat bukan berdasarkan harga karbon. Terkait dengan pemenuhan target penurunan emisi 26% masih perlu kajian lebih jauh tentang proporsi yang dapat diklaim oleh pembeli. Besarnya proporsi perlu mempertimbangkan pangsa modal investasi antara pembeli dan pemerintah yang dikeluarkan, lain halnya jika pembiayaan awal ditanggung oleh pemerintah. Juga diperlukan lembaga registri yang mengelola kegiatan, capaian penurunan emisi, dan fasilitasi implementasi REDD+ di lapangan.Selain itu lembaga ini mengatur sistem insentif dan disinsentif dalam pengelolaan resiko kebocoran dan ketidakpermanenan

    5. Important Mycotic Diseases in Animal Livestock Caused by Some Agriculture Fungi in Indonesia

    Full text link
    One of contribution for Indonesian state from Agriculture sector is livestock animals. This livestock animals in Indonesia is divided to large and small ruminant, poultry, and other commercial animals. All these animals can be infected by some agriculture fungi which causes mycosis. The disease cause economic loss by morbidity and mortality. In chicken (poultry), aspergillosis caused by Aspergillus sp can be very important among mycotic diseases. In ruminant ringworm (dermatofitosis) caused by dermatofit fungi which infected skin, and mastitis caused by fungi in Dairy cattle causes decrease milk production. Histoplasmosis caused by fungi such as Histoplasma farciminosum is called Selakarang, infect horse. This paper discribes these mycotic diseases and control and to give more information of fungal disease caused by some agriculture fungi

    Perspectives on Landscape Approaches in Indonesian Policies

    No full text
    Indonesian national development planning is laid out in five-year planning documents. These documents form the points of reference for implementation. The current plan (2020 – 2024) stipulates environmentally friendly economic development with the intention of integrating conservation and economic development; two aims frequently deemed contradictory (O’Connor et al. 2020). Sustainable development aims to ensure synergy and optimize the achievement of often conflicting economic, social, and environmental objectives. The landscape approach focuses on means and processes for managing the complexities and dynamics of related biophysical, social and policy elements in overcoming trade-offs in the utilization of natural resources and achieving environmentally friendly development. Its overall aim is sustainable landscape management
    corecore