19 research outputs found

    Penilaian Kelayakan Ekonomi Reducing Emission From Deforestation And Forest Degradation (REDD+)

    Full text link
    Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 mensyaratkan perlunya dilakukan kelayakan ekonomi sebagai salah satu aspek yang menentukan penilaian diterima tidaknya permohonan kegiatan REDD+. Hal ini ditujukan untuk memberikan jaminan keberlangsungan kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan/atau degradasi untuk satuan waktu tertentu pada lokasi yang bersangkutan dan sekitarnya. Secara umum pernilaian kelayakan ekonomi biasanya didekati dari biaya abatasi dan biaya transaksi. Dalam banyak kasus, biaya abatasi adalah biaya untuk memproduksi karbon yang belum bersertifikat dan dapat diestimasi dari biaya kesempatan yang hilang (OCs) dari alternatif Peruntukan lahan yang lain, termasuk dalam biaya ini adalah arus nilai sekarang yang hilang, dan biaya/resiko yang timbul akibat kegiatan REDD+. Sedangkan biaya transaksi umumnya diartikan sebagai seluruh ongkos yang timbul untuk mendapatkan (CERs) atau Sertifikat Penurunan Emisi Kehutanan. Certified Emission Reductions Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan berbagai metode perhitungan kelayakan ekonomi bagi pemohon kegiatan REDD+, termasuk instrument analisis yang tersedia untuk melakukan analisis kelayakan. Hasil kajian menunjukkan bahwa berbagai asumsi dan konsep yang berbeda dapat menghasilkan harga pengurangan satu unit emisi yang berbeda, karena itu estimasi perlu mempertimbangkan berbagai faktor kunci seperti , teknologi, sumber daya manusia, data dan lokasi, untuk mencegah terjadinya perhitungan yang terlalu tinggi atau rendah. stakeholder

    Persepsi Pelaku Hutan Rakyat dan Industri Kayu Skala Kecil-menengah terhadap Kesiapan Implementasi Svlk

    Full text link
    Indonesian forestry authority has established Timber Legality Verification System called SVLK as a mandatory basis. The progress of implementation of SVLK certification for large-scale forestry enterprises has been done considerable, but for the small-scale industry (IKM) and private forest (HR) have difficulty to meet the SVLK standard. This paper aims to determine the entrepreneurs\u27 perception on the factors that could improve the readiness of industries and private forest enterprises in the implementation of SVLK. Descriptive analysis and likert scalescoring methods were used in the study, based on economic and institutional aspect. This research was carried out in three locations, in DKI Jakarta, DI Yogyakarta and West Java Province. The achievement of SVLK implementation based on the number of SVLK is still low. According perception of the small-medium enterprises and private forests, they have not ready yet to implement SVLK. In economic aspects, access to markets and rising output prices are the factors that make the entrepreneurs ready. Meanwhile, in institutional aspect, efficient certification procedural; local government support in the licensing process; increase of understanding and awareness about SVLK and coordination among stakeholders are required. Ideal institutional forms such as check-off program (association or cooperation) as one of the best solutions to improve SVLK implementation. Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) secara mandatori. Kemajuan penerapan sertifikasi SVLK untuk Perusahaan kehutanan besar cukup baik, berbeda dengan industri kecil menengah (IKM) dan petani hutan rakyat (HR) memiliki kesulitan tersendiri untuk memenuhi standar SVLK. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui persepsi para pelaku USAha tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan kesiapan IKM dan HR dalam implementasi SVLK. Untuk menjawab tujuan tersebut digunakan analisis deskriptif menggunakan metode skoring dalam skala likert, dilihat dari aspek ekonomi dan kelembagaan. Lokasi penelitian di DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Barat. Capaian implementasi SVLK berdasarkan jumlah SVLK masih relatif rendah. Menurut persepsi para pelaku USAha dan hutan rakyat merasa belum siap dalam implementasi SVLK. Ditinjau dari aspek ekonomi, faktor yang membuat pelaku USAha lebih siap dalam implementasi SVLK adalah adanya peningkatan akses ke pasar dan kenaikan harga output. Sedangkan dari aspek kelembagaan, diperlukan efisiensi tatacara sertifikasi, dukungan Pemda dalam proses perizinan untuk mendukung syarat kelengkapan SVLK, peningkatan pemahaman dan kesadaran tentang SVLK, dan koordinasi antar stakeholder. Untuk meningkatkan implementasi SVLK, bentuk kelembagaan seperti check-off program merupakan bentuk lembaga yang ideal seperti asosiasi atau koperasi sebagai salah satu solusi yang tepat untuk meningkatkan implementasi SVLK

    Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung

    Full text link
    Permasalahan hutan lindung Indonesia sudah sangat kritis, penurunan luas dan kerusakan hutan lindung sejak 1997 sampai 2002 dua kali lebih besar dari kerusakan hutan produksi. Melihat kondisi yang demikian, muncul beberapa pertanyaan mendasar, seperti sejauh mana kebijakan dan peraturan Perundangan yang ada mendukung ke arah pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan? Adakah dampak kebijakan ini terhadap pengelolaan hutan lindung? Sudah tepatkah kebijakan dan peraturan Perundangan yang ada sehingga mendukung ke arah tujuan dari Peruntukkan kawasan hutan lindung tersebut? Kajian tentang kebijakan pengelolaan hutan lindung ini selain bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, juga bertujuan untuk mengkaji kebijakan dan peraturan Perundangan terkini yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung. Secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi kebijakan dan peraturan Perundangan yang mengatur secara langsung maupun tidak langsung hutan lindung, mulai tingkat pusat sampai daerah, (ii) menelaah kebijakan dan peraturan Perundangan, termasuk mengkaji konsistensi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, (iii) mengetahui kondisi hutan lindung saat ini, dan (iv) merekomendasikan kebijakan pengelolaan hutan lindung yang diperlukan untuk mencapai pembangunan hutan lindung yang berkelanjutan. Hasil kajian terhadap 83 peraturan yang mengatur hutan lindung, menunjukkan masih belum jelas dan terarahnya kebijakan pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan. Walaupun berbagai Perundangan mulai dari UU No. 41/1999, PP 44/2004, PP 34/2002, Keppres 32/1990 sudah secara jelas menyebutkan fungsi, peranan dan kriteria hutan lindung, serta bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan di atasnya. Tetapi Perundangan yang sama masih mengijinkan Perubahan penggunaan areal hutan lindung untuk kepentingan penggunaan di luar kehutanan, termasuk pertambangan tertutup. Sehingga keberadaan hutan lindung menurut peraturan Perundangan masih dilematis. Secara lebih rinci persoalan dalam kebijakan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, masih terdapat perbedaan mendasar antar Perundangan tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung. Kedua, adanya dualisme kebijakan pemerintah, dimana di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan lindung dan menetapkan aturan-aturan untuk melestarikannya, tapi di sisi lain membuka peluang kawasan hutan lindung tersebut untuk dieksploitasi. Ketiga, belum terlihatnya harmonisasi kebijakan yang dapat menjadi dasar dan acuan dalam pengelolaan hutan lindung di daerah. Keempat, adanya kebijakan yang overlapping dan membingungkan pelaksana lapangan. Kelima, kurangnya apresiasi pemerintah kabupaten terhadap fungsi ekologis dari hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan mencegah intrusi air laut. Keenam, tidak mengacunya kebijakan yang lebih rendah kepada peraturan yang berkaitan erat yang berada diatasnya. Penelitian ini menyarankan perlunya meningkatkan kebijakan terutama dalam hal : (i) mewujudkan persamaan persepsi tentang fungsi hutan lindung antar instansi yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung, dan (ii) kebijakan yang komprehensif, integrated, dan tidak overlapping

    Faktor Penentu Keberhasilan Implementasi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan: Studi Kasus Riau

    Full text link
    Kegiatan tata guna lahan dan Perubahan lahan menyumbang 17-20% konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir dan Perubahan iklim. Jumlah ini relatif besar dibandingkan dengan luas hutan global, terutama hutan tropis yang saat ini hanya sekitar 10% dari luas hutan global. Salah satu mekanisme untuk mengurangi GRK adalah melalui mekanisme REDD (Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation) atau upaya pengurangan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui infrastruktur yang diperlukan dalam tahap awal mekanisme REDD, termasuk faktor kunci keberhasilan pelaksanaan REDD. Alat analisis yang digunakan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Penelitian dilakukan di Propinsi Riau yaitu di Kabupaten Rokan Hilir dan Siak, pada tahun 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menciptakan efektifitas implementasi REDD perlu penekanan lebih terhadap aspek infrastruktur teknis berupa ketersediaan data dasar dan teknologi penghitungan karbon serta aspek institusi berupa keberadaan peraturan Perundangan dan sumber daya manusia dengan jumlah memadai dan bermutu. Disamping itu perlu juga diperhatikan aspek sosial berupa peningkatan pemahaman masyarakat berkaitan dengan deforestasi, serta aspek ekonomi berupa peningkatan intensitas lapangan pekerjaan berbasis jasa hutan dan non kayu

    Tingkat Kesiapan Implementasi REDD di Indonesia Berdasarkan Persepsi Para Pihak : Studi Kasus Riau

    Full text link
    Pengetahuan tentang kesiapan para pihak yang ingin berpartisipasi dalam implementasi mekanisme REDD penting untuk mengetahui kebijakan atau perangkat teknis apa yang diperlukan selama mekanisme REDD ini masih belum menjadi kesepakatan yang mengikat. Sampai sejauh ini informasi tentang kesiapan para pihak dalam implementasi REDD, terutama untuk tingkat lokal (propinsi dan kabupaten) sangat terbatas. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk : (i) mengidentifikasi para pihak yang terlibat; dan (ii) mengkaji tingkat kesiapan kelembagaan dan teknis untuk implementasi REDD berdasarkan persepsi para pihak. Penelitian dilakukan di Propinsi Riau pada tahun 2008, karena propinsi ini merupakan salah satu propinsi yang secara historis mempunyai laju deforestasi di dalam kawasan hutan yang tinggi sebesar 157.688,6 ha/tahun pada periode tahun 2003-2006. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah purposive sampling dengan narasumber yang mencakup, Perusahaan, akademisi, pengambil kebijakan dan masyarakat. Sampel ditentukan dengan menggunakan pendekatan snowball, dimana sampel berikutnya dinominasikan oleh sampel sebelumnya sampai didapatkan informasi yang relative sama. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis para pihak dan analisis deskriptif. Hasil Penelitian menunjukkan (1) Pihakpihak yang harus terlibat dalam kegiatan REDD adalah Kementerian Kehutanan dengan porsi tugas terbesar mulai dari persiapan, implementasi, monitoring dan verifikasi, kemudian secara berurutan Dinas Kehutanan propinsi dan kabupaten, Kementerian Lingkungan Hidup, HPH/HTI, lembaga Internasional, LSM, Departemen Luar Negeri, Bapedalda, LIPI, Departemen Keuangan, UPT/UPTD serta masyarakat; (2) Dalam implementasi REDD, aspek yang perlu disiapkan adalah aspek teknologi dan aspek sosial ekonomi; dan (3) Untuk aspek institusi yang perlu disiapkan adalah ketersediaan peraturan Perundangan tentang pembalakan liar, kesadaran untuk mencegah pembalakan liar, dan kegiatan monitoring dan evaluasi dalam pencegahan pembalakan liar; (4) Dalam aspek infrastruktur teknis, monitoring dan evaluasi implementasi peraturan Perundangan perlu ditingkatkan begitu juga dengan kelengkapan dan keakuratan citra satelit serta database data dasar

    Karbon Dan Peranannya Dalam Meningkatkan Kelayakan USAha Hutan Tanaman Jati (Tectona Grandis) Di KPH Saradan, Jawa Timur

    Full text link
    Penelitian ini bertujuan untuk menghitung karbon dan pengaruh nilai karbon pada kelayakan hutan tanaman Jati (Tectona grandis). Penelitian dilakukan di KPH Saradan, Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur. Metode perhitungan karbon menggunakan model alometrik Biomasa (Brown dan Vademikum Kehutanan) karena model ini sangat sederhana serta mengakomodasi variabel yang lebih banyak. Dengan kondisi tanah yang relatif kurang subur, pada akhir daur (60 tahun), Jati menghasilkan karbon per hektar berturut-turut sebesar 348,08 (Brown, 1997) dan 520,46 ton C/ha (Vademecum Kehutanan, 1976). Perkiraan biaya karbon berdasarkan pembuatan hutan tanaman per ton adalah sebesar Rp. 22.194 dihitung berdasarkan pembuatan hutan tanaman. Ditambahkannya nilai karbon akan meningkatkan kelayakan hutan tanaman, yang diindikasikan dengan meningkatnya IRR Perusahaan sebesar 2%, dan NPV sebesar 73%. Implikasinya adalah dengan kondisi sekarang (daur panjang, resiko tinggi) pembangunan hutan tanaman jati layak untuk diusahakan terutama apabila nilai karbon dimasukan, karena itu perlu diteruskan

    Analisis Distribusi Margin Tataniaga Minyak Kayu Putih

    Full text link
    Intervensi pemerintah dalam memperbaiki kinerja USAha minyak kayu putih (MKP) diperlukan dalam upaya memperkuat peranannya dalam perekonomian nasional. Salah satu permasalahannya adalah apakah sistem tataniaga MKP memungkinkan upaya pengembangannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi margin tataniaga MKP. Lembaga (rantai) tataniaga MKP yang dikaji terdiri atas: (1) produsen daun kayu putih, (2) pabrik penyuling kayu putih, dan (3) pabrik pengolah dan pengemas kayu putih. Berdasarkan distribusi margin tataniaganya, hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem tataniaga MKP selama ini tidak efisien. Dalam jangka panjang ketidakefisienan ini akan dapat merugikan keberlanjutan industri dan perdagangan MKPsendiri. Untuk itu pungutan PSDH dan retribusi perlu dinaikkan untuk membiayai peremajaan, pemeliharaan dan pengembangan tanaman kayu putih

    Nilai Ekonomi Air di Sub DAS Konto dan Sub DAS Cirasea

    Full text link
    Nilai ekonomi manfaat hidrologis yang dihasilkan hutan lindung belum diketahui secara luas, sehingga apresiasi terhadap hutan lindung masih rendah dan tekanan terhadap hutan lindung masih terus berlangsung. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai-ekonomi manfaat hidrologis air dari hutan lindung. Metode yang digunakan adalah pendekatan biaya pengadaan, yang mencerminkan nilai minimal manfaat ekonomi air yang dirasakan rumah tangga di hulu DAS yang langsung memanfaatkan air dari sumber mata air hutan lindung. Analisis ini menggunakan software Minitab versi 13.0. Penelitian dilakukan di bagian hulu-tengah DAS Brantas, yaitu di Sub DAS Konto, yang mengalirkan air ke waduk Selorejo, dan di Sub DAS Cirasea, hulu DAS Citarum. Lokasi ini dipilih karena merupakan DAS yang paling banyak memiliki permasalahan, terutama polusi air permukaan, konflik air, dan penurunan muka air tanah, serta merupakan sumber air utama untuk Perum Jasa Tirta (PJT) I dan PJT II yang merupakan BUMN pensuplai air terbesar di pulau Jawa. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi air untuk manfaat hidrologis Sub DAS Konto, dan Sub DAS Cirasea, masing-masing sebesar Rp. 37.873.740.832/tahun dan Rp. 76.769.512.989/tahun, nilai ini adalah nilai yang diberikan oleh keberadaan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea yang menghasilkan manfaat hidrologis terhadap rumah tangga. Hasil perhitungan nilai ekonomi air dari manfaat hidrologis yang dihasilkan sebagai fungsi dari keberadaan kawasan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea ini, hanya sebagian kecil dari nilai ekonomi air total yang dikandung oleh kawasan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea karena masih banyak pengguna-pengguna air lain yang lebih besar seiring dengan mengalirnya air

    Economic Assessment of Some Agro Forestry Systems and Its Potential for Carbon Sequestration Service in Indonesia

    Get PDF
    This paper provides several alternatives agroforestry and plantation systems to consider for carbon sequestration purposes. It is indicated that multicropping of coffee multistrata or fruit trees such as mango, duku and durian with timber or food and vegetable crops produces more benefits financially and economically compared to monoculture of tree plantation such as albizia. The former system is more attractive in terms of return to labour and land. However, the later system produce more carbon and low cost of carbon, which is more potential from the buyers point of view: So there is a trade-off from supply and demand side for choosing the best alternatives system. Implication of these are as follows: (i) amount and price of product is becoming a key factors in determining whether a system is more feasible for selling of product or carbon trade, and (ii) there is a need to create incentives system for land owners/producers if carbon trade is a priority
    corecore