8 research outputs found

    PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERWAWASAN MULTIKULTURAL

    Full text link
    Bangsa dan masyarakat Indonesia merupakan warga dan bangsa yang multi etnis, multi ras, multi adat dan multi agama, namun demikian merupakan satu kesatuan yang berjuang menegakkan NKRI, bertahan dalam integritas bangsa dan warga Indonesia, menjunjung persatuan bangsa. Karena pengalaman yang mencekam, pengawalan dan otoritas yang khas dan ketat, sistem kekuasaan yang sentralitas, bangsa ini seakan kehilangan kemampuan untuk melakukan “the best of problem solving” terkait masalah multi etnis, multi agama dan budaya. Masyarakat Indonesia kehilangan kecerdasan dan kebijakannya tatkala dihadapkan pada masalah “keberagaman” , sehingga jalan perdamaian kadang tidak dijadikan solusi. Pendidikan multikultural merupakan wacana yang relatif baru di Indonesia, terlebih bagi pendidikan Islam di Indonesia, tapi sesungguhnya nilai-nilai pendidikan multikultural sudah menjadi wawasan dan kebiasaan bagi masyarakat Indonesia. Akar filosofis pendidikan multikultural di Indonesia tercover dalam semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika”, implisit dalam Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahkan telah diajarkan terlebih dahulu dalam ajaran Alloh SWT melalui Al-Quran dan ajaran Nabi melalui Sunnahnya. Dengan demikian pendidikan multikultural dapat dijadikan alternatif solusi untuk menjadi terapi bagi ketidakkompakan bangsa Indonesia menghadapi masalah bangsa ini secara bersama-sama, sehungga derap langkah kita semakin mantap menuju aktualisasi jati diri bangsa yang lebih merdeka cerdas dan bijak. Pendidikan multikultural dapat diimplementasikan pada pendidikan di Indonesia, baik jalur pendidikan formal, informal maupun non formal. Pendidikan multikultural dapat diimplementasikan melalui integrasi materi kurikulum, yang relevan, pendekatan, metode dan model pembelajaran yang mengedepankan paradigma keterbukaan, kebersamaan, toleransi dan saling menghormati berbagai perbedaan dan keragaman yang ada sebagai satu sunnatullah yang mesti berjalan. Konsep, Prinsip dan Implementasi Pendidikan Multikultural tidak Hanya sebuah Wacana tapi harus membumi betapa Indahnya Kebersamaan dalam nuansa Keberagaman, dibingkai dengan esensi Silaturahmi

    TIGA (3) DIMENSI ANIMATION MOVIE USING 3D STUDIOMAX

    No full text
    xii;428 hlm;illus;14.5cm x 20.5c

    IMPLEMENTATION OF INTEGRATED QUALITY MANAGEMENT STRENGTHENING CHARACTER EDUCATION IN REALIZING PANCASILA STUDENT PROFILES

    No full text
    This research is motivated by the moral decadence of students related to various forms of juvenile delinquency such as fights between students, rampant cases of bullying, low levels of honesty, decreased ethics in attitudes and characteristics of identity to implement the norms and values ​​of Pancasila. This research approach is a qualitative research with case study method. Data collection techniques used are observation, interviews, and documentation. The results of this study indicate that the planning of strengthening character education in realizing student profiles carried out by the school has shown quality because it has been stated in the RKS, Implementation of strengthening character education in realizing student profiles has not maximized work programs, Supervision of strengthening character education for Pancasila student profiles has shown quality to make activities Intra Curricular and extracurricular as a medium to build culture in all educational activities in schools, Evaluation has shown quality because it is carried out in two stages, namely short-term evaluation and long-term evaluation, Barriers to strengthening character education in realizing the profile of Pancasila students consist of internal and external obstacles, and The solutions that have been implemented have not shown quality because they have not been able to maximize the quality standards of improvement

    MEMBACA PERSPEKTIF BALANCED SCORECARD

    No full text
    Kini penetrasi internet mendisrupsi seisi negeri. Semua gagap dan tergopoh-gopoh menghadapi. Gagap gempita menyambut kelahiran Revolusi Industri 4.0. Belum usai menjadi bahan diskusi, kini kita dihadapkan pada pandemi. Covid-19 menerjang seisi bumi. Namun, seiring berjalannya waktu, kita dipaksa new normal, memang di dunia tidak ada yang kekal. Di tengah dua isu itu, dunia pendidikan pun terkena imbas. Semua tata kelola berubah, seluruh pemangku sibuk mengatur strategi dan selebihnya hanya memelas. Lalu berkelindan, pada sisi tertentu internet menjadi solusi pandemi. Terasa jauh menerawang, acapkali hanyalah angan-angan, ketika membincangkan situasi terkini. Dunia pendidikan babak belur, semua program sulit diukur. Namun alhamdulillah, kami merasa mendapat vaksin, ketika beberapa mahasiswa menyerahkan draft naskah buku yang isinya menyoal pendidikan. Sejenak kita bisa mendedahkan kegamangan situasi, dengan menkonsumsi artefak literasi. Membincang dunia pendidikan, diakui atau tidak kita selalu digiring memulainya dari soal “sekolah” Sama seperti halnya membincangkan kebudayaan, selalu diawali dengan “kesenian”. Oleh karena itu, demi memahami alur berpikir tulisan-tulisan yang disajikan dalam buku ini, kami memandang mengawalinya dari perbincangan mengenai “sekolah.” Baik, mari sejenak menjelajahi Yunani Kuno pada ratusan tahun silam. Konon istilah “sekolah” berasal dari bahasa Latin schola atau skhole yang bermakna “waktu luang” atau “waktu senggang”. Kemudian kita menyerapnya dari orang Eropa, dari kata “school” dan menjadi “sekolah”, atau urang Sunda acapkali menyebutnya “sakola” atau “iskola”. Konon, bangsa Yunani Kuno mengisi waktu senggangnya dengan berkumpul untuk mendiskusikan atau sekedar menerima hal-hal baru dari paragurunya, yang kelak dikenal sebagai filusuf. Seiring perubahan jaman, makna sekolah pun bergeser menjadi aktivitas kegiatan belajar-mengajar bahkan lebih sempit lagi menjadi aktivitas di ruang kelas. Makna terakhir inilah yang kita akan bincangkan di sini. Bagaimana pendekatan, model, metode dan strategi yang efektif demi mewujudkan sekolah bermutu dan proses pembelajaran yang menyenangkan. Kenapa demikian, sebab aktivitas pendidikan di ruang-ruang kelas inilah yang menjadi bahan kajian polemis hingga kini. Dari ragam kajian itu, hadirlah pendekatan Balanced Scorecard (BSC). Teori yang mulai dipopulerkan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton pada tahun 1992 ini, kemudian ditelanjangi oleh paramahasiswa yang menulis dalam buku ini dengan cara menelisik sejauh mana teori Kaplan dan Norton tersebut dapat diimplementasikan pada bidang pendidikan, khususnya wahana pendidikan formal, mulai jenjang SD sampai Universitas. Bahkan beberapa tulisan, secara khusus membincangkan pendekatan BSC secara konseptual dan dipadupadankan dengan persoalan pentingnya perspektif pelanggan dalam dunia pendidikan. Umumnya, mereka seperti dalam kondisi gelisah. Memang kegelisahan-kegelisahan ihwal mutu pendidikan (dalam hal ini proses pembelajaran di ruang kelas) kemudian yang menginspirasi Anies Baswedan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2014-2016) membangunkan kembali visi besar Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara tentang “Sekolah sebagai Taman”. Intinya bahwa anak harus merasa senang ketika sedang belajar dan berada di sekolah, layaknya mereka sedang bermain di sebuah taman. Anak tidak lagi terkungkung atau terpenjara ketika berada di ruang kelas atau lingkungan sekolah. Kemudian, gagasan ini pula yang kelak menginspirasi Nadiem Anwar Makarim (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kini) memunculkan konsep “Merdeka Belajar”. Secara umum, maknanya jelas bahwa belajar harus menyenangkan, anak diberi kebebasan kreativitas, sekolah menjadi tempat menyenangkan. Ini menurut kami, semacam kembali memaknai konsep awal “sekolah”. Anak bisa nyaman ketika berada di lingkungan sekolah, merdeka berkreativitas, dan tentu terasa seperti mengisi waktu senggang atau luang. Kemudian, sejauh pembacaan kami, sepilihan tulisan dalam buku ini pada dasarnya menangkap kegelisahan sebagaimana tema diskusi kita. Kegelisahan bagaimana agar sekolah bisa menyenangkan, belajar bisa bermutu, dan mengelola kegiatan di dalamnya secara terpadu. Isi tulisan mengupas bagaimana tata kelola pendidikan mulai jenjang dasar, memengah, sampai perguruan tinggi memakai pendekatan BSC. Alhasil tujuannya terasa sama, bagaimana agar kelembagaan pendidikan bisa terkelola dengan baik dan menjadi wadah yang menyenangkan demi menghasilkan kualitas pembelajaran. Berdasarkan hal itu, kemudian kami sepakat, sepilihan tulisan dalam buku ini dibagi ke dalam tiga bagian: Bagian I: Teroka Sepintas Pendekatan BSC pada Bidang Pedidikan. Isinya mengupas secara umum teori atau pendekatan BSC dalam bidang pendidikan. Bagian II: Tinjauan Pendekatan BSC pada Bidang Pendidikan jenjang Dasar dan Menengah. Isinya bagaimana pendekatan BSC diimplementasikan dalam tata kelola sekolah SD, SMA, dan SMK. Kemudian terakhir Bagian III: Tinjauan Pendekatan BSC dalam Bidang Pendidikan jenjang Perguruan Tinggi. Isinya mengupas implementasi pendeatan BSC dalam tata kelola kampus. Secara umum, sepilihan tulisan dalam buku ini terasa lengkap dan kontekstual. Hanya saja, kualitas tulisan belum merata benar. Masih terdapat beberapa tulisan yang perlu penajaman konsep, gaya penulisan, dan bagaimana mendudukkan teori ke dalam analisis implementasi. Hal lain, pembahasan konsep BSC masih terasa kaku, akibat belum dipadukannya dengan teori-teori pendukung. Padahal jika pendekatan BSC dipadukan dengan teori-teori interdisipliner lain, membaca tulisan ini akan terasa bergizi. Bagaimana pun, kami mengapresiasi sangat tinggi kehadiran rampai tulisan yang kini menjadi buku ini. Penegasan-penegasan gagasan di dalamnya dapat ditangkap, baik secara vulgar maupun samar-samar, bahwa penyumbang tulisan secara umum sedang dihinggapi gejala kegelisahan sama: Bagaimana “masa depan pendidikan” dan akan seperti apa “pendidikan masa depan”? Selanjutnya, biarlah kegelisan ini dibaca bersama agar melahirkan tawaran gagasan baru bagi pembaca untuk bangkit menjajal rimba literasi meski di tengah pandemi. Selamat kepada penulis dan kepada sidang pembaca, saran kami sesekali bacalah pada pagi hari seraya meneguk secangkir kopi. Itulah nikmatnya berliterasi. **
    corecore